Dum … tak … dum … tak.
Suara musik klasik khas, mengantarkan para pasangan berdansa di atas marmer putih mengilap. Gerakan mereka apik dan beraturan; seirama dengan nada musik. "Aleta … lihat ke sini!" seru wanita muda bergaun silver tanpa lengan. Dalam genggaman tangannya ada sebuah kamera kecil yang ia gunakan untuk memotret setiap gerakan cantik Aleta. "Ya Tuhan, tersenyum sedikit …!" teriaknya bernada memerintah. Sembari menggerakkan kakinya ke kanan dan kiri, Aleta menarik sudut-sudut bibirnya hingga wajah gadis itu memamerkan senyum badut. "Apa kau tidak bahagia, Aleta?" Giliran pria pasangan dansanya angkat bicara. "Bahagia, sangat!" jawab Aleta tak melepas senyuman. "Ya Tuhan, Aleta! Senyumanmu sangat mengerikan." Teman pembawa kameranya berseru lagi. