"Gawat nih, gawat!" keluh Isti, saat melihat salah satu perawat bermotor melewatinya, dengan kecepatan di atas rata-rata.
Pagi ini Isti berangkat lebih siang, dikira masih pagi ternyata sudah jam enam lebih lima puluh. Ini semua gara-gara jam dinding sialan, yang tidak menunjukkan waktu dengan semestinya.
Cewek itu pun berlari-lari menuju tempat absen. Rasanya seperti sedang lomba marathon saja, karena ada beberapa karyawan lain yang berusaha menyalip.
Beruntung, walau waktu menunjukkan pukul 06.57, tidak ada masalah ketika scan jari. Biasanya susah absen, gara-gara jari keriput kedinginan.
Dengan sisa tenaga, Isti mendorong pintu belakang, sambil berusaha bernapas dengan normal. Terlihat teman-teman sudah berkumpul di sekeliling meja kotak.
"Selamat pagi, Bu Pi," sapa Diana dengan senyum sejuta watt.
Isti mengerjab, berusaha mencerna salam itu. "Jangan bilang kalau…"
Dia tidak melanjutkan perkataan itu, karena tangan sudah bergerak cepat menarik map bening tempat jadwal dipasang. "Ah! Si Bos cuti ya? Ini kenapa aku yang jadi P1?"
Rupanya salam tadi memang ditujukan padanya. Bos benar-benar menepati janji untuk mengganti posisinya hari ini. Namun, itu tidak membuat Isti senang, karena dia ditempatkan di posisi Bos.
Panggilan Pi merupakan plesetan untuk posisi P1. Jadi bila Bos cuti, beliau akan menunjuk seseorang untuk menggantikan posisinya di P1. Semua kewajiban Bos akan dilimpahkan pada penggantinya.
Itu berarti Isti akan menjadi Bos, dalam tanda kutip untuk shift pagi ini. Dia pun mendaratkan pantat di kursi plastik, yang sudah disiapkan oleh Vela, dengan muka yang semakin lesu.
Isti memandang Vela, Ana, dan Diana, kemudian menghembuskan napas keras-keras. Berikutnya dia mengikuti gerakan melipat tangan, seperti yang sudah dilakukan oleh yang lainnya.
"Mari kita berdoa." Isti memejam dan menunduk, untuk memimpin doa pagi itu.
Setelah kata Amin terucap dari bibir mungil Isti, Diana langsung melaporkan pekerjaan yang belum selesai pada mereka.
"Kontrol Protein masih belum masuk ya, Bu Pi," ujarnya ketika hendak keluar dari Laboratorium.
"Sudah ganti reagen?" tanya Isti berusaha memendam amarah, karena merasa dijebak oleh si Bos. Namun, tugas harus dilaksanakan sebaik mungkin meskipun dengan berat hati.
"Belum." Jawaban dari Diana membuat Isti langsung menuju ke alat kimia setelah memakai perlengkapan pelindung diri.
Isti mengangkat botol tempat reagen protein, lalu menyerahkan pada Ana, yang bertugas di bagian pemeriksaan kimia klinik. "Reagen tinggal sedikit, tolong diganti."
Ana mengangguk lalu membawa botol itu ke ruang persiapan sampel. Terdengar dering telepon, tapi langsung berhenti karena diangkat oleh Vela, yang kebetulan hendak mengembalikan telepon itu ke tempatnya semula.
"Oke," jawab Vela singkat.
Tanpa mendengarkan percakapan juga, Isti sudah tahu apa maksudnya. Dia pun berjalan menuju lemari penyimpanan alat siap pakai, mengambil salah satu box yang sewarna ceri, mengecek isinya, lalu mengancingnya lagi dengan rapat.
"Di mana?" tanyanya kemudian setelah perlengkapan siap.
"IGD, ada satu pasien." Jawaban yang singkat, tapi sangat dimengerti.
Isti mengayunkan kaki jenjangnya keluar dari Laboratorium untuk menuju ke IGD. Beginilah kalau harus menggantikan si Bos. Sibuk dari pagi untuk memastikan pelayanan laboratorium berjalan dengan baik.
Setelah menyelesaikan tugas mengambil darah, Isti menyerahkan sampel dan formulir pemeriksaan kepada Vela. Cewek itu kemudian Isti duduk manis di singgasana Bos. Pikiran sepenuhnya tertuju pada angka-angka hasil Laboratorium, yang harus diprint dan ditanda tangani.
Pekerjaannya terjeda, saat pintu depan terbuka, menampakkan seraut wajah yang tersenyum samar. Bibir Isti langsung mengerucut, ketika manyadari siapa yang datang.
"Bos, kenapa sih cuti hari ini?" tanya Isti mendahului Hadi yang sudah membuka mulut.
"Siapa bilang cuti? Hari ini aku mau dinas luar. Ada pertemuan kepala Laboratorium seyayasan di Salatiga." Hadi bersandar di pintu, kedua tangan berada di saku celana.
Mata Isti menyipit, curiga. "Kok nggak bilang dari kemarin sih, Bos?"
"Memangnya kalau aku bilang dari kemarin mau apa?" tantangnya.
Namun, tidak semudah itu membuat Isti menyerah. "Ya, kan aku bisa menyarankan Ana atau Vela yang menjadi P1."
"Enak saja. Aku nggak mau. Keputusan Bos kali ini sangat bijaksana dan tepat sekali," sambar Vela, sambil memamerkan dua jempol di depan Hadi. Cowok itu pun tersenyum lebar, yang menunjukkan kebanggaan karena sudah berbuat benar.
"Aku juga setuju kalau Isti yang jadi P1." Ana ikut angkat bicara.
Isti menutup muka dengan kedua tangan. Berhitung satu sampai sepuluh lalu membukanya. "Menurutku itu bukan keputusan yang menyenangkan. Bilang saja kalau kalian juga tidak mau jadi Pi!"
"Nah, itu sudah tahu. Isti pinter banget sih, anak buahnya siapa sih?" goda Vela yang tergelak.
"Sudah, sudah. Sebaiknya kalian mulai kerja lagi," pinta Hadi pada mereka bertiga. Tentu saja perintah itu disambut baik oleh Vela dan Ana, yang langsung kembali ke pos masing-masing, sebelum amarah Isti meledak.
"Mbak, tahu kunci lokerku nggak? Hari ini harus bawa laptop padahal ada di loker. Tolong carikan ya," pinta Hadi tanpa beranjak dari tempat.
"Emang aku istri Bos apa? Sampai tahu penyimpanan kunci loker," gerutu Isti, yang kembali mengalihkan perhatian ke komputer.
"Mbak," ucap Hadi dengan lembut. Cowok itu bahkan berjalan mendekati meja komputer.
Dadanya terasa sesak, hingga Isti memejamkan mata. Bahunya bergerak naik turun dengan lambat, untuk meredakan debar jantungnya. Setelah bisa menguasai diri, dia membuka mata, lalu menarik laci yang terdapat di meja komputer. Kemudian mengeluarkan kardus kecil, yang berisi kunci-kunci.
"Kunci depan, kunci gudang, kunci kamar mandi, kunci belakang, kunci lemari." Isti mulai memilah-milah.
"Nah, itu." Hadi menunjuk kunci, yang memiliki gantungan bertuliskan nama band kesukaannya.
Tangan Hadi menyambar kunci yang ada di genggaman Isti. Tanpa menyadari wajah cewek itu bersemu merah, gara-gara sentuhan ringan itu.
Terdengar dering telepon,
Cewek itu mengangkat telepon, sehingga tidak mendengar jelas ucapan terima kasih dari Hadi, atau memang tidak ada ucapan terima kasih? Isti tidak ambil pusing, yang terpenting adalah pekerjaan diselesaikan dengan baik.
"Bos, sudah ditunggu sama supir di depan lobi. Sekarang ya, Bos!" Isti menekankan tiap kata, agar Hadi menyadari betapa dirinya sudah ditunggu-tunggu oleh yang lain.
"Bos!" teriak Isti ketika tidak mendengar jawaban.
"Iya, iya. Ini sudah mau keluar. Kalau ditelepon lagi bilang saja sudah jalan." Hadi melambai pada ketiga anak buah.
Sepeninggal Hadi, Isti disibukkan oleh banyak pekerjaan. Seperti yang terjadi sekarang ini.
"Pak Hadi sedang dinas luar," ujar Isti dengan keramahan maksimal ketika melihat sales kelima masuk ke dalam ruangan kantor.
"Mau menawarkan alat nih, Mbak." Rupanya sales yang ini susah diusir. Keempat sales lain langsung undur diri dan mengatakan akan datang lain kali.
"Saya minta list produk saja. Besok saya serahkan ke Pak Hadi."
Sales itu membuka tas dan mengeluarkan map kertas yang depannya ada gambar berbagai alat Laboratorium.
"Bantu omong sama Pak Bos biar beliau mau beli ya, Mbak," bujuk Sales itu.
"Keputusan ada di tangan Bos, bukan saya." Isti menerima map itu lalu memasukkan ke laci.
"Alat ini sudah dipakai di banyak rumah sakit. Saya bisa menunjukkan daftarnya, bahkan kontak person penanggung jawab tiap rumah sakit." Sales itu masih belum mau menyerah.
"Besok dibicarakan saja dengan Pak Hadi, kalau beliau sudah kembali masuk kerja." Isti menjawab dengan tegas, berharap agar sales itu mau mengerti.
"Kalau begitu saya permisi dulu." Akhirnya pamit juga, Isti bernapas lega.
"Bu Pi, poliklinik menanyakan hasil rujukan tapi hasilnya belum ada." Ana menyerahkan secarik kertas, bertuliskan identitas pasien pada Isti.
Cewek itu membaca nomor rekam medis pasien, lalu mulai mencari hasil di komputer. Ternyata memang belum ada hasilnya. Dia lalu menghubungi Laboratorium rujukan, untuk menanyakan hasil.
Ana bergidik ngeri, melihat perubahan raut wajah Isti yang semakin lama semakin kelam. Dia pun memilih untuk meninggalkan Isti, yang menghadapi laboratorium rujukan.
"Selamat siang, Pak. Saya dari laboratorium Rumah Sakit Kenanga. Saya mau menanyakan tentang hasil FT3, FT4, dan TSHs untuk pasien Tn. Parjo. Kami mengirimkan sampel tanggal 2."
Setelah mendengarkan penjelasan dari Laboratorium rujukan. Isti menghubungi dokter untuk memberi penjelasan alasan kenapa hasil belum keluar. Ternyata laboratorium rujukan sempat kehabisan reagen, hingga harus menunggu kiriman dari vendor.
Semakin siang kepala Isti semakin pusing, karena ada saja masalah yang harus dihadapi. Kalau seperti ini kejadiannya, Isti menyesal sudah minta ganti posisi. Harusnya dia tidak usah mengeluh kemarin.
"Bos, jangan cuti lama-lama dong?" keluh Isti, tanpa ada yang mendengarkan.
"Aku pulang," sapa Isti sesampainya di kos. Rasanya lega, setelah menyelesaikan tugas jaga yang menguras emosi."Mandi dulu aja, aku mau masak dulu," balas Esy yang sedang di dapur.Kesempatan yang diberikan Esy benar-benar dipakai Isti untuk menyegarkan diri, dengan mandi air hangat. Setelah selesai, cewek itu pun menuju dapur dan bergabung bersama Esy. Walaupun makan siangnya hanya sop dan tempe goreng, tapi sudah sangat disyukuri oleh Isti, yang sudah sangat kelaparan."Kamu nggak pulang, Is? Libur dua hari, kan?""Besok pagi-pagi saja. Hari ini aku capek gila. Rasanya ingin melambaikan tangan ke kamera saja. Nggak kuat," keluh Isti yang menjeda makannya, hanya demi mengembuskan napas panjang.Cewek itu lalu memutar
"Mas Hadi mana?" Sesok cewek ber-nurse cap biru laut tiba-tiba sudah berdiri di samping Isti."Baru dinas luar. Eh, tapi kamu masuk dari mana?" Isti serta merta menoleh ke sumber suara. Dia yakin tadi sudah mengunci pintu ruang istirahat, kenapa orang satu itu bisa masuk? Mana nada bertanya Sinta nyebelin banget.Sebuah kunci dipamerkan di depan muka Isti, tanpa lupa memasang wajah sok penting. Rasanya pengen gigit cewek satu itu, sayangnya itu pacar Bos. Meskipun benci, tapi Isti nggak mau cari masalah dengan atasannya."Sini kembalikan," pinta Isti yang menengadahkan tangan, menanti kesadaran Sinta."Kenapa kamu yang sewot kalau aku pegang kunci Mas Hadi. Dia yang ngasih, dia juga yang boleh minta." Dasar cewek keras kepala, bikin Isti makin emosi saja.
