enjoy reading .....
Setelah mendengar penuturan tentang rasa cintaku yang masih sama besarnya, Risty justru tidak menjawab. Dia menundukkan kepala di tengah keremangan penerangan lampu kamar hotelku. Masih dengan memenjara tubuhnya diantara dinding dan tubuhku. "Ris?" panggilku dengan jarak wajah sedekat ini dengannya. Kepalanya sedikit mendongak kemudian bertemu dengan tatapan mataku. Sorot matanya memancarkan keraguan bercampur kekecewaan yang membuatku khawatir. "Sayang?" Mulutku dengan begitu lancang memanggilnya demikian. Lalu kedua tanganku menangkup wajah cantiknya dengan pandangan cemas. Bagaimana jika Risty benar-benar telah mengubur rasa cintanya untukku. "Gue minta maaf, Ris. Maafin gue. Tapi waktu itu gue nggak ada pilihan selain ninggalin lo. Gue takut nyawa gue dan keluarga melayang." Lalu tiba-tiba kelopak matanya dipenuhi genangan air mata yang membuatku makin iba. "Seengaknya lo bilang, Do. Bukan asal pergi," ucapnya dengan suara serak. Kepalaku mengangguk dengan tangan tetap men
Jemariku membuka kancing kemeja dengan mata menatap tajam aRisty, mantan majikan sekaligus wanita yang masih sangat kucintai. Baru tiga kancing yang terlepas, dia sudah menginterupsi dengan wajah kesal. "Rado, mau apa lo?!" "Bersenang-senang kayak yang lo mau, Ris," ucapku dengan nada tenang.Memangnya, lelaki mana yang tidak suka menghabiskan waktunya di atas ranjang dengan wanita cantik dan menawan seperti Risty? Ditambah aku memiliki perasaan yang lebih padanya. Tangannya bergerak cepat mengambil bantal lalu melemparkannya ke arahku. Lalu ia beranjak ke pojok kamar. "Jangan macem-macem lo! Kancingin baju lo lagi!" ucapnya kesal dengan menunjuk-nunjuk wajahku. Aku tersenyum geli dan mulai membuka kancing keempat dengan perlahan."Lo jangan jual mahal, Ris. Jelas tubuh gue lebih berotot dan kekar dari pada tua bangka itu. Lo pasti senang lah.""Rado, lo berubah!" "Berubah?" Kepalaku kemudian menggeleng, "Gue cuma ikuti apa mau lo, Ris."Usai kancing keempat terbuka, aku kembali
"Ada apa, Rado?" Setelah menghela nafas panjang, aku menatap kedua mata Pak Chang. "Saya akan mengajukan resign." Pak Chang menatapku terkejut dengan menaikkan kedua alisnya. Sedang Andry menoleh dengan wajah sama terkejutnya. "Kenapa kamu .... tiba-tiba mengajukan resign?" "Maaf, saya tidak bisa menjelaskan alasannya, Pak." Aku bukanlah lelaki yang pandai bersilat lidah. Jadi kupikir akan lebih baik berkata jujur jika tidak bisa menjadi bodyguardnya. "Apa ini karena Risty?" Kepalaku menggeleng, "Maaf, saya tidak bisa terus menjadi bodyguard anda, Pak." Pak Chang menghela nafas lalu menyorotku sedikit kesal. "Atau kamu sudah mendapat tawaran menjadi bodyguard orang lain dengan bayaran yang lebih tinggi?" Sepertinya Pak Chang tidak puas jika belum mendengar jawabanku mengapa memutuskan resign menjadi bodyguardnya. Tapi, sekali lagi, aku tidak mau mengatakan pada beliau alasan mengapa mengundurkan diri. "Maaf, Pak. Saya memiliki alasan pribadi yang tidak mungkin untuk di
Setelah menyemprotkan parfum beraroma maskulin sambil berkaca, aku kembali merapikan sisiran rambut. Tidak berantakan hanya saja aku ingin menyisirnya kembali. "Kok gue nerves?" gumamku.Tadi, usai mengatakan pada Mas Kian tentang pertolongan yang kubutuhkan, ia menyanggupinya. Lalu aku pulang ke apartemen untuk berganti baju yang lebih santai tapi tetap rapi. Ting tong!Suara bel unit apartemen sederhanaku berbunyi. "Pasti Mas Kian."Benar saja kakakku itu datang dengan memakai kaos warna biru dongker dan celana jeans belel. Seperti kembali terlihat bujang. Dan tangannya membawa sebuket bunga mawar putih yang masih segar dan wangi."Nih bunganya."Usai menyerahkan buket bunga, Mas Kian masuk ke dalam unit lalu aku menutup pintunya.Kedua mata Mas Kian menatap sekeliling unitku melalui kacamata beningnya dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Mirip bos kecil di perusahaan tempatnya bekerja. "Kamu betah tinggal di sini, Do?" tanyanya lalu membungkuk untuk melihat hiasa
"Gue mau bilang ke Richard kalau lo nggak bahagia sama dia. Tapi bahagianya sama gue!" jawabku tegas dengan menatap matanya. Risty menghela nafas lalu kembali menatapku. "Kemarin, gue kayak ngemis perhatian ke lo sejak kita ketemu di Maldives. Tapi lo selalu bilang kalau hubungan kita udah selesai. Oke, Do. Fine. Selesai. Gue menjauh sekarang. Gue mau nikmati hidup gue pakai cara gue." "Tapi kenapa sekarang lo tiba-tiba baik? Lo tiba-tiba pakai acara minta tolong Mas Al untuk ngerancang pertemuan ini. Apa mau lo, heh? Gue capek, Do. Capek." Risty berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku. Tapi aku tetap menahannya. "Karena kemarin gue merasa tetap harus menghindari lo, Ris. Tapi waktu tahu lo mau hidup bebas lalu kencan sama Pak Chang, hati gue meradang! Gue nggak bisa tinggal diam." "Tapi lo terlambat. Gue udah eliminasi semua perasaan gue ke lo." "Secuil pun?" "Nggak ada!" tegasnya dengan menggeleng. "Oke kalau nggak ada. Gue bakal bengkitin sisa-sisanya." "Percuma.
Menginginkan Risty itu seperti menginginkan bayi harimau. Mengapa aku bilang begitu? "Apa kamu siap sama konsekuensinya, Do?" tanya Mas Kian dengan duduk di sebelahku. Kami sudah kembali ke unit apartemenku lalu Mas Kian sengaja menghabiskan waktu lebih banyak di sini. Sambil menikmati minuman kaleng yang kami beli di salah satu minimarket saat perjalanan pulang dari rumah Kak Alfonso tadi. "Harus siap, Mas." "Oke. Mas akan jelasin apa aja yang tadi Alfonso katakan." Kepalaku menoleh kemudian Mas Kian menaruh minuman kalengnya di atas meja. "Pertama, Richard. Suaminya Risty. Alfonso nggak tahu Richard itu kayak apa, tapi dia bakal nyari tahu tentang lelaki itu sekalian nanyai Risty tentang pernikahannya. Mas udah bilang ke Alfonso kalau Risty sebenarnya nggak bahagia menjalani rumah tangga dengan Richard." Kepalaku mengangguk lalu Mas Kian kembali melanjutkan ucapannya. "Kedua, keluarga besar Risty. Alias Nenek dan Kakeknya Risty di Norwegia sana. Katanya, mereka pengatur bang
"Ris, suara apa itu?" tanyaku dengan menoleh ke arah Risty. Langkah kami berdua terhenti begitu akan mencapai kamar Risty dan Richard berada. Itu semua karena kami mendengar sebuah suara samar-samar yang menggelitik telinga. "Ah!" Satu suara jeritan ini membuatku terkejut lalu melihat reaksi Risty yang masih diam saja sambil menatap lurus ke arah pintu kamar. Namun aku yakin jika otaknya sedang bekerja keras memaknai suara janggal itu. Semoga saja dugaanku dan Risty salah. "Ris, kayaknya ada orang lain di kamar lo," ucapku setengah berbisik. Kepalanya mengangguk dengan sorot sendu. "Bukan kayaknya, Do. Tapi emang ada orang lain di kamar gue." Kedua alisku sedikit bertaut. "Siapa?" "Richard." Aku menatap wajahnya lekat yang hanya menunjukkan ekspresi datar namun terselip kehancuran di sana. Wajah terlukanya itu membuatku tidak tega dan ingin sekali melayangkan satu pukulan di wajah Richard. Jika benar dialah pelakunya. "Jadi, mobil yang terparkir di depan tadi itu mobil
Dengan senyum sinis aku keluar kamar lalu menghampiri Risty yang masih berdiri di luar kamar. Kepalanya menunduk dengan ekspresi terluka. "Lo mungkin perlu lihat satu pemandangan tak terduga di dalam kamar mandi, Ris." Saat aku akan menarik tangannya, Risty menyentaknya. "Seorang perempuan, kan?!" Kepalaku mengangguk. "Gue udah feeling, Do." Kemudian Risty melangkah masuk ke dalam kamar sedang aku mengikutinya dari belakang. Berjaga-jaga, siapa tahu Richard akan melakukan hal yang tidak-tidak padanya. Ternyata dia masih menahan sakit di tangannya karena aku berhasil membuatnya cedera. "Sayang, aku bisa jelasin," ucap Richard dengan wajah menahan sakit. Tanpa mempedulikan Richard, kaki Risty melangkah menuju kamar mandi. Seorang perempuan yang tengah bersembunyi di sana dengan memakai bathrobe putih nampak ketakutan. Bagaimana tidak ketakutan jika apa yang dia lakukan dengan Richard di dalam kamar tertangkap basah Risty. "Keluar dari kamar mandi. Hampiri kekasih gelap lo