Usai makan malam dan membersihkan wajah hingga bagian lain sebelum tidur, aku menyegarkan pikiran sejenak.
"Kakak ...." Suara Fahmi membuka mataku yang hampir saja berlabuh ke mimpi.
Menyalakan cahaya dari ponsel dan menoleh ke Fahmi. Tampak dia menghadap ke mukaku, sembari sesekali mencium kepala Fahri.
"Ada apa? Tidurlah! Besok kau berangkat sekolah lebih pagi."
"Aku tidak ingin sekolah dulu, Kak. Biarkan aku yang menjaga Fahri," ungkap Fahmi setengah berbisik.
"Umurmu sudah 12 tahun. Kau ingin menunda berapa tahun? Jangan sia-siakan waktumu, Fahmi. Lagi pula, Kakak masih bisa mengasuh Fahri. Fokuslah dengan pelajaranmu!" Aku sedikit tegas walau dengan suara pelan. Jika Fahmi menunda sekolah hingga si Bungsu besar, aku akan kewalahan mengurusnya. Lebih baik, menyelohkan mereka sekaligus hingga lulus.
"Sekali saja, Kak, ikuti permintaanku." Dia memohon, meraih lenganku dan menggoyahnya.
"Tidak. Kau harus sekolah. Arni bi
"Ada pria bernama Angga menanyakan keberadaanmu, Hana. Dia memintaku ceritakan semua tentangmu. Semua yang terjadi padamu sekarang, tetapi aku memilih memberi tahu kau dulu untuk meminta izin." Ucapan Chyci melalui ponsel terdengar jelas. Aku membayangkan wajah Angga. Beberapa bulan ini, kami tak pernah berbalas pesan. "Beri tahu keadaanku, jangan alamatku. Untuk saat ini, aku tak ingin diganggu siapa-siapa. Dia pria yang baik, tetapi kami saling menyukai. Kau tahu, aku ingin fokus pada adik-adik." "Baik, Han. Aku akan memberi tahunya. Kau istirahat saja!" Chyci menutup telepon. Sementara aku mengenang Angga. Terakhir komunikasi, aku sengaja melepas kartu ponsel agar tak ada yang menghubungi, terutama ibu. Entah, berapa lama hati bisa membohongi diri bahwa tak ada rindu pria yang sering menawarkan bantuan di sekolah. Rasa tertarik itu bisa membuat otakku tak berguna dengan baik. Cinta kadang mengubah segalanya semakin buruk. "Jika kita lul
"Aku titip Adik-adik, Nek." Jemariku menyalam lalu menyentuh punggung tangan nenek dengan wajah. Saat kutatap, tampak jelas raut nenek tak ikhlas melepaskanku pergi. Nenek tak berkata apa-apa, aku tahu ia sedang menahan sesak. Sementara Paman dan Tante hanya duduk di sofa melihatku menenteng tas punggung. Kalau saja mereka tak menyuruhku pergi untuk mencari pekerjaan di kota, mungkin, aku masih di sini bersama mereka. "Jangan nakal!" ucapku mengingatkan sembari mengecup kepala adik laki-laki dan perempuanku bergantian. Arni, adik perempuanku terus menangis. Ia memeluk lebih erat. "Aku ikut, Kakak!" rengeknya sesenggukan. Tanganku melepasnya dengan pelan. Lalu, mengusap pipi mungilnya yang basah. Dada terasa sangat nyeri beriringan dengan tenggorokangku. Tas punggung terpasang erat, aku berjalan keluar menuju mobil yang telah
Perutku mulai berbunyi, tetapi aku tetap berdiam di dalam kamar. Rasanya aneh berada di rumah orang yang baru saja kutemui. Namun, demi adik-adik, secepatnya harus bisa menyesuaikan diri di tempat baru ini. Daya ponselku tersisa beberapa persen, aku mengerling colokan di atas meja dekat tempat pembaringan. Ketika aku bersandar nyaman sembari memandangi pintu di sisi kiri kamar, lampu berkedip-kedip. Jantungku berdebar kencang. Aku tak sanggup bila berada di dalam kamar sendirian saat mati lampu. Segera kuraih ponsel dan mengirim pesan. [Kakak ... saya takut gelap.] Terpaksa aku menganggu majikan dengan mengirim pesan beberapa kali. [Kak, saya takut. Kakak, dimana?] Lampu semakin ber
Bunyi Alarm ponsel membuat mataku terbuka. Kupandangi jam di layar gawai, tampak angka lima. Aku menatap langit-langit kamar disinari lampu di tengahnya. Penghilatanku sedikit bergerak, tidurku hanya beberapa jam akibat suara-suara semalam. Sejenak aku bersandar di bahu ranjang. Mengusap wajah setengah menguap. Memaksa diri beranjak dari pembaringan untuk membasuh wajah, tangan beserta kaki. Lalu, melaksanakan ibadah. Aku merapikan tempat tidur sebelum keluar menunggu Nona Muda memberi arahan. Perasaanku sedikit tenang, tak ada suara tangisan atau barang jatuh dan berbenturan. "Aku baru saja ingin bangunkan kau," ujar Nona Muda menghampiri. Aku mengamati sekilah wajah dan matanya membengkak. "Saya bangun jam 5, Kak ... Nona," sahutku terbata-ba
"Dik ..." panggil Nona Muda di depan pintu. Terdengar jelas itu suaranya. Segera aku beranjak dari pembaringan, sementara ketukan di jendela tak terdengar lagi. "Kakak, tadi ada yang mengetuk jendela," cetusku sembari memandangi Nona Muda yang menenteng kantung plastik hitam. Nona Muda masuk ke kamar, melewatiku dengan tergesa-gesa. Ia menaruh kantung plastik tadi di meja dekat ranjang. Ia membuka jendela dan melihat sekeliling. Aku duduk di tepi pembaringan menunggu Nona Muda berbicara. Tanganku tak sedingin tadi, tetapi bagaimana jika Nona Muda keluar lagi meninggalkanku? Ah, rasanya aku ingin menarik Nona Muda dan melarangnya pergi. Namun, diriku siapa? "Tak ada siapa-siapa di luar." Nona Muda menutup kembali jendela. Lalu, membalikkan tubuh menatapku.
Dentum kaki terdengar dari sela bawah pintu. Aku mencoba membuka mata, tetapi sangat perih. Pintu terbuka, mengenai kepalaku karena posisiku berbaring di belakang. Nona Muda terbatuk, ia langsung menarikku keluar dari kamar. Aku hanya bisa menutup mata dengan napas sesak. Tangan Nona Muda menarik lenganku melingkar ke lehernya. "Aku akan bawa kau ke Rumah Sakit," katanya menggiringku ke arah pintu utama. Samar-samar aku melihat Nona Muda dengan mata memerah. Ingin kubertanya, siapa yang melakukan semua ini. Lalu, suara wanita yang menyuruhku pergi, itu siapa. Namun, aku hanya bisa memegangi dada nyeri akibat asap tadi. Nona Muda membuka pintu mobil, ia menaruhku di kursi depan. Aku berusaha bersandar nyaman. Sesekali menoleh ke wajah Nona Muda, ia tampak mengusap air mata di pipi. Apakah ia men
Dari jauh, pagar rumah Nona Muda sudah tampak. Bayangan asap itu kembali teringat. Sedikit takut, tetapi Nona Muda akan sekamar denganku. "May ... pagarnya!" Suara Nona Muda membuyarkan lamunanku. Sahabatnya bernama Maya bergegas keluar mobil dan menggeser pagar. Sejenak, aku mengerling halaman rumah yang tak banyak berubah. Dedaunan kering dan beberapa tanaman mati masih berserakan. Maya gadis berjaket biru itu langsung memegangi lenganku. Terasa sangat dingin dan sedikit keringat. Aku merasa tak nyaman, tetapi ia tersenyum sembari menarikku mengikuti Nona Muda yang membuka pintu utama. "Kakak, aku ingin mengambil ponsel di kamar," ucapku saat Nona Muda menaiki dua anak tangga. "Aku sudah memasukkan semua barang ke dalam tasmu, Dik." Nona Muda
