Leon dan Gilbert menunggu sang sahabat menjelaskan pengertian bantuan yang ia bicarakan. Penasaran, ya rasa itu yang menyeruak dalam hati dua pria tersebut.
Bryan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Jujur, ia bingung bagaimana harus memulainya.
"Aku ingin meminta bantuan ide dari kalian. Apakah kalian bisa? Tapi, tolong berikan jawaban yang masuk akal! Paham?"
Leon dan Gilbert kompak terkekeh.
"Masalah apa sih yang bisa membuat seorang Bryan kebingungan dan meminta bantuan pada kita? Aku jadi semakin penasaran." Leon mengomentari sikap Bryan yang mendadak aneh.
"Tapi kalian bisa membantu atau tidak? Sebenarnya aku tidak yakin meminta bantuan pada kalian." Bryan menimpali ucapan Leon dengan berjalan mondar-mandir tak jelas juntrungannya.
"Tenang saja. Serahkan semua padaku, kalau Gilbert aku sangat meragukannya. Di dalam pikiran Gilbert hanya ada wanita, ranjang dan berputar di lingkaran itu terus!" s
Hai kakak semuanya, maaf baru bisa satu bab, author receh lagi meriang, diusahakan setelah sembuh up lebih banyak bab yaaaa... Semoga suka dan terhibur 😀😀
Di kediaman Luke Dawson. Pagi hari, pukul 07.00 waktu Edensor. Seorang pria paruh baya tengah sibuk membaca sebuah artikel online dari gadget mahalnya. Matanya hampir membola sempurna, membaca setiap rangkaian kata demi kata yang terpajang di sana. Sudah bukan lagi rahasia umum, melainkan sudah menjadi konsumsi publik di mana detik-detik pernikahan anak dari konglomerat Edensor dan putri dari George Michael diwarnai sebuah drama penculikan. Beruntung memang, Jenica tidak disangkutpautkan dalam kejadian tersebut. Padahal kenyataannya, ia pun turut andil dalam penjebakan saudara sepupunya itu untuk membantu Nick melakukan aksinya.Meskipun pada akhirnya Nick merubah skenario yang telah dirancang oleh Jenica. Seharusnya perempuan itu bisa introspeksi diri sendiri setelah apa yang terjadi. Ini semua pasti ada campur tangan George Michael demi menutupi kebusukan Jenica dan tidak membawa perempuan
Dua manusia paruh baya yang tak lain adalah ayah dan ibu kandung pemuda tersebut terkesiap mendapat pengusiran yang sangat menyakitkan dari putranya.Merasa tidak dihargai, si pria paruh baya yang bernama Jonathan Jeremiah pun menghardik sang putra."Bersikaplah sopan pada kami! Bagaimana pun juga, kami adalah orang tua kandungmu. Kamilah yang akan berusaha mengeluarkanmu dari balik jeruji besi ini! Membebaskanmu dari segala tindakan amoralmu!" lantang Jonathan.Nick tersenyum getir."Ada di mana kalian saat aku benar-benar membutuhkan bantuan kalian? Kenapa sekarang tiba-tiba menawarkan bantuan untuk mengeluarkan aku dari sini? Apakah rembulan terbit di siang hari?" sindir Nick menyudutkan.Jonathan dan Vanessa saling melirik satu sama lain. Kali ini pertanyaan itu begitu sulit untuk langsung dijawab begitu saja. Butuh pemikiran dalam agar pemuda tersebut bisa mengerti.Jujur, kata-kata Nick sangat meluka
George tersenyum hangat. Belum menanggapi pertanyaan yang diajukan sang menantu.Ia beranjak dari sofa dan berjalan mendekati nakas, di mana di sana tergeletak ponsel pintarnya dan ia menunjukkan sebuah foto pada Bryan."Sekarang kau lihat siapa pria di dalam potret itu!" titah George pada Bryan.Bryan menggaruk patuh dan melakukan apa yang diminta mertuanya. Ponsel itu telah berpindah tangan. Pemuda itu menatapnya dengan teliti. Wajahnya tak asing. Yang membedakan orang ini adalah penampilannya. Terkesan… urakan dan berantakan!"Wajahnya tidak asing! Tapi aku benar-benar tidak bisa mengenalinya, Papa!" jawab Bryan kikuk.George tergelak. Sampai-sampai ia memegangi perutnya karena ulahnya sendiri. Ia tertawa terbahak-bahak. Seperti mendengar lelucon yang amat menggelitik gendang telinganya.Puas tertawa, ia segera membungkam mulutnya. Takut membangunkan sang putri. Padahal sudah lebih dari lima meni
