"Angkat tangan!"
Di tengah padatnya pusat Kota Moskow, di atas hamparan tanah rata dan di bawah langit ke-7. Pria antah-berantah, tak tahu kapan dan darimana ia muncul, tiba-tiba menodongkan benda hitam berisi timah panas, atau sebut saja pistol. Dorrr. Suara tembakan terdengar nyaring, memporak-porandakan semua umat. Mereka yang tampak seperti tentara semut dari ketinggian 3000 kaki, berhamburan kesana-kemari. "Aaa … tolong … tolong …." "Ibu …." "Ayah …." Hanya sekali tembakan ke atas sana, para manusia tersebut sudah tak kalap. Tiada seorang pun yang tidak melarikan diri, terkecuali seseorang di balik kamar telepon umum. Di luarnya orang-orang sibuk menyelamatkan jiwa dan raga, tapi ia malah bercanda-tawa bersama suara di seberang sana. "Iya … iya, di depan mataku sedang ada peperangan, Bu," katanya, sambil menghitung setiap detik yang ia habiskan. "Tentu saja ramai, Bu. Suaramu sampai terdengar tidak jelas." 57 … 58 … 59. "Sudah yah, Bu. Koinku hanya cukup untuk satu menit saja. Telepon akan segera berakhir, dahhh." Sang pria menghela napas lega, seakan beban terberat yang ia panggil telah hilang. Ia berdiri lama, memperhatikan setiap orang yang melalui pintu kamar telepon umum di depannya. Kemudian, seorang pria seumuran berhenti tepat di depan pintu. Pria itu berjaket tebal serta terdapat kamera yang ia kalungi. Ia memberi kode supaya pintu kamar telepon umum dibuka. Dan kini di dalam kamar tersebut terisi dua manusia saling memfokuskan diri pada kekacauan kota. "Hei!" sapa pembawa kamera. "Aku Jhon Christy, seorang penulis terbaik di negeri rempah-rempah,” katanya memperkenalkan diri. "Kau tahu aku akan menanyai namamu?" tanya pria pembawa kamera. "Aku akui semua orang ingin bertanya, tapi kau termasuk paling beruntung." "Aku?" tunjuknya pada dada sendiri. "Iya, karena aku sendiri yang memperkenalkan bukan teman atau teman dari temanku." Si pembawa kamera meringis kecil, antara mentertawakan atau menyambut kelucuan Jhon Christy. "Baiklah, selamat tinggal." Tanpa ada perbincangan lain, Jhon Christy mendorong gagang pintu. Suasana kacau yang belum mereda ia lalui amat santai. Saking santainya, ia mampu mengambil sebatang rokok yang tersimpan rapi dalam saku kemejanya. Kemudian kepulan tipis membumbung tinggi secara perlahan. "Pria yang aneh," lontar si pembawa kamera. Kekacauan belum usai, dari kejauhan mulai terdengar sirene mobil Polisi. Tak terhitung jumlah mereka, semuanya datang dari segala arah hingga mengepung jalanan kota. Si pembawa kamera menyempatkan diri mengambil beberapa jepretan sebelum akhirnya ia diminta keluar untuk mengungsi oleh polisi. Teknologi terbilang canggih. Seluruh dunia pun mendengar kabar teror di tengah kota melalui pemberitaan layar TV masing-masing. Begitupun Jhon Christy, ia tahu-menahu ketika kejadian berlangsung. Namun, seperti yang lain, ia juga menonton pemberitaan tersebut hanya untuk mencari sosok dirinya yang tertangkap kamera. "Hem, mengapa tidak terlihat?" Pikirnya terdengar menyayangkan. Tok … tok … "Tuan Jho!" Mendengar ketukan pintu sekaligus nama legendnya disebut, Jhon bergegas bangkit dan membuka pintu selebar ukuran kepalanya. "Nyonya Maria," sapa Jhon. Wanita berparas ayu, tubuh berisi, kulit kemerahan serta rambut pirang tergerai. Mengangkat baki berisi semangkuk mie panas. "Pesananmu," ucapnya. "Oh wah, terima kasih, Nyonya Maria," balas Jhon, mengambil alih semangkuk mie panas dari baki Nyonya Maria, "katakan kalimat ajaibnya!" "Pria gagah pemegang kendali.” Suara Nyonya Maria menggoda. Lantas Jhon merogoh saku celana, mengeluarkan selembar uang kertas berangka 100 Rubel Rusia. "Ambil ini." Nyonya Maria menerima penuh sukacita, ia membungkuk setengah badan lalu berbalik pergi. Jhon menutup pintu, kembali duduk bersila di depan TV, sembari menyeruput makanan panjang dan berkuah tersebut. "Hem, sang pembawa kamera?" Jhon tak menduga jika si pembawa kamera yang saat kejadian sempat bertanya dengannya, ternyata bisa selamat dari serangan teroris. "Menarik," celetuknya begitu saja. ** Kekacauan telah berakhir, menyisakan kerusakan tanpa ada korban. Jhon menapaki jalan yang sama seperti kemarin atau lebih tepatnya jalan pasti untuk ia lalui menuju tempatnya bekerja dan lokasi hunian. "Selamat pagi, saya Jhon Christy. Lulusan Universitas Indonesia tahun 2015, sudah bekerja di kantor perhubungan antar negara sampai terakhir satu bulan lalu sebelum saya memutuskan pindah ke sini." "Jhon Christy,” ulang pria berdasi hitam, berwajah hitam legam dan berambut hitam memanjang. "Referensi pengalamanmu sangat baik dan lumayan, kau bisa memilih bidang lain yang lebih nyaman. Misal saja kau hanya perlu duduk dan memerintah, tapi kenapa kau ingin bekerja sebagai bodyguard?" "Karena aku merasa kasihan jika keberanian dan keahlian bela diriku tidak terpakai." Sontak jawaban Jhon Christy membuat pria legam di depannya tertawa terbahak-bahak. Baginya, jawaban Jhon Christy sebuah lelucon, padahal Jhon menjawab jujur apa adanya. "Sepakat!!" Selesai tertawa, pria legam pemilik ID card bertuliskan Romis, mengulurkan tangan kanannya pada Jhon. Dan mereka saling berjabat tangan. "Terimakasih, Pak Romis." ** Hari ini juga Jhon mulai menjalankan profesinya. Sebagai karyawan baru, Jhon memasuki tahap pemula dalam menjadi bodyguard. Yakni menjaga orang-orang kelas bawah atau menangani kasus paling ringan. Contohnya seperti yang saat ini Jhon lakukan. Ditemani sekaligus dibantu Pak Romis, Jhon mengawal rombongan pekerja legal untuk transit pesawat tanpa halangan. Kenapa mereka dikawal? Alasannya, terlalu sering kasus penembakan liar pada pekerja legal tersebut. Jadi pemerintah negara meminta para bodyguard mengawal mereka sampai ke dalam pesawat yang mereka tumpangi. Wush … Pesawat membumbung tinggi, meninggalkan gulungan angin dari baling-baling yang membuat rambut panjang Pak Romis berterbangan. "Pakai ini!" Sebuah ikat rambut merah muda Jhon ulurkan. Pak Romis sempat terdiam, terpaksa Jhon sendiri yang mengikatkan ikat rambut darinya. "Jangan biarkan kutu di rambut Anda menemukan sarang baru," ucap Jhon datar. Pak Romis tertawa renyah, ia menepuk-nepuk pundak Jhon. "Aku lupa, putri kecilku telah merampas ikat rambutnya." Kini mereka berdua berjalan keluar bandara. Mereka tampak gagah berani, kacamata hitam memukau serta setelan jas menjadikan semua mata terkagum-kagum. Brmmm. Derung mesin mobil kedengarannya tak nyaman di telinga, Jhon tidak menduga jika fasilitas kendaraan untuk bekerjanya sangat jauh dari ekspektasi. Mungkin karena Jhon masih memasuki tahap pemula. Berbeda fasilitas untuk bodyguard kelas utama. Kendaraan mereka bukan main-main. Yakni sebuah Lamborghini hitam mengkilap dengan kaca dan ban anti peluru. "Bagaimana hari pertamamu?" tanya Pak Romis, mengepulkan asap rokok. "Terasa datar dan tak menantang." "Maka kau butuh sesuatu agar kau merasa tertantang." "Iya," jawab Jhon menambah kecepatan mobil. "Belokan mobilnya ke sisi kanan … lurus terus … kiri … kurus … kiri, berhenti!!" Cittt … Gedung para petarung, ucap Jhon dalam hati ketika kepalanya menjulur keluar jendela mobil. "Kau lolos tahap awal, selanjutnya tubuhmu akan dilatih di sana sebelum tahap ketigamu." "Bagus, aku suka ini." "Tunggu apa lagi,” kode Pak Romis, menyuruh Jhon masuk ke gedung tersebut. Tanpa ada rasa keraguan, Jhon mendorong pintu mobil. Ia melangkah pasti menuju pintu pembatas dirinya dari sekelompok orang yang akan membuat ia mandi keringat. "Selamat datang, Jhon Christy." Jhon tertegun, tatapannya tertuju pada semua orang. Ia tak menduga jika para pelatih di sini bertubuh tiga kali lipat lebih besar darinya. "Pakai ini!" Ia dilempari setelan baju dan celana pendek, tak lupa sepasang sarung tangan petinju. Di hadapan semua orang, Jhon Christy melepas satu-persatu pakaian yang melekat di tubuhnya, terkecuali celana dalam. "Oh, wah!" kagum peserta bodyguard wanita, melihat roti sobek Jhon Christy mengkilap terkena lampu penerangan. ‘Semua ini kulakukan untukmu, Aleta.’ Hati Jhon berucap.Dum … tak … dum … tak. Suara musik klasik khas, mengantarkan para pasangan berdansa di atas marmer putih mengilap. Gerakan mereka apik dan beraturan; seirama dengan nada musik. "Aleta … lihat ke sini!" seru wanita muda bergaun silver tanpa lengan. Dalam genggaman tangannya ada sebuah kamera kecil yang ia gunakan untuk memotret setiap gerakan cantik Aleta. "Ya Tuhan, tersenyum sedikit …!" teriaknya bernada memerintah. Sembari menggerakkan kakinya ke kanan dan kiri, Aleta menarik sudut-sudut bibirnya hingga wajah gadis itu memamerkan senyum badut. "Apa kau tidak bahagia, Aleta?" Giliran pria pasangan dansanya angkat bicara. "Bahagia, sangat!" jawab Aleta tak melepas senyuman. "Ya Tuhan, Aleta! Senyumanmu sangat mengerikan." Teman pembawa kameranya berseru lagi. Aleta tak bisa menahan, pun mendorong tubuh pasangan dansanya, menarik jarum suntik yang ia selipkan di antara belahan dada lalu menyodorkan pada pria tersebut. "Menyerah atau kubunuh!" ancam Aleta bermata bengis. Meliha
Pukul 03.00 dini hari. Dinginnya ruangan dengan sekelompok nyamuk menjadi tempat persinggahan Aleta. Dia meringkuk di pojokan seraya menatap lekat besi-besi jeruji. Satu jam sudah berlalu semenjak ia memasuki neraka dunia, ia pun telah menghitung lebih dari 20 angka. Namun, sosok berkumis tebal yang ia tunggu tak kunjung tiba. "Cih, di mana Daddy?" gerutunya, "tidak mungkin Daddy membiarkan para polisi itu memiliki kesempatan curi-curi pandang padaku 'kan?" Setiap kali Aleta berada di sini, beberapa polisi memang menjadikan ia cindera malam. Kecantikan dan bentuk tubuh laksana biola Spanyol, memungkinkan semua mata terhipnotis. Sayang sekali jika nantinya mereka tau kenyataan mengerikan dibalik wanita itu. Di lain sisi .... Louison duduk menyilangkan kaki seraya melipat tangan di atas dadas. Sepasang matanya terpejam rapat tapi telinganya begitu awas. "Aaa! Aaa! Ampun!" Rintihan demi rintihan bergema memenuhi ruang minim cahaya tersebut. Louison tampak menikmati jeritan j
Langit mulai redup, guntur menggelegar tanda hujan kan turunm. Beberapa orang mulai berlarian, terkecuali Jhon. Selepas bermandikan keringat bersama tiga pelatih bela diri sekaligus, Jhon memutuskan keluar membeli sesuatu, tentu sebagai pengganjal kekosongan perutnya. Ia menyusuri setiap toko, berharap ada makanan yang bisa diterima lambung Indonesianya. Akan tetapi hampir 15 menit dia berjalan, tak satupun isi toko memuaskan pencarian Jhon. "Masa harus makan mie setiap hari," gerutunya sambil tetap berjalan namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia yang sudah melewati tiga langkah dari satu toko ke toko lain, pun berjalan mundur dengan kepala menoleh ke dalam toko. "Aleta .…" Seketika rasa lapar di perut Jhon menghilang! Tak salah lagi, sesuatu yang bisa mengalihkan dunia Jhon hanyalah gadis bengis itu, Aleta. Di dalam ia tengah memindahkan beberapa barang belanjaan dari tangannya ke meja kasir. Rambutnya tergerai ke bawah ia kibaskan, menjadikan bibir Jhon menganga. S
Lantunan musik ballerina bergema di setiap sudut kamar Aleta. Bermodal dress hitam kesukaannya, sepatu balet serta rambut tergerai. Gadis itu berjinjit, melompat dan memutar mengikuti nada irama. Gerakannya begitu luwes dan rapi, seakan-akan ia penari balet sungguhan. "Pieter," panggil Aleta di sela tarian. Sedari tadi Pieter berdiri tegak bak patung hidup. Kala namanya dipanggil, ia pun menyahuti tuannya. "Iya, Nona." "Apa tarianku bagus?" Pieter sedikit bingung, ia seorang bodyguard, mana tahu hal semacam itu. "Itu … sangat bagus," jawab Pieter. Mendadak Aleta berhenti berjinjit, CD yang sedari tadi memutar ia matikan. "Sungguh?" "Benar, Nona." Brakkk … Benda berdiameter 120mm tersebut, Aleta lempar dan tergelincir ke kolong-kolong ranjang. "Kau bilang ini bagus?" tanya Aleta lebih terdengar memaki. Pieter pun tak berani memandang secara langsung wajah Tuannya. Di balik kacamata hitam, matanya menunduk melihati garis-garis kasar marmer yang ia pijak. "Aku tanya padam
Detik berubah menit, menit menjadi jam. Semua berlalu begitu cepat hingga lima hari sudah Pieter bekerja di bawah keluarga Louison. Mulanya Pieter tak begitu menggubris segala keanehan tuannya, karena ia sudah sering mendengar tentang Aleta yang seringkali bolak-balik masuk Hotel Torpedo, akan tetapi berbeda dengan hari ini. Pieter dibuat bergidik ngeri kala ia memperhatikan Aleta mengendalikan pisau kecil untuk mencukur habis rambut Beni, yakni anjing peliharaan Louison yang setiap hari ribut dengan kucing kesayangan Aleta; Katy. Sebagai seorang pecinta anjing, Pieter turut bersedih menyaksikan anjing mungil seperti Beni kehilangan pelindung kulitnya, sehingga setiap bagian tulang Beni tampak jelas di mata. Si Beni terus menggonggong dan berusaha melepaskan diri, retapi cengkraman tangan dan kuku-kuku Aleta bagai menguncinya kuat-kuat, alhasil sulit bagi anjing itu untuk meloloskan diri. "Huh… akhirnya selesai," ucap Aleta setelah rambut Beni tercukur habis, ia membersihkan pis
Semburat jingga menggantung indah di batas cakrawala, pelan tapi pasti berpamitan, mengundang rembulan malu-malu di balik awan Jhon menikmati masa santainya memandang langit. Namun, wajah Aleta yang terbayang-bayang. "Aleta …" sebut Jhon lirih bak embusan napas, "aku merindukan-mu." Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu, hanya dengan celana pendek dan dada terbuka, Jhon berbalik menarik handle. "Good night, Jho." Baru beberapa menit mereka terpisah, Erik sudah tak bisa menahan keinginannya bertemu dengan Jhon. Pria itu berdiri di ambang pintu, memasang wajah bersahabat seraya senyuman singkat. Tampang Jhon tampak malas, meski begitu dia tetap membukakan pintu, mempersilakan Erik masuk lalu menutupnya kembali. Buk! Erik langsung menjatuhkan diri pada kursi kesukaan Jhon setiap berkutat di depan layar televisi. Ia juga mengambil alih remot control televisi nya lalu memilih-milih chanel yang dianggap menarik. "Kau tahu apa yang paling kusuka darimu, Jhon?" Tiba-tiba Erik bert
Mimpi buruk telah berakhir, menyisakan peta-peta kecil yang tergambar tipis pada sarung bantal merah maroon milik Aleta. Tok! Tok! Gadis itu mengerjap kala ketukan pintu memenuhi gendang telinganya. "Pembantu sialan!" Lantas, Aleta beranjak bangun, melempar selimutnya ke dasar lantai, diikuti dirinya berjalan malas menuju cermin. Ia berdiri di sana, memperhatikan pantulan wajah sendiri sembari menguap beberapa kali. Hoam! "Aleta?" Bukan hanya si asisten rumah tangga yang mengusik Aleta tapi juga ayahnya. "Kau sudah bangun?" tanya Louison di balik pintu, "ini hari kuliahmu! Kumohon jangan buat aku mati cepat." "Yes, Daddy!" seru Aleta menjatuhkan diri pada kasur. Tak lagi mendengar suara-suara di balik pintu, Aleta membuang napas lega. Dibanding menimba ilmu, gadis itu lebih tak rela meninggalkan kenyamanan kasur dan bantalnya. Di sisi lain dari kediaman keluarga Louison, Jhon tengah bersiap memulai misi pertama setelah ia dinyatakan lolos dari tahap pelatihan.
