Akhirnya setengah jam kemudian, Bima merasa jika penderitaannya akan segera berakhir. Rumah kediaman keluarga Huang yang megah bak istana, sudah tak jauh lagi.
"Mbak Gabby, sudah sampai. Ayo saya bantu turun!" ucap Bima sebelum ia membuka pintu di samping kemudi.
"Aku mau digendong!" Gabby merengek dengan nada manja.
Bima hanya mendesah saat mendengar permintaan sang nona muda. Dengan hati-hati, ia lantas membuka pintu mobil dekat Gabby, dan meraih tubuh sintal itu dalam rengkuhannya.
Setiap kali kulit Gabby bergesekan dengan kulit Bima, maka efek obat itu semakin meletup-letup. Gabby mengalungkan kedua lengannya pada leher Bima, dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang dan berotot tersebut.
"Mbak Gabby diem ya! Jangan aneh-aneh. Nanti kalo saya gagal fokus, kita berdua bisa nyungsep!" bisik Bima dekat dengan telinga Gabby.
Suasana rumah yang sudah sepi dan temaram, membuat Bima harus hati-hati melangkah sambil membawa bobot tubuh Gabby di kedua lengannya.
Pada pukul satu dini hari seperti ini, semua penghuni rumah pasti sudah berada dalam kamar mereka masing-masing. Nyonya besar dan Tuan besar Huang, pasti tidak menyadari jika putri sulung mereka baru saja pulang dari sebuah pesta, dalam keadaan mabuk dan juga 'horny'.
Semua pelayan di rumah itupun kini pasti sudah lelap, sebelum tiba saatnya nanti mereka harus bangun lagi di jam setengah empat pagi, untuk mulai kembali beraktivitas.
"Mas Bima," Gabby memanggil pelan.
"Mbak, kamar Mbak Gabby dimana? Saya belum hafal tata letak ruangan di rumah ini selain area bawah khusus pelayan," tanya Bima yang sedang kebingungan.
Gabby terkekeh. "Kamar saya ada di lantai tiga di sayap utara. Naik lift aja yuk!"
Bima mengerti. Ia langsung berjalan menuju area lift daripada harus bersusah payah menggunakan tangga.
Namun ternyata ujian kesabaran Bima tidak hanya itu saja. Begitu pintu lift terbuka, ia harus dihadapkan dengan dua lorong.
"Nah sekarang, saya harus ambil lorong yang kanan atau yang kiri?" tanya Bima pada Gabby.
"Kiri!" Gabby mengarahkan telunjuknya ke arah kiri.
Bima lantas kembali mengikuti arahan putri majikannya tersebut.
Langkah Bima kembali ragu. Kini di depannya ada tiga pilihan pintu berwarna putih, yang berada di lorong yang dihiasi oleh guci antik, lukisan gaya renaisans, dan pot bunga.
"Sekarang kamarnya yang mana, Mbak?" tanya Bima lagi.
"Kamar paling ujung," gumam Gabby.
Tak lama kemudian mereka berdua sudah berada di depan pintu kamar yang dimaksud oleh sang nona.
"Nah, sekarang udah di depan pintu kamar. Mbak Gabby turun ya! Saya cuma antar sampe depan sini," ucap Bima. Ia merasa tugasnya sebagai pengawal sudah selesai sampai disini.
"Nggak mau! Mau nyampe masuk kamar!"
"Tapi Mbak, cowok bujang nggak boleh masuk ke dalam kamar anak perawan. Pamali!" kelit Bima. Padahal ia hanya ingin segera membebaskan dirinya dari godaan putri sang tuan besar.
"Nggak ada pantangan!" Gabby bersikeras.
Gadis itu malah makin mengetatkan dekapannya pada tubuh Bima.
Sekali lagi Bima hanya bisa mendesah.
"Sabar sabar sabar," bisik Bima, seperti sedang merapal mantera untuk menyemangati dirinya sendiri.
Bima lalu membuka pintu dengan tulisan GABRIELLA di depannya. Saat pintu kamar itu terbuka, tampaklah kamar yang didekor khusus ala Disney princess, dan membuat Bima jadi terkagum-kagum.
Dengan hati-hati, Bima kemudian meletakkan tubuh Gabby di atas ranjang.
Tapi saat Bima hendak menegakkan tubuhnya kembali, tiba-tiba saja dasi yang ia pakai sengaja ditarik oleh Gabby, hingga akhirnya Bima hilang keseimbangan dan jatuh menimpa tubuh Gabby.
CUP!
Mata Gabby terpejam. Mata Bima terbelalak. Bibir mereka berdua saling bertemu saat itu.
Bim merasa kepalanya seketika kosong karena kaget setengah mati saat bibirnya mendarat tepat pada bibir Gabby yang lembut dan kenyal.
Dengan panik, Bima segera mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Gabby dan memisahkan diri.
Ia lantas menggosok-gosokkan bibirnya dengan kencang menggunakan kedua tangannya, seakan-akan ia baru saja mencium sarang semut.
"Ya Tuhan, Mbak Gabby!" keluh Bima. Rasanya ia sudah kehilangan kata-kata untuk menjabarkan betapa serba salahnya ia saat ini.
Gabby tertawa. Melihat pria itu kelimpungan, membuatnya semakin merasakan kegembiraan.
"Mas Bima jangan bilang kalo itu ciuman pertamanya," ejek Gabby menertawakan ekspresi wajah sang bodyguardnya yang tampan.
Mulut Bima ternganga. Ia lantas menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Rasanya saya udah kehabisan kata-kata," bisik Bima putus asa.
Hasrat Gabby semakin melambung tinggi saat menyadari sesuatu sudah menonjol diantara selangkangan Bima, yang tersembunyi dalam celana.
Melihat hal itu, Gabby segera bangun dari tidurnya, dan beranjak melangkah ke arah pintu.
Trek!
Kepala Bima segera berputar ketika mendengar suara pintu yang dikunci.
Matanya terbelalak ketika melihat Gabby bersandar pada daun pintu, sambil menanggalkan gaun pesta satu-satunya yang masih menempel di tubuhnya.
Demi kesopanan, Bima segera menutup mata agar tak dapat melihat betapa moleknya tubuh Gabriella saat ini. Ia lelaki normal. Tentu saja melihat pemandangan seperti itu membuat Bima terpengaruh dan juga mulai bereaksi.
Tapi demi apapun juga, saat ini ia harus bertahan mengalahkan hawa nafsunya sendiri.
"Nona Gabriella, tolong segera berpakaian dan biarkan saya keluar!" hardik Bima. Kali ini ia harus bersikap tegas dan formal pada anak majikannya tersebut.
"Nggak mau! Ini panas!" rengek Gabby, tetap bersikukuh.
"Anda nggak boleh seperti itu di depan saya! Saya nggak punya hak! Cepat pakai lagi bajunya!"
Entah kenapa semakin Bima bersikeras, semakin tertantang nyali Gabby. Gadis itu malah merapatkan tubuhnya pada tubuh tinggi besar pria yang ada di depannya.
Tubuh Bima mengejang ketika merasakan tubuh Gabby yang setengah telanjang menempel pada tubuhnya.
Gadis itu kemudian berjinjit, agar wajahnya bisa sejajar dengan wajah Bima yang masih menutup rapat matanya.
Kepala Bima seakan kosong saat bibir Gabby yang ranum, kembali mendarat pada bibirnya. Ia bingung harus bagaimana.
Saat ia ingin menyerah pada hasrat dan membalas ciuman dari Gabby, tiba-tiba saja terbayang di pelupuk matanya bayangan Anthony Huang. Pria tua berkharisma yang sudah baik hati memberikan sebuah pekerjaan pada dirinya yang hanya hidup luntang lantung di jalanan.
"Stop!" Bima meraih kedua lengan Gabby, dan menjauhkan tubuh gadis itu dari tubuhnya. "Mbak Gabby, sekali lagi saya bilang kalo saya nggak bisa!"
Mata gadis itu mengerjap-ngerjap. Percikan gairah masih menyelimutinya.
"Kenapa? Apa aku kurang cantik?" tanyanya kecewa.
"Seumpama ada laki-laki yang bilang kalo Mbak Gabby itu nggak cantik, bakal saya colok itu biji matanya!" jawab Bima berapi-api. "Mbak Gabby itu cantik. Cantik banget malah! Tapi saya nggak mau bikin Pak Anthony kecewa. Saya nggak bisa mengkhianati orang yang udah nolongin saya!"
Gabby menelan ludahnya. Ia sudah tak bisa berpikir jernih. Ia merasa jika Bima hanya berusaha untuk jual mahal padanya dengan bermacam alasan.
Melihat gadis itu hanya mematung, Bima pikir jika Gabby sudah mengerti. Ia kemudian melepaskan lengan Gabby dan berjalan ke tempat tidur untuk mengambil jas yang tadi dipakai untuk menutupi tubuh gadis itu.
Bima lengah dan tak menyangka jika saat ia sedang mengambil jas-nya, tiba-tiba saja Gabby dengan sengaja menabrakkan tubuh, hingga pria itu jatuh terlentang di atas kasur.
Melihat Bina yang masih terkaget-kaget, tanpa mau menunggu lagi, Gabby segera naik ke atas tubuh Bima dan mendudukinya.
"Ya ampun ya ampun ya ampun! Ini pelecehan namanya!" jerit Bima sambil berusaha untuk bangun, meskipun ia kesulitan. Kini posisi Bima seperti tengah memangku Gabby sambil berhadapan.
"Mas Bima jangan jual mahal! Aku tahu Mas Bima juga punya hasrat yang sama!" tuding gadis itu lagi, sambil mencengkram kerah kemeja Bima, dan mendekatkan wajah pria itu pada wajahnya.
Gabby lantas bergerak tak sengaja, membuat Bima menggeram pelan.
"Mbak Gabby cepetan turun, atau jangan gerak-gerak!" pekik pria itu.
Ia berusaha menahan pinggul Gabby, agar tak semakin memprovokasi forbidden area miliknya, yang saat ini tengah diduduki oleh gadis keturunan Tionghoa tersebut.
Bukannya menurut, Gabby malah bergerak gelisah. "Dasar Mas Bima munafik!"
"Saya nggak munafik, Mbak!" Bima mendengkus. Nafsunya mulai naik ke ubun-ubun.
Semakin Bima berkelit, semakin Gabby gemas padanya. Gadis itu kemudian dengan sengaja menengadahkan leher Bima, dan memberikan kecupan sebagai tanda di lehernya.
Tanggul pertahanan yang sejak tadi Bima bangun, seketika roboh.
"Non sense!" geramnya lagi.
Persetan dengan semua tata krama!
Persetan dengan semua aturan!
Bima segera meraih kepala Gabby, untuk memperdalam ciuman antara mereka berdua.
Tubuh Gabby bersorak gembira ketika ciumannya berbalas. Kepalanya seakan melayang, dan kesadarannya terombang-ambing.
Dengan tergesa-gesa Bima membuka dasi dan kemeja putih yang ia kenakan, lalu membuangnya sembarangan.
Bima mendorong tubuh Gabby dan mulai mencumbunya. Erangan dan desahan Gabby, seakan suara pemandu sorak yang tengah menyemangatinya agar menyelesaikan pertandingan.
Harum aroma tubuh Gabby membuat Bima semakin melambung, dan membuatnya makin intens menjelajahi leher jenjang gadis cantik tersebut.
Tapi saat hasrat Bima meninggi, tiba-tiba saja pria itu menyadari jika Gabby sudah terdiam tanpa adalagi pergerakan yang memprovokasi nya lagi.
"Gabby," bisik Bima parau. Namun ketika melihat wajah Gabby yang terpejam, seketika Bima merasakan kekecewaan yang luar biasa.
"Loh, ko aku ditinggal tidur? Mbak! Mbak Gabby harus tanggung jawab!''
Ia masih pada posisinya semula, tertelungkup di atas kasur dengan mulutmenganga. Suara dengkurannya yang kencang, seakan meredam suara jam weker yangberisik.Sebuah ketukan pintu yang menyerupai gedoran, seketika membuat keduamata pria itu terbuka seketika.Dengan mata masih setengah terpicing, ia meraih jam weker yang membuatgaduh tersebut, dan mematikannya."Ya ampun. Baru juga tidur sebentar. Udah pagi lagi," keluhnyapelan.Ia lantas menggeliat. Merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Iabaru bisa tidur jam tiga pagi, dan harus bangun jam enam pagi. Sungguh sangatmenyiksa hanya bisa tidur tiga jam setelah seharian sibuk bekerja."Bima!" Dari luar terdengar lagi ketukan pintu dan seseorang yang memanggilnamanya. Meskipun dengan perasaan enggan, ia memaksa dirinya untuk bangun danmembuka pintu."Iya, ya. Aku sudah bangun!" sahutnya, ketika ia membuka pintuuntuk seseorang yang sudah membangunkannya.Seorang pria berkulit putih dan bermata sipit, sudah berdiri di depanp
Gabby tidur seharian untuk menghilangkan efek mabuknya. Ia benar-benar bangun di sore hari, dan merasa jika tubuhnya lebih segar. Jauh berbeda dari sebelumnya."Aku harus bertemu dengan lelaki mesum itu! Dia pasti sudah mengambil kesempatan saat aku sedang mabuk!" gumam Gabby.Selain Maxwell dan teman-temannya, Gabby juga menaruh dendam pada pria yang jadi pengawalnya tersebut.Ingatannya pada kejadian Maxwell sangat jelas. Sedangkan ingatannya tentang Bima, rasanya samar-samar. Ingatan samar tentang sebuah ciuman yang membuatnya dimabuk kepayang. Sebuah ciuman yang mampu pikirannya kosong dan tubuhnya semakin terbakar."Ya ampun! Apa yang sudah dia lakukan padaku?!" pekik gadis itu, merasa malu dan terhina.Selain sudah menciumnya, Gabby yakin jika pria itu juga yang sudah melucuti bajunya ketika ia mabuk.Ia lantas menggeram marah. Pengawalnya memang harus diberi pelajaran tentang sopan santun!Setelah mandi dan merapikan diri, Gabby bergegas turun ke lantai satu. Tak ada siapapu
"Iya. Saat ini aku sedang jauh dari rumah," ucap Bima, ketika seseorang di seberang sambungan sana mulai menangis.Bima menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. Ia paling tidak tega jika seseorang yang sedang bicara dengannya itu mulai menangis. Pria itu lantas menarik nafas panjang. Tatapannya menerawang ke arah taman samping, yang terlihat dari arah dapur. Sebelah tangannya masuk ke dalam saku celana, sedangkan satunya lagi masih memegangi ponsel yang di dekatkan ke telinga."Nanti jika waktu sudah tiba, aku pasti a—""Mas Bima! Kau harus tanggung jawab!" Bima segera memutar tubuhnya ke arah seseorang yang baru saja berteriak tepat di belakangnya.Ia melihat sang nona yang kemarin malam sudah berhasil membuatnya tak bisa tidur hingga jam tiga dinihari, tengah berdiri dengan tampang galak.Dahi Bima mengernyit bingung."Tanggung jawab? Tanggung jawab apa?" tanya pria itu yang sempat terkaget-kaget karena perkataan Gabby barusan.Gabby melangkah satu kali agar lebih de
Bima menatap Jiao Long dengan tatapan bertanya-tanya.Jiao Long yang merasa jika ia tengah diperhatikan oleh seseorang, seketika menolehkan kepala."Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya pria bermata sipit, yang jadi tangan kanan dan orang kepercayaannya Anthony Huang.Bima berjalan pelan ke meja makan khusus para pekerja di rumah itu. "Tumben kau tidak membangunkanku pagi ini. Kenapa? Kau terlambat bangun?" tanya Bima.Tangannya mengambil sebuah piring, dan mengambil telor orak arik dan dua tangkup roti.Li Jiao Long hanya melirik sekilas pada Bima. dan kembali menatap laptop yang ada di depannya."Bapak hari ini ingin istirahat di rumah. Katanya beliau kurang fit hari ini," sahut Jiao Long, sambil menyesap kopi luwak kesukaannya.Bima tersenyum. Jika hari ini Anthony Huang tidak kemana-mana, berarti ia pun hanya akan berdiam diri di rumah."Kalau begitu, hari ini aku bebas tugas?" tanya Bima, sambil mengunyah roti dengan telor orak-arik yang jadi menu sarapannya.Jiao Long mengg
"Ayo, habiskan Gabby! Cepatlah kau habiskan!" Teriakan lantang seorang pria tiba-tiba memenuhi ruangan dengan lampukelap-kelip di dalam club. Pria itu berdiri sembari menjambak rambut seoranggadis muda, dan memaksanya untuk menenggak satu gelas alkohol yang sudahdisiapkan sejak tadi. Gadis yang bernama Gabriella Huang itu terbatuk-batuk dan menangis,ketika kerongkongannya serasa terbakar akibat minuman keras yang terpaksa harusia telan.Di sofa, seorang pria lain yang sedari tadi menatap ke arah sang wanitadan juga teman-temannya, hanya bisa tertawa melihat Gabby yang tersiksa. Entahmengapa, pria itu terlihat sangat puas bisa mempermainkan putri sulung darimusuh bebuyutan ayahnya.Manik biru dari pria campuran Australia-Indonesia bernama MaxwellDouglas itu seketika menggelap kala melihat gaun pesta yang dikenakan oleh sangwanita, mulai basah karena alkohol.Sementara Gabby, hanya bisa meringkuk di dekat sofa. Gadis itu berusahamenahan sakit yang mulai menjalar ke kepala,
"Kalian tak mengerti ucapanku?" tanya pria itu sekali lagi. Wajahnyayang tampan serta rahangnya yang kuat kini mengeras.Melihat kedatangan tamu tak diundang itu, Maxwell dan teman-temannya hanyabisa saling pandang, sebelum akhirnya tertawa meremehkan."Hei, kau. Ini bukan urusanmu! Memangnya siapa kau? Premankampungan? Gak usah ikut campur, yang ada kau yang cari mati sama kita!"tukas salah seorang pemuda yang saat itu kebagian memegangi tangan kiri Gabby.Tatapan mata Bima semakin gelap dan penuh kemarahan, ketika melihatkeadaan sang nona yang sudah tak karuan. Apalagi saat melihat sebelahtangan Maxwell berada di dalam gaun pesta Gabby, makin membuat pria itumeradang.Dia memang tak seharusnya meninggalkan Gabby sendirian. Memang,kedatangannya sebagai bodyguard pribadi untuk anak bosnya terkesan mendadak,sehingga membuat gadis itu tak begitu suka dengannya, dan memaksanya untuk takikut di dalam. Tapi, dia tak menyangka, jika dirinya justru akan menyaksikangadis yang sehar
“Sentuh aku sekarang juga!” Gadis cantik itu merayunya dengan tatapan mata sendu, membuat Bima merasa jantungnya seakan ingin meledak. "Mbak, jangan! Bahaya, Mbak! Mending Mbak diam dulu sampai saya antar pulang, ya!?" sahut Bima dengan gugup. Wajah pria itu memerah saat telapak tangan Gabriella yang lentik, menjalari pahanya dan berhenti tepat di tengah-tengah gundukan yang tersembunyi dalam celana. "Pulang? Jangan pulang, Mas! Nanti ada orang rumah yang lihat," tolak gadis yang tengah mabuk itu, sambil mengusap-usap gundukan yang awalnya tenang, kini mulai menunjukkan eksistensinya. "Mbak! Tangannya tolong dijaga! Saya jadi nggak bisa fokus nyetir!" hardik Bima, mulai tak bisa mengontrol emosinya ketika tangan Gabby sengaja berlalu lalang di sekitar area pribadi miliknya. "Ayolah, Kak Bima. Tolong aku!" rengek Gabby, yang sudah tak bisa lagi mengontrol hasratnya. Bima mendesah berat. Ia kesal bukan kepalang. Pikirannya buyar, konsentrasinya terpecah. Ia yang sedang menyetir, h
Bima menatap Jiao Long dengan tatapan bertanya-tanya.Jiao Long yang merasa jika ia tengah diperhatikan oleh seseorang, seketika menolehkan kepala."Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya pria bermata sipit, yang jadi tangan kanan dan orang kepercayaannya Anthony Huang.Bima berjalan pelan ke meja makan khusus para pekerja di rumah itu. "Tumben kau tidak membangunkanku pagi ini. Kenapa? Kau terlambat bangun?" tanya Bima.Tangannya mengambil sebuah piring, dan mengambil telor orak arik dan dua tangkup roti.Li Jiao Long hanya melirik sekilas pada Bima. dan kembali menatap laptop yang ada di depannya."Bapak hari ini ingin istirahat di rumah. Katanya beliau kurang fit hari ini," sahut Jiao Long, sambil menyesap kopi luwak kesukaannya.Bima tersenyum. Jika hari ini Anthony Huang tidak kemana-mana, berarti ia pun hanya akan berdiam diri di rumah."Kalau begitu, hari ini aku bebas tugas?" tanya Bima, sambil mengunyah roti dengan telor orak-arik yang jadi menu sarapannya.Jiao Long mengg