"Bagaimana keadaan Fahri dan Arni, Chy?" Aku berusaha mengatur napas ketika mendengar suara Chicy di seberang sana. "Mengapa kau baru menghubungiku? Adikmu kasihan sekali, Hana. Mereka selalu dimarahi, bahkan Fahmi tadi siang dipukuli oleh Pamanmu ...." "Adik-adikku melakukan kenakalan apa?" Aku tak sengaja memotong perkataan Chyci karna tak kuat jika mendengar kejadiannya secara jelas. "Kau tahu sendiri, bagaimana kelakukan anak Pamanmu. Tiap kali anaknya berulah, Fahmi yang dituduh." Aku bangkit dari pembaringan, meninggalkan Nona Muda dan Maya yang sibuk dengan gawai masing-masing. Aku membelakangi mereka, sengaja duduk di dekat sofa menghadap dinding, tepat di depan pintu kamar. "Aku tidak tahu harus berbuat apa, Chy. Aku sudah jauh dari kampung. Bekerjan untuk mereka. Kenapa adik-adikku masih disiksa." Tangisku
"Ada pria bernama Angga menanyakan keberadaanmu, Hana. Dia memintaku ceritakan semua tentangmu. Semua yang terjadi padamu sekarang, tetapi aku memilih memberi tahu kau dulu untuk meminta izin." Ucapan Chyci melalui ponsel terdengar jelas. Aku membayangkan wajah Angga. Beberapa bulan ini, kami tak pernah berbalas pesan. "Beri tahu keadaanku, jangan alamatku. Untuk saat ini, aku tak ingin diganggu siapa-siapa. Dia pria yang baik, tetapi kami saling menyukai. Kau tahu, aku ingin fokus pada adik-adik." "Baik, Han. Aku akan memberi tahunya. Kau istirahat saja!" Chyci menutup telepon. Sementara aku mengenang Angga. Terakhir komunikasi, aku sengaja melepas kartu ponsel agar tak ada yang menghubungi, terutama ibu. Entah, berapa lama hati bisa membohongi diri bahwa tak ada rindu pria yang sering menawarkan bantuan di sekolah. Rasa tertarik itu bisa membuat otakku tak berguna dengan baik. Cinta kadang mengubah segalanya semakin buruk. "Jika kita lul
Usai makan malam dan membersihkan wajah hingga bagian lain sebelum tidur, aku menyegarkan pikiran sejenak. "Kakak ...." Suara Fahmi membuka mataku yang hampir saja berlabuh ke mimpi. Menyalakan cahaya dari ponsel dan menoleh ke Fahmi. Tampak dia menghadap ke mukaku, sembari sesekali mencium kepala Fahri. "Ada apa? Tidurlah! Besok kau berangkat sekolah lebih pagi." "Aku tidak ingin sekolah dulu, Kak. Biarkan aku yang menjaga Fahri," ungkap Fahmi setengah berbisik. "Umurmu sudah 12 tahun. Kau ingin menunda berapa tahun? Jangan sia-siakan waktumu, Fahmi. Lagi pula, Kakak masih bisa mengasuh Fahri. Fokuslah dengan pelajaranmu!" Aku sedikit tegas walau dengan suara pelan. Jika Fahmi menunda sekolah hingga si Bungsu besar, aku akan kewalahan mengurusnya. Lebih baik, menyelohkan mereka sekaligus hingga lulus. "Sekali saja, Kak, ikuti permintaanku." Dia memohon, meraih lenganku dan menggoyahnya. "Tidak. Kau harus sekolah. Arni bi