Bryan tersenyum penuh misteri di atas tubuh perempuan yang telah ia baringkan di tempat tidur.Ia tidak menindih perempuan yang terlihat seperti kelinci kecil di matanya, melainkan ada sebuah kesenangan tersendiri untuk menggodanya."Hei, apa yang mau kau lakukan?" tanya Kimberly sekali lagi dengan pertanyaan yang sama."Melakukan apa? Melakukan hal yang sewajarnya suami istri lakukan, dong! Apa lagi? Salah? Bukankah kita sudah sah di mata hukum agama dan negara? Hem?" balas Bryan dengan alasan logis.'Oh my goodness! Aku melupakan itu!'"Eh, eh, eh, maksudku, aku.. Aku belum siap…" jawab Kimberly terbata-bata."Apanya yang belum siap?" tanya Bryan mengundang makna ambigu."Tubuhku yang belum siap! Oke, pernikahan kita memang bukan untuk main-main. Bukan setahun, dua tahun atau berapa pun. Kata Papa, hanya mautlah yang memisahkan kita. Kau berhasil mengantongi restu dari Papaku. Tapi, b
Di dalam kamar seorang pria paruh baya yang masih tetap rupawan pada usianya ke lima puluh, itu pertanda sudah tujuh tahun lebih sang istri meninggalkannya untuk selama-lamanya di sisi Tuhan, ia termenung memandangi sebuah potret lama dalam ponselnya.Sambil mengulas senyum tipis, pria itu meraba layar sentuh benda pipih pintarnya. Seolah dapat membelai sosok di dalam potret lama tersebut, George tersenyum hangat."Betsy, anak kita sudah besar. Dia sudah menikah dengan seseorang yang tak jauh beda denganku dulu. Bukankah kau pernah berkata semua orang punya masa lalu mereka sendiri, bukan? Mari kita beri kesempatan pada pemuda itu untuk mendapatkan hati anak kita!" ucapnya senang dengan wajah berbinar-binar.George meneguk cairan dengan aroma teh yang begitu kuat menyeruak ke indera penciumannya lalu berdesis," Teh ini tidak semanis teh buatanmu! Hah…"TakkPria itu meletakkan cangkir tersebut pada cawan kecil yang tadi dij
Kimberly tergagap dan merentangkan kedua tangannya guna menutupi rasa aneh yang tiba-tiba berkecamuk dalam hatinya.GrebbDapat Kimberly rasakan bagaimana Bryan menyandarkan kepala di bahunya. Berat dan bertenaga. Padahal hanya meletakkan saja sudah seberat ini, apa lagi jika pria itu bergerak dan berulah. Tak dapat dibayangkan bagaimana ia akan merasa kesulitan lebih dari ini.Refleks, tanpa disadari keduanya, tubuh mereka merosot di rerumputan. Entah karena Kimberly tak dapat menopang beban dari Bryan atau apa, keduanya kini terduduk di atas rumput dengan posisi berpelukan.Perempuan cantik itu mengelus punggung tegap dan bidang sang suami. Menyalurkan kekuatan. Tapi kekuatan untuk apa? Kimberly pun tak tahu jawabannya, yang pasti ia merasa harus melakukan itu. Mungkin panggilan hati seorang istri."Bryan!" panggil Kimberly.Bryan belum menjawabnya. Pria itu masih terdiam dengan mengingat banyak kenangan di da
Lima belas menit sudah mereka berkendara, tibalah keduanya di tempat yang dimaksud oleh Bryan.Pria itu menghentikan kendaraan mewahnya di tepi jalan. Jalan siang itu terlihat lengang, tak banyak aktivitas pengemudi yang meramaikan jalanan kota. Mungkin dikarenakan cuaca sedang tak mendukung, terlihat tak jauh dari keduanya saat ini tampaklah awan hitam berarak yang siap mengguyur bumi."Kenapa kita berhenti di sini, Sa-sayang?" tanya Kimberly yang sedikit keseleo lidah saat berusaha melafalkan penyebutan kata keramat tersebut pada sang suami.Bryan menoleh sekilas lalu membuka pintu mobil bagian samping untuknya. Pria itu berjalan setengah memutar dan membukakan pintu untuk sang istri.Dengan penuh kelembutan, Bryan melepaskan ikatan seat belt yang mengikat kebebasan sang istri dalam berkendara beberapa saat lalu, kemudian pria itu mengulurkan tangan pada Kimberly.Perempuan cantik itu keluar dengan perlahan-lahan dar
Kimberly tersadar mengenai warna yang baru saja terucap dari bibir seksi seorang Bryan. Tentu saja itu adalah…Warna..Astaga! Kimberly segera bangun dari posisinya dan memperbaiki gaun yang ia kenakan. Ternyata benar, roknya sedikit tersingkap dan menunjukkan sebuah harta karun di dalam sana. Melihat cara Bryan mengucapkan hal itu ditambah seringai aneh di wajahnya tentu saja pria itu telah melihat secara jelas."Hei, pria mesum! Apa lagi yang kau lihat? Tidak bisakah kau berpikir mengenai hal yang lebih positif?""Ada!""Apa? Coba katakan, aku ingin sekali mendengarnya! Aku sangat penasaran!""Membuat anak denganmu!" jawab Bryan sembari mengedipkan sebelah matanya. Ia memang senang sekali menggoda Kimberly."Ka-kau!!""Loh, itu adalah hal positif. Lalu, salahku di mana?" tanya balik Bryan."Ah sudahlah, berdebat denganmu memang menghabiskan tenaga dan pikiran
Bukan Stephanie yang semakin mendekat. Kimberly yang maju dan menghambur ke dalam pelukan ibu kandung Bryan. "Aku merindukan pelukan seorang ibu sejak beberapa tahun terakhir. Aku selalu memimpikan memiliki ibu mertua yang menyayangiku. Maafkan aku, Ma, jika aku belum bisa menjadi menantu yang baik di matamu. Aku hanyalah manusia biasa yang masih terus belajar menjadi lebih baik. Apa pun yang terjadi antara Mama dan Bryan, kuharap kalian akan segera berdamai dan saling mengerti satu sama lain!" ungkap Kimberly. Mendengar ucapan menantunya, Stephanie mengeratkan pelukannya. Lalu beberapa saat kemudian pelukan itu terlepas dan mereka berdua saling bersitatap. "Terima kasih, Kimberly! Mama pergi, ya! Jaga kesehatan kalian dan titip anak Mama! Semoga Tuhan selalu melindungi kalian di mana pun berada dan menjauhkan segala keburukan dari hidup kalian. Sampai jumpa lagi, Kimberly!" pamit Stephanie dengan wajah begitu sendu dan mata yang begitu sayu
Lampu terang di ruang operasi masih menyala. Kimberly berada di depan pintu sambil menunggu dokter selesai melakukan tindakan pada Jenica. Luke dan George sudah datang dan menemani perempuan cantik tersebut. Beberapa saat kemudian, seorang pria tampan dengan balutan jas menawan berlari-lari menuju ruangan yang dimaksud. Ia mencari keberadaan sang istri dan ingin segera memeluknya. "Kimmy!" teriak Bryan yang seketika memeluk tubuh mungil istrinya dengan ekspresi cemas luar biasa. "Bagaimana keadaanmu? Papa baru saja mengabariku. Maaf aku baru bisa datang!" ungkap Bryan seraya berulang kali mengecup pucuk kepala sang istri. Kegelisahan di wajahnya tak dapat dibantah. Semua terlihat begitu kentara. Bryan sangat mencemaskan kondisi istri tercintanya. " Aku tidak apa-apa, Bryan. Untung saja ada Kak Jenica yang menyelamatkanku. Saat ini kami masih menunggu dokter keluar dari ruang operasi. Bryan, aku takut terjadi hal b
Stephanie penasaran akan suatu hal. Ia pun segera bertanya pada Deborah demi mendapatkan jawaban yang sempat mengusik pikirannya. "Apa jangan-jangan kau sudah menyukainya lebih dari yang kubayangkan?" tanya Stephanie dengan mata menyipit mencari tahu. "Lelaki seperti Bryan itu sangatlah langka dan juga menawan, Tante. Ketampanan serta kewibawaannya sanggup meruntuhkan iman hampir sebagian besar kaum hawa di Edensor kita yang tercinta ini. Termasuk aku!" ungkap Deborah dengan wajah berbinar-binar membayangkan Bryan menjadi miliknya. Stephanie tersenyum sinis. "Kau pasti akan mendapatkannya sebentar lagi! Kimberly tidak pantas mendapatkan anakku! Hanya kaulah yang pantas bersanding dengannya!" yakin Stephanie. Deborah tersenyum senang. Lengkungan bibirnya membentuk curva cantik. Ia bahagia dan bangga karena mendapatkan restu dari Stephanie. Tinggal beberapa langkah lagi Bryan pasti akan menjadi miliknya. Ya, sebenta
Kimberly tersenyum ramah di wajahnya yang penuh keteduhan. Ia terlihat tenang di usianya yang masih belia dibandingkan usia suaminya. Sikap dewasa dalam dirinya kini mulai mendominasi.Jemari lentiknya merayap lembut ke pipi Bryan, sekali lagi demi menenangkan hati dan pikiran Bryan yang tengah berkecamuk."Aku takut kehilanganmu sama seperti ketakutanku akan kehilangan Shannon dalam hidupku dulu! Aku sangat mencintaimu, Kimmy! Jangan pernah pergi meninggalkan aku!" pinta Bryan dengan begitu gelisah. Deru napasnya memburu."Aku tidak akan ke mana-mana. Aku selalu ada di sampingmu. Istrimu ini juga sangat mencintaimu, Bryan!" tegas Kimberly tulus.Lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya. Merasa ketenangan benar-benar ia dapatkan ketika memeluk tubuh Kimberly. Bryan pun mendorong pelan tubuh yang begitu meneduhkan jiwanya, ia meletakkan kedua tangannya di atas pundak Kimberly.Tatapan mereka saling bersua. Kegelisahan
Kita tinggalkan sejenak Kimberly dan Bibi Jules di dapur. Saat ini Bryan sudah berada di kamar. Ia baru saja keluar dari kamar mandi.Selembar handuk berwarna putih menutupi tubuh bagian bawahnya dari pinggang hingga mencapai tempurung lututnya.Ia merasa malas dan kesal usai membenamkan diri di dalam bath tub selama beberapa saat, tapi ia tidak tahu apa penyebabnya.Segera, ia mengambil satu setel piyama tidur guna memberinya rasa nyaman saat sebentar lagi ia memejamkan mata barang sejenak. Kantuk mulai menyapa kedua kelopak matanya, yang tanpa sadar membuatnya berat untuk tetap terjaga."Badanku lelah sekali! Aduh!" keluh Bryan sembari memijat lengannya sendiri.Ia melangkah maju ke atas pembaringan. Perlahan, ia melepas sandal yang membalut telapak kakinya.Bryan sudah merasakan nyaman saat ia meletakkan kepalanya yang berat di atas bantal. Matanya secepat kilat terpejam.Sepuluh menit kemu
Kimberly tersenyum senang saat mendapati sepasang mata peraknya menangkap jelas sebuah kotak pizza favorit ada di kursi belakang. Wajahnya berubah begitu sumringah. Ekspresi yang bertolak belakang dengan beberapa detik lalu.Tanpa sadar ia mengguncang pelan lengan sang suami yang tengah mengemudikan mobil. Bryan yang mengetahui hal itu spontan kembali terkekeh. Ia senang jika bisa membuat Kimberly bahagia seperti ini. Saat ini ia meyakini ucapan Kimberly beberapa saat lalu…'Kebahagiaan seseorang itu berbeda-beda, bisa datang dari makanan, seseorang yang kita suka, kesehatan dan masih banyak lagi. Tapi, kalau buat aku, makanan adalah mood booster terhebat yang tidak pernah bisa kutolak. Makanan kesukaan bisa membuatku bahagia. Bahagia itu bisa didapatkan dengan cara sederhana, asal diberikan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.'Kata-kata itulah yang menjadi dasar Bryan memberikan makanan yang berasal dari Italia itu pada Kimberly.