"Iya. Saat ini aku sedang jauh dari rumah," ucap Bima, ketika seseorang di seberang sambungan sana mulai menangis.Bima menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. Ia paling tidak tega jika seseorang yang sedang bicara dengannya itu mulai menangis. Pria itu lantas menarik nafas panjang. Tatapannya menerawang ke arah taman samping, yang terlihat dari arah dapur. Sebelah tangannya masuk ke dalam saku celana, sedangkan satunya lagi masih memegangi ponsel yang di dekatkan ke telinga."Nanti jika waktu sudah tiba, aku pasti a—""Mas Bima! Kau harus tanggung jawab!" Bima segera memutar tubuhnya ke arah seseorang yang baru saja berteriak tepat di belakangnya.Ia melihat sang nona yang kemarin malam sudah berhasil membuatnya tak bisa tidur hingga jam tiga dinihari, tengah berdiri dengan tampang galak.Dahi Bima mengernyit bingung."Tanggung jawab? Tanggung jawab apa?" tanya pria itu yang sempat terkaget-kaget karena perkataan Gabby barusan.Gabby melangkah satu kali agar lebih de
Gabby tidur seharian untuk menghilangkan efek mabuknya. Ia benar-benar bangun di sore hari, dan merasa jika tubuhnya lebih segar. Jauh berbeda dari sebelumnya."Aku harus bertemu dengan lelaki mesum itu! Dia pasti sudah mengambil kesempatan saat aku sedang mabuk!" gumam Gabby.Selain Maxwell dan teman-temannya, Gabby juga menaruh dendam pada pria yang jadi pengawalnya tersebut.Ingatannya pada kejadian Maxwell sangat jelas. Sedangkan ingatannya tentang Bima, rasanya samar-samar. Ingatan samar tentang sebuah ciuman yang membuatnya dimabuk kepayang. Sebuah ciuman yang mampu pikirannya kosong dan tubuhnya semakin terbakar."Ya ampun! Apa yang sudah dia lakukan padaku?!" pekik gadis itu, merasa malu dan terhina.Selain sudah menciumnya, Gabby yakin jika pria itu juga yang sudah melucuti bajunya ketika ia mabuk.Ia lantas menggeram marah. Pengawalnya memang harus diberi pelajaran tentang sopan santun!Setelah mandi dan merapikan diri, Gabby bergegas turun ke lantai satu. Tak ada siapapu
Ia masih pada posisinya semula, tertelungkup di atas kasur dengan mulutmenganga. Suara dengkurannya yang kencang, seakan meredam suara jam weker yangberisik.Sebuah ketukan pintu yang menyerupai gedoran, seketika membuat keduamata pria itu terbuka seketika.Dengan mata masih setengah terpicing, ia meraih jam weker yang membuatgaduh tersebut, dan mematikannya."Ya ampun. Baru juga tidur sebentar. Udah pagi lagi," keluhnyapelan.Ia lantas menggeliat. Merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Iabaru bisa tidur jam tiga pagi, dan harus bangun jam enam pagi. Sungguh sangatmenyiksa hanya bisa tidur tiga jam setelah seharian sibuk bekerja."Bima!" Dari luar terdengar lagi ketukan pintu dan seseorang yang memanggilnamanya. Meskipun dengan perasaan enggan, ia memaksa dirinya untuk bangun danmembuka pintu."Iya, ya. Aku sudah bangun!" sahutnya, ketika ia membuka pintuuntuk seseorang yang sudah membangunkannya.Seorang pria berkulit putih dan bermata sipit, sudah berdiri di depanp
Akhirnya setengah jam kemudian, Bima merasa jika penderitaannya akan segera berakhir. Rumah kediaman keluarga Huang yang megah bak istana, sudah tak jauh lagi."Mbak Gabby, sudah sampai. Ayo saya bantu turun!" ucap Bima sebelum ia membuka pintu di samping kemudi."Aku mau digendong!" Gabby merengek dengan nada manja.Bima hanya mendesah saat mendengar permintaan sang nona muda. Dengan hati-hati, ia lantas membuka pintu mobil dekat Gabby, dan meraih tubuh sintal itu dalam rengkuhannya.Setiap kali kulit Gabby bergesekan dengan kulit Bima, maka efek obat itu semakin meletup-letup. Gabby mengalungkan kedua lengannya pada leher Bima, dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang dan berotot tersebut."Mbak Gabby diem ya! Jangan aneh-aneh. Nanti kalo saya gagal fokus, kita berdua bisa nyungsep!" bisik Bima dekat dengan telinga Gabby.Suasana rumah yang sudah sepi dan temaram, membuat Bima harus hati-hati melangkah sambil membawa bobot tubuh Gabby di kedua lengannya. Pada pukul satu dini har
“Sentuh aku sekarang juga!” Gadis cantik itu merayunya dengan tatapan mata sendu, membuat Bima merasa jantungnya seakan ingin meledak. "Mbak, jangan! Bahaya, Mbak! Mending Mbak diam dulu sampai saya antar pulang, ya!?" sahut Bima dengan gugup. Wajah pria itu memerah saat telapak tangan Gabriella yang lentik, menjalari pahanya dan berhenti tepat di tengah-tengah gundukan yang tersembunyi dalam celana. "Pulang? Jangan pulang, Mas! Nanti ada orang rumah yang lihat," tolak gadis yang tengah mabuk itu, sambil mengusap-usap gundukan yang awalnya tenang, kini mulai menunjukkan eksistensinya. "Mbak! Tangannya tolong dijaga! Saya jadi nggak bisa fokus nyetir!" hardik Bima, mulai tak bisa mengontrol emosinya ketika tangan Gabby sengaja berlalu lalang di sekitar area pribadi miliknya. "Ayolah, Kak Bima. Tolong aku!" rengek Gabby, yang sudah tak bisa lagi mengontrol hasratnya. Bima mendesah berat. Ia kesal bukan kepalang. Pikirannya buyar, konsentrasinya terpecah. Ia yang sedang menyetir, h
"Kalian tak mengerti ucapanku?" tanya pria itu sekali lagi. Wajahnyayang tampan serta rahangnya yang kuat kini mengeras.Melihat kedatangan tamu tak diundang itu, Maxwell dan teman-temannya hanyabisa saling pandang, sebelum akhirnya tertawa meremehkan."Hei, kau. Ini bukan urusanmu! Memangnya siapa kau? Premankampungan? Gak usah ikut campur, yang ada kau yang cari mati sama kita!"tukas salah seorang pemuda yang saat itu kebagian memegangi tangan kiri Gabby.Tatapan mata Bima semakin gelap dan penuh kemarahan, ketika melihatkeadaan sang nona yang sudah tak karuan. Apalagi saat melihat sebelahtangan Maxwell berada di dalam gaun pesta Gabby, makin membuat pria itumeradang.Dia memang tak seharusnya meninggalkan Gabby sendirian. Memang,kedatangannya sebagai bodyguard pribadi untuk anak bosnya terkesan mendadak,sehingga membuat gadis itu tak begitu suka dengannya, dan memaksanya untuk takikut di dalam. Tapi, dia tak menyangka, jika dirinya justru akan menyaksikangadis yang sehar
"Ayo, habiskan Gabby! Cepatlah kau habiskan!" Teriakan lantang seorang pria tiba-tiba memenuhi ruangan dengan lampukelap-kelip di dalam club. Pria itu berdiri sembari menjambak rambut seoranggadis muda, dan memaksanya untuk menenggak satu gelas alkohol yang sudahdisiapkan sejak tadi. Gadis yang bernama Gabriella Huang itu terbatuk-batuk dan menangis,ketika kerongkongannya serasa terbakar akibat minuman keras yang terpaksa harusia telan.Di sofa, seorang pria lain yang sedari tadi menatap ke arah sang wanitadan juga teman-temannya, hanya bisa tertawa melihat Gabby yang tersiksa. Entahmengapa, pria itu terlihat sangat puas bisa mempermainkan putri sulung darimusuh bebuyutan ayahnya.Manik biru dari pria campuran Australia-Indonesia bernama MaxwellDouglas itu seketika menggelap kala melihat gaun pesta yang dikenakan oleh sangwanita, mulai basah karena alkohol.Sementara Gabby, hanya bisa meringkuk di dekat sofa. Gadis itu berusahamenahan sakit yang mulai menjalar ke kepala,