"Kita langsung masuk saja, Kak, agar bisa beristirahat," ajak Fina memunggungi kami. Aku mengeratkan tangan di tubuh Fahri. Semntara Fahmi dan Arni membawa tas masing-masing. Punggung terasa berat karena mengaitkan tas berisi pakaianku hingga membuat kaki sedikit lambat. Melewati gerbang, tampak barisan rumah kecil dengan warna berbeda. Kupikir, itu membuat lebih mudah mengenali rumah yang akan kami tinggali walau bentuknya sama. "Ini perumahan pamanku, Kak," ungkap Fina menoleh ke arahku, tepat di belakangnya. Dia tampak berhenti menunggu. Menghela napas lebih dalam agar mendapat asupan. Entah mengapa, tubuhku cepat lelah. Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak!" Tak ada kata-kata yang muncul di kepala selain itu. Mungkin, otakku terlalu tertekan. Fina mengernyit, tetapi mena
Di perjalanan menuju rumah Nenek, orangtua ibu, aku membayangkan raut ibu usai mendapatkan pengganti ayah. Tak tahu, apa yang akan terjadi saat meminta Fahri untuk kuasuh sepenuhnya. Tak ingin jika mereka menolak seperti bibi dan Nenek Asha. Lagi pula, ibu memiliki tiga anak tiri yang akan dirawat hingga hendak memberi si bungsu ke Nenek Asha. Chyci menghentikan sepeda motor di depan rumah nenekku. Rumah berbahan kayu, berdiri Fahri bersama saudara sepupu yang masih kecil, berusia lima tahun. Dia berjalan ke arahku dengan langkah kecilnya. Buru-buru kaki menghampiri agar dia tak terjatuh. Fahri, mengeluarkan suara dengan makna menyebut, "Kakak Hana." Berulang kali dan tertawa kecil. Tanganku mengangkat dan mendekapnya. Terasa wangi bedak bayi khusus di pipi. "Adik Sayang," ujarku sembari merapatkan dagunya di bahu. Chyci mendorong punggungku dengan pelan. "Minta izin dengan cara baik-baik, Han!" suruhnya menatapku lebih tajam, tetapi dia memanca
"Ada dua tempat tinggal yang didapat temanku, Han." Chycimembaca pesan di ponselnya sembari mendekatiku di pembaringan. Hampir dua hari, sakit di tubuhku baru saja membaik. "Dimana?" tanyaku melirik isi pesan di layar gawainya. "Ini, ada di kota Sinca dan di bagian desanya." Dia menatapku sembari memberi ponselnya agar aku membaca pesan dengan jelas. "Tempatnya cukup jauh dari kota ini, Chy. 2 jam perjalanan menempuhnya?" Pernah kudengar ada orang yang menceritakan kota Sinca itu. Chicy mengangguk. "Jika kau tinggal di perkotaan, kau bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, kata temanku. Tetapi, jika di desa, kau akan kesulitan, Han. Terlebih, di desanya terpencil, sekolah terbatas." Sejenak aku memutar mata. Membayangkan suasana kota dengan pergaulan bebas dan rawangnya kejahatan. Lalu, beralih ke pemandangan desa, tetapi pendidikan adik-adikku akan terbatas. "Jujur, aku lebih suka di pedesaan, Chy. Mungkin, makanan atau sayuran
"Minum obat ini, Nak." Ibunya Chicy mengulurkan bungkusan abu-abu pipih. Chicy merobek ujung bungkusan itu dan meraih air dari tangan ibunya. "Obat untuk apa?" tanyaku penasaran sembari mengangkat kepala dan bersandar. Namun, tulang belakang terasa retak saat mengenai bahu pembaringan. Mata merapat kuat, jemariku mencengkram kain kasur. "Sakit sekali?" Chicy meletakkan tangan di atas kepalanku. Kulihat, dia menatap nanar. "Hana kesakitan. Berikan obat agar sakitnya mereda," terang ibu Chicy dengan netra berkaca-kaca. Dia membalikkan tubuh hendak keluar dari kamar, tetapi aku yakin dia sedang menangis saat mengusap wajah dengan kedua tangan. Usai meneguk obat, aku mencari Fahmi dan Arni. Hanya ada Chicy di ruangan itu. Samar-samar suara orang di teras sedang membicarakan sesuatu menggunakan bahasa daerah. Beberapa kali mereka menyebut namaku dan Paman. "Chy, Fahmi dan Arni dimana?" Netraku megarah ke luar pintu kamar yan
Netraku mengarah ke rumah Nona Muda. Di seberang jalan, hanya beberapa meter jaraknya. Daun-daun kering dari pohon berjatuhan dengan lembut. Loteng putih, aku mengerling lama, di jendela itu seperti ada seseorang yang mengamati. Sontak, menggigit bibir bawah dan menoleh ke pintu, ada pemilik rumah berdiri di sana. Dia memandangiku dan mengangguk seolah-olah bertanya ada apa. Tangan kanannya menangkup ponsel abu-abu. "Supirnya masih lama, Dik?" Dia melabuhkan tubuh di kursi teras. Kami saling menatap. "Aku juga tak tahu, Bi. Padahal ini sudah jam 11," jawabku sembari melirik jam di ponsel. Dia menoleh ke segala arah dan sejenak termenung. Namun, mobil hitam berhenti di depan pagar, membuat kami sontak berdiri. "Itu mobilnya?" Telunjuk bibi pemilik rumah mengarah ke mobil dengan sedikit menekuk siku. Aku mengangguk. "Iya, Bi." Mengeratkan tas di genggaman. "Terima kasih banyak, Bi! Aku sudah merepotkan," ucapku mengulurkan tangan dan ditautnya.
Duduk di dekat jendela, melihat kilau senja mengundang senyap dalam dada. Suasana rumah di kampung, saat aku dan keluarga masih bersama. Tak pernah terbayang, hidupku semakin menderita karena kepergian ayah. Mungkin, ibuku telah bahagia bersama suami barunya. Pemilik rumah menutup tirai, membuyarkan lamunanku. Dia tersenyum saat aku sedikit menengadah ke wajahnya. Kupaksa menyungging senyum agar dia tak merasa diacuhkan. Lalu, dia duduk di sebelah sofa. Aku mengarahkan tubuh ke depan, memegang tangan. "Kau masih bingung untuk tawaran sahabat Maria?" tanyanya dengan suara pelan. Kepalaku terangguk. "Iya, Bi. Ingin rasanya membawa adik-adik bersamaku, tetapi takut mereka tak aman. Tinggal di kampung juga mereka tersiksa, tidak ada yang mengurusnya dengan baik." Mata mendadak perih saat mengungkapkan isi hati dan pikiran. "Umur adik-adikmu berapa tahun?" Raut wajah wanita berkepala tiga itu tampak serius. Ia menghujaniku dengan tatapan lebih dalam.
Aku dan tetangga Nona Muda tiba di rumah sakit. Tak terasa sudah siang, wanita di sampingku tampak mengeluarkan gawai. "Kita tunggu sahabat Maria di sini," ucapnya menatap layar gawai. Lalu, menoleh ke sekeliling. Aku hanya mengangguk. Menunduk, takut melihat orang yang sakit terluka bisa tiba-tiba muncul. Darah, bisa membuatku lemas jika melihatnya dengan jelas di tubuh manusia. "Maaf, Bi, membuatmu menunggu lama." Suara Maya dari arah belakang, sontak kami menatapnya. "Tidak, Nak. Kami baru saja tiba." Tetangga Nona Muda tersenyum dan menggeleng. Maya pun melangkah menyusuri lorong rumah sakit, kami mengikutinya berjalan berdampingan. Namun, aku memilih mundur dan berada di belakang Maya. Tiba di ruang rawat Nona Muda, aku mengamati sembari mendekati tempat pembaringan. Ia tampak pucat dengan selang oksigen di hidung. Maya berdiri di dekat kepala Nona Muda. Sementara tetangganya duduk memegangi jemari Nona M