Home / Lain / Bolehkah Aku Menangis / Surat Bertinta Darah

Share

Surat Bertinta Darah

Author: As Jaz
last update Last Updated: 2021-07-15 19:58:20

Bunyi Alarm ponsel membuat mataku terbuka. Kupandangi jam di layar gawai, tampak angka lima. Aku menatap langit-langit kamar disinari lampu di tengahnya. Penghilatanku sedikit bergerak, tidurku hanya beberapa jam akibat suara-suara semalam.

 

Sejenak aku bersandar di bahu ranjang. Mengusap wajah setengah menguap. Memaksa diri beranjak dari pembaringan untuk membasuh wajah, tangan beserta kaki. Lalu, melaksanakan ibadah.

 

Aku merapikan tempat tidur sebelum keluar menunggu Nona Muda memberi arahan.

 

Perasaanku sedikit tenang, tak ada suara tangisan atau barang jatuh dan berbenturan. 

 

"Aku baru saja ingin bangunkan kau," ujar Nona Muda menghampiri. Aku mengamati sekilah wajah dan matanya membengkak.

 

"Saya bangun jam 5, Kak ... Nona," sahutku terbata-bata. Sebenarnya aku ingin sekali bertanya, apakah ia baik-baik saja dengan mata bengkak seperti itu?

 

"Nona?" Matanya menatap tajam tersenyum tipis. "Panggil saja seperti biasa. Kakak. Aku lebih suka panggilan itu," tegasnya kemudian. 

 

Aku mengangguk pelan. Ia memberi isyarat agar aku mengikutinya. Nona Muda berjalan memasuki ruang belakang, tampak seperti dapur. Namun, tak terawat, banyak debu menebal. Kaca lemari tempat gelas dan piring cantik hampir tak dapat dilihat karena penuh noda.

 

Menarik napas lebih dalam, ini akan menjadi pekerjaan yang panjang. Nona muda mendekati sekumpulan alat pembersih di sudut ruang belakang. 

 

"Kau cuci sapu dan kayu pel ini, beserta kain-kain yang akan kau gunakan untuk bersihkan debu. Paham?" Ia memegangi alat pel dan mengamatinya. Mungkin, ia memastikan kayu pel itu masih layak digunakan.

 

Aku mengambil dan kain-kain berserakan itu. "Di mana aku mencucinya, Kak?"

 

Nona muda menunjuk ke sebelah kiri, tepat pada pintu yang kuyakini kamar mandi atau khusus tempat pencucian. Aku segera berjalan mendekati pintu.

 

Saat kubuka, lantai dan dindingnya berwarna coklat. Padahal, keramiknya berwarna putih dan biru. Sedikit jijik, beruntung ada sandal tersimpan di rak dekat pintu itu.

 

"Boleh, saya pakai sendal ini, Kak?" tanyaku meminta izin. 

 

"Tentu, gunakan saja, Dik!" Nona Muda menyeringai. "Kau jijik dengan toiletnya?" Pertanyaan Nona Muda membuatku menoleh, aku tersenyum dengan wajah ragu untuk menjawab.

 

Ia masuk melewatiku. Ia membuka penutup jalan keluarnya air di bak mandi. Kemudian memutar kran.

 

"Saya bersihkan dulu, Kak," ujarku menyusul masuk.

 

Ia mengangguk. "Tunggu di sini! Aku akan mencari cairan pembersih."

 

Aromanya tak seburuk yang terlihat. Mungkin toilet itu jarang dipakai orang dengan waktu lama. Hanya saja, debu terus bersemayam menebal ditambah udara lembab.

 

"Ini ...." Nona Muda mengulurkan sebotol cairan pembersih padaku. "Kau bersihkan dulu, aku akan menunggu di ruang tengah," imbuhnya berlalu dengan suara alas kaki menepuk lantai.

 

Aku mulai menggosok bak mandi dan menyirami hingga bersih. Menyikat lantai beserta dinding keramik. Peluh di kening dan lainnya membuatku sedikit gerah. 

 

"Belum selesai? Tinggalkan saja, aku tak punya waktu banyak, Dik," tegur Nona Muda tampak menopang kedua tangan di pinggul.

 

Segera aku menyiram setiap sudut dan keluar toilet. Kemudian, aku mengikuti tiap arahan Nona Muda hingga dapur dan ruang tengah bersih. 

 

***

 

Tiga hari berlalu, seluruh rumah telah bersih. Kecuali, ada satu kamar yang Nona Muda sendiri membersihkannya, tepat di lantai dua. 

 

Kemarin, Nona Muda berkata padaku, "jangan dekati kamar ini!"

 

Terkadang, aku mencari ibu Nona Muda karena telah tiga hari belum melihatnya. Kupikir, apakah beliau sesibuk itu hingga sulit ditemui saat siang?

 

Tiap menjelang malam, aku langsung masuk di kamar, tepat pada pukul lima. Nona Muda pun biasanya keluar sesekali dan pulang di malam hari membawa sekotak makanan untukku.

 

Pegal di tubuhku, masih sangat terasa, aku melirik ke jendela yang masih terbuka. Memaksa diri beranjak dari pembaringan, senja semakin redup. 

 

Saat aku menapaki lantai keramik yang menghantarkan dingin, tiba-tiba ada sesuatu yang terlempar dari luar jendela. Seketika aku menatap jendela, halaman samping rumah dengan  beberapa pohon pinus berjejer. 

 

Tak ada siapa-siapa di luar, aku menutup jendela rapat. Kemudian meraih gumpalan kertas tadi. Kutatap lamat-lamat. 

 

[PERGI! KAU AKAN MATI] 

 

Aku mengernyit melihat tinta merah bertulis peringatan itu. Siapa yang melemparnya? Merah tinta di kertas itu berbau amis. Aku membungkusnya dalam kantong plastik sisa makanan semalam dan membuang ke tempat sampah kamar.

 

Siapa yang usil menakut-nakutiku? Aku meraih ponsel dan melihat pesan. Apakah Nona Muda yang mengerjaiku? Tetapi ... ia tampak bukan orang jail. 

 

[Kakak, ada kertas terlempar dari luar jendela.] 

 

Aku terpaksa mengganggu Nona Muda lagi. Gelisah menyerang, aku terus duduk bersandar di bahu ranjang menutup selimut. Menunggu Nona Muda.

 

Beberapa menit, tepat pukul enam. Aku terus menatap layar gawai menunggu balasan, tetapi tak kunjung datang. Aku menyalakan lampu kamar.

 

Suara ketukan di jendela terdengar. Siapa yang mengetuknya? Tak mungkin Nona Muda, ia selalu datang dari pintu kamar dan memanggilku.

 

Aku duduk di lantai, suara ketukan jendela semakin keras. Getaran tubuhku tak tertahan. Rasanya aku ingin berteriak dan bertanya. Namun rasa takut mengalahkan diriku. Bagaimana jika itu pencuri? 

Related chapters

  • Bolehkah Aku Menangis   Kepulan Asap

    "Dik ..." panggil Nona Muda di depan pintu. Terdengar jelas itu suaranya. Segera aku beranjak dari pembaringan, sementara ketukan di jendela tak terdengar lagi. "Kakak, tadi ada yang mengetuk jendela," cetusku sembari memandangi Nona Muda yang menenteng kantung plastik hitam. Nona Muda masuk ke kamar, melewatiku dengan tergesa-gesa. Ia menaruh kantung plastik tadi di meja dekat ranjang. Ia membuka jendela dan melihat sekeliling. Aku duduk di tepi pembaringan menunggu Nona Muda berbicara. Tanganku tak sedingin tadi, tetapi bagaimana jika Nona Muda keluar lagi meninggalkanku? Ah, rasanya aku ingin menarik Nona Muda dan melarangnya pergi. Namun, diriku siapa? "Tak ada siapa-siapa di luar." Nona Muda menutup kembali jendela. Lalu, membalikkan tubuh menatapku.

    Last Updated : 2021-07-15
  • Bolehkah Aku Menangis   Napas

    Dentum kaki terdengar dari sela bawah pintu. Aku mencoba membuka mata, tetapi sangat perih. Pintu terbuka, mengenai kepalaku karena posisiku berbaring di belakang. Nona Muda terbatuk, ia langsung menarikku keluar dari kamar. Aku hanya bisa menutup mata dengan napas sesak. Tangan Nona Muda menarik lenganku melingkar ke lehernya. "Aku akan bawa kau ke Rumah Sakit," katanya menggiringku ke arah pintu utama. Samar-samar aku melihat Nona Muda dengan mata memerah. Ingin kubertanya, siapa yang melakukan semua ini. Lalu, suara wanita yang menyuruhku pergi, itu siapa. Namun, aku hanya bisa memegangi dada nyeri akibat asap tadi. Nona Muda membuka pintu mobil, ia menaruhku di kursi depan. Aku berusaha bersandar nyaman. Sesekali menoleh ke wajah Nona Muda, ia tampak mengusap air mata di pipi. Apakah ia men

    Last Updated : 2021-07-15
  • Bolehkah Aku Menangis   Pindah Kamar

    Dari jauh, pagar rumah Nona Muda sudah tampak. Bayangan asap itu kembali teringat. Sedikit takut, tetapi Nona Muda akan sekamar denganku. "May ... pagarnya!" Suara Nona Muda membuyarkan lamunanku. Sahabatnya bernama Maya bergegas keluar mobil dan menggeser pagar. Sejenak, aku mengerling halaman rumah yang tak banyak berubah. Dedaunan kering dan beberapa tanaman mati masih berserakan. Maya gadis berjaket biru itu langsung memegangi lenganku. Terasa sangat dingin dan sedikit keringat. Aku merasa tak nyaman, tetapi ia tersenyum sembari menarikku mengikuti Nona Muda yang membuka pintu utama. "Kakak, aku ingin mengambil ponsel di kamar," ucapku saat Nona Muda menaiki dua anak tangga. "Aku sudah memasukkan semua barang ke dalam tasmu, Dik." Nona Muda

    Last Updated : 2021-07-15
  • Bolehkah Aku Menangis   Kabar Berujung Tangis

    "Bagaimana keadaan Fahri dan Arni, Chy?" Aku berusaha mengatur napas ketika mendengar suara Chicy di seberang sana. "Mengapa kau baru menghubungiku? Adikmu kasihan sekali, Hana. Mereka selalu dimarahi, bahkan Fahmi tadi siang dipukuli oleh Pamanmu ...." "Adik-adikku melakukan kenakalan apa?" Aku tak sengaja memotong perkataan Chyci karna tak kuat jika mendengar kejadiannya secara jelas. "Kau tahu sendiri, bagaimana kelakukan anak Pamanmu. Tiap kali anaknya berulah, Fahmi yang dituduh." Aku bangkit dari pembaringan, meninggalkan Nona Muda dan Maya yang sibuk dengan gawai masing-masing. Aku membelakangi mereka, sengaja duduk di dekat sofa menghadap dinding, tepat di depan pintu kamar. "Aku tidak tahu harus berbuat apa, Chy. Aku sudah jauh dari kampung. Bekerjan untuk mereka. Kenapa adik-adikku masih disiksa." Tangisku

    Last Updated : 2021-07-15
  • Bolehkah Aku Menangis   Ketakutan Maya, Sahabat Nona Muda

