enjoy reading ...
"Aku punya banyak uang bahkan untuk membeli celana dalammu, Tuan!" Mataku hampir membelalak tidak percaya melihat siapa yang kini sedang berbicara dengan sombongnya di hadapan kami berdua. Risty. "Maaf, saya tidak punya urusan dengan anda," jawab Pak Chang dingin. "But, I have!" Risty justru berlagak menantang. "What's problem? Kita nggak saling kenal." "Setidaknya anda harus mengucapkan terima kasih pada laki-laki yang udah menyelamatkan nyawa kedua anak anda! Bukan memarahinya seperti orang tidak berguna! Dimana hatimu, Tuan?! Sudah mengeras? Sudah tidak memiliki empati karena sering dilukai?" Risty dan segala keberaniannya adalah hal yang tidak pernah terbantah sejak kami kenal hingga saat ini. Bahkan dengan penampilannya yang jauh lebih dewasa, kini ia menjelma menjadi perempuan cantik mempesona, dan bijaksana. "Tolong pergi, Nona. Anda bukan tamu saya," usir Pak Chang. "Rado, lo tahu dimana harus nemuin gue setelah ini. Dan satu lagi, mending lo lepas dari bos yang nggak
"Tumben ke gelanggang?" Aku menghentikan tinjuan ke samsak begitu sebuah suara yang sangat familiar bertanya. Kemudian aku sedikit membungkukkan tubuh dengan nafas masih berkejar-kejaran dan peluh yang membasahi sekujur tubuh. "Istirahat dulu. Dari tadi aku perhatiin, kamu nggak ada berhentinya ninju samsak." Kepalaku mengangguk pada senior di gelanggang ini, Pak Teguh. Lalu mengikuti langkah kakinya hingga kami duduk bersama di kursi panjang yang ada di tepian gelanggang ini. Beliau menyodorkan sebotol air mineral yang tidak terlalu dingin lalu aku meneguknya hingga tersisa setengah. "Kamu ada masalah, Do?" Aku memilih diam sambil memandang air mineral yang ada di dalam botol. "Apapun masalahnya, kamu boleh melampiaskannya ke samsak gelanggang ini bahkan sampai samsak itu hancur pun aku nggak masalah. Tapi, jangan lupa untuk menyelasaikan apa yang jadi masalahmu, anak muda." Sudah dua minggu ini aku rajin mengunjungi gelanggang yang dulu sering kugunakan untuk mengasah ke
"Kenapa lo senyam-senyum?" Senyum Risty tidak lekang dari bibirnya sejak kami duduk di salah satu kafe berkelas yang ada di sebuah hotel berbintang yang tidak jauh dari kantorku. Berbeda denganku yang memasang wajah kurang senyum untuk menyembunyikan degub jantungku yang berdetak cepat. "Emang gue nggak boleh senyum?" Kemudian ia melihat Elicia yang begitu lahap dengan es krimnya. Sedikit belepotan di dekat bibirnya lalu Risty mengambil tisyu untuk mengusapnya. "Suka, El?" tanya Risty. "Iya, Tante. Terima kasih." Risty tersenyum lalu ikut malahap es krimnya yang masih utuh di dalam mangkok gelas. Sedang aku hanya menatap datar dirinya sambil bersedekap dan menyandarkan tubuh di punggung kursi. Ada rasa bahagia bertemu dengannya tapi juga ada rasa khawatir jika pertemuan kami ini bisa menimbulkan petaka untukku. Aku masih ingat dengan janji untuk menjauh dari Risty. "Katakan apa yang pengen lo omongin, Ris. Gue sibuk banget." "Kenapa terburu-buru? Lagian lo lagi cuti da
Kupikir setelah Pak Chang memutuskan untuk menghentikanku menjadi bodyguardnya, aku akan memiliki bos baru yang tak lain adalah rekan kerjanya dalam satu kantor ini. Tapi ternyata dugaanku salah, beliau memintaku kembali menjadi bodyguardnya. "Alasan Pak Chang minta lo kembali jadi bodyguardnya masih jadi tanda tanya, Do," itu suara Andry. Rekan satu bodyguardku dan kami sudah bekerja sama selama lima tahun untuk Pak Chang. "Gue juga nggak ngerti, Ndry. Karena waktu di Maldives, Pak Chang marah banget karena gue lalai," ucapku dengan menatap ke luar jendela kaca besar kantor. Kumasukkan kedua tangan ke dalam saku celana hitam yang kukenakan pagi ini sambil bersandar di jendela kaca yang bening. Hingga mataku bisa melihat dengan jelas gumpalan awan putih yang bergerombol di langit ibu kota. "Lo lalai karena apa emangnya?" Untuk satu pertanyaan itu, aku tidak yakin jika harus mengatakannya pada Andry. Lalu pandanganku tertunduk ke lantai. "Lo masih nganggep gue orang lain sampai n
“Dimana suamiku?!” Aku berdiri sopan dengan menundukkan kepala di hadapan Nyonya Chang, istri Pak Chang. “Rado, kamu dengar aku ‘kan?!” tanyanya lagi dengan nada menuntut. Mulutku terkatup rapat karena teringat dengan pesan Pak Chang untuk tidak mengatakan pada orang rumah alias istrinya kemana beliau berada malam ini. Tapi herannya, bagaimana bisa Nyonya Chang berada disini? Padahal baik aku maupun Andry tidak mengatakan dimana keberadaan kami sekarang. Apakah beliau mengikuti kami? Atau menyewa mata-mata? “Rado! Jawab!” bentaknya sambil mendorong dadaku. Kakiku mundur selangkah karena ulahnya. “Maaf, Nyonya. Saya … kurang tahu dimana Pak Chang berada,” ucapku sopan dengan pandangan tetap menunduk. “Omong kosong! Kebohonganmu itu terlalu naif! Memangnya kamu bekerja untuk siapa sampai nggak tahu dimana suamiku, heh?! Kamu pikir aku anak baru kemarin yang bisa kamu kibuli, heh?!” tantangnya. “Saya … benar-benar tidak tahu, Nyonya.” Lalu tangan Nyonya Chang menampar pipi kirik
"Kenapa diem aja?" tanya Risty dengan menatapku dari samping. Sedang aku masih fokus menatap minuman kaleng pemberiannya yang masih berada dalam genggaman. "Seenggak pengen tahunyakah lo sama kehidupan gue lima tahun silam, Do? Apa gue udah nggak ada lagi di dalam hidup lo selama ini?" tanyanya dengan sorot sendu. Sebenarnya aku meronta ingin mengatakan isi hati ini. Hanya saja sudah terikat janji untuk menjauhi Risty dan tidak mau membahayakan diri sendiri juga keluarga besarku.Risty mendengus lirih lalu meneguk minumannya sambil menatap ke depan. "Berarti cuma gue yang paling bego disini. Gue pikir, lo masih nyimpen satu rasa buat gue.""Mending kita kembali ke lounge, Ris. Pak Chang pasti nyariin lo." Sepertinya menghentikan pertemuan kami dengan menyarankan Risty kembali ke Pak Chang adalah solusi terbaik. Dari pada aku tidak bisa menghentikan perasaan ini. Ketika aku sudah berbalik badan dan mendapat dua langkah, Risty membuka suara. "Tahun pertama pernikahan gue sama Ric
"Ndry, bisa minta tolong?" Andry yang hendak merebahkan diri di kasur pun urung lalu menatapku. "Tolong apaan malam-malam gini?" "Mutus saluran listrik hotel ini." Kedua alis Andry terangkat tinggi dengan wajah penuh tanya. "Lo sadar sama apa yang lo ucapin kan, Do?" "Sadar." Kemudian aku memakai jaket dan topi hitam yang tergeletak di meja kamar. "Ngapain lo pengen matiin listrik hotel ini?" "Menurut lo?" Andry menaikkan kedua bahunya dengan wajah bingung. "Apa emangnya?" "Sekarang bantuin gue dulu, penjelasannya belakangan." Lalu aku melempar pakaian Andry ke kasurnya. Tapi sahabatku sesama bodyguard itu menatap pakaiannya dan aku bergantian. "Buruan! Gue nggak ada waktu!" Dalam waktu lima belas menit, Andry sudah berada di lantai satu hotel mewah ini. Kebetulan lampu lobby sudah dimatikan sebagian karena hampir mendekati pukul sebelas malam. Dan satpam yang bertugas sedang pergi entah kemana. Kesempatan itu membuat Andry bisa bergerak leluasa. "Lobby sepi. Satp
Setelah mendengar penuturan tentang rasa cintaku yang masih sama besarnya, Risty justru tidak menjawab. Dia menundukkan kepala di tengah keremangan penerangan lampu kamar hotelku. Masih dengan memenjara tubuhnya diantara dinding dan tubuhku. "Ris?" panggilku dengan jarak wajah sedekat ini dengannya. Kepalanya sedikit mendongak kemudian bertemu dengan tatapan mataku. Sorot matanya memancarkan keraguan bercampur kekecewaan yang membuatku khawatir. "Sayang?" Mulutku dengan begitu lancang memanggilnya demikian. Lalu kedua tanganku menangkup wajah cantiknya dengan pandangan cemas. Bagaimana jika Risty benar-benar telah mengubur rasa cintanya untukku. "Gue minta maaf, Ris. Maafin gue. Tapi waktu itu gue nggak ada pilihan selain ninggalin lo. Gue takut nyawa gue dan keluarga melayang." Lalu tiba-tiba kelopak matanya dipenuhi genangan air mata yang membuatku makin iba. "Seengaknya lo bilang, Do. Bukan asal pergi," ucapnya dengan suara serak. Kepalaku mengangguk dengan tangan tetap men
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut