“Sentuh aku sekarang juga!”
Gadis cantik itu merayunya dengan tatapan mata sendu, membuat Bima merasa jantungnya seakan ingin meledak."Mbak, jangan! Bahaya, Mbak! Mending Mbak diam dulu sampai saya antar pulang, ya!?" sahut Bima dengan gugup.Wajah pria itu memerah saat telapak tangan Gabriella yang lentik, menjalari pahanya dan berhenti tepat di tengah-tengah gundukan yang tersembunyi dalam celana."Pulang? Jangan pulang, Mas! Nanti ada orang rumah yang lihat," tolak gadis yang tengah mabuk itu, sambil mengusap-usap gundukan yang awalnya tenang, kini mulai menunjukkan eksistensinya."Mbak! Tangannya tolong dijaga! Saya jadi nggak bisa fokus nyetir!" hardik Bima, mulai tak bisa mengontrol emosinya ketika tangan Gabby sengaja berlalu lalang di sekitar area pribadi miliknya."Ayolah, Kak Bima. Tolong aku!" rengek Gabby, yang sudah tak bisa lagi mengontrol hasratnya.Bima mendesah berat. Ia kesal bukan kepalang. Pikirannya buyar, konsentrasinya terpecah. Ia yang sedang menyetir, harus mendapatkan godaan yang begitu besar seperti sekarang.Kini tangan Gabby berusaha untuk membuka ikat pinggang yang dikenakan oleh Bima, dan membuat lelaki dewasa itu semakin kalang kabut."Jangan dong, Mbak! Ya ampun! Mbak ini mabuk!" pekik Bima tertahan, saat tangan Gabriella semakin berani."Memangnya kenapa? Apa aku tidak menarik?" tanya Gabby dengan tatapan mata sendu merayu.Bima berusaha menepis tangan Gabby yang kini berusaha membuka resletingnya."Ya ampun, Mbak. Saya bisa dibunuh sama Pak Anthony kalo sampai Beliau tahu saya bersikap kurang ajar sama Mbak Gabby, apalagi sampai sentuh-sentuhan gak senonoh sama Mbak. Saya masih pengen hidup, Mbak!" bentak Bima dengan nadanya yang meninggi.Gabby menggeleng gusar. Obat yang sengaja diberikan padanya, mulai membakarnya dalam gairah yang membara. Tapi sayang seribu sayang, sang bodyguard tampan itu seakan tak tertarik pada dirinya."Mas Bima, kalau gitu, kita gak usah pulang! Mending, kita ke hotel! Bagaimana?" pinta Gabby masih berharap banyak pada pria di sampingnya."Untuk apa, Mbak? Mbak kan punya rumah, untuk apa pergi ke hotel?" tanya Bima, maniknya masih berusaha untuk fokus ke depan dan acuh kepada gadis muda di sampingnya yang masih terus mengganggunya."Lho, katanya takut sama Papa? Jadi, mending kita ke hotel biar kita bebas ngapain aja! Kak Bima bisa sentuh aku, deh!” balas Gabby dengan cengiran di wajahnya yang masih tersisa semburat merah, pertanda bahwa gadis itu masih mabuk.“Ngaco aja, kamu, kayak tahu aja apa yang dilakukan orang kalau pergi ke hotel! Udah, Mbak. Mendingan mbak tidur aja, biar mabuknya berkurang, dan nanti saya akan bangunkan kalau sudah sampai rumah.” Ucap Bima tegas.Pria itu memutuskan, dirinya harus lebih berwibawa di depan si nona muda. Apalagi, ada jarak umur di antara mereka berdua, Bima jelas harus menjadi pria yang bisa mengontrol emosi dan juga nafsu di depan Gabby.Tak mendengar adanya suara dan gerutuan dari si nona muda, Bima mengembuskan napas lega. Hari sudah tengah malam, dan ia harus mengantarkan sang nona pulang ke rumah dengan selamat.Namun sayang, belum sampai lima menit dirinya bernapas lega, ketenangannya tak berlangsung lama. Gadis itu kembali mencondongkan tubuhnya pada Bima, dan mengendusi parfum yang tercium samar dari leher kokoh pria itu.Ia menatap siluet wajah Bima yang tengah menyamping, dengan tatapan yang dalam.Pria itu cukup tampan. Garis hidungnya tinggi, dan garis rahangnya pun tegas. Bibir pria itu tidak berwarna kehitaman seperti pria perokok lainnya. Tubuhnya tinggi dan kekar, membuatnya terlihat sangat memukau saat memakai kemeja dan jas formal.Gabby lantas menurunkan tali gaun pestanya, sehingga bahunya yang putih dan mulus jadi terbuka.Tidak hanya cukup menurunkan tali gaun, Gabby juga melepas heels yang yang ia kenakan, kemudian duduk dengan menaikan kedua kakinya ke jok mobil. Kepalanya ia rebahkan ke belakang, dan membiarkan rambutnya tergerai berantakan.Saat Gabby asik dengan dirinya sendiri, Bima semakin pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak? Pemandangan di sampingnya terlalu menggoda. Gabriella yang cantik, sedang mabuk dan juga dibawah pengaruh obat perangsang. Sasaran yang sangat empuk jika Bima ingin mengambil kesempatan atas gadis itu."Mbak Gabby!" gumam Bima sambil berusaha mengalihkan tatapannya dari Gabby.Saat Bima berusaha untuk tak terprovokasi dengan tingkah laku sang nona, dan berusaha untuk fokus pada jalanan yang tengah ia lewati, tiba-tiba saja suara racauan dan desahan keluar dari mulut Gabby.Sontak hal itu semakin membuat pikiran Bima membayangkan hal yang tidak-tidak.Tak kuasa dengan perbuatan Gabby yang semakin menjadi-jadi, Bima pun menyepikan mobilnya ke kiri, dan mendorong sang nona muda perlahan.Perbuatan bodyguard tampan yang baru dikenalnya di pagi itu, membuat jantung Gabby berdebar-debar. Apakah akhirnya pria itu akan menyentuhnya?Antisipasi akan entah tangan kekar Bima, atau bibirnya, Gabby pun menutup matanya perlahan, napasnya menderu, tak sabar untuk melepaskan rasa panas yang terus memenuhi tubuhnya.Hingga tiba-tiba, Cklek!“Duduk yang manis, Nona. Jangan sampai kamu menyesal kalau terjadi apa-apa.”Akhirnya setengah jam kemudian, Bima merasa jika penderitaannya akan segera berakhir. Rumah kediaman keluarga Huang yang megah bak istana, sudah tak jauh lagi."Mbak Gabby, sudah sampai. Ayo saya bantu turun!" ucap Bima sebelum ia membuka pintu di samping kemudi."Aku mau digendong!" Gabby merengek dengan nada manja.Bima hanya mendesah saat mendengar permintaan sang nona muda. Dengan hati-hati, ia lantas membuka pintu mobil dekat Gabby, dan meraih tubuh sintal itu dalam rengkuhannya.Setiap kali kulit Gabby bergesekan dengan kulit Bima, maka efek obat itu semakin meletup-letup. Gabby mengalungkan kedua lengannya pada leher Bima, dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang dan berotot tersebut."Mbak Gabby diem ya! Jangan aneh-aneh. Nanti kalo saya gagal fokus, kita berdua bisa nyungsep!" bisik Bima dekat dengan telinga Gabby.Suasana rumah yang sudah sepi dan temaram, membuat Bima harus hati-hati melangkah sambil membawa bobot tubuh Gabby di kedua lengannya. Pada pukul satu dini har
Ia masih pada posisinya semula, tertelungkup di atas kasur dengan mulutmenganga. Suara dengkurannya yang kencang, seakan meredam suara jam weker yangberisik.Sebuah ketukan pintu yang menyerupai gedoran, seketika membuat keduamata pria itu terbuka seketika.Dengan mata masih setengah terpicing, ia meraih jam weker yang membuatgaduh tersebut, dan mematikannya."Ya ampun. Baru juga tidur sebentar. Udah pagi lagi," keluhnyapelan.Ia lantas menggeliat. Merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Iabaru bisa tidur jam tiga pagi, dan harus bangun jam enam pagi. Sungguh sangatmenyiksa hanya bisa tidur tiga jam setelah seharian sibuk bekerja."Bima!" Dari luar terdengar lagi ketukan pintu dan seseorang yang memanggilnamanya. Meskipun dengan perasaan enggan, ia memaksa dirinya untuk bangun danmembuka pintu."Iya, ya. Aku sudah bangun!" sahutnya, ketika ia membuka pintuuntuk seseorang yang sudah membangunkannya.Seorang pria berkulit putih dan bermata sipit, sudah berdiri di depanp
Gabby tidur seharian untuk menghilangkan efek mabuknya. Ia benar-benar bangun di sore hari, dan merasa jika tubuhnya lebih segar. Jauh berbeda dari sebelumnya."Aku harus bertemu dengan lelaki mesum itu! Dia pasti sudah mengambil kesempatan saat aku sedang mabuk!" gumam Gabby.Selain Maxwell dan teman-temannya, Gabby juga menaruh dendam pada pria yang jadi pengawalnya tersebut.Ingatannya pada kejadian Maxwell sangat jelas. Sedangkan ingatannya tentang Bima, rasanya samar-samar. Ingatan samar tentang sebuah ciuman yang membuatnya dimabuk kepayang. Sebuah ciuman yang mampu pikirannya kosong dan tubuhnya semakin terbakar."Ya ampun! Apa yang sudah dia lakukan padaku?!" pekik gadis itu, merasa malu dan terhina.Selain sudah menciumnya, Gabby yakin jika pria itu juga yang sudah melucuti bajunya ketika ia mabuk.Ia lantas menggeram marah. Pengawalnya memang harus diberi pelajaran tentang sopan santun!Setelah mandi dan merapikan diri, Gabby bergegas turun ke lantai satu. Tak ada siapapu
"Iya. Saat ini aku sedang jauh dari rumah," ucap Bima, ketika seseorang di seberang sambungan sana mulai menangis.Bima menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. Ia paling tidak tega jika seseorang yang sedang bicara dengannya itu mulai menangis. Pria itu lantas menarik nafas panjang. Tatapannya menerawang ke arah taman samping, yang terlihat dari arah dapur. Sebelah tangannya masuk ke dalam saku celana, sedangkan satunya lagi masih memegangi ponsel yang di dekatkan ke telinga."Nanti jika waktu sudah tiba, aku pasti a—""Mas Bima! Kau harus tanggung jawab!" Bima segera memutar tubuhnya ke arah seseorang yang baru saja berteriak tepat di belakangnya.Ia melihat sang nona yang kemarin malam sudah berhasil membuatnya tak bisa tidur hingga jam tiga dinihari, tengah berdiri dengan tampang galak.Dahi Bima mengernyit bingung."Tanggung jawab? Tanggung jawab apa?" tanya pria itu yang sempat terkaget-kaget karena perkataan Gabby barusan.Gabby melangkah satu kali agar lebih de
Bima menatap Jiao Long dengan tatapan bertanya-tanya.Jiao Long yang merasa jika ia tengah diperhatikan oleh seseorang, seketika menolehkan kepala."Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya pria bermata sipit, yang jadi tangan kanan dan orang kepercayaannya Anthony Huang.Bima berjalan pelan ke meja makan khusus para pekerja di rumah itu. "Tumben kau tidak membangunkanku pagi ini. Kenapa? Kau terlambat bangun?" tanya Bima.Tangannya mengambil sebuah piring, dan mengambil telor orak arik dan dua tangkup roti.Li Jiao Long hanya melirik sekilas pada Bima. dan kembali menatap laptop yang ada di depannya."Bapak hari ini ingin istirahat di rumah. Katanya beliau kurang fit hari ini," sahut Jiao Long, sambil menyesap kopi luwak kesukaannya.Bima tersenyum. Jika hari ini Anthony Huang tidak kemana-mana, berarti ia pun hanya akan berdiam diri di rumah."Kalau begitu, hari ini aku bebas tugas?" tanya Bima, sambil mengunyah roti dengan telor orak-arik yang jadi menu sarapannya.Jiao Long mengg
"Ayo, habiskan Gabby! Cepatlah kau habiskan!" Teriakan lantang seorang pria tiba-tiba memenuhi ruangan dengan lampukelap-kelip di dalam club. Pria itu berdiri sembari menjambak rambut seoranggadis muda, dan memaksanya untuk menenggak satu gelas alkohol yang sudahdisiapkan sejak tadi. Gadis yang bernama Gabriella Huang itu terbatuk-batuk dan menangis,ketika kerongkongannya serasa terbakar akibat minuman keras yang terpaksa harusia telan.Di sofa, seorang pria lain yang sedari tadi menatap ke arah sang wanitadan juga teman-temannya, hanya bisa tertawa melihat Gabby yang tersiksa. Entahmengapa, pria itu terlihat sangat puas bisa mempermainkan putri sulung darimusuh bebuyutan ayahnya.Manik biru dari pria campuran Australia-Indonesia bernama MaxwellDouglas itu seketika menggelap kala melihat gaun pesta yang dikenakan oleh sangwanita, mulai basah karena alkohol.Sementara Gabby, hanya bisa meringkuk di dekat sofa. Gadis itu berusahamenahan sakit yang mulai menjalar ke kepala,
"Kalian tak mengerti ucapanku?" tanya pria itu sekali lagi. Wajahnyayang tampan serta rahangnya yang kuat kini mengeras.Melihat kedatangan tamu tak diundang itu, Maxwell dan teman-temannya hanyabisa saling pandang, sebelum akhirnya tertawa meremehkan."Hei, kau. Ini bukan urusanmu! Memangnya siapa kau? Premankampungan? Gak usah ikut campur, yang ada kau yang cari mati sama kita!"tukas salah seorang pemuda yang saat itu kebagian memegangi tangan kiri Gabby.Tatapan mata Bima semakin gelap dan penuh kemarahan, ketika melihatkeadaan sang nona yang sudah tak karuan. Apalagi saat melihat sebelahtangan Maxwell berada di dalam gaun pesta Gabby, makin membuat pria itumeradang.Dia memang tak seharusnya meninggalkan Gabby sendirian. Memang,kedatangannya sebagai bodyguard pribadi untuk anak bosnya terkesan mendadak,sehingga membuat gadis itu tak begitu suka dengannya, dan memaksanya untuk takikut di dalam. Tapi, dia tak menyangka, jika dirinya justru akan menyaksikangadis yang sehar
Bima menatap Jiao Long dengan tatapan bertanya-tanya.Jiao Long yang merasa jika ia tengah diperhatikan oleh seseorang, seketika menolehkan kepala."Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya pria bermata sipit, yang jadi tangan kanan dan orang kepercayaannya Anthony Huang.Bima berjalan pelan ke meja makan khusus para pekerja di rumah itu. "Tumben kau tidak membangunkanku pagi ini. Kenapa? Kau terlambat bangun?" tanya Bima.Tangannya mengambil sebuah piring, dan mengambil telor orak arik dan dua tangkup roti.Li Jiao Long hanya melirik sekilas pada Bima. dan kembali menatap laptop yang ada di depannya."Bapak hari ini ingin istirahat di rumah. Katanya beliau kurang fit hari ini," sahut Jiao Long, sambil menyesap kopi luwak kesukaannya.Bima tersenyum. Jika hari ini Anthony Huang tidak kemana-mana, berarti ia pun hanya akan berdiam diri di rumah."Kalau begitu, hari ini aku bebas tugas?" tanya Bima, sambil mengunyah roti dengan telor orak-arik yang jadi menu sarapannya.Jiao Long mengg
"Iya. Saat ini aku sedang jauh dari rumah," ucap Bima, ketika seseorang di seberang sambungan sana mulai menangis.Bima menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. Ia paling tidak tega jika seseorang yang sedang bicara dengannya itu mulai menangis. Pria itu lantas menarik nafas panjang. Tatapannya menerawang ke arah taman samping, yang terlihat dari arah dapur. Sebelah tangannya masuk ke dalam saku celana, sedangkan satunya lagi masih memegangi ponsel yang di dekatkan ke telinga."Nanti jika waktu sudah tiba, aku pasti a—""Mas Bima! Kau harus tanggung jawab!" Bima segera memutar tubuhnya ke arah seseorang yang baru saja berteriak tepat di belakangnya.Ia melihat sang nona yang kemarin malam sudah berhasil membuatnya tak bisa tidur hingga jam tiga dinihari, tengah berdiri dengan tampang galak.Dahi Bima mengernyit bingung."Tanggung jawab? Tanggung jawab apa?" tanya pria itu yang sempat terkaget-kaget karena perkataan Gabby barusan.Gabby melangkah satu kali agar lebih de
Gabby tidur seharian untuk menghilangkan efek mabuknya. Ia benar-benar bangun di sore hari, dan merasa jika tubuhnya lebih segar. Jauh berbeda dari sebelumnya."Aku harus bertemu dengan lelaki mesum itu! Dia pasti sudah mengambil kesempatan saat aku sedang mabuk!" gumam Gabby.Selain Maxwell dan teman-temannya, Gabby juga menaruh dendam pada pria yang jadi pengawalnya tersebut.Ingatannya pada kejadian Maxwell sangat jelas. Sedangkan ingatannya tentang Bima, rasanya samar-samar. Ingatan samar tentang sebuah ciuman yang membuatnya dimabuk kepayang. Sebuah ciuman yang mampu pikirannya kosong dan tubuhnya semakin terbakar."Ya ampun! Apa yang sudah dia lakukan padaku?!" pekik gadis itu, merasa malu dan terhina.Selain sudah menciumnya, Gabby yakin jika pria itu juga yang sudah melucuti bajunya ketika ia mabuk.Ia lantas menggeram marah. Pengawalnya memang harus diberi pelajaran tentang sopan santun!Setelah mandi dan merapikan diri, Gabby bergegas turun ke lantai satu. Tak ada siapapu
Ia masih pada posisinya semula, tertelungkup di atas kasur dengan mulutmenganga. Suara dengkurannya yang kencang, seakan meredam suara jam weker yangberisik.Sebuah ketukan pintu yang menyerupai gedoran, seketika membuat keduamata pria itu terbuka seketika.Dengan mata masih setengah terpicing, ia meraih jam weker yang membuatgaduh tersebut, dan mematikannya."Ya ampun. Baru juga tidur sebentar. Udah pagi lagi," keluhnyapelan.Ia lantas menggeliat. Merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Iabaru bisa tidur jam tiga pagi, dan harus bangun jam enam pagi. Sungguh sangatmenyiksa hanya bisa tidur tiga jam setelah seharian sibuk bekerja."Bima!" Dari luar terdengar lagi ketukan pintu dan seseorang yang memanggilnamanya. Meskipun dengan perasaan enggan, ia memaksa dirinya untuk bangun danmembuka pintu."Iya, ya. Aku sudah bangun!" sahutnya, ketika ia membuka pintuuntuk seseorang yang sudah membangunkannya.Seorang pria berkulit putih dan bermata sipit, sudah berdiri di depanp
Akhirnya setengah jam kemudian, Bima merasa jika penderitaannya akan segera berakhir. Rumah kediaman keluarga Huang yang megah bak istana, sudah tak jauh lagi."Mbak Gabby, sudah sampai. Ayo saya bantu turun!" ucap Bima sebelum ia membuka pintu di samping kemudi."Aku mau digendong!" Gabby merengek dengan nada manja.Bima hanya mendesah saat mendengar permintaan sang nona muda. Dengan hati-hati, ia lantas membuka pintu mobil dekat Gabby, dan meraih tubuh sintal itu dalam rengkuhannya.Setiap kali kulit Gabby bergesekan dengan kulit Bima, maka efek obat itu semakin meletup-letup. Gabby mengalungkan kedua lengannya pada leher Bima, dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang dan berotot tersebut."Mbak Gabby diem ya! Jangan aneh-aneh. Nanti kalo saya gagal fokus, kita berdua bisa nyungsep!" bisik Bima dekat dengan telinga Gabby.Suasana rumah yang sudah sepi dan temaram, membuat Bima harus hati-hati melangkah sambil membawa bobot tubuh Gabby di kedua lengannya. Pada pukul satu dini har
“Sentuh aku sekarang juga!” Gadis cantik itu merayunya dengan tatapan mata sendu, membuat Bima merasa jantungnya seakan ingin meledak. "Mbak, jangan! Bahaya, Mbak! Mending Mbak diam dulu sampai saya antar pulang, ya!?" sahut Bima dengan gugup. Wajah pria itu memerah saat telapak tangan Gabriella yang lentik, menjalari pahanya dan berhenti tepat di tengah-tengah gundukan yang tersembunyi dalam celana. "Pulang? Jangan pulang, Mas! Nanti ada orang rumah yang lihat," tolak gadis yang tengah mabuk itu, sambil mengusap-usap gundukan yang awalnya tenang, kini mulai menunjukkan eksistensinya. "Mbak! Tangannya tolong dijaga! Saya jadi nggak bisa fokus nyetir!" hardik Bima, mulai tak bisa mengontrol emosinya ketika tangan Gabby sengaja berlalu lalang di sekitar area pribadi miliknya. "Ayolah, Kak Bima. Tolong aku!" rengek Gabby, yang sudah tak bisa lagi mengontrol hasratnya. Bima mendesah berat. Ia kesal bukan kepalang. Pikirannya buyar, konsentrasinya terpecah. Ia yang sedang menyetir, h
"Kalian tak mengerti ucapanku?" tanya pria itu sekali lagi. Wajahnyayang tampan serta rahangnya yang kuat kini mengeras.Melihat kedatangan tamu tak diundang itu, Maxwell dan teman-temannya hanyabisa saling pandang, sebelum akhirnya tertawa meremehkan."Hei, kau. Ini bukan urusanmu! Memangnya siapa kau? Premankampungan? Gak usah ikut campur, yang ada kau yang cari mati sama kita!"tukas salah seorang pemuda yang saat itu kebagian memegangi tangan kiri Gabby.Tatapan mata Bima semakin gelap dan penuh kemarahan, ketika melihatkeadaan sang nona yang sudah tak karuan. Apalagi saat melihat sebelahtangan Maxwell berada di dalam gaun pesta Gabby, makin membuat pria itumeradang.Dia memang tak seharusnya meninggalkan Gabby sendirian. Memang,kedatangannya sebagai bodyguard pribadi untuk anak bosnya terkesan mendadak,sehingga membuat gadis itu tak begitu suka dengannya, dan memaksanya untuk takikut di dalam. Tapi, dia tak menyangka, jika dirinya justru akan menyaksikangadis yang sehar
"Ayo, habiskan Gabby! Cepatlah kau habiskan!" Teriakan lantang seorang pria tiba-tiba memenuhi ruangan dengan lampukelap-kelip di dalam club. Pria itu berdiri sembari menjambak rambut seoranggadis muda, dan memaksanya untuk menenggak satu gelas alkohol yang sudahdisiapkan sejak tadi. Gadis yang bernama Gabriella Huang itu terbatuk-batuk dan menangis,ketika kerongkongannya serasa terbakar akibat minuman keras yang terpaksa harusia telan.Di sofa, seorang pria lain yang sedari tadi menatap ke arah sang wanitadan juga teman-temannya, hanya bisa tertawa melihat Gabby yang tersiksa. Entahmengapa, pria itu terlihat sangat puas bisa mempermainkan putri sulung darimusuh bebuyutan ayahnya.Manik biru dari pria campuran Australia-Indonesia bernama MaxwellDouglas itu seketika menggelap kala melihat gaun pesta yang dikenakan oleh sangwanita, mulai basah karena alkohol.Sementara Gabby, hanya bisa meringkuk di dekat sofa. Gadis itu berusahamenahan sakit yang mulai menjalar ke kepala,