"Pas banget," gumam Isti saat membuka pintu kos dan menemukan pemandangan yang bikin hati Isti jadi adem.
Namun, ada yang bilang kalau hal terlarang itu terasa manis dan menyenangkan. Isti tentu saja setuju dengan pernyataan itu karena saat ini sedang menikmati manisnya hal terlarang dalam wujud cowok cakep bernama Hadi.
Seperti biasanya, dia berjalan lambat-lambat di sebelah kiri, sedangkan Hadi selalu berjalan di sebelah kanan. Tawa Isti tidak bisa ditahan, ketika melihat Hadi yang sibuk menyingkirkan daun kering, yang menempel di rambutnya. Cowok itu bahkan terlihat menggerutu, saat daun yang menempel semakin banyak. Salahkan saja angin nakal yang meniup dedaunan itu.
Isti sendiri juga repot dengan rambutnya yang berantakan, gara-gara angin usil. Beginilah keadaan kalau menjelang musim tembakau. Musim panas berangin dan bakal membuatmu menggigil kedinginan.
Setelah sukses menyingkirkan tamu tak diundang di rambutnya, kali ini Hadi berjalan sambil memasukkan kedua tangan ke saku. Tanpa sadar, Isti pun mengikuti gerakan Hadi.
Beruntungnya, tak ada yang menyadari kebiasaan Isti menguntit, karena jarang ada yang melalui jalan kecil dari tempat kosnya sampai rumah sakit. Hadi sendiri juga tidak mengetahui kebiasaan Isti itu. Ini karena kebiasaannya yang terlalu fokus pada jalan, tanpa mau melihat ke sekitar.
Namun, sebelum berbelok ke arah rumah sakit, Isti sengaja berhenti. Kemudian menghitung sampai dua puluh, sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Dia sengaja melakukan hal itu, agar memberi jarak dan menghilangkan kecurigaan.
"Selamat pagi," sapa Isti dengan ceria, saat mendorong pintu ruang laboratorium.
"Akhirnya Mbak Isti datang juga. Pulang yuk, pulang," balas Feny yang langsung semangat. Padahal waktu Isti masuk tadi, cewek itu sedang terkantuk-kantuk di kursi.
Pagi ini ada empat orang yang berdinas pagi. Hadi yang memang setiap hari berdinas pagi, karena posisinya sebagai kepala. Kemudian Isti, Vela, dan Ana.
Mereka berempat ditambah dengan Feny, sudah duduk mengelilingi meja kotak yang ada di tengah ruangan. Setelah doa pagi, mereka menuju posisi masing-masing, sementara Feny beranjak pulang.
Isti juga sudah siap di depan pintu masuk sambil mengecek perlengkapan perang yang terdiri dari spuit, tourniquet, aneka tabung, plester, dan juga alkohol swab.
Debaran jantung Isti bertambah cepat, ketika aroma pinus terhidu. Pasti Hadi berada di dekatnya. Jadinya, Isti balik badan, hingga berdiri menghadap Hadi. Cewek yang memiliki tinggi standar itu mulai mengatur napas, agar jantungnya juga normal.
"Bos, kapan aku pindah posisi? Bulan ini kebanyakan ada di posisi sampling lho. Bulan kemarin juga." Isti sudah mulai melancarkan serangan protes.
Hadi tidak mengalihkan pandangan dari layar komputer. "Tahun depan."
"Yang benar saja, Bos? Becandanya nggak lucu. Masa iya, aku tugas setahun di sini. Nanti kalau pasien ramai terus gimana?"
"Iya, tuh. Kalau Isti di depan selalu ramai pasiennya." Vela ikut nimbrung karena kebetulan belum ada pekerjaan di bagiannya.
"Makanya kalau kerja, nggak usah pasang spanduk pemberitahuan kalau kamu dinas. Pasien kan jadi berbondong-bondong datang." Ana mendekat dan ikut menimpali.
"Memangnya aku artis? Pakai pasang spanduk terus pada datang," ujar Isti dengan bibir yang dikerucutkan.
Namun, tindakan itu memancing tawa Vela dan Ana, membuat Isti semakin sebal. Seperti biasa, wajah Hadi tetap datar. Entah karena cowok itu tidak mempunyai selera humor atau memang tidak memperhatikan.
"Ya, udah besok ganti posisi," ujarnya dengan nada yang tanpa emosi.
"Jangan hoax lah, Bos. Jadwalku masih ada di posisi sampling kok." Dahi Isti berkerut, ketika mengingat jadwal kerja.
"Besok juga berubah kok," balas Hadi dengan kalem. Namun, senyum tipisnya membuat Isti jadi curiga.
"Jadi di mana, Bos?" tanya Isti penasaran. Sesungguhnya dia sudah merasa jenuh, sudah tiga bulan berada diposisi yang sama.
"Kejutan. Besok pagi tinggal cek jadwal saja." Hadi memandang ke arah belakang Isti.
"Mbak, ada pasien." Perkataan Hadi membuat Isti langsung balik badan, lalu mulai memasang senyum terbaik.
"Selamat pagi, Bu. Silakan duduk," ujarnya sambil menunjukkan sofa sewarna kayu, yang berfungsi sebagai tempat untuk mengambil sampel.
Dia menerima formulir pemeriksaan dari pasien. Belum juga sempat membuka mulut untuk mencocokkan identitas, eh sudah ada orang lain yang menyerahkan formulir.
"Mbak, saya juga mau periksa lab."
"Saya juga."
"Ibu saya juga mau periksa, Mbak. Ini formulirnya."
"Anak saya juga, Mbak."
"Oh, iya. Silakan menunggu di depan nanti dipanggil sesuai antrian." Isti tersenyum ramah, sambil menunjukkan ruang tunggu pada orang-orang itu. Ternyata itu tindakan itu membuat pasien lain mengerumuninya, tentu saja untuk menyerahkan formulir.
Mata Ana terbelalak, saat melihat Isti masuk dengan membawa setumpuk formulir pemeriksaan. Vela pun tersenyum miris, sebelum mengepalkan kedua tangan, lalu mengangkat keduanya hingga setinggi kepala. "Semangat! Semangat!"
Cewek yang umurnya sama dengan Isti itu, langsung berlari ke belakang. Sedangkan Ana langsung mengambil alih formulir dari tangan Isti. "Aku bantuin transaksi saja ya. Ini dari atas kan?"
Baru juga Isti balik badan, sudah terlihat ada formulir di dekat jendela.
"Semangat, Is. Kamu pasti bisa!" ucap Isti pada dirinya sendiri. Dia pun menyerahkan formulir itu pada Ana, untuk diproses administrasinya.
Sudah empat jam berlalu, sudah tidak ada formulir yang tersisa. Ini waktunya istirahat. Isti pun masuk ke dalam ruangan Hadi dan mendaratkan pantat di sofa dekat singgasana bos.
"Mbak, ada pasien," panggil Hadi karena melihat orang yang berdiri di depan pintu.
"Bos, istirahat dulu ya. Capek banget nih," pinta Isti dengan wajah lesu.
Hadi pun melirik cewek yang sedang mengurut kaki. "Ya, sudah. Minum saja dulu."
Berhubung tidak tega melihat Isti, Hadi bangkit dan keluar untuk menyambut pasien. Sepeninggal cowok itu, Isti juga bangun untuk minum. Kemudian menuju meja administrasi untuk membantu Hadi memproses hasil pemeriksaan.
"Selamat pagi, Bu. Kok sudah lama nggak periksa?" ujar Hadi dengan keramahan tingkat tinggi.
"Saya baru pertama kali periksa di sini."
Jawaban pasien itu membuat Isti tergelak, tapi masih terus melanjutkan pekerjaan.
"Wah, ternyata kita tetangga ya. Rumahnya Ibu di Wonosobo, dekat dengan rumah saya." Hadi kembali melanjutkan basa-basi, setelah membaca formulir pengantar.
"O, iya? Rumahnya Mase di mana?" Antusias yang besar terdengar dari suara Ibu itu.
"Ambarawa."
"Dekat dari mana, Mas? Wonosobo Ambarawa itu jauh pakai banget lho, Mas," protes Ibu itu dengan nada yang pedas, karena merasa dibohongi.
"Dekat, Bu. Kalau dilihat dari peta," jawab Hadi, lagi-lagi dengan sikap kalem.
Ana dan Isti yang mendengar percakapan itu, dengan kompak memutar mata. Basa-basi si Bos memang sangat basi. Seharusnya beliau melatih kembali kemampuan berkomunikasinya.
Ketika Hadi masuk ke dalam untuk mengambil perlengkapan, Isti memanfaatkannya untuk protes.
"Bos, basa-basinya jayus banget. Apa nggak ada kalimat lainnya?" Seperti biasa, Hadi hanya tersenyum kecil, saat menanggapi protes itu.
Tak berapa lama terdengar dering telepon. Isti pun bangkit dari kursi, karena telepon portable itu ada di bagian tengah ruang pemeriksaan.
"Selamat pagi, laborat dengan Isti. Ada yang bisa dibantu?"
"Mas Hadi ada?" ucap orang di seberang, tanpa membalas sapaan Isti.
"Baru ambil darah," jawab Isti dengan setengah hati. Dia bisa menebak kalau Sinta yang menelepon.
"Tolong sampaikan kalau Sinta telepon, suruh buka wa-nya!" perintah cewek itu dengan judes.
"Jangan sampai nggak disampaikan," ancam Sinta, ketika Isti tidak juga menjawab.
Isti memutar bola mata, begini nih kalau junior pacaran dengan senior. Ngelunjak jadinya. Isti menimang telepon yang sudah ditutup, enaknya disampaikan atau tidak?
"Gawat nih, gawat!" keluh Isti, saat melihat salah satu perawat bermotor melewatinya, dengan kecepatan di atas rata-rata.Pagi ini Isti berangkat lebih siang, dikira masih pagi ternyata sudah jam enam lebih lima puluh. Ini semua gara-gara jam dinding sialan, yang tidak menunjukkan waktu dengan semestinya.Cewek itu pun berlari-lari menuju tempat absen. Rasanya seperti sedang lomba marathon saja, karena ada beberapa karyawan lain yang berusaha menyalip.Beruntung, walau waktu menunjukkan pukul 06.57, tidak ada masalah ketika scan jari. Biasanya susah absen, gara-gara jari keriput kedinginan.Dengan sisa tenaga, Isti mendorong pintu belakang, sambil berusaha bernapas dengan normal. Terlihat teman-teman sudah berkumpul di sekeliling meja kotak.
"Aku pulang," sapa Isti sesampainya di kos. Rasanya lega, setelah menyelesaikan tugas jaga yang menguras emosi."Mandi dulu aja, aku mau masak dulu," balas Esy yang sedang di dapur.Kesempatan yang diberikan Esy benar-benar dipakai Isti untuk menyegarkan diri, dengan mandi air hangat. Setelah selesai, cewek itu pun menuju dapur dan bergabung bersama Esy. Walaupun makan siangnya hanya sop dan tempe goreng, tapi sudah sangat disyukuri oleh Isti, yang sudah sangat kelaparan."Kamu nggak pulang, Is? Libur dua hari, kan?""Besok pagi-pagi saja. Hari ini aku capek gila. Rasanya ingin melambaikan tangan ke kamera saja. Nggak kuat," keluh Isti yang menjeda makannya, hanya demi mengembuskan napas panjang.Cewek itu lalu memutar
"Mas Hadi mana?" Sesok cewek ber-nurse cap biru laut tiba-tiba sudah berdiri di samping Isti."Baru dinas luar. Eh, tapi kamu masuk dari mana?" Isti serta merta menoleh ke sumber suara. Dia yakin tadi sudah mengunci pintu ruang istirahat, kenapa orang satu itu bisa masuk? Mana nada bertanya Sinta nyebelin banget.Sebuah kunci dipamerkan di depan muka Isti, tanpa lupa memasang wajah sok penting. Rasanya pengen gigit cewek satu itu, sayangnya itu pacar Bos. Meskipun benci, tapi Isti nggak mau cari masalah dengan atasannya."Sini kembalikan," pinta Isti yang menengadahkan tangan, menanti kesadaran Sinta."Kenapa kamu yang sewot kalau aku pegang kunci Mas Hadi. Dia yang ngasih, dia juga yang boleh minta." Dasar cewek keras kepala, bikin Isti makin emosi saja.
"Si Bos cuti, ya?" Isti melirik jam dinding yang tepat menunjukkan pukul 07.00. Tak biasanya Hadi terlambat. Kan, yang langganan datang mepet itu Isti."Katanya sih gitu. Nih, jadwalnya sudah diganti, sebelum beliau pulang kemarin." Lely terkikik melihat wajah Isti yang berubah cemberut, saat dia menyodorkan jadwal.Kemarin, Hadi memang sempat mampir sebentar, saat pulang dari dinas luar. Namun, cowok itu sama sekali tidak bilang kalau mau cuti lagi. Bisa-bisa, Isti tidak melihat jadwal seharian, hingga tidak menyadari perbuatan Hadi yang mengganti posisinya.Lagi-lagi Isti dengan pasrah melakukan ritual ganti shift. Nggak sekali dua kali kena jebakan batman ala si Bos, jadi sudah biasa banget."Kalian udah sarapan?" Isti heran melihat Bintang dan Lely, yang terlih
Hadi menyembunyikan tawa tertahan di balik layar komputer, saat melihat bibir manyun cewek yang sedang merajuk. Rasanya puas bisa melihat Isti menjadi marah."Pokoknya, besok-besok kalau mau cuti, tunjuk Vela aja buat jadi P1." Ini sudah kelima kalinya Isti protes."Enak saja, Elang aja yang jadi P1. Cocok tuh," bantah Vela yang melintas, setelah mengambil sampel di posnya Isti."Nah, betul tuh. Kalau mau cuti, Elang dibikin jadi dinas pagi. Abis itu ditempatkan di P1 deh," ucap Isti yang tersenyum ringan.Senyum yang otomatis menular pada Hadi. Sudah sejak lama dia memendam rasa pada Isti. Namun, rasanya seperti menginginkan buah terlarang. Sedari awal sudah ada peringatan agar tidak berkencan atau menikah dengan rekan seruangan, kalau tidak mau diusir. Ini persis seper
Matahari sudah tidak menampakkan sinarnya, tetapi dinding kamar yang sewarna matahari itu juga terlihat bersinar bagi Isti. Senandung lirih terdengar dari mulut mungil Isti. Tangannya bergerak membuka pintu lemari, kemudian kepala bergoyang mengikuti irama lagu. Menyusuri tumpukan pakaian yang sebagian besar terdiri dari jeans dan kaus, tapi akhirnya malah duduk bengong memandang lurus ke depan.Sayangnya dress feminim dan juga rok lebar koleksinya sudah dipindah tangan ke adik demi kepraktisan. Tinggal di daerah dingin dan berangin membuat Isti enggan memakai rok. Bayangkan saja bagaimana malunya, kalau rok itu tertiup angin hingga tersibak ketika sedang jalan-jalan.Terdengar ketukan tiga kali di pintu dan sebentuk kepala muncul kemudian tanpa dipersilahkan."Tumben nggak keluar buat nonton tv?"
"Sialan!" maki Hadi, ketika mendengar lagu yang dinyanyikan Rido. Rasanya seperti disindir secara langsung.Hadi pun melemparkan kunci motor menyusur ke atas meja kayu, hingga membentur dinding, dan terpantul kembali. Kunci itu berhenti bergerak, saat hampir menyentuh tangannya.Hadi pun meraih kunci, lalu meremas dengan kuat. Saat ini benaknya bercabang, haruskah dia memilih menjadi pengecut, dengan menerima saja keputusan sepihak ini atau masih harus berjuang?Kunci motor digenggamnya kuat-kuat, hingga rasanya membekas di telapak tangan. Kemudian dilambungkan dan ditangkap. Proses ini diulang sampai tiga kali, lalu cowok itu memutuskan untuk mengambil pilihan kedua, hingga berlari kembali ke garasi.Motor yang dikendarainya,dipacu dengan kecepatan gila-gila
"Si bos cuti berapa hari sih, Mbak?" Lily menarik kursi yang berada tepat di seberang Isti.Mata Isti tertuju pada keadaan sekeliling laboratorium. Dia menunggu satu-satunya orang yang belum bergabung dengan mereka. Namun, Elang yang berdinas malam, masih sibuk dengan pekerjaannya."Hanya satu. Hari ini beliau dinas luar." Posisi duduk Isti yang tadinya tegak, sekarang jadi membungkuk agar dapat membaca buku operan dinas.Sebenarnya, Hadi kemarin memang berniat cuti, tapi tiba-tiba mendapatkan tugas luar kota. Isti jadi kasihan, karena cowok itu jadi tidak ada waktu untuk menyendiri.“Lang, kamu nggak mau pulang? Kalau gitu, nggak usah pakai operan jaga aja ya?” pancing Isti yang membuat Elang menoleh.&ldqu