    Kepalaku masih terasa berat untuk beranjak dari bantal. Namun, aku harus memaksakan diri. Sudah berapa hari tak bekerja saat masuk Rumah Sakit kemarin. Tampak Maya baru saja keluar dari toilet. Dia tersenyum sekilas ke arahku, lalu mendekati tasnya. "Nona Muda ..." lirihku, lupa bahwa Nona Muda lebih suka disebut Kakak Maria. Aku memperbaiki posisi duduk dengan kaki menyentuh lantai, menghadap Maya. "Kakak Maria ada dimana, Kak?" tanyaku pada gadis berambut sebahu itu. Sibuk mengeluarkan pakaian. "Ria di kamar Ibunya," jawabnya singkat. Aku mengangguk pelan. Melangkahkan kaki ke toilet. Lalu, keluar untuk mencari handuk. Ketika aku hampir masuk ke kamar mandi, aku menoleh pada jendela. Kulihat pemandangan halaman rumah dengan beberapa pohon berdaun lebat. Daun kering berserakan seolah-ola

    Last Updated : 2021-07-15
  • Bolehkah Aku Menangis   Wanita Bergaun Putih

    Beberapa detik, setelah aku membuka mata, aku tak dapat mengingat apa-apa. Kurasakan dinginnya lantai, mengamati sekekeliling. Wajah hancur wanita bergaun putih mulai terbayang. Aku buru-buru bangkit dengan perasaan seolah-olah sedang berada di perahu dengan ombak terus menerjang. Dadaku berdebar lagi. Nona muda di sofa masih tertidur. Saat aku menoleh ke jendela, mentari tampak menuju senja. "Kak ... tolong bangunlah!" Tanganku menggoyangkan bahu Nona Muda dengan pelan. Rasanya aku tak sanggup berada di rumah itu. Nona Muda tak membuka mata. Bingung harus bagaimana. Mataku sesekali mengamati ujung tangga, lagi-lagi bayangan wanita bergaun putih muncul. "Kakak! Tolong!" Kembali aku guncang tubuh Nona Muda karena tak sanggup menahan resah. Tubuh semakin menggigil, muka basah penuh peluh dan air mata. "Aku ingin pulang," ujarku lirih dengan suara serak. Ada ngilu dan nyeri di punggung, tak mampu aku menahan diri. Pintu utama ta

    Last Updated : 2021-07-25
  • Bolehkah Aku Menangis   Mayat Yang Disembunyikan

    "Kita tidur di sini," ungkap pemilik rumah. Ia melebarkan tikar dan kasur tipis di lantai, di ruang tengah. Aku membantu merapikan tikar dan kasur. Dia memberiku bantal. Pintu terdengar sedang diketuk. Aku melirik ke ruang tamu, lalu melihat wanita di hadapanku beranjak dari kasur. Aku pun membuntutinya ke ruang tamu. Dia tampak mengintip lewat jendela. "Majikanmu ada di luar," kata Ibu itu membalikkan tubuh. Sejenak, mataku terasa melotot, kembali merasa takut karena Nona Muda akan membawaku masuk rumah. Dia membuka pintu. Nona Muda langsung melihatku di belakang wanita pemilik rumah. "Sedang apa kau di sini, Dik? Aku mencarimu," tanya Nona Muda tampak kesal. Mungkin, dia lelah mencariku di tiap sudut rumah. "Aku lari karena melihat hantu, Kak. Berulang kali aku bangunkan, Kakak ..." sahutku terpotong. "Kau mau lari pulang? Kau selalu halusinasi," sanggahnya. "Masuklah dulu, Nak Maria! Kita bicara d

    Last Updated : 2021-07-28
  • Bolehkah Aku Menangis   Membesuk Nona Muda

    Aku dan tetangga Nona Muda tiba di rumah sakit. Tak terasa sudah siang, wanita di sampingku tampak mengeluarkan gawai. "Kita tunggu sahabat Maria di sini," ucapnya menatap layar gawai. Lalu, menoleh ke sekeliling. Aku hanya mengangguk. Menunduk, takut melihat orang yang sakit terluka bisa tiba-tiba muncul. Darah, bisa membuatku lemas jika melihatnya dengan jelas di tubuh manusia. "Maaf, Bi, membuatmu menunggu lama." Suara Maya dari arah belakang, sontak kami menatapnya. "Tidak, Nak. Kami baru saja tiba." Tetangga Nona Muda tersenyum dan menggeleng. Maya pun melangkah menyusuri lorong rumah sakit, kami mengikutinya berjalan berdampingan. Namun, aku memilih mundur dan berada di belakang Maya. Tiba di ruang rawat Nona Muda, aku mengamati sembari mendekati tempat pembaringan. Ia tampak pucat dengan selang oksigen di hidung. Maya berdiri di dekat kepala Nona Muda. Sementara tetangganya duduk memegangi jemari Nona M

    Last Updated : 2021-08-04

Latest chapter

  • Bolehkah Aku Menangis   Tentang Dia

    "Ada pria bernama Angga menanyakan keberadaanmu, Hana. Dia memintaku ceritakan semua tentangmu. Semua yang terjadi padamu sekarang, tetapi aku memilih memberi tahu kau dulu untuk meminta izin." Ucapan Chyci melalui ponsel terdengar jelas. Aku membayangkan wajah Angga. Beberapa bulan ini, kami tak pernah berbalas pesan. "Beri tahu keadaanku, jangan alamatku. Untuk saat ini, aku tak ingin diganggu siapa-siapa. Dia pria yang baik, tetapi kami saling menyukai. Kau tahu, aku ingin fokus pada adik-adik." "Baik, Han. Aku akan memberi tahunya. Kau istirahat saja!" Chyci menutup telepon. Sementara aku mengenang Angga. Terakhir komunikasi, aku sengaja melepas kartu ponsel agar tak ada yang menghubungi, terutama ibu. Entah, berapa lama hati bisa membohongi diri bahwa tak ada rindu pria yang sering menawarkan bantuan di sekolah. Rasa tertarik itu bisa membuat otakku tak berguna dengan baik. Cinta kadang mengubah segalanya semakin buruk. "Jika kita lul

  • Bolehkah Aku Menangis   Permintaan Fahmi

    Usai makan malam dan membersihkan wajah hingga bagian lain sebelum tidur, aku menyegarkan pikiran sejenak. "Kakak ...." Suara Fahmi membuka mataku yang hampir saja berlabuh ke mimpi. Menyalakan cahaya dari ponsel dan menoleh ke Fahmi. Tampak dia menghadap ke mukaku, sembari sesekali mencium kepala Fahri. "Ada apa? Tidurlah! Besok kau berangkat sekolah lebih pagi." "Aku tidak ingin sekolah dulu, Kak. Biarkan aku yang menjaga Fahri," ungkap Fahmi setengah berbisik. "Umurmu sudah 12 tahun. Kau ingin menunda berapa tahun? Jangan sia-siakan waktumu, Fahmi. Lagi pula, Kakak masih bisa mengasuh Fahri. Fokuslah dengan pelajaranmu!" Aku sedikit tegas walau dengan suara pelan. Jika Fahmi menunda sekolah hingga si Bungsu besar, aku akan kewalahan mengurusnya. Lebih baik, menyelohkan mereka sekaligus hingga lulus. "Sekali saja, Kak, ikuti permintaanku." Dia memohon, meraih lenganku dan menggoyahnya. "Tidak. Kau harus sekolah. Arni bi

  • Bolehkah Aku Menangis   Rumah Kuning

    "Kita langsung masuk saja, Kak, agar bisa beristirahat," ajak Fina memunggungi kami. Aku mengeratkan tangan di tubuh Fahri. Semntara Fahmi dan Arni membawa tas masing-masing. Punggung terasa berat karena mengaitkan tas berisi pakaianku hingga membuat kaki sedikit lambat. Melewati gerbang, tampak barisan rumah kecil dengan warna berbeda. Kupikir, itu membuat lebih mudah mengenali rumah yang akan kami tinggali walau bentuknya sama. "Ini perumahan pamanku, Kak," ungkap Fina menoleh ke arahku, tepat di belakangnya. Dia tampak berhenti menunggu. Menghela napas lebih dalam agar mendapat asupan. Entah mengapa, tubuhku cepat lelah. Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak!" Tak ada kata-kata yang muncul di kepala selain itu. Mungkin, otakku terlalu tertekan. Fina mengernyit, tetapi mena

  • Bolehkah Aku Menangis   Menjemput Si Bungsu

    Di perjalanan menuju rumah Nenek, orangtua ibu, aku membayangkan raut ibu usai mendapatkan pengganti ayah. Tak tahu, apa yang akan terjadi saat meminta Fahri untuk kuasuh sepenuhnya. Tak ingin jika mereka menolak seperti bibi dan Nenek Asha. Lagi pula, ibu memiliki tiga anak tiri yang akan dirawat hingga hendak memberi si bungsu ke Nenek Asha. Chyci menghentikan sepeda motor di depan rumah nenekku. Rumah berbahan kayu, berdiri Fahri bersama saudara sepupu yang masih kecil, berusia lima tahun. Dia berjalan ke arahku dengan langkah kecilnya. Buru-buru kaki menghampiri agar dia tak terjatuh. Fahri, mengeluarkan suara dengan makna menyebut, "Kakak Hana." Berulang kali dan tertawa kecil. Tanganku mengangkat dan mendekapnya. Terasa wangi bedak bayi khusus di pipi. "Adik Sayang," ujarku sembari merapatkan dagunya di bahu. Chyci mendorong punggungku dengan pelan. "Minta izin dengan cara baik-baik, Han!" suruhnya menatapku lebih tajam, tetapi dia memanca

  • Bolehkah Aku Menangis   Desa atau Kota

    "Ada dua tempat tinggal yang didapat temanku, Han." Chycimembaca pesan di ponselnya sembari mendekatiku di pembaringan. Hampir dua hari, sakit di tubuhku baru saja membaik. "Dimana?" tanyaku melirik isi pesan di layar gawainya. "Ini, ada di kota Sinca dan di bagian desanya." Dia menatapku sembari memberi ponselnya agar aku membaca pesan dengan jelas. "Tempatnya cukup jauh dari kota ini, Chy. 2 jam perjalanan menempuhnya?" Pernah kudengar ada orang yang menceritakan kota Sinca itu. Chicy mengangguk. "Jika kau tinggal di perkotaan, kau bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, kata temanku. Tetapi, jika di desa, kau akan kesulitan, Han. Terlebih, di desanya terpencil, sekolah terbatas." Sejenak aku memutar mata. Membayangkan suasana kota dengan pergaulan bebas dan rawangnya kejahatan. Lalu, beralih ke pemandangan desa, tetapi pendidikan adik-adikku akan terbatas. "Jujur, aku lebih suka di pedesaan, Chy. Mungkin, makanan atau sayuran

  • Bolehkah Aku Menangis   Wajah Merah

    "Minum obat ini, Nak." Ibunya Chicy mengulurkan bungkusan abu-abu pipih. Chicy merobek ujung bungkusan itu dan meraih air dari tangan ibunya. "Obat untuk apa?" tanyaku penasaran sembari mengangkat kepala dan bersandar. Namun, tulang belakang terasa retak saat mengenai bahu pembaringan. Mata merapat kuat, jemariku mencengkram kain kasur. "Sakit sekali?" Chicy meletakkan tangan di atas kepalanku. Kulihat, dia menatap nanar. "Hana kesakitan. Berikan obat agar sakitnya mereda," terang ibu Chicy dengan netra berkaca-kaca. Dia membalikkan tubuh hendak keluar dari kamar, tetapi aku yakin dia sedang menangis saat mengusap wajah dengan kedua tangan. Usai meneguk obat, aku mencari Fahmi dan Arni. Hanya ada Chicy di ruangan itu. Samar-samar suara orang di teras sedang membicarakan sesuatu menggunakan bahasa daerah. Beberapa kali mereka menyebut namaku dan Paman. "Chy, Fahmi dan Arni dimana?" Netraku megarah ke luar pintu kamar yan

