Ketika Isti membuka pintu, hawa dingin menyergap membuat bulu kuduk berdiri. Dia bergegas duduk di kursi plastik warna merah yang tersedia di tengah-tengah ruangan.
"Aman ya? Kok pada santai-santai?" sapa Isti, saat mengedarkan pandangan ke sekeliling laboratorium.
Terlihat Vela sedang mematut wajah dan merapikan rambut. Sedangkan Hadi-Sang Bos sedang serius membaca buku laporan. Dia tidak memperhatikan anak buah yang mulai duduk diam di sekelilingnya.
"Bos, sudah ngantuk nih. Ayo cepat!" pinta Feny sambil menutup mulut. Sudah tiga kali menguap, tapi Bos masih belum juga memimpin ritual pergantian dinas.
Anak-anak laboratorium, memang terbiasa memanggil atasan langsung mereka dengan panggilan Bos. Tanpa memanggil namanya secara langsung.
Hadi lalu mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan Isti. Bibirnya melengkungkan senyum, membuat cewek yang duduk tepat di depannya jadi salah tingkah.
"Wah, rambutnya Mbak Isti bagus ya," puji Hadi dengan mata berbinar. Seolah-olah Isti seorang bintang, yang sedang mengiklankan produk shampo terbaru.
Namun, bukannya tersipu malu, raut muka Isti malah berubah keruh. "Bos ini mau muji atau nyindir nih? Rambut megar kayak singa gini dibilang bagus! Bilang aja kalau nggak rapi, terus disuruh kucir. Bentar lagi ya, Bos. Biar kering dulu, habis keramas nih." Isti menggosok kedua tangan tanda permohonan tulus.
Hadi mengangguk-angguk. "Tapi itu rambutnya beneran bagus lho. Setiap hari bisa berubah modelnya."
Perkataan itu makin membuat Isti cemberut. "Si Bos ini maksudnya apa sih? Ya, sudah kurapikan saja sekarang."
Isti merogoh saku untuk mengeluarkan karet gelang dan mengikat rambut tanpa menyisirnya terlebih dahulu. Meski pun tahu, kalau rambut separuh kering akan tampak lebih lepek nantinya.
"Bos," rengek Feny.
"Ya, sudah. Mari kita berdoa." Hadi menutup mata, mengatupkan kedua tangan lalu mulai memimpin doa.
Setelah mendengarkan serah terima dari Feny, mereka berdiri dan membubarkan diri. Berhubung tidak ada sampel tersisa yang ditinggalkan oleh Feny. Jadi, mereka mempersiapkan peralatan di bagian masing-masing.
"Mbak Vela matanya bagus ya? Besar seperti kelereng." Kali ini Vela yang tampak bingung karena mendengar pujian dari si Bos yang tidak sewajarnya.
"Mataku bagus? Nggak salah Bos? Is, si Bos habis minum obat apa sih? Kok gini amat?" Vela mencolek Isti yang bersandar pada pintu masuk.
Isti menahan senyum sambil mengangkat bahu. "Entahlah. Baru bahagia mungkin. Siapa tahu abis ini kita ditraktir."
"Mau dong, tapi sepertinya tidak mungkin," ucap Vela yang ngeloyor kembali keposnya.
Beberapa jam berlalu dengan cepat, karena banyak pasien yang periksa laboratorium hari itu. Tak terasa sudah mendekati waktu pulang.
"Mbak, tau nggak..." tanya Hadi,yang tiba-tiba muncul dari ruang kantor.
Isti sengaja diam, untuk menunggu kelanjutan pertanyaan itu, tapi si Bos tidak meneruskan malah hanya melewatinya. Pandangan Isti masih terus mengikuti gerak-gerik si Bos, tapi ternyata tidak ada tanda-tanda akan meneruskan pembicaraan. Sungguh sangat membangongkan.
Isti pun menghembuskan napas panjang. Lalu kembali fokus pada pekerjaan menerima pasien yang mau periksa. Cewek itu mengenakan masker dan juga sarung tangan sebelum membuka pintu untuk mengambil sampel.
Setelah menyelesaikan pengambilan darah, dia masuk ke laboratorium dan melihat si Bos sudah duduk di depan meja administrasi.
"Mbak, tau nggak..."
"Nggak!" jawab Isti dengan cepat dan keras, hingga Hadi terlonjak karena kaget.
"Galak banget sih, Mbak. Kan aku cuma mau tanya." Hadi sama sekali tidak tersinggung, setelah dibentak oleh anak buahnya.
"Habisnya dari tadi nanya nggak lengkap sih. Nanya, Mbak tau nggak mulu!" semprot Isti.
Alhasil, Hadi hanya bisa garuk kepala, sambil cengir-cengir. Namun, cowok itu masih belum beranjak.
"Mbak, tau nggak? Siapa yang punya mata paling indah?" Hadi kembali bertanya, kali ini sudah langsung dilengkapi. Rupanya, dia sudah belajar dari pengalaman.
"Nggak tau, emangnya siapa?" Suara Isti sudah kembali lembut, tidak keras seperti tadi. Ini karena jiwa keponya terpanggil keluar.
Namun, Hadi tersenyum lalu berjalan melewati Isti dan masuk ke dalam kantornya. Isti hanya bisa menepuk dahi melihat kelakuan si Bos. Ada-ada saja ulahnya hari ini, yang bikin Isti menahan diri agar tidak menonjoknya. Mengingat statusnya yang merupakan seorang kepala ruang.
"Bos! Dicari Sinta." Vela berteriak sekuat tenaga dari ruang persiapan sampel yang terletak di belakang.
Senyum Hadi semakin lebar membuat Isti curiga. Cewek berkucir ekor kuda itu sengaja mengamati dari posnya, ketika Hadi dan Sinta berbincang-bincang di pintu belakang. Namun, percakapan itu hanya sebentar, tidak sampai lima menit juga sudah kelar.
"Sudah dulu ya, Mbak Vela, Mbak Isti," pamit Sinta dengan senyum lebar.
Apa yang dilakukan oleh Sinta berikutnya membuat Isti terkesiap. Sinta mencium punggung tangan Hadi, seperti kebiasaan istri kepada suaminya.
"Owh, punya pacar baru toh," sindir Isti sambil bersedekap, saat Hadi melewatinya.
"Sekarang aku tahu siapa pemilik mata yang paling indah, pasti si Sinta, kan?" lanjut Isti yang memamerkan senyum menggoda. Namun, sebenarnya hati Isti terasa panas,karena terbakar api cemburu.
"Kok tahu?" Senyum Hadi tidak juga hilang, malah seawet mayat berformalin.
Vela pun ikut menggoda Bos yang sedang kasmaran. "Sinta to? Cie, cie si Bos. Traktir dong."
"Ya, kapan-kapan kutraktir."
"Kapan, Bos? Pastikan tanggalnya, biar aku nggak ketinggalan ditraktir," balas Vela yang berjalan mendekat, hingga sampai di samping Isti.
"Aku tahu juga siapa yang rambutnya bagus dan berubah-ubah modelnya. Pasti Sinta juga kan? Jadi, tadi pagi itu ceritanya mau ngode kalau sudah punya pacar yang cantik ya, Bos?" Isti mengibaskan rambut. Meskipun rambutnya lurus, berbeda dengan Sinta, tapi Isti maklum. Begitulah kalau orang sedang jatuh cinta. Setiap kali memandang, hanya tampak bayangan kekasih saja.
"Seharusnya bilang saja terus terang Bos. Jangan bikin kita jadi takut dengan pujian aneh-aneh itu," saran Vela.
Namun, Hadi hanya menanggapi dengan senyum lebar saja. Tanpa mau membalas.
Isti dan Vela geleng-geleng kepala melihat Bos yang sedang berbunga-bunga. "Dasar si Bos," kata mereka bersamaan dengan kompak.
Candaan mereka tidak berlangsung lama karena si Bos semakin menyebalkan dengan pertanyaan yang tiada habisnya.
Siapa yang punya hidung paling mancung? Siapa yang mulutnya kecil mungil menggemaskan? Dan berbagai pertanyaan yang membuat sebal lainnya.
Siapa lagi yang kena kalau bukan Isti karena pos nya paling dekat dengan bos.
Cewek yang bersandar pada pintu depan itu, bergidik ngeri melihat bos yang senyum-senyum ketika memeriksa hp. Jatuh cinta sih jatuh cinta, tapi jangan berlebihan yang pamer. Isti kan jadi makin nyesek lihatnya.
Namun, apa saja yang dilakukan cowok itu di dekat Isti, pasti memberikan efek gelenyar aneh pada jantung, yang membuat debarannya semakin cepat. Menjalin hubungan dengan rekan kerja yang seruangan, merupakan salah satu hal yang terlarang di instansi tempat kerja mereka.
Itu yang menjadi alasan Isti untuk menunjukkan rasa tidak suka dengan bos dengan bersikap galak dan masa bodoh.
Beruntungnya dia karena sikap si bos sendiri layak mendapat perlakuan seperti itu.
"Mbak, jangan melamun." Hadi mengacak-acak rambut Isti sambil lalu.
Gimana Isti tidak lemas kakinya kalau diperlakukan seperti ini. Meski pun ini pasti perwujudan rasa senang bos karena baru jatuh cinta tapi ini bukan hal wajar buatnya.
Apa perlu resign saja biar tidak melihat bos terus tersenyum karena Sinta? Cemburu itu memang menguras hati.
"Pas banget," gumam Isti saat membuka pintu kos dan menemukan pemandangan yang bikin hati Isti jadi adem.Namun, ada yang bilang kalau hal terlarang itu terasa manis dan menyenangkan. Isti tentu saja setuju dengan pernyataan itu karena saat ini sedang menikmati manisnya hal terlarang dalam wujud cowok cakep bernama Hadi.Seperti biasanya, dia berjalan lambat-lambat di sebelah kiri, sedangkan Hadi selalu berjalan di sebelah kanan. Tawa Isti tidak bisa ditahan, ketika melihat Hadi yang sibuk menyingkirkan daun kering, yang menempel di rambutnya. Cowok itu bahkan terlihat menggerutu, saat daun yang menempel semakin banyak. Salahkan saja angin nakal yang meniup dedaunan itu.Isti sendiri juga repot dengan rambutnya yang berantakan, gara-gara angin usil. Beginilah keadaan kalau menjelang musim tembakau. Musim panas
"Gawat nih, gawat!" keluh Isti, saat melihat salah satu perawat bermotor melewatinya, dengan kecepatan di atas rata-rata.Pagi ini Isti berangkat lebih siang, dikira masih pagi ternyata sudah jam enam lebih lima puluh. Ini semua gara-gara jam dinding sialan, yang tidak menunjukkan waktu dengan semestinya.Cewek itu pun berlari-lari menuju tempat absen. Rasanya seperti sedang lomba marathon saja, karena ada beberapa karyawan lain yang berusaha menyalip.Beruntung, walau waktu menunjukkan pukul 06.57, tidak ada masalah ketika scan jari. Biasanya susah absen, gara-gara jari keriput kedinginan.Dengan sisa tenaga, Isti mendorong pintu belakang, sambil berusaha bernapas dengan normal. Terlihat teman-teman sudah berkumpul di sekeliling meja kotak.
"Aku pulang," sapa Isti sesampainya di kos. Rasanya lega, setelah menyelesaikan tugas jaga yang menguras emosi."Mandi dulu aja, aku mau masak dulu," balas Esy yang sedang di dapur.Kesempatan yang diberikan Esy benar-benar dipakai Isti untuk menyegarkan diri, dengan mandi air hangat. Setelah selesai, cewek itu pun menuju dapur dan bergabung bersama Esy. Walaupun makan siangnya hanya sop dan tempe goreng, tapi sudah sangat disyukuri oleh Isti, yang sudah sangat kelaparan."Kamu nggak pulang, Is? Libur dua hari, kan?""Besok pagi-pagi saja. Hari ini aku capek gila. Rasanya ingin melambaikan tangan ke kamera saja. Nggak kuat," keluh Isti yang menjeda makannya, hanya demi mengembuskan napas panjang.Cewek itu lalu memutar
"Mas Hadi mana?" Sesok cewek ber-nurse cap biru laut tiba-tiba sudah berdiri di samping Isti."Baru dinas luar. Eh, tapi kamu masuk dari mana?" Isti serta merta menoleh ke sumber suara. Dia yakin tadi sudah mengunci pintu ruang istirahat, kenapa orang satu itu bisa masuk? Mana nada bertanya Sinta nyebelin banget.Sebuah kunci dipamerkan di depan muka Isti, tanpa lupa memasang wajah sok penting. Rasanya pengen gigit cewek satu itu, sayangnya itu pacar Bos. Meskipun benci, tapi Isti nggak mau cari masalah dengan atasannya."Sini kembalikan," pinta Isti yang menengadahkan tangan, menanti kesadaran Sinta."Kenapa kamu yang sewot kalau aku pegang kunci Mas Hadi. Dia yang ngasih, dia juga yang boleh minta." Dasar cewek keras kepala, bikin Isti makin emosi saja.
"Si Bos cuti, ya?" Isti melirik jam dinding yang tepat menunjukkan pukul 07.00. Tak biasanya Hadi terlambat. Kan, yang langganan datang mepet itu Isti."Katanya sih gitu. Nih, jadwalnya sudah diganti, sebelum beliau pulang kemarin." Lely terkikik melihat wajah Isti yang berubah cemberut, saat dia menyodorkan jadwal.Kemarin, Hadi memang sempat mampir sebentar, saat pulang dari dinas luar. Namun, cowok itu sama sekali tidak bilang kalau mau cuti lagi. Bisa-bisa, Isti tidak melihat jadwal seharian, hingga tidak menyadari perbuatan Hadi yang mengganti posisinya.Lagi-lagi Isti dengan pasrah melakukan ritual ganti shift. Nggak sekali dua kali kena jebakan batman ala si Bos, jadi sudah biasa banget."Kalian udah sarapan?" Isti heran melihat Bintang dan Lely, yang terlih
Hadi menyembunyikan tawa tertahan di balik layar komputer, saat melihat bibir manyun cewek yang sedang merajuk. Rasanya puas bisa melihat Isti menjadi marah."Pokoknya, besok-besok kalau mau cuti, tunjuk Vela aja buat jadi P1." Ini sudah kelima kalinya Isti protes."Enak saja, Elang aja yang jadi P1. Cocok tuh," bantah Vela yang melintas, setelah mengambil sampel di posnya Isti."Nah, betul tuh. Kalau mau cuti, Elang dibikin jadi dinas pagi. Abis itu ditempatkan di P1 deh," ucap Isti yang tersenyum ringan.Senyum yang otomatis menular pada Hadi. Sudah sejak lama dia memendam rasa pada Isti. Namun, rasanya seperti menginginkan buah terlarang. Sedari awal sudah ada peringatan agar tidak berkencan atau menikah dengan rekan seruangan, kalau tidak mau diusir. Ini persis seper
Matahari sudah tidak menampakkan sinarnya, tetapi dinding kamar yang sewarna matahari itu juga terlihat bersinar bagi Isti. Senandung lirih terdengar dari mulut mungil Isti. Tangannya bergerak membuka pintu lemari, kemudian kepala bergoyang mengikuti irama lagu. Menyusuri tumpukan pakaian yang sebagian besar terdiri dari jeans dan kaus, tapi akhirnya malah duduk bengong memandang lurus ke depan.Sayangnya dress feminim dan juga rok lebar koleksinya sudah dipindah tangan ke adik demi kepraktisan. Tinggal di daerah dingin dan berangin membuat Isti enggan memakai rok. Bayangkan saja bagaimana malunya, kalau rok itu tertiup angin hingga tersibak ketika sedang jalan-jalan.Terdengar ketukan tiga kali di pintu dan sebentuk kepala muncul kemudian tanpa dipersilahkan."Tumben nggak keluar buat nonton tv?"