"Si Bos cuti, ya?" Isti melirik jam dinding yang tepat menunjukkan pukul 07.00. Tak biasanya Hadi terlambat. Kan, yang langganan datang mepet itu Isti."Katanya sih gitu. Nih, jadwalnya sudah diganti, sebelum beliau pulang kemarin." Lely terkikik melihat wajah Isti yang berubah cemberut, saat dia menyodorkan jadwal.Kemarin, Hadi memang sempat mampir sebentar, saat pulang dari dinas luar. Namun, cowok itu sama sekali tidak bilang kalau mau cuti lagi. Bisa-bisa, Isti tidak melihat jadwal seharian, hingga tidak menyadari perbuatan Hadi yang mengganti posisinya.Lagi-lagi Isti dengan pasrah melakukan ritual ganti shift. Nggak sekali dua kali kena jebakan batman ala si Bos, jadi sudah biasa banget."Kalian udah sarapan?" Isti heran melihat Bintang dan Lely, yang terlih
Hadi menyembunyikan tawa tertahan di balik layar komputer, saat melihat bibir manyun cewek yang sedang merajuk. Rasanya puas bisa melihat Isti menjadi marah."Pokoknya, besok-besok kalau mau cuti, tunjuk Vela aja buat jadi P1." Ini sudah kelima kalinya Isti protes."Enak saja, Elang aja yang jadi P1. Cocok tuh," bantah Vela yang melintas, setelah mengambil sampel di posnya Isti."Nah, betul tuh. Kalau mau cuti, Elang dibikin jadi dinas pagi. Abis itu ditempatkan di P1 deh," ucap Isti yang tersenyum ringan.Senyum yang otomatis menular pada Hadi. Sudah sejak lama dia memendam rasa pada Isti. Namun, rasanya seperti menginginkan buah terlarang. Sedari awal sudah ada peringatan agar tidak berkencan atau menikah dengan rekan seruangan, kalau tidak mau diusir. Ini persis seper
Matahari sudah tidak menampakkan sinarnya, tetapi dinding kamar yang sewarna matahari itu juga terlihat bersinar bagi Isti. Senandung lirih terdengar dari mulut mungil Isti. Tangannya bergerak membuka pintu lemari, kemudian kepala bergoyang mengikuti irama lagu. Menyusuri tumpukan pakaian yang sebagian besar terdiri dari jeans dan kaus, tapi akhirnya malah duduk bengong memandang lurus ke depan.Sayangnya dress feminim dan juga rok lebar koleksinya sudah dipindah tangan ke adik demi kepraktisan. Tinggal di daerah dingin dan berangin membuat Isti enggan memakai rok. Bayangkan saja bagaimana malunya, kalau rok itu tertiup angin hingga tersibak ketika sedang jalan-jalan.Terdengar ketukan tiga kali di pintu dan sebentuk kepala muncul kemudian tanpa dipersilahkan."Tumben nggak keluar buat nonton tv?"
"Sialan!" maki Hadi, ketika mendengar lagu yang dinyanyikan Rido. Rasanya seperti disindir secara langsung.Hadi pun melemparkan kunci motor menyusur ke atas meja kayu, hingga membentur dinding, dan terpantul kembali. Kunci itu berhenti bergerak, saat hampir menyentuh tangannya.Hadi pun meraih kunci, lalu meremas dengan kuat. Saat ini benaknya bercabang, haruskah dia memilih menjadi pengecut, dengan menerima saja keputusan sepihak ini atau masih harus berjuang?Kunci motor digenggamnya kuat-kuat, hingga rasanya membekas di telapak tangan. Kemudian dilambungkan dan ditangkap. Proses ini diulang sampai tiga kali, lalu cowok itu memutuskan untuk mengambil pilihan kedua, hingga berlari kembali ke garasi.Motor yang dikendarainya,dipacu dengan kecepatan gila-gila
"Si bos cuti berapa hari sih, Mbak?" Lily menarik kursi yang berada tepat di seberang Isti.Mata Isti tertuju pada keadaan sekeliling laboratorium. Dia menunggu satu-satunya orang yang belum bergabung dengan mereka. Namun, Elang yang berdinas malam, masih sibuk dengan pekerjaannya."Hanya satu. Hari ini beliau dinas luar." Posisi duduk Isti yang tadinya tegak, sekarang jadi membungkuk agar dapat membaca buku operan dinas.Sebenarnya, Hadi kemarin memang berniat cuti, tapi tiba-tiba mendapatkan tugas luar kota. Isti jadi kasihan, karena cowok itu jadi tidak ada waktu untuk menyendiri.“Lang, kamu nggak mau pulang? Kalau gitu, nggak usah pakai operan jaga aja ya?” pancing Isti yang membuat Elang menoleh.&ldqu
“Bos, bos, sebenarnya kenapa kok putus sama Mbak Sinta? Kirain bakalan serius kali ini.” Bukannya fokus dengan operan jaga, Bintang malah berusaha mengorek informasi dari Hadi.Apa dia tidak tahu kalau Hadi tidak dalam mood untuk membahas masalah ini. Namun, Hadi hanya tersenyum lebar, kemudian membuka buku operan dinas.“Apa ada yang lain, Lang?” Hadi mengalihkan perhatian pada Elang yang dinas malam.“Hari ini nggak ada operan. Semua pekerjaan sudah selesai, tinggal ngeluarin hasil aja.” Elang mengambil alih buku bersampul batik ungu, kemudian menuliskan laporan tentang kontrol setiap alat.Hadi menatap lembaran buku dengan pandangan kosong. Suara buku yang ditutup dengan keras menyadarkannya.
“Tidak ada yang perlu dikasih ucapan selamat,” sambar Isti dengan cepat, karena takut membuat Hadi salah paham.“Kalau kamu masih belum siap menikah, kita bisa tunangan dulu,” balas Kevin dengan penuh semangat, karena salah paham dengan ucapan Isti.“Saya permisi dulu,” pamit Hadi dengan wajah yang mengeras.“Bos!” seru Isti, tapi dia tidak berani berbicara lebih.Namun, Hadi tidak menoleh walau pun mendengar panggilan itu dengan jelas. Dia tidak mau mendengar detail tentang hubungan kedua orang itu. Ini hanya akan membuatnya kembali mengalami sakit hati.Mata Kevin tertuju pada Hadi, hingga cowok itu keluar dari ruang rawat inap. Perlahan-lahan pandangannya beralih pada Isti ya
Suara nada dering mengejutkan mereka berdua. Keduanya pun berpandangan sebelum akhirnya Esy melambaikan gawai itu."Biar aku yang jawab."“Selamat malam, dok. Dengan Esy Gizi, ada yang bisa dibantu?”ucap Esy dengan nada resmi alami, seperti kalau sedang berdinas.Susah payah Isti menahan tawa, hingga harus menutup mulut menggunakan tangan. Namun, cewek itu tetap membuka lebar telinga agar bisa menyimak percakapan itu.“Selamat malam juga, Mbak Esy. Listiana nya ada? Saya mau bicara sebentar.”“Isti masih tidur, dok. Susah banget dibangunin. Dia kalau tidur sepeti kebo. Keluar dari rumah sakit pasti bakalan tambah ndut. Tiap hari kerjanya hanya makan tidur saja. Dokter mau saya bantu banguni
“Serius? Masa sih kamu benar-benar serius?” Alih-alih menjawab, Isti malah balik bertanya. Kevin hanya mengangguk sebagai jawaban. Pandangan matanya penuh harap saat menatap Isti. Isti menelan ludah dengan susah payah. Sejujurnya dia tidak menyangka akan mendengar pernyataan dari bibir Kevin, secepat ini. Selama ini dia sudah merasa cocok dengan Kevin, tapi hanya sebatas teman. “Kamu nggak harus jawab sekarang. Maaf, sudah bikin bingung.” Tangan Kevin bergerak untuk mengusap rambut lurus Isti. Cewek itu menunduk, bersiap-siap merasakan perut yang melilit atau jantung yang berdetak lebih cepat, tapi itu tidak terjadi. Reaksi seperti ini hanya muncul kalau dia dekat-dekat dengan Hadi. “Lho, ada dokter Kevin? Sudah dari tad
“Ha,ha, ha.” Tawa Sinta terdengar sumbang di telinga Isti.. “Nggak ada yang namanya iri dalam kamus Sinta. Yang ada tuh orang-orang iri dengan kecantikanku,” ucapnya jemawa. Kali ini gantian Isti yang tertawa dengan sinis. “Percaya diri itu memang penting, tapi kalau terlalu tinggi bisa sakit waktu terjatuh.” “Ngomong-ngomong, kamu baru dekat dengan Hadi? Jangan mau sama orang kere macam dia? Aku aja nggak mau, makanya kutinggalin.” Sinta memperhatikan kuku, kemudian menjentikkannya seolah ada kotoran. "Pak Hadi atau kalau nggak Mas Hadi. Nggak sopan banget manggil yang lebih tua dengan nama saja," protes Isti disela-sela ucapan Sinta. “Halah, biasa aja. Lagian orangnya nggak ada di sini. Btw, Orang kedua lumayan c
“Iya, iya yang sudah punya pacar.” Reno membuat tanda kutip di udara.“Memang udah punya. Itu kenyataannya. Jangan dikira aku luluh gara-gara roti bakar terus milih kamu. Aku cuma sayang aja buang-buang makanan.” Dagu Esy terangkat untuk menegaskan ucapannya.Reno mengangguk-angguk dengan mencibir. “Cakep sih pacarnya, tapi lebih cakep aku dari dia.”“Mas, kalau kamu datang ke sini cuma buat Esy, mending pulang aja deh. Aku mau istirahat, nggak mau lihat adegan bermesraan di sini,” usir Isti yang menaikkan selimut sampai menutupi leher.“Kalau gitu kita pulang saja. Kita lanjutkan bermesraannya di kosmu,” ajak Reno yang menarik tangan Esy.“Pulang sendiri saja.
“Nggak usah mengalihkan perhatian. Pertanyaan tadi cukup jelas. Kenapa kamu mendorong Pino menjauh saat aku diinfus?” desak Isti dengan menelengkan kepala, agar dapat mengintimidasi Hadi.“Nggak ada alasan khusus. Aku hanya melihat kamu dehidrasi jadi mau menolong mereka saja. Bukannya kamu juga tidak mau ditusuk berkali-kali? Mungkin dalam prosesnya, aku tidak sengaja mendorong Pino. Tapi, kamu pasti lebih paham alasannya,” jawab Hadi dengan tenang.Isti mengangguk-angguk, dia sangat paham dengan tindakan Hadi. Dalam kondisi pasien normal saja, Pino belum terlalu ahli untuk menginfus, apalagi dengan kondisi pasien dehidrasi berat. Anak baru itu memang masih perlu banyak pelatihan.Diam-diam Hadi bernapas lega karena Isti menerima alasannya mentah-mentah, tanpa meneruskan rasa curiganya. Dia
“Kenapa sih ribut-ribut? Nggak tahu ada orang baru sakit apa?” protes Isti yang masih mencoba membuka mata.Namun, akhirnya hanya bisa memincing karena kepalanya terasa berat, bagai dihantam dengan palu Thor. Ingin rasanya Isti melihat kekacauan yang terjadi, tapi apa daya, tubuhnya kembali terhempas ke ranjang saat hendak bangun.“Is!” seru Kevin yang melepaskan Hadi dengan tidak rela.Pandangan Kevin yang tadinya penuh amarah kini melembut. Bagaimana mungkin, dia tega melihat kondisi Isti yang bibirnya semerah strawberry. Kevin berjenggit saat punggung tangan terasa panas ketika bersentuhan dengan dahi cewek pucat itu.“Is, kita ke rumah sakit sekarang ya,” ucap Kevin dengan lembut.Tanga
"Hoam."Isti menguap lebar-lebar ketika sudah sampai di ruang laboratorium. Meski pun sudah mendapatkan doping roti bakar semalam, Isti tak merasakan doping itu dalam waktu yang lama.Pagi ini dia sudah meletakkan kepala di posisi yang sama seperti kemarin. Bos juga tidak tampak peduli dengan keadaannya sekarang.Cewek itu menegakkan tubuh dengan terpaksa, ketika mendapatkan sikutan di lengan. Dia tidak berani memprotes perbuatan itu karena Elang yang melakukannya.Cowok berwajah serius yang sedingin es, itu merupakan salah satu kelemahan Isti. Jelas-jelas hal bodoh kalau mau melawan si jenius Elang. Tatapannya saja sudah bikin nyali ciut.Semasa kuliah, cowok ini selalu bisa memimpin dalam segal
"Geser, Mbak." Namun, Isti tak mau melakukan permintaan salah satu juniornya. Cewek itu malah melipat tangan di atas meja, lalu menempelkan kepala di tengah-tengahnya. Kelopak matanya terasa berat seperti ditarik oleh sekawanan monyet. Ketika dia sudah siap berpetualang di alam mimpi, tiba-tiba Isti merasakan ditarik ke alam nyata oleh tepukan pada bahu. Sayangnya, cewek itu tetap tidak mau membuka mata. Tepukan itu berubah menjadi guncangan kuat. "Is, bangun!" "Kenapa sih, Mas Ran? Gangguin saja! " ucap Isti yang memicing. "Operan jaga dulu," ujarnya sambil berjalan memutari meja untuk duduk di seberang. Isti memutar kepala untuk mencari kebera