  • Bolehkah Aku Menangis   Jeritan

    Netraku mengarah ke rumah Nona Muda. Di seberang jalan, hanya beberapa meter jaraknya. Daun-daun kering dari pohon berjatuhan dengan lembut. Loteng putih, aku mengerling lama, di jendela itu seperti ada seseorang yang mengamati. Sontak, menggigit bibir bawah dan menoleh ke pintu, ada pemilik rumah berdiri di sana. Dia memandangiku dan mengangguk seolah-olah bertanya ada apa. Tangan kanannya menangkup ponsel abu-abu. "Supirnya masih lama, Dik?" Dia melabuhkan tubuh di kursi teras. Kami saling menatap. "Aku juga tak tahu, Bi. Padahal ini sudah jam 11," jawabku sembari melirik jam di ponsel. Dia menoleh ke segala arah dan sejenak termenung. Namun, mobil hitam berhenti di depan pagar, membuat kami sontak berdiri. "Itu mobilnya?" Telunjuk bibi pemilik rumah mengarah ke mobil dengan sedikit menekuk siku. Aku mengangguk. "Iya, Bi." Mengeratkan tas di genggaman. "Terima kasih banyak, Bi! Aku sudah merepotkan," ucapku mengulurkan tangan dan ditautnya.

  • Bolehkah Aku Menangis   Tawaran Maya

    Duduk di dekat jendela, melihat kilau senja mengundang senyap dalam dada. Suasana rumah di kampung, saat aku dan keluarga masih bersama. Tak pernah terbayang, hidupku semakin menderita karena kepergian ayah. Mungkin, ibuku telah bahagia bersama suami barunya. Pemilik rumah menutup tirai, membuyarkan lamunanku. Dia tersenyum saat aku sedikit menengadah ke wajahnya. Kupaksa menyungging senyum agar dia tak merasa diacuhkan. Lalu, dia duduk di sebelah sofa. Aku mengarahkan tubuh ke depan, memegang tangan. "Kau masih bingung untuk tawaran sahabat Maria?" tanyanya dengan suara pelan. Kepalaku terangguk. "Iya, Bi. Ingin rasanya membawa adik-adik bersamaku, tetapi takut mereka tak aman. Tinggal di kampung juga mereka tersiksa, tidak ada yang mengurusnya dengan baik." Mata mendadak perih saat mengungkapkan isi hati dan pikiran. "Umur adik-adikmu berapa tahun?" Raut wajah wanita berkepala tiga itu tampak serius. Ia menghujaniku dengan tatapan lebih dalam.

  • Bolehkah Aku Menangis   Membesuk Nona Muda

    Aku dan tetangga Nona Muda tiba di rumah sakit. Tak terasa sudah siang, wanita di sampingku tampak mengeluarkan gawai. "Kita tunggu sahabat Maria di sini," ucapnya menatap layar gawai. Lalu, menoleh ke sekeliling. Aku hanya mengangguk. Menunduk, takut melihat orang yang sakit terluka bisa tiba-tiba muncul. Darah, bisa membuatku lemas jika melihatnya dengan jelas di tubuh manusia. "Maaf, Bi, membuatmu menunggu lama." Suara Maya dari arah belakang, sontak kami menatapnya. "Tidak, Nak. Kami baru saja tiba." Tetangga Nona Muda tersenyum dan menggeleng. Maya pun melangkah menyusuri lorong rumah sakit, kami mengikutinya berjalan berdampingan. Namun, aku memilih mundur dan berada di belakang Maya. Tiba di ruang rawat Nona Muda, aku mengamati sembari mendekati tempat pembaringan. Ia tampak pucat dengan selang oksigen di hidung. Maya berdiri di dekat kepala Nona Muda. Sementara tetangganya duduk memegangi jemari Nona M

DMCA.com Protection Status