Jhon meminta seseorang menjemputnya, dan tidak sampai 10 menit sebuah mobil butut datang mencolok mata. Wajah Nyonya Kim semakin jelek! "Terima kasih, Nyonya Maria," ucap Jhon setelah duduk bersebelahan dengan Nyonya Kim. Hanya Maria yang bisa Jhon minta pertolongan. Tidak mungkin baginya meminta bantuan Romis, karena bukannya membantu, pria legam berambut panjang itu pasti malah menambah masalah. "Jangan sungkan, Jhon! Duduklah dengan nyaman!" sahut Maria. Jhon balas bergumam, "Hm." Maria mulai melajukan mobil tak lambat tapi juga tak cepat. Namun tatkala jalanan sedikit lenggang, wanita itu langsung menambah kecepatan mobilnya, sekaligus menyalip kendaraan lain selayaknya pembalap sekelas F1. "Wah," degup kagum Jhon. Maria tampak melirik Jhon lantas tersenyum simpul sebelum bertanya, "Apa itu ibumu?" Jhon malah balik bertanya, "Apa kita mirip?" Maria balas menggeleng. "Hanya menebak." Jhon melirik Nyonya Kim sekilas, ekspresi wanita bergaya nyentrik itu belum juga beruba
Dorrr!Tarr!Peluru berdesing. Kaca belakang mobil Jhon pecah. Meski serpihan kaca tidak lari ke depan tapi Jhon reflek melindungi Aleta dengan satu tangannya, sedang tangan lain tetap memegang kendali setir."Kamu tidak terluka, hah?" Jhon bertanya khawatir.Aleta melihat ke depan. "Fokus saja ke depan! Biar aku yang menghadapi mereka!"Jhon tak yakin tapi dia tahu Aleta tak bisa diremehkan. "Jika merasa tak aman, kamu harus segera sembunyi!"Aleta seolah tak menghiraukan. Gadis yang beberapa jam lalu mengucapkan janji suci pernikahan di hadapan Pendeta, Jhon dan banyak orang itu, kini mengeluarkan senjata api dari saku jok lalu berpindah ke belakang walau sulit sekalipun."Dua mobil!" seru Aleta.Jhon melirik kaca spion. Dia yakin mobil paling depan ditumpangi Sky dan Markus, sedang mobil di belakangnya mungkin anak buah Sky.Dorrr!Tak mau kalah, melalui celah pecahan kaca mobil, Aleta menembakkan senjata apinya.Tarrr!Bidikkan Aleta berhasil menembus kaca mobil depan mobil yang d
Waktu bergulir.Jhon berhasil membujuk Ibunya segera pergi dari acara pernikahan anak temannya itu usai dirinya berbohong jadi tak sabar ingin menikah juga.Ibunya sangat senang, hingga sepulang dari sana mereka langsung mampir ke kantor catatan sipil guna mendaftarkan pernikahan Jhon bersama Aleta minggu depan.Lebih bagus lagi, Jhon berhasil merayu Ibunya tidak pergi ke pasar karena jika wanita itu sudah pergi ke pasar maka kaki Jhon bisa dibuat bergetar saking lelahnya berkeliling.Sekarang mereka berada di rumah.Ibunya Jhon menikmati secangkir teh di lantai dua yang berhadapan dengan bukit-bukit, sedang Jhon bersama Aleta berhadap-hadapan secara serius."Mereka dalam perjalanan ke sini," ungkap Jhon sungguh-sungguh.Aleta mengangguk tak kalah serius. "Lalu bagaimana?""Kedatangan mereka pasti akan membuat kekacauan," tebak Jhon, "jadi kita harus pergi dari sini setelah menikah nanti."Aleta mengangguk sekali lagi. "Setuju!""Kamu punya tempat rekomendasi?""Moskow," jawab Aleta m
Aleta dan Jhon duduk berdampingan di salah satu kursi tamu.Kebingungan tampak jelas di mata Aleta, sedang di mata Jhon hanya ada perasaan campur aduk yang bisa saja membuatnya mencekik siapapun.Ibu pria itu tidak duduk bersama mereka tapi bergabung dengan Ibu-ibu lain untuk bergosip dan tertawa renyah tanpa beban."Bisa-bisanya anak sebesar diriku dibawa kondangan!" geram Jhon tertahan.Aleta menoleh bertanya. "Kondangan itu apa?""Mendatangi hajat orang lain. Contohnya seperti ini. Kita datang sebagai tamu yang menyaksikan pernikahan mereka," jawab Jhon.Aleta manggut-manggut. "Kalau begitu, aku juga pernah kondangan.""Kapan?" tanya Jhon balik."Sudah lama, jauh dari Moskow.""Apa seperti ini?" tanya Jhon lagi.Aleta mengedarkan pandangan lalu menggeleng samar. "Tidak ada pisang sebanyak itu."Jhon mengarahkan pandangannya pada pisang dua tundun yang menempel pada tiang-tiang akses masuk Pendopo."Tidak ada tumpukan makanan yang berjajar seperti itu, tidak ada toples cemilan dan a
Hap!Tangan Jhon sigap menangkap. Dan tak mau menunggu celurit lain datang, Jhon langsung melarikan diri ke kamarnya.Brak!Tepat setelah pintu tertutup, ujung celurit berhasil menembus pintu kayu kamar Jhon dan itu hampir saja mengenai kakinya kalau dia tidak segera melompat."Ya Tuhan, baru ditinggal beberapa bulan bar-barnya semakin mengerikan!""Jhon! Keluar!" teriak Ibunya.Jhon berlari melompati tempat tidur lalu buru-buru membuka lemari. Dia menggeledah seluruh isinya sampai menemukan set pakaian anti benda tajam yang dulu digunakan sebagai perlindungan ekstra.Sekarang set pakaian itu kembali dipakai lantas Jhon membuka pintu kamar sebelum pintunya rusak akibat serangan Ibunya."Cukup!" teriak Jhon setengah emosi, "pintu kamarku bisa ganti tujuh kali nanti!"Ibunya masih berdiri di tempat. Dengan seringai lebar, dia mengisyaratkan Jhon naik maka Jhon pun mengikuti."Lumayan," ucap Ibunya sambil memperhatikan Jhon dari ujung ke ujung."Di sana aku bekerja sebagai Bodyguard. Har
Jhon menarik Ibunya masuk. Sambil sesekali melihat ke luar, pria itu memprotes wanita tersebut. "Apa-apaan Ibu ini!"Ibunya menanggapi dengan santai. "Aleta bilang kalian sudah tidur bersama, tentu menikah cepat adalah jalan terbaik."Jhon melotot ternganga. Pria itu tak menyangka Aleta bisa berkata terang-terangan seperti yang diakui Ibunya."Gadis itu tidak bohong, bukan? Kamu dan dia sudah …" Ibunya sengaja menggantung kalimat sambil mengisyaratkan sesuatu.Karena sudah terlanjur diketahui, Jhon pun tak mengelak meski sebenarnya sangat malu. "Iy–a, itu ben–ar tapi pernikahan kita tidak bisa secepat itu, Ibu!"Ibunya menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri. "Tidak bisa, Jhon! Kamu sudah merenggut kesuciannya jadi kamu harus sesegera mungkin menikahi Aleta.""Bu!""Ingat, Jhon! Kamu ini tinggal di Indonesia. Adatmu disini jangan disamakan dengan negara di luaran sana!" Marah Ibunya. "Masih syukur Ibu tidak memukulmu!"Jhon tahu maksud ibunya namun dia tetap tak bisa menerima
Lima jam berselang."Sudah hampir lima jam tapi Ibumu belum datang," keluh Aleta, "apakah rumahmu sejauh Arab Saudi, hah?"Jhon mendaratkan telunjuknya ke permukaan bibir gadis itu. Dan pacarnya yang bar-bar langsung membuka mulut menggigit ujung jarinya."Awh!" pekik Jhon refleks."Kalau masih lama, aku ingin tidur saja." Kesal Aleta.Jhon melirik jam tangannya pelan. Waktu menunjukkan pukul tiga sore, dan seakan sudah tahu sebentar lagi Ibunya datang, pria itu langsung mengemas barang sekaligus mengambil fasilitas hotel yang boleh dibawa pulang."Apa-apaan ini?" Protes Aleta padahal dia sudah siap tidur.Jhon menjawab santai. "Siapkan dirimu, sebentar lagi Ibuku sampai."Aleta melotot kesal luar biasa. "Ya Tuhan!"Drrr! Ponsel Jhon bergetar. Setelah membaca isi pesan, pria itu tanpa komando menggandeng tangan Aleta serta membawanya keluar.Aleta pasrah mengikuti. Dan begitu mereka sampai di pelataran parkir hotel, Aleta dibuat membatu karena rupanya mobil yang digunakan Ibunya Jhon
"Indonesia," ulang Aleta dengan mata menerawang."Efek obat pemberian Ayahmu seharusnya sudah hilang. Apa sekarang kamu mengingat setiap momen di sana?" tanya Jhon serius.Aleta mengedikkan bahu secara malas. "Aku malas mengingatnya kecuali ..." Dengan kalimat menggantung, gadis itu menatap dan membelai wajah Jhon begitu lembut."Tentang pertemuan kita," sambung Jhon disertai seulas senyum.Aleta balas tersenyum, tetapi kali ini senyumannya benar-benar terlihat tulus. "Asal bersamamu, kemanapun aku tidak masalah."Bunga-bunga bagai bermekaran di hati Jhon. Sudut bibirnya terangkat tinggi, dan sekali lagi dia merangkul Aleta penuh cinta.Kemudian hari berganti.Persiapan keberangkatan Jhon dan Aleta ke Indonesia telah siap keseluruhan. Guna mempermudah pelarian mereka bila mana musuh tiba-tiba menyergap, mereka sengaja tidak membawa banyak barang.Pada pukul sepuluh malam, mereka akhirnya memasuki pesawat dan duduk saling bersebelahan. Tak kurang dari sepuluh menit, pesawat terbang men
Cittt!Aleta menghentikan laju mobilnya tepat di depan kantor agen bodyguard milik Romis.Berhubung sudah lewat dari pukul sebelas malam, suasana kantor telah begitu sepi bak tak berpenghuni. Hanya saja, akses utama masuk masih bisa dibuka dan sekarang Aleta melewatinya dengan langkah lebar.Ceklek! Byur!Gadis itu membuka pintu ruangan Romis tanpa aba-aba. Alhasil Romis yang tengah menyeruput kopi sembari menatap laptop, pun seketika menyemburkan kopinya."Kamu …" Penampilan Aleta sungguh jauh berbeda dari kali terakhir dia meninggalkan ruangan Romis, terutama pada bagian belahan pahanya yang nyaris menyentuh pinggul. "Mengambil pakaian di bak sampah mana kamu sampai robek-robek seperti itu?"Aleta tak memperdulikan pertanyaan Romis. Gadis itu membuka genggaman tangannya, sehingga tampak robekan dari gaunnya yang sudah berlumuran darah serta mengeluarkan bau anyir.Perasaan Romis mendadak tak enak. Jakunnya naik turun, ancang-ancang mengambil posisi melarikan diri.Seraya tersenyum
Beberapa detik setelah Haiden keluar, Aleta langsung menghampiri sasarannya!Aleta duduk menyilangkan kaki. Berkat belahan rok yang tinggi, paha mulus gadis itu terekspos di mata sasaran tersebut.Gluk! Sasarannya menelan ludah diikuti jakunnya yang naik turun seakan menahan dahaga.Aleta memanfaatkan hal ini dengan menatap sasarannya penuh gairah. "Izinkan aku bermain, Tuan!"Gluk! Sasarannya menelan ludah sekali lagi lalu mempersilahkan Aleta ikut andil dalam permainan casino mereka. "Silahkan."Aleta lekas meletakkan uangnya di atas meja.Lantaran nominalnya terlalu kecil di mata para pemain casino kelas kakap ini, nominal itu menjadi bahan lelucon mereka. "Nona! Kalau tidak punya uang tidak perlu bertaruh!""Ha ha ha, cantik tapi miskin!""Terlalu sedikit tapi kalau disandingkan dengan tubuhmu mungkin akan seimbang!"Rasanya, Aleta ingin menembak mulut mereka atau merobeknya menjadi tujuh bagian. Hanya saja, sekarang dia masih harus berakting terlihat lembut, anggun dan menggiu