Nick terkesiap. Sumpah demi apa pun ia tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan kembali berurusan dengan suami mantan kekasihnya.Langkah kaki orang itu berhenti tepat di hadapannya. Dengan senyum yang melengkung jelas dari kedua sudut bibirnya, pria itu tampak begitu menawan. Pantaslah ia bersanding dengan Kimberly. Mereka adalah pasangan yang cocok satu sama lain. Tampak solid dan membuat iri jutaan pasang mata yang melihat keduanya bersisian.Nick mengenyahkan pikiran itu. Ini bukan saatnya memuji mereka.Tanda tanya besar berkumpul di pikirannya. Apa yang membuat pebisnis terkenal se-Edensor ini mendatanginya?"Ke-kenapa kau ada di sini?" tanya Nick terbata-bata. Pria itu gugup hanya karena disambangi Bryan.Bukannya menjawab, Bryan malah tersenyum penuh misteri.Nick mengambil napas dalam-dalam, berusaha menjernihkan suasana hatinya yang memendam banyak pertanyaan di sana.Kedua pria de
Luke tersenyum penuh arti."Semua orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Papa mendengar kau mau meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah kau perbuat saja, Papa sudah merasa bangga. Kau sudah dewasa, Jenica. Belajar dan berpikir lebih baik ke depan. Perbaiki segala kesalahan yang dulu pernah terjadi.Papa yakin Kimberly akan memaafkanmu asal kau berjanji untuk tidak mengulang perbuatan yang sama. Kimmy adalah gadis yang baik dan sopan. Dia selalu menyayangimu. Papa pun bisa merasakannya. Hanya karena iri semata, kau bisa melakukan segala perbuatan itu. Papa yakin kau pun bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Percayalah!" yakin Luke menyemangati dan menyadarkan sang putri.Jenica mengangguk mantap."Aku akan menemui Kimmy dan meminta maaf padanya!" tegas Jenica penuh semangat."Ya! Papa akan selalu mendukungmu menjadi pribadi yang lebih baik! Semoga Kimmy memberikanmu kesempatan untuk berproses ke
"Ya, aku berjanji!" jawab Kimberly lantang tanpa meragu sedikit pun.Bryan membuka memori lama yang masih tersimpan jelas di dalam otaknya. Semua itu tak bisa menghilang begitu saja meski waktu terus berjalan.Waktu pun bergulir mengikuti ritme kisah yang terjadi di masa lalu.Kimberly menyeka cairan yang masih merembes dari pemilik iris biru di sampingnya. Cairan itu telah berhasil membasahi kedua pipi suaminya."Kau memiliki aku! Aku tak bisa berjanji akan selalu bersamamu hingga kita tua nanti. Aku hanya bisa menjalani setiap detik waktu yang berjalan bersamamu. Usia manusia tidak ada yang tahu. Benar, kan?Aku akan meminta pada Tuhan agar memberi kita usia yang panjang dan berguna bagi semua makhluk di sekitar kita. Bukan aku yang menentukan lama atau singkatnya hidup kita, semua tergantung sang Pencipta. Kita jalani saja semua proses hidup bersama-sama.Setelah aku dan kau menjadi satu dalam ikatan pe