“Tidak ada yang perlu dikasih ucapan selamat,” sambar Isti dengan cepat, karena takut membuat Hadi salah paham.“Kalau kamu masih belum siap menikah, kita bisa tunangan dulu,” balas Kevin dengan penuh semangat, karena salah paham dengan ucapan Isti.“Saya permisi dulu,” pamit Hadi dengan wajah yang mengeras.“Bos!” seru Isti, tapi dia tidak berani berbicara lebih.Namun, Hadi tidak menoleh walau pun mendengar panggilan itu dengan jelas. Dia tidak mau mendengar detail tentang hubungan kedua orang itu. Ini hanya akan membuatnya kembali mengalami sakit hati.Mata Kevin tertuju pada Hadi, hingga cowok itu keluar dari ruang rawat inap. Perlahan-lahan pandangannya beralih pada Isti ya
Suara nada dering mengejutkan mereka berdua. Keduanya pun berpandangan sebelum akhirnya Esy melambaikan gawai itu."Biar aku yang jawab."“Selamat malam, dok. Dengan Esy Gizi, ada yang bisa dibantu?”ucap Esy dengan nada resmi alami, seperti kalau sedang berdinas.Susah payah Isti menahan tawa, hingga harus menutup mulut menggunakan tangan. Namun, cewek itu tetap membuka lebar telinga agar bisa menyimak percakapan itu.“Selamat malam juga, Mbak Esy. Listiana nya ada? Saya mau bicara sebentar.”“Isti masih tidur, dok. Susah banget dibangunin. Dia kalau tidur sepeti kebo. Keluar dari rumah sakit pasti bakalan tambah ndut. Tiap hari kerjanya hanya makan tidur saja. Dokter mau saya bantu banguni
“Serius? Masa sih kamu benar-benar serius?” Alih-alih menjawab, Isti malah balik bertanya. Kevin hanya mengangguk sebagai jawaban. Pandangan matanya penuh harap saat menatap Isti. Isti menelan ludah dengan susah payah. Sejujurnya dia tidak menyangka akan mendengar pernyataan dari bibir Kevin, secepat ini. Selama ini dia sudah merasa cocok dengan Kevin, tapi hanya sebatas teman. “Kamu nggak harus jawab sekarang. Maaf, sudah bikin bingung.” Tangan Kevin bergerak untuk mengusap rambut lurus Isti. Cewek itu menunduk, bersiap-siap merasakan perut yang melilit atau jantung yang berdetak lebih cepat, tapi itu tidak terjadi. Reaksi seperti ini hanya muncul kalau dia dekat-dekat dengan Hadi. “Lho, ada dokter Kevin? Sudah dari tad
“Ha,ha, ha.” Tawa Sinta terdengar sumbang di telinga Isti.. “Nggak ada yang namanya iri dalam kamus Sinta. Yang ada tuh orang-orang iri dengan kecantikanku,” ucapnya jemawa. Kali ini gantian Isti yang tertawa dengan sinis. “Percaya diri itu memang penting, tapi kalau terlalu tinggi bisa sakit waktu terjatuh.” “Ngomong-ngomong, kamu baru dekat dengan Hadi? Jangan mau sama orang kere macam dia? Aku aja nggak mau, makanya kutinggalin.” Sinta memperhatikan kuku, kemudian menjentikkannya seolah ada kotoran. "Pak Hadi atau kalau nggak Mas Hadi. Nggak sopan banget manggil yang lebih tua dengan nama saja," protes Isti disela-sela ucapan Sinta. “Halah, biasa aja. Lagian orangnya nggak ada di sini. Btw, Orang kedua lumayan c
“Iya, iya yang sudah punya pacar.” Reno membuat tanda kutip di udara.“Memang udah punya. Itu kenyataannya. Jangan dikira aku luluh gara-gara roti bakar terus milih kamu. Aku cuma sayang aja buang-buang makanan.” Dagu Esy terangkat untuk menegaskan ucapannya.Reno mengangguk-angguk dengan mencibir. “Cakep sih pacarnya, tapi lebih cakep aku dari dia.”“Mas, kalau kamu datang ke sini cuma buat Esy, mending pulang aja deh. Aku mau istirahat, nggak mau lihat adegan bermesraan di sini,” usir Isti yang menaikkan selimut sampai menutupi leher.“Kalau gitu kita pulang saja. Kita lanjutkan bermesraannya di kosmu,” ajak Reno yang menarik tangan Esy.“Pulang sendiri saja.
“Nggak usah mengalihkan perhatian. Pertanyaan tadi cukup jelas. Kenapa kamu mendorong Pino menjauh saat aku diinfus?” desak Isti dengan menelengkan kepala, agar dapat mengintimidasi Hadi.“Nggak ada alasan khusus. Aku hanya melihat kamu dehidrasi jadi mau menolong mereka saja. Bukannya kamu juga tidak mau ditusuk berkali-kali? Mungkin dalam prosesnya, aku tidak sengaja mendorong Pino. Tapi, kamu pasti lebih paham alasannya,” jawab Hadi dengan tenang.Isti mengangguk-angguk, dia sangat paham dengan tindakan Hadi. Dalam kondisi pasien normal saja, Pino belum terlalu ahli untuk menginfus, apalagi dengan kondisi pasien dehidrasi berat. Anak baru itu memang masih perlu banyak pelatihan.Diam-diam Hadi bernapas lega karena Isti menerima alasannya mentah-mentah, tanpa meneruskan rasa curiganya. Dia
“Kenapa sih ribut-ribut? Nggak tahu ada orang baru sakit apa?” protes Isti yang masih mencoba membuka mata.Namun, akhirnya hanya bisa memincing karena kepalanya terasa berat, bagai dihantam dengan palu Thor. Ingin rasanya Isti melihat kekacauan yang terjadi, tapi apa daya, tubuhnya kembali terhempas ke ranjang saat hendak bangun.“Is!” seru Kevin yang melepaskan Hadi dengan tidak rela.Pandangan Kevin yang tadinya penuh amarah kini melembut. Bagaimana mungkin, dia tega melihat kondisi Isti yang bibirnya semerah strawberry. Kevin berjenggit saat punggung tangan terasa panas ketika bersentuhan dengan dahi cewek pucat itu.“Is, kita ke rumah sakit sekarang ya,” ucap Kevin dengan lembut.Tanga
"Hoam."Isti menguap lebar-lebar ketika sudah sampai di ruang laboratorium. Meski pun sudah mendapatkan doping roti bakar semalam, Isti tak merasakan doping itu dalam waktu yang lama.Pagi ini dia sudah meletakkan kepala di posisi yang sama seperti kemarin. Bos juga tidak tampak peduli dengan keadaannya sekarang.Cewek itu menegakkan tubuh dengan terpaksa, ketika mendapatkan sikutan di lengan. Dia tidak berani memprotes perbuatan itu karena Elang yang melakukannya.Cowok berwajah serius yang sedingin es, itu merupakan salah satu kelemahan Isti. Jelas-jelas hal bodoh kalau mau melawan si jenius Elang. Tatapannya saja sudah bikin nyali ciut.Semasa kuliah, cowok ini selalu bisa memimpin dalam segal
"Geser, Mbak." Namun, Isti tak mau melakukan permintaan salah satu juniornya. Cewek itu malah melipat tangan di atas meja, lalu menempelkan kepala di tengah-tengahnya. Kelopak matanya terasa berat seperti ditarik oleh sekawanan monyet. Ketika dia sudah siap berpetualang di alam mimpi, tiba-tiba Isti merasakan ditarik ke alam nyata oleh tepukan pada bahu. Sayangnya, cewek itu tetap tidak mau membuka mata. Tepukan itu berubah menjadi guncangan kuat. "Is, bangun!" "Kenapa sih, Mas Ran? Gangguin saja! " ucap Isti yang memicing. "Operan jaga dulu," ujarnya sambil berjalan memutari meja untuk duduk di seberang. Isti memutar kepala untuk mencari kebera