Bab 39: Pertemuan yang MenyayatPagi itu, Anya memutuskan untuk keluar dari rumah setelah semalaman tidak bisa tidur. Udara sejuk pagi yang biasanya menenangkannya kini tidak membantu sama sekali. Pikirannya penuh dengan bayangan Nathan dan Evan. Ia memutuskan untuk pergi ke swalayan kecil di dekat rumahnya, berharap mendapatkan sedikit distraksi. Saat memasuki swalayan, langkah Anya terhenti. Matanya langsung menangkap sosok Nathan yang sedang berdiri di depan rak minuman, mengenakan jaket kulit hitam yang biasa ia pakai. Jantung Anya berdegup kencang. Biasanya, Nathan selalu menyapanya lebih dulu, tetapi kali ini tidak. “Nathan?” panggil Anya, mencoba menarik perhatian pria itu. Nathan meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke botol air mineral yang ada di tangannya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memasukkan botol itu ke keranjang belanjanya dan berjalan menjauh tanpa menoleh sedikit pun ke arah Anya. “Nathan, tunggu,” kata Anya lagi, mengejarnya. Namun,
Bab 40Ruangan itu terasa sunyi ketika Evan duduk di belakang mejanya, mengamati Roy yang masih berdiri di hadapannya. Dengan ekspresi datar, ia melirik laporan yang baru saja diberikan Roy, lalu meletakkannya begitu saja tanpa membacanya. "Kamu boleh keluar," kata Evan akhirnya. Roy mengangguk dan berbalik menuju pintu. Namun, baru saja ia sampai di ambang pintu, suara Evan kembali terdengar. "Roy, panggil Anya untuk menemuiku sekarang juga." Roy sempat menoleh, sedikit bingung, tetapi ia tetap menjawab, "Baiklah, Pak." Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju ruangan Anya. Setibanya di sana, ia mengetuk pintu dan melihat Anya yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. "Anya, kamu dipanggil Bos Evan," katanya. Anya mengerutkan kening, tampak bingung. "Ngapain dia manggil aku? Padahal laporannya sudah aku letakkan di atas mejanya." Roy mengangkat bahu. "Mungkin ada yang salah dengan yang kamu buat." Anya menggeleng. "Gak mungkin. Aku sudah memastikan semuanya sebelum men
Bab 41. Evan duduk di tepi ranjang, bersiap untuk tidur ketika Chintya tiba-tiba melontarkan kata-kata yang membuatnya menelan ludah. "Evan, Mama ingin seorang cucu dari kita. Dan aku bilang, bagaimana mungkin aku hamil kalau kamu saja jarang melakukan hubungan intim denganku?" Pikiran Evan langsung buyar. Sejak tadi, kepalanya penuh dengan bayangan Anya. Dan sekarang, Chintya berbicara tentang anak? Evan menoleh perlahan, menatap Chintya dengan ekspresi datar. "Kamu kenapa diam saja, Evan? Aku tidak mau disalahkan dalam hal ini! Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untukmu, Evan! Sekarang tugasmu untuk memberikan aku keturunan Evan. Apa kamu mendengar ku, Evan?" Evan masih tetap diam. Chintya bisa saja bicara apa pun, tapi bagi Evan, pernikahan mereka hanya formalitas. Dia menikahi Chintya bukan karena cinta, melainkan karena perintah Saraswati, ibunya. Chintya tampaknya semakin kesal karena sikap Evan yang tidak bereaksi. "Terus, kamu mau apa, Chintya?" Evan akhi
Bab 42Rencana jahat Sarawati. Langit sore yang mendung seakan mencerminkan isi hati Chintya yang hancur. Matanya sembab akibat tangisan sepanjang perjalanan pulang ke rumah ibunya, Rita. Saat mobilnya berhenti di depan rumah, ia buru-buru keluar, berlari kecil ke dalam, dan langsung memeluk sang ibu begitu bertemu di ruang tamu. "Ma… aku tidak bisa hamil…" isaknya tertahan di bahu Rita. Rita yang sedang duduk di sofa terkejut dengan pengakuan itu. Dia merasakan tubuh Chintya bergetar dalam pelukannya. "Chintya, apa yang kamu katakan?" Chintya melepaskan pelukannya dan menatap sang ibu dengan mata merah. "Aku baru saja pulang dari dokter kandungan. Aku diperiksa, dan dokter bilang kalau aku tidak akan bisa memiliki anak, Ma… Evan pasti akan menceraikanku…" Rita tercekat. Hatinya remuk mendengar kenyataan itu. "Astaga, Chintya…" Ia menggenggam tangan putrinya erat. "Aku tidak mau berpisah dengan Evan, Ma. Aku mencintainya! Aku tidak peduli jika dia tidak mencintaiku. Aku
Bab 43 . Anya tengah sibuk dengan tumpukan dokumen di hadapannya. Hari ini, Evan menugaskannya untuk menyelesaikan laporan yang cukup penting. Meski sedikit lelah, Anya tetap berusaha fokus. Namun, konsentrasinya buyar ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia melirik layar dan melihat nama ibunya, Sarah, terpampang di sana. Dengan cepat, Anya mengangkat panggilan itu. "Anya... seseorang membawa Kenzo bersamanya! Mama sudah berusaha mencegahnya, tapi Mama tidak berhasil. Bagaimana ini, Anya?" suara ibunya terdengar panik, membuat jantung Anya langsung berdegup kencang. "Apa?! Kenzo dibawa siapa, Ma?" tanya Anya, suaranya bergetar. "Ma... Mama tidak tahu. Orang itu terlihat terburu-buru. Mama sudah mencoba menahan Kenzo, tapi dia tetap membawanya!" Tubuh Anya langsung gemetar. Ia merasakan ketakutan luar biasa. Kenzo, putranya, hilang dibawa seseorang, dan ia tidak tahu siapa orang itu. Pikirannya langsung dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Tanpa berpikir panjang, Anya se
Bab 44Evan belum begitu percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari mulut Anya. sebuah pengakuan yang begitu mengejutkan. "Aku sedang tidak bercanda, Evan. Tolong bawa aku ke mamamu. Dia harus segera mengembalikan anakku. Aku tidak sudi kalau anakku ia bawa," kata Anya yang membuat Evan semakin bingung. Evan juga jadi mengingat kejadian lima tahun yang lalu, ketika Anya dan Evan akhirnya berpisah tanpa sebab dan akibat yang jelaskan. Yang Evan tahu, dia tidak lagi bisa menemui Anya. Karena Anya pergi tanpa kabar. "Anya, jawab aku yang jujur. Kamu jangan bohong. Apa kamu serius kalau itu anakku? Itu bukan anak dari pria itu kan, Anya?""Apa maksud kamu Evan? Apa kamu menuduhku selingkuh waktu itu?"Evan dengan cepat mengelak, dia tidak mau kalau Anya semakin marah padanya. "Aku pikir, kamu meninggalkan aku demi pria lain, Anya.""Evan!" suara Anya meninggi, penuh dengan kekecewaan, karena apa yang terjadi lima tahun yang lalu sesuatu yang sangat menyedihkan. Yang sulit untuk ia l
.Bab 45Nathan mengemudikan mobil dengan tenang, tetapi dalam hatinya ia masih memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Ia menoleh sekilas ke arah Anya yang duduk di sampingnya, terlihat masih tegang meskipun Kenzo telah kembali. Wajah wanita itu dipenuhi kekhawatiran yang sulit disembunyikan. "Kamu masih kepikiran, ya?" tanya Nathan pelan, mencoba mencairkan suasana. Anya menghela napas panjang. "Aku lega karena Kenzo sudah kembali. Tapi aku masih penasaran... Kenapa mereka membawanya? Apa tujuan mereka?" Nathan mengangguk, memahami perasaan Anya. "Kita akan segera tahu. Yang terpenting, sekarang kita pastikan dulu Kenzo baik-baik saja." Begitu mobil berhenti di depan rumah, Anya langsung membuka pintu dan turun dengan cepat. Ia berjalan tergesa-gesa ke dalam rumah, dan saat pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok kecil yang sedang duduk di sofa, sibuk memainkan mobil-mobilan baru. "Kenzo!" panggil Anya dengan penuh emosi. Anak kecil itu menoleh dan langsung te
Bab 46Evan melangkah dengan cepat ke dalam rumah mewahnya, wajahnya penuh emosi yang sulit dikendalikan. Begitu pintu terbuka, ia langsung berteriak, "Mama! Di mana Mama?" Seorang pelayan yang kebingungan segera menundukkan kepala dan menjawab dengan suara gemetar, "Nyonya Saraswati ada di ruang keluarga, Tuan." Tanpa menunggu lebih lama, Evan melangkah ke sana. Begitu melihat ibunya yang duduk santai di sofa, menyesap teh dengan anggun, amarahnya semakin membuncah. "Ma, jawab dengan jujur. Apa yang Mama lakukan pada Anya lima tahun yang lalu?" Saraswati mengangkat wajahnya dengan ekspresi tenang, seolah-olah pertanyaan itu tidak memiliki arti penting baginya. Ia bahkan tersenyum tipis sebelum menjawab dengan nada santai, "Apa maksudmu sih, Evan? Mama nggak paham." Evan mengepalkan tangannya. Ia tidak akan membiarkan ibunya menghindar kali ini. "Sudahlah, Ma. Aku sudah tahu semuanya! Mama nggak bisa lagi bohong padaku. Jadi, aku tanya sekali lagi... Apa yang Mama lakukan li
Bab 25"Aku tidak akan membiarkan pria itu mengambil Nadira diriku. Apalagi kalau keduanya sampai tidur bareng," ujar Roy yang bermonolog sendiri.Roy sampai tidak bisa tidur, padahal jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi, tapi rasa takutnya membuatnya memutuskan untuk menghubungi Nadira, tidak peduli sekalipun Nadira sudah tidur.Dia tetap melakukan panggilan telepon secara berulang dan berlangsung sekitar 1 jam, itupun yang menjawab panggilan itu bukan Nadira, melainkan Damar yang terbangun karena dering ponselnya Nadira.Awalnya Damar membangunkan Nadira dan berkata kalau ada panggilan masuk dari Roy, tapi Nadira justru tidak mau bangun karena kelelahan.Hingga akhirnya Damar memutuskan untuk menjawab panggilan masuk dari Roy. "Iya halo."Mendengar suara pria yang mengangkat panggilannya, membuat Roy langsung emosi. "Kenapa ponselnya Nadira ada dengan Lo, ha? Di mana Nadira?""Kebetulan Nadira sudah tidur, ada apa yah? Besok biar aku sampaikan ke Nadira."Pikiran Roy langsung kemana-m
Bab 24. Mimpi buruk Roy melihat Nadira berhubungan dengan pria lain. Hari ini, Roy mendapatkan surat teguran dari atasan atas sikap Roy yang tidak serius dalam bekerja. Bahkan Roy banyak melakukan kesalahan membuat beberapa pelanggan mengeluh. Dan karena itu, sang bos memarahi Roy sembari menyerahkan surat teguran. "Ini peringatan pertama Roy, kalau kamu tetap melakukan kesalahan. Maka bersiaplah angkat kaki dari perusahaan ini!" tegas sang bos. Roy hanya bisa mengangguk, memang semua ini karena kesalahannya. Ia terlalu kepikiran ke Nadira, sampai-sampai suasana hatinya terbawa saat ia kerja. "Maafkan saya, Pak. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi.""Baiklah, sekarang kamu boleh keluar.""Iya Pak."Roy melangkah keluar dari ruangan pak Joko, ia hendak kembali menuju arah ruangannya. Namun ... "Bagaimana Roy? Pak Joko tidak memecatmu, kan?" tanya Ray. "Enggak kok, cuman dikasih peringatan saja." Roy terlihat lesu, ia tidak bergairah menjalani hidup. Langkah kakinya saja terlih
Bab 106Di ruang tamu yang sepi, Roy duduk berhadapan dengan Evan. Keduanya sama-sama tegang, menyimpan beban masing-masing.“Bos,” ucap Roy pelan. “Gue tahu situasinya kacau… tapi gue punya saran.”Evan menoleh, matanya sayu tapi penuh waspada. “Apa?”Roy menarik napas. “Kirim Mama lo ke luar negeri, Van. Jauh, sementara waktu. Biar aman. Daripada dia ditahan di sini atau diserang orang. Lagian… lo juga gak bakal tega liat dia di balik jeruji, kan?”Evan terdiam. Wajahnya keras, tapi hatinya runtuh. Roy benar. Walau bagaimanapun, Saraswati tetap ibunya.“Tapi Anya… dia udah terlalu terluka, Roy. Gue gak mau Anya tahu… kalau gue malah lindungi Mama.”Roy mengangguk. “Justru itu. Lo harus pinter jaga sikap depan Anya. Biar seolah-olah Mama lo pergi karena lo usir… padahal lo selamatin dia.”Evan menghela napas berat. “Susah, Roy… tapi kayaknya itu satu-satunya jalan.”Belum sempat Evan mengambil keputusan, suara mobil berhenti di depan rumah Anya. Nathan keluar dengan langkah cepat d
Bab 105 — Bara Dendam dan Air Mata.Malam mulai larut ketika Evan tiba di rumahnya. Wajahnya masih muram, kepalanya penuh amarah yang belum sempat dia lampiaskan. Di tangannya, Evan menggendong Kenzo yang mulai mengantuk. Bocah itu memeluk leher ayahnya erat-erat, seolah ikut merasakan guncangan hati sang ayah.Evan baru saja meletakkan Kenzo di kamar ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Roy, asistennya yang paling dia percaya. "Bos, saya harus bicara. Ini penting, soal kebakaran rumah Anya.”Evan langsung menekan tombol telepon. “Roy, apa maksudnya? Katakan sekarang.”Di seberang, suara Roy terdengar hati-hati. “Maaf, Bos… saya baru dapat informasi dari orang dalam. Kebakaran di rumah Anya… itu bukan kecelakaan.”Evan mengernyit, jantungnya berdetak lebih cepat. “Apa maksudmu?”Roy menarik napas. “Itu… ulah Ibu Saraswati, Bos. Saya dapat rekaman suara orang suruhannya… dia diperintah buat bakar rumah itu. Supaya Anya kapok… supaya Anya pergi dari hidup Bos.”Evan te
Bab 104 — Bara yang Menghanguskan Segalanya. Malam itu, suasana di rumah Dewi masih tegang. Anya duduk di sofa dengan mata sayu, masih belum bisa sepenuhnya menghapus suara bentakan Chintya yang menggema di telinganya. Evan memilih pulang lebih awal karena emosinya tak terkendali setelah bertengkar dengan Chintya. Tapi ketenangan itu hanya sesaat. Ponsel Anya tiba-tiba berdering keras. Nathan. Dengan perasaan tak enak, Anya mengangkat. “Halo, Nathan…” Di seberang, suara Nathan terdengar panik, terbata, bercampur isak marah. “Anya… rumah kamu… rumah Mama kamu… habis kebakar, Nya!” Anya terhenyak, tubuhnya langsung lemas. “Apa…? Nathan… kamu ngomong apa…?” “Api, Nya! Rumah kamu… udah rata sama tanah! Dan… Mama kamu… Tante Sarah… dia… dia nggak sempat keluar, Nya! Dia meninggal!” Dunia Anya seakan runtuh saat itu juga. Jantungnya berdetak tak karuan. Tubuhnya gemetar hebat. “Jangan… Nathan… jangan bohong… Mama… Mama aku…” air matanya mengalir deras. Tangis pecah tanpa bisa i
Bab 103 — Api di Tengah Bara. Di kediaman mewah keluarga Sanjaya, Saraswati berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan wajah merah padam. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya mencengkeram ponsel erat-erat. Beberapa asisten rumah tangga hanya bisa menunduk, takut tersulut amarah majikannya. “Kurang ajar anak itu!” bentak Saraswati sambil membanting ponsel ke meja kaca hingga retak. “Berani-beraninya dia berpihak ke perempuan jalang itu! Evan! Dasar anak durhaka!” Rina yang sejak tadi berdiri di pojok ruangan memberanikan diri bicara, meskipun suaranya bergetar. “Bu… mungkin kita bisa—” “Diam kamu!” potong Saraswati tajam. “Aku gak butuh saran dari pengecut sepertimu!” Saraswati menarik napas kasar, lalu duduk di sofa dengan wajah masih menyala-nyala. “Aku sudah habis kesabaran… kalau Evan memilih jadi musuh… aku tidak akan anggap dia anak lagi.” "Mama yang sabar, tenangkan diri Mama dulu. Aku akan membicarakan ini dengan Evan, Ma,' ujar Chintya yang mengambil muka
Bab 102 — Luka yang DipertontonkanAnya tak bisa tidur semalaman. Matanya sembab, kepalanya berat, dan dadanya sesak. Setiap kali ia memejamkan mata, video itu terus terbayang. Wajahnya yang tampak kacau, tubuhnya yang sempoyongan, tawa orang-orang di sekelilingnya — semuanya jadi luka baru yang dipertontonkan ke seluruh dunia.Di ruang tamu rumah Dewi, televisi terus menayangkan berita tentang video viral itu. Presenter membacakan berita dengan nada serius. _"Sebuah video memperlihatkan seorang wanita yang diduga Anya Wibisono, mantan karyawan Sanjaya Grup, dalam kondisi mabuk berat di sebuah klub malam. Video ini memicu perdebatan di masyarakat, terlebih setelah diketahui bahwa wanita tersebut sedang dalam proses perebutan hak asuh anak dengan Evan Sanjaya."_ Anya menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Tuhan… aku benar-benar habis," gumamnya.Dewi duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Anya erat-erat. "Nya, kamu nggak boleh nyerah. Aku tahu siapa kamu. Semua orang yang sayang s
Bab 101Langkah kaki Anya terasa berat saat turun dari mobil Pak Rahmat. Dunia seakan berputar lebih cepat dari biasanya, dan bukan karena ia lelah, tetapi karena jiwanya seperti baru saja dibanting dari tempat tertinggi harapan, lalu jatuh ke jurang yang paling gelap.Anya berdiri di trotoar, menatap gedung tempat ia baru saja kehilangan pekerjaan. Angin sore membelai wajahnya yang terasa panas menahan tangis. Kali ini, ia tidak bisa lagi menahannya. Air mata itu luruh, jatuh satu per satu, menandai luka yang semakin dalam di dalam hatinya.Ia membalikkan badan, menatap langit yang mulai memerah, lalu melangkah pelan. Pikirannya kacau. Dulu ia punya impian untuk kembali berdiri di atas kakinya sendiri, tapi sepertinya Evan tak pernah benar-benar mengizinkan itu terjadi. "Aku benci kamu, Evan. Dan jangan harap aku akan datang ke kamu, Evan. Tidak akan,' lirihnya Anya yang sedang bersedih. Sementara itu, di ruang kerjanya, Evan menatap keluar jendela. Ada rasa puas di wajahnya karena
Bab 100 Beberapa pemimpin perusahaan yang datang di pertemuan itu satu persatu mulai pulang, tapi Evan tetap saja duduk di kursinya. Matanya menatap kosong ke arah Anya yang sedang bersiap untuk pulang. Bahkan Anya sedang menyusun berkas-berkas yang ia bawa dari perusahaan, sementara pak Rahmat pimpinan baru Anya sudah bersiap melangkah ke arah pintu. "Ayo buruan, Anya. Kita masih harus melakukan satu pertemuan lagi," ujar pak Rahmat. Anya menganggukkan kepalanya, dan bersiap ke arah pintu. Tapi Evan langsung menghalangi Anya yang hendak berjalan menyusul pak Rahmat. Hebatnya, Evan langsung memberikan isyarat ke Roy agar pak mengalihkan pandangan pak Rahmat, dengan cara Roy yang mengajak pak Rahmat mengobrol di tempat yang sedikit jauh dari Anya dan Evan. "Awas, Evan," ujar Anya dengan nada lembut, tapi Evan tidak menggubris. Dia bahkan tidak membiarkan Anya keluar dari dalam ruangan itu. Anya jadi kesal, sehingga dengan lantangnya Anya berkata, "Mau kamu apa sih, Evan? Tida