"Sialan!" maki Hadi, ketika mendengar lagu yang dinyanyikan Rido. Rasanya seperti disindir secara langsung.Hadi pun melemparkan kunci motor menyusur ke atas meja kayu, hingga membentur dinding, dan terpantul kembali. Kunci itu berhenti bergerak, saat hampir menyentuh tangannya.Hadi pun meraih kunci, lalu meremas dengan kuat. Saat ini benaknya bercabang, haruskah dia memilih menjadi pengecut, dengan menerima saja keputusan sepihak ini atau masih harus berjuang?Kunci motor digenggamnya kuat-kuat, hingga rasanya membekas di telapak tangan. Kemudian dilambungkan dan ditangkap. Proses ini diulang sampai tiga kali, lalu cowok itu memutuskan untuk mengambil pilihan kedua, hingga berlari kembali ke garasi.Motor yang dikendarainya,dipacu dengan kecepatan gila-gila
“Tidak ada yang perlu dikasih ucapan selamat,” sambar Isti dengan cepat, karena takut membuat Hadi salah paham.“Kalau kamu masih belum siap menikah, kita bisa tunangan dulu,” balas Kevin dengan penuh semangat, karena salah paham dengan ucapan Isti.“Saya permisi dulu,” pamit Hadi dengan wajah yang mengeras.“Bos!” seru Isti, tapi dia tidak berani berbicara lebih.Namun, Hadi tidak menoleh walau pun mendengar panggilan itu dengan jelas. Dia tidak mau mendengar detail tentang hubungan kedua orang itu. Ini hanya akan membuatnya kembali mengalami sakit hati.Mata Kevin tertuju pada Hadi, hingga cowok itu keluar dari ruang rawat inap. Perlahan-lahan pandangannya beralih pada Isti ya
Suara nada dering mengejutkan mereka berdua. Keduanya pun berpandangan sebelum akhirnya Esy melambaikan gawai itu."Biar aku yang jawab."“Selamat malam, dok. Dengan Esy Gizi, ada yang bisa dibantu?”ucap Esy dengan nada resmi alami, seperti kalau sedang berdinas.Susah payah Isti menahan tawa, hingga harus menutup mulut menggunakan tangan. Namun, cewek itu tetap membuka lebar telinga agar bisa menyimak percakapan itu.“Selamat malam juga, Mbak Esy. Listiana nya ada? Saya mau bicara sebentar.”“Isti masih tidur, dok. Susah banget dibangunin. Dia kalau tidur sepeti kebo. Keluar dari rumah sakit pasti bakalan tambah ndut. Tiap hari kerjanya hanya makan tidur saja. Dokter mau saya bantu banguni
“Serius? Masa sih kamu benar-benar serius?” Alih-alih menjawab, Isti malah balik bertanya. Kevin hanya mengangguk sebagai jawaban. Pandangan matanya penuh harap saat menatap Isti. Isti menelan ludah dengan susah payah. Sejujurnya dia tidak menyangka akan mendengar pernyataan dari bibir Kevin, secepat ini. Selama ini dia sudah merasa cocok dengan Kevin, tapi hanya sebatas teman. “Kamu nggak harus jawab sekarang. Maaf, sudah bikin bingung.” Tangan Kevin bergerak untuk mengusap rambut lurus Isti. Cewek itu menunduk, bersiap-siap merasakan perut yang melilit atau jantung yang berdetak lebih cepat, tapi itu tidak terjadi. Reaksi seperti ini hanya muncul kalau dia dekat-dekat dengan Hadi. “Lho, ada dokter Kevin? Sudah dari tad
“Ha,ha, ha.” Tawa Sinta terdengar sumbang di telinga Isti.. “Nggak ada yang namanya iri dalam kamus Sinta. Yang ada tuh orang-orang iri dengan kecantikanku,” ucapnya jemawa. Kali ini gantian Isti yang tertawa dengan sinis. “Percaya diri itu memang penting, tapi kalau terlalu tinggi bisa sakit waktu terjatuh.” “Ngomong-ngomong, kamu baru dekat dengan Hadi? Jangan mau sama orang kere macam dia? Aku aja nggak mau, makanya kutinggalin.” Sinta memperhatikan kuku, kemudian menjentikkannya seolah ada kotoran. "Pak Hadi atau kalau nggak Mas Hadi. Nggak sopan banget manggil yang lebih tua dengan nama saja," protes Isti disela-sela ucapan Sinta. “Halah, biasa aja. Lagian orangnya nggak ada di sini. Btw, Orang kedua lumayan c
“Iya, iya yang sudah punya pacar.” Reno membuat tanda kutip di udara.“Memang udah punya. Itu kenyataannya. Jangan dikira aku luluh gara-gara roti bakar terus milih kamu. Aku cuma sayang aja buang-buang makanan.” Dagu Esy terangkat untuk menegaskan ucapannya.Reno mengangguk-angguk dengan mencibir. “Cakep sih pacarnya, tapi lebih cakep aku dari dia.”“Mas, kalau kamu datang ke sini cuma buat Esy, mending pulang aja deh. Aku mau istirahat, nggak mau lihat adegan bermesraan di sini,” usir Isti yang menaikkan selimut sampai menutupi leher.“Kalau gitu kita pulang saja. Kita lanjutkan bermesraannya di kosmu,” ajak Reno yang menarik tangan Esy.“Pulang sendiri saja.
“Nggak usah mengalihkan perhatian. Pertanyaan tadi cukup jelas. Kenapa kamu mendorong Pino menjauh saat aku diinfus?” desak Isti dengan menelengkan kepala, agar dapat mengintimidasi Hadi.“Nggak ada alasan khusus. Aku hanya melihat kamu dehidrasi jadi mau menolong mereka saja. Bukannya kamu juga tidak mau ditusuk berkali-kali? Mungkin dalam prosesnya, aku tidak sengaja mendorong Pino. Tapi, kamu pasti lebih paham alasannya,” jawab Hadi dengan tenang.Isti mengangguk-angguk, dia sangat paham dengan tindakan Hadi. Dalam kondisi pasien normal saja, Pino belum terlalu ahli untuk menginfus, apalagi dengan kondisi pasien dehidrasi berat. Anak baru itu memang masih perlu banyak pelatihan.Diam-diam Hadi bernapas lega karena Isti menerima alasannya mentah-mentah, tanpa meneruskan rasa curiganya. Dia
“Kenapa sih ribut-ribut? Nggak tahu ada orang baru sakit apa?” protes Isti yang masih mencoba membuka mata.Namun, akhirnya hanya bisa memincing karena kepalanya terasa berat, bagai dihantam dengan palu Thor. Ingin rasanya Isti melihat kekacauan yang terjadi, tapi apa daya, tubuhnya kembali terhempas ke ranjang saat hendak bangun.“Is!” seru Kevin yang melepaskan Hadi dengan tidak rela.Pandangan Kevin yang tadinya penuh amarah kini melembut. Bagaimana mungkin, dia tega melihat kondisi Isti yang bibirnya semerah strawberry. Kevin berjenggit saat punggung tangan terasa panas ketika bersentuhan dengan dahi cewek pucat itu.“Is, kita ke rumah sakit sekarang ya,” ucap Kevin dengan lembut.Tanga
"Hoam."Isti menguap lebar-lebar ketika sudah sampai di ruang laboratorium. Meski pun sudah mendapatkan doping roti bakar semalam, Isti tak merasakan doping itu dalam waktu yang lama.Pagi ini dia sudah meletakkan kepala di posisi yang sama seperti kemarin. Bos juga tidak tampak peduli dengan keadaannya sekarang.Cewek itu menegakkan tubuh dengan terpaksa, ketika mendapatkan sikutan di lengan. Dia tidak berani memprotes perbuatan itu karena Elang yang melakukannya.Cowok berwajah serius yang sedingin es, itu merupakan salah satu kelemahan Isti. Jelas-jelas hal bodoh kalau mau melawan si jenius Elang. Tatapannya saja sudah bikin nyali ciut.Semasa kuliah, cowok ini selalu bisa memimpin dalam segal
"Geser, Mbak." Namun, Isti tak mau melakukan permintaan salah satu juniornya. Cewek itu malah melipat tangan di atas meja, lalu menempelkan kepala di tengah-tengahnya. Kelopak matanya terasa berat seperti ditarik oleh sekawanan monyet. Ketika dia sudah siap berpetualang di alam mimpi, tiba-tiba Isti merasakan ditarik ke alam nyata oleh tepukan pada bahu. Sayangnya, cewek itu tetap tidak mau membuka mata. Tepukan itu berubah menjadi guncangan kuat. "Is, bangun!" "Kenapa sih, Mas Ran? Gangguin saja! " ucap Isti yang memicing. "Operan jaga dulu," ujarnya sambil berjalan memutari meja untuk duduk di seberang. Isti memutar kepala untuk mencari kebera