Home / Lain / Bolehkah Aku Menangis / Kabar Berujung Tangis

Share

Kabar Berujung Tangis

Author: As Jaz
last update Last Updated: 2021-07-15 20:02:03

"Bagaimana keadaan Fahri dan Arni, Chy?" Aku berusaha mengatur napas ketika mendengar suara Chicy di seberang sana.

"Mengapa kau baru menghubungiku? Adikmu kasihan sekali, Hana. Mereka selalu dimarahi, bahkan Fahmi tadi siang dipukuli oleh Pamanmu ...."

"Adik-adikku melakukan kenakalan apa?" Aku tak sengaja memotong perkataan Chyci karna tak kuat jika mendengar kejadiannya secara jelas.

"Kau tahu sendiri, bagaimana kelakukan anak Pamanmu. Tiap kali anaknya berulah, Fahmi yang dituduh."

Aku bangkit dari pembaringan, meninggalkan Nona Muda dan Maya yang sibuk dengan gawai masing-masing. Aku membelakangi mereka, sengaja duduk di dekat sofa menghadap dinding, tepat di depan pintu kamar.

"Aku tidak tahu harus berbuat apa, Chy. Aku sudah jauh dari kampung. Bekerjan untuk mereka. Kenapa adik-adikku masih disiksa." Tangisku pecah, suaraku berusaha selirih mungkin. "Bagaimana dengan Arni? Dia tidak dipukuli?"

"Bibimu yang menamparnya karena terlambat bangun. Arni sendiri yang mengadu padaku kemarin. Dia meminta aku menghubungimu dan memintamu pulang secepatnya, tapi Ibuku melarang. Ibuku tak mau ikut campur dan berurusan dengan Bibimu. Makanya, aku tak pernah menghubungi, walau juga menunggu kabar darimu. Aku sendiri di rumah, Hana, jadi tak akan ada yang mendengarnya," papar Chyci membuatku semakin bingung.

"Suruh Fahmi dan Arni ke rumah Nenekku saja, Chyci. Tinggal bersama Ibu di sana." 

"Aku mendapat kabar bahwa Ibumu akan segera menikah. Belum jelas juga kebenarannya, tapi katanya adik bungsumu akan diberikan Nenek Asya."

Aku memijit kening yang berdenyut kencang. Rasanya kepalaku akan pecah. Mengapa kabar ini menumpuk dan buruk sekali?

"Bantu aku, Chy. Aku ingin mengambil semua Adikku. Mereka semua penjahat. Aku masih bisa mengurusi ketiga Adikku. Lagi pula, Fahri sudah berhenti menyusu, bukan?" 

"Iya. Tidak mungkin juga Fahri diberikan ke orang lain, jika dia belum berhenti menyusu," sahut Chyci. 

Aku terdiam. Memikirkan nasib kami. Apakah aku bisa menghidupi mereka?

"Hana ...." Berulang kali Chyci memanggil. 

"Iya, Chy. Aku sedang berpikir."

"Jangan menangis terus! Kau tidur dulu. Kau butuh istirahat untuk bekerja besok, bukan?" bujuk Chyci terdengar sangat tulus.

"Sampaikan semuanya, Chy. Nanti aku minta tolong supir yang membawaku ke sini untuk menjemput mereka."

"Iya. Tidurlah!"

Aku menutup telephone usai berterima kasih. Tubuhku berat sekali untuk beranjak dari lantai. Rinduku pada adik-adik semakin membuncah.

Kupegangi bagian sofa dan berdiri. Aku melihat Nona Muda dan Maya menatap ke arahku. Sedikit gugup, aku menunduk dan berlalu ke toilet membersihkan wajah.

Keluar dari toilet, mereka masih memandangiku. Aku kembali ke pembaringan, di dekat mereka.

"Kau menangisi apa?" tanya Nona Muda.

"Adik-adikku ... Kak," jawabku sesak. Berusaha terlihat tegar di hadapan mereka.

"Ceritakan saja, Dik! Aku bersedia membantu," pinta Nona Muda duduk bersandar.

Aku hanya bisa menunduk. Tak ingin tangisku pecah jika menceritakan semuanya. Namun, Nona Muda dan Maya tampak menunggu saat aku mengangkat wajah.

"Ada apa dengan adik-adikmu?" Nona Muda kembali bertanya dengan usapan di sisi bahuku.

"Mereka sering dipukuli ... aku tidak sanggup menceritakan semuanya, Kak," kataku menyeka air mata. "Aku ingin bawa mereka jauh dari sana. Ibuku juga akan menikah dan menitip adik bungsu ke nenek. Aku tak bisa mendengar mereka bertiga tersiksa lagi." Kedua tanganku menutup wajah dengan air mata mengalir deras.

"Kau bisa tinggal di kota ini dan tetap bekerja. Aku ingin kau dan ketiga adikmu tinggal di rumah ini, tetapi ibuku belum tentu setuju," jelas Nona Muda masih mengusap bahuku.

"Tidak apa, Kak. Asal mereka dekat denganku. Aku bisa kerja dan adikku tinggal di sekitar perumahan ini," ungkapku setengah memohon.

Nona Muda mengangguk. "Kita bicarakan besok. Kita harus tidur. Maya juga akan berangkat kuliah pagi," katanya menoleh ke arah Maya yang sedari tadi menyimak dengan raut sedih.

"Sabar, Dik!" ucap Maya menepuk bahuku sebelah kiri. 

Mereka masuk ke toilet untuk bersiap-siap tidur. Aku menarik selimut memejamkan mata. Bayangan wajah adikku tampak jelas. Berharap, mereka dapat merasakan hidup yang baru, jauh dari perih pukulan atau hinaan dari orang lain lagi.

Related chapters

  • Bolehkah Aku Menangis   Ketakutan Maya, Sahabat Nona Muda

    Kepalaku masih terasa berat untuk beranjak dari bantal. Namun, aku harus memaksakan diri. Sudah berapa hari tak bekerja saat masuk Rumah Sakit kemarin. Tampak Maya baru saja keluar dari toilet. Dia tersenyum sekilas ke arahku, lalu mendekati tasnya. "Nona Muda ..." lirihku, lupa bahwa Nona Muda lebih suka disebut Kakak Maria. Aku memperbaiki posisi duduk dengan kaki menyentuh lantai, menghadap Maya. "Kakak Maria ada dimana, Kak?" tanyaku pada gadis berambut sebahu itu. Sibuk mengeluarkan pakaian. "Ria di kamar Ibunya," jawabnya singkat. Aku mengangguk pelan. Melangkahkan kaki ke toilet. Lalu, keluar untuk mencari handuk. Ketika aku hampir masuk ke kamar mandi, aku menoleh pada jendela. Kulihat pemandangan halaman rumah dengan beberapa pohon berdaun lebat. Daun kering berserakan seolah-ola

    Last Updated : 2021-07-15
  • Bolehkah Aku Menangis   Wanita Bergaun Putih

    Beberapa detik, setelah aku membuka mata, aku tak dapat mengingat apa-apa. Kurasakan dinginnya lantai, mengamati sekekeliling. Wajah hancur wanita bergaun putih mulai terbayang. Aku buru-buru bangkit dengan perasaan seolah-olah sedang berada di perahu dengan ombak terus menerjang. Dadaku berdebar lagi. Nona muda di sofa masih tertidur. Saat aku menoleh ke jendela, mentari tampak menuju senja. "Kak ... tolong bangunlah!" Tanganku menggoyangkan bahu Nona Muda dengan pelan. Rasanya aku tak sanggup berada di rumah itu. Nona Muda tak membuka mata. Bingung harus bagaimana. Mataku sesekali mengamati ujung tangga, lagi-lagi bayangan wanita bergaun putih muncul. "Kakak! Tolong!" Kembali aku guncang tubuh Nona Muda karena tak sanggup menahan resah. Tubuh semakin menggigil, muka basah penuh peluh dan air mata. "Aku ingin pulang," ujarku lirih dengan suara serak. Ada ngilu dan nyeri di punggung, tak mampu aku menahan diri. Pintu utama ta

    Last Updated : 2021-07-25
  • Bolehkah Aku Menangis   Mayat Yang Disembunyikan

    "Kita tidur di sini," ungkap pemilik rumah. Ia melebarkan tikar dan kasur tipis di lantai, di ruang tengah. Aku membantu merapikan tikar dan kasur. Dia memberiku bantal. Pintu terdengar sedang diketuk. Aku melirik ke ruang tamu, lalu melihat wanita di hadapanku beranjak dari kasur. Aku pun membuntutinya ke ruang tamu. Dia tampak mengintip lewat jendela. "Majikanmu ada di luar," kata Ibu itu membalikkan tubuh. Sejenak, mataku terasa melotot, kembali merasa takut karena Nona Muda akan membawaku masuk rumah. Dia membuka pintu. Nona Muda langsung melihatku di belakang wanita pemilik rumah. "Sedang apa kau di sini, Dik? Aku mencarimu," tanya Nona Muda tampak kesal. Mungkin, dia lelah mencariku di tiap sudut rumah. "Aku lari karena melihat hantu, Kak. Berulang kali aku bangunkan, Kakak ..." sahutku terpotong. "Kau mau lari pulang? Kau selalu halusinasi," sanggahnya. "Masuklah dulu, Nak Maria! Kita bicara d

    Last Updated : 2021-07-28
  • Bolehkah Aku Menangis   Membesuk Nona Muda

    Aku dan tetangga Nona Muda tiba di rumah sakit. Tak terasa sudah siang, wanita di sampingku tampak mengeluarkan gawai. "Kita tunggu sahabat Maria di sini," ucapnya menatap layar gawai. Lalu, menoleh ke sekeliling. Aku hanya mengangguk. Menunduk, takut melihat orang yang sakit terluka bisa tiba-tiba muncul. Darah, bisa membuatku lemas jika melihatnya dengan jelas di tubuh manusia. "Maaf, Bi, membuatmu menunggu lama." Suara Maya dari arah belakang, sontak kami menatapnya. "Tidak, Nak. Kami baru saja tiba." Tetangga Nona Muda tersenyum dan menggeleng. Maya pun melangkah menyusuri lorong rumah sakit, kami mengikutinya berjalan berdampingan. Namun, aku memilih mundur dan berada di belakang Maya. Tiba di ruang rawat Nona Muda, aku mengamati sembari mendekati tempat pembaringan. Ia tampak pucat dengan selang oksigen di hidung. Maya berdiri di dekat kepala Nona Muda. Sementara tetangganya duduk memegangi jemari Nona M

    Last Updated : 2021-08-04
  • Bolehkah Aku Menangis   Tawaran Maya

    Duduk di dekat jendela, melihat kilau senja mengundang senyap dalam dada. Suasana rumah di kampung, saat aku dan keluarga masih bersama. Tak pernah terbayang, hidupku semakin menderita karena kepergian ayah. Mungkin, ibuku telah bahagia bersama suami barunya. Pemilik rumah menutup tirai, membuyarkan lamunanku. Dia tersenyum saat aku sedikit menengadah ke wajahnya. Kupaksa menyungging senyum agar dia tak merasa diacuhkan. Lalu, dia duduk di sebelah sofa. Aku mengarahkan tubuh ke depan, memegang tangan. "Kau masih bingung untuk tawaran sahabat Maria?" tanyanya dengan suara pelan. Kepalaku terangguk. "Iya, Bi. Ingin rasanya membawa adik-adik bersamaku, tetapi takut mereka tak aman. Tinggal di kampung juga mereka tersiksa, tidak ada yang mengurusnya dengan baik." Mata mendadak perih saat mengungkapkan isi hati dan pikiran. "Umur adik-adikmu berapa tahun?" Raut wajah wanita berkepala tiga itu tampak serius. Ia menghujaniku dengan tatapan lebih dalam.

    Last Updated : 2021-08-10
  • Bolehkah Aku Menangis   Jeritan

    Netraku mengarah ke rumah Nona Muda. Di seberang jalan, hanya beberapa meter jaraknya. Daun-daun kering dari pohon berjatuhan dengan lembut. Loteng putih, aku mengerling lama, di jendela itu seperti ada seseorang yang mengamati. Sontak, menggigit bibir bawah dan menoleh ke pintu, ada pemilik rumah berdiri di sana. Dia memandangiku dan mengangguk seolah-olah bertanya ada apa. Tangan kanannya menangkup ponsel abu-abu. "Supirnya masih lama, Dik?" Dia melabuhkan tubuh di kursi teras. Kami saling menatap. "Aku juga tak tahu, Bi. Padahal ini sudah jam 11," jawabku sembari melirik jam di ponsel. Dia menoleh ke segala arah dan sejenak termenung. Namun, mobil hitam berhenti di depan pagar, membuat kami sontak berdiri. "Itu mobilnya?" Telunjuk bibi pemilik rumah mengarah ke mobil dengan sedikit menekuk siku. Aku mengangguk. "Iya, Bi." Mengeratkan tas di genggaman. "Terima kasih banyak, Bi! Aku sudah merepotkan," ucapku mengulurkan tangan dan ditautnya.

    Last Updated : 2021-08-11
  • Bolehkah Aku Menangis   Wajah Merah

    "Minum obat ini, Nak." Ibunya Chicy mengulurkan bungkusan abu-abu pipih. Chicy merobek ujung bungkusan itu dan meraih air dari tangan ibunya. "Obat untuk apa?" tanyaku penasaran sembari mengangkat kepala dan bersandar. Namun, tulang belakang terasa retak saat mengenai bahu pembaringan. Mata merapat kuat, jemariku mencengkram kain kasur. "Sakit sekali?" Chicy meletakkan tangan di atas kepalanku. Kulihat, dia menatap nanar. "Hana kesakitan. Berikan obat agar sakitnya mereda," terang ibu Chicy dengan netra berkaca-kaca. Dia membalikkan tubuh hendak keluar dari kamar, tetapi aku yakin dia sedang menangis saat mengusap wajah dengan kedua tangan. Usai meneguk obat, aku mencari Fahmi dan Arni. Hanya ada Chicy di ruangan itu. Samar-samar suara orang di teras sedang membicarakan sesuatu menggunakan bahasa daerah. Beberapa kali mereka menyebut namaku dan Paman. "Chy, Fahmi dan Arni dimana?" Netraku megarah ke luar pintu kamar yan

    Last Updated : 2021-08-13
  • Bolehkah Aku Menangis   Desa atau Kota

    "Ada dua tempat tinggal yang didapat temanku, Han." Chycimembaca pesan di ponselnya sembari mendekatiku di pembaringan. Hampir dua hari, sakit di tubuhku baru saja membaik. "Dimana?" tanyaku melirik isi pesan di layar gawainya. "Ini, ada di kota Sinca dan di bagian desanya." Dia menatapku sembari memberi ponselnya agar aku membaca pesan dengan jelas. "Tempatnya cukup jauh dari kota ini, Chy. 2 jam perjalanan menempuhnya?" Pernah kudengar ada orang yang menceritakan kota Sinca itu. Chicy mengangguk. "Jika kau tinggal di perkotaan, kau bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, kata temanku. Tetapi, jika di desa, kau akan kesulitan, Han. Terlebih, di desanya terpencil, sekolah terbatas." Sejenak aku memutar mata. Membayangkan suasana kota dengan pergaulan bebas dan rawangnya kejahatan. Lalu, beralih ke pemandangan desa, tetapi pendidikan adik-adikku akan terbatas. "Jujur, aku lebih suka di pedesaan, Chy. Mungkin, makanan atau sayuran

    Last Updated : 2021-08-15

Latest chapter

  • Bolehkah Aku Menangis   Tentang Dia

    "Ada pria bernama Angga menanyakan keberadaanmu, Hana. Dia memintaku ceritakan semua tentangmu. Semua yang terjadi padamu sekarang, tetapi aku memilih memberi tahu kau dulu untuk meminta izin." Ucapan Chyci melalui ponsel terdengar jelas. Aku membayangkan wajah Angga. Beberapa bulan ini, kami tak pernah berbalas pesan. "Beri tahu keadaanku, jangan alamatku. Untuk saat ini, aku tak ingin diganggu siapa-siapa. Dia pria yang baik, tetapi kami saling menyukai. Kau tahu, aku ingin fokus pada adik-adik." "Baik, Han. Aku akan memberi tahunya. Kau istirahat saja!" Chyci menutup telepon. Sementara aku mengenang Angga. Terakhir komunikasi, aku sengaja melepas kartu ponsel agar tak ada yang menghubungi, terutama ibu. Entah, berapa lama hati bisa membohongi diri bahwa tak ada rindu pria yang sering menawarkan bantuan di sekolah. Rasa tertarik itu bisa membuat otakku tak berguna dengan baik. Cinta kadang mengubah segalanya semakin buruk. "Jika kita lul

  • Bolehkah Aku Menangis   Permintaan Fahmi

    Usai makan malam dan membersihkan wajah hingga bagian lain sebelum tidur, aku menyegarkan pikiran sejenak. "Kakak ...." Suara Fahmi membuka mataku yang hampir saja berlabuh ke mimpi. Menyalakan cahaya dari ponsel dan menoleh ke Fahmi. Tampak dia menghadap ke mukaku, sembari sesekali mencium kepala Fahri. "Ada apa? Tidurlah! Besok kau berangkat sekolah lebih pagi." "Aku tidak ingin sekolah dulu, Kak. Biarkan aku yang menjaga Fahri," ungkap Fahmi setengah berbisik. "Umurmu sudah 12 tahun. Kau ingin menunda berapa tahun? Jangan sia-siakan waktumu, Fahmi. Lagi pula, Kakak masih bisa mengasuh Fahri. Fokuslah dengan pelajaranmu!" Aku sedikit tegas walau dengan suara pelan. Jika Fahmi menunda sekolah hingga si Bungsu besar, aku akan kewalahan mengurusnya. Lebih baik, menyelohkan mereka sekaligus hingga lulus. "Sekali saja, Kak, ikuti permintaanku." Dia memohon, meraih lenganku dan menggoyahnya. "Tidak. Kau harus sekolah. Arni bi

  • Bolehkah Aku Menangis   Rumah Kuning

    "Kita langsung masuk saja, Kak, agar bisa beristirahat," ajak Fina memunggungi kami. Aku mengeratkan tangan di tubuh Fahri. Semntara Fahmi dan Arni membawa tas masing-masing. Punggung terasa berat karena mengaitkan tas berisi pakaianku hingga membuat kaki sedikit lambat. Melewati gerbang, tampak barisan rumah kecil dengan warna berbeda. Kupikir, itu membuat lebih mudah mengenali rumah yang akan kami tinggali walau bentuknya sama. "Ini perumahan pamanku, Kak," ungkap Fina menoleh ke arahku, tepat di belakangnya. Dia tampak berhenti menunggu. Menghela napas lebih dalam agar mendapat asupan. Entah mengapa, tubuhku cepat lelah. Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak!" Tak ada kata-kata yang muncul di kepala selain itu. Mungkin, otakku terlalu tertekan. Fina mengernyit, tetapi mena

  • Bolehkah Aku Menangis   Menjemput Si Bungsu

    Di perjalanan menuju rumah Nenek, orangtua ibu, aku membayangkan raut ibu usai mendapatkan pengganti ayah. Tak tahu, apa yang akan terjadi saat meminta Fahri untuk kuasuh sepenuhnya. Tak ingin jika mereka menolak seperti bibi dan Nenek Asha. Lagi pula, ibu memiliki tiga anak tiri yang akan dirawat hingga hendak memberi si bungsu ke Nenek Asha. Chyci menghentikan sepeda motor di depan rumah nenekku. Rumah berbahan kayu, berdiri Fahri bersama saudara sepupu yang masih kecil, berusia lima tahun. Dia berjalan ke arahku dengan langkah kecilnya. Buru-buru kaki menghampiri agar dia tak terjatuh. Fahri, mengeluarkan suara dengan makna menyebut, "Kakak Hana." Berulang kali dan tertawa kecil. Tanganku mengangkat dan mendekapnya. Terasa wangi bedak bayi khusus di pipi. "Adik Sayang," ujarku sembari merapatkan dagunya di bahu. Chyci mendorong punggungku dengan pelan. "Minta izin dengan cara baik-baik, Han!" suruhnya menatapku lebih tajam, tetapi dia memanca

  • Bolehkah Aku Menangis   Desa atau Kota

    "Ada dua tempat tinggal yang didapat temanku, Han." Chycimembaca pesan di ponselnya sembari mendekatiku di pembaringan. Hampir dua hari, sakit di tubuhku baru saja membaik. "Dimana?" tanyaku melirik isi pesan di layar gawainya. "Ini, ada di kota Sinca dan di bagian desanya." Dia menatapku sembari memberi ponselnya agar aku membaca pesan dengan jelas. "Tempatnya cukup jauh dari kota ini, Chy. 2 jam perjalanan menempuhnya?" Pernah kudengar ada orang yang menceritakan kota Sinca itu. Chicy mengangguk. "Jika kau tinggal di perkotaan, kau bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, kata temanku. Tetapi, jika di desa, kau akan kesulitan, Han. Terlebih, di desanya terpencil, sekolah terbatas." Sejenak aku memutar mata. Membayangkan suasana kota dengan pergaulan bebas dan rawangnya kejahatan. Lalu, beralih ke pemandangan desa, tetapi pendidikan adik-adikku akan terbatas. "Jujur, aku lebih suka di pedesaan, Chy. Mungkin, makanan atau sayuran

  • Bolehkah Aku Menangis   Wajah Merah

    "Minum obat ini, Nak." Ibunya Chicy mengulurkan bungkusan abu-abu pipih. Chicy merobek ujung bungkusan itu dan meraih air dari tangan ibunya. "Obat untuk apa?" tanyaku penasaran sembari mengangkat kepala dan bersandar. Namun, tulang belakang terasa retak saat mengenai bahu pembaringan. Mata merapat kuat, jemariku mencengkram kain kasur. "Sakit sekali?" Chicy meletakkan tangan di atas kepalanku. Kulihat, dia menatap nanar. "Hana kesakitan. Berikan obat agar sakitnya mereda," terang ibu Chicy dengan netra berkaca-kaca. Dia membalikkan tubuh hendak keluar dari kamar, tetapi aku yakin dia sedang menangis saat mengusap wajah dengan kedua tangan. Usai meneguk obat, aku mencari Fahmi dan Arni. Hanya ada Chicy di ruangan itu. Samar-samar suara orang di teras sedang membicarakan sesuatu menggunakan bahasa daerah. Beberapa kali mereka menyebut namaku dan Paman. "Chy, Fahmi dan Arni dimana?" Netraku megarah ke luar pintu kamar yan

  • Bolehkah Aku Menangis   Jeritan

    Netraku mengarah ke rumah Nona Muda. Di seberang jalan, hanya beberapa meter jaraknya. Daun-daun kering dari pohon berjatuhan dengan lembut. Loteng putih, aku mengerling lama, di jendela itu seperti ada seseorang yang mengamati. Sontak, menggigit bibir bawah dan menoleh ke pintu, ada pemilik rumah berdiri di sana. Dia memandangiku dan mengangguk seolah-olah bertanya ada apa. Tangan kanannya menangkup ponsel abu-abu. "Supirnya masih lama, Dik?" Dia melabuhkan tubuh di kursi teras. Kami saling menatap. "Aku juga tak tahu, Bi. Padahal ini sudah jam 11," jawabku sembari melirik jam di ponsel. Dia menoleh ke segala arah dan sejenak termenung. Namun, mobil hitam berhenti di depan pagar, membuat kami sontak berdiri. "Itu mobilnya?" Telunjuk bibi pemilik rumah mengarah ke mobil dengan sedikit menekuk siku. Aku mengangguk. "Iya, Bi." Mengeratkan tas di genggaman. "Terima kasih banyak, Bi! Aku sudah merepotkan," ucapku mengulurkan tangan dan ditautnya.

  • Bolehkah Aku Menangis   Tawaran Maya

    Duduk di dekat jendela, melihat kilau senja mengundang senyap dalam dada. Suasana rumah di kampung, saat aku dan keluarga masih bersama. Tak pernah terbayang, hidupku semakin menderita karena kepergian ayah. Mungkin, ibuku telah bahagia bersama suami barunya. Pemilik rumah menutup tirai, membuyarkan lamunanku. Dia tersenyum saat aku sedikit menengadah ke wajahnya. Kupaksa menyungging senyum agar dia tak merasa diacuhkan. Lalu, dia duduk di sebelah sofa. Aku mengarahkan tubuh ke depan, memegang tangan. "Kau masih bingung untuk tawaran sahabat Maria?" tanyanya dengan suara pelan. Kepalaku terangguk. "Iya, Bi. Ingin rasanya membawa adik-adik bersamaku, tetapi takut mereka tak aman. Tinggal di kampung juga mereka tersiksa, tidak ada yang mengurusnya dengan baik." Mata mendadak perih saat mengungkapkan isi hati dan pikiran. "Umur adik-adikmu berapa tahun?" Raut wajah wanita berkepala tiga itu tampak serius. Ia menghujaniku dengan tatapan lebih dalam.

  • Bolehkah Aku Menangis   Membesuk Nona Muda

    Aku dan tetangga Nona Muda tiba di rumah sakit. Tak terasa sudah siang, wanita di sampingku tampak mengeluarkan gawai. "Kita tunggu sahabat Maria di sini," ucapnya menatap layar gawai. Lalu, menoleh ke sekeliling. Aku hanya mengangguk. Menunduk, takut melihat orang yang sakit terluka bisa tiba-tiba muncul. Darah, bisa membuatku lemas jika melihatnya dengan jelas di tubuh manusia. "Maaf, Bi, membuatmu menunggu lama." Suara Maya dari arah belakang, sontak kami menatapnya. "Tidak, Nak. Kami baru saja tiba." Tetangga Nona Muda tersenyum dan menggeleng. Maya pun melangkah menyusuri lorong rumah sakit, kami mengikutinya berjalan berdampingan. Namun, aku memilih mundur dan berada di belakang Maya. Tiba di ruang rawat Nona Muda, aku mengamati sembari mendekati tempat pembaringan. Ia tampak pucat dengan selang oksigen di hidung. Maya berdiri di dekat kepala Nona Muda. Sementara tetangganya duduk memegangi jemari Nona M

DMCA.com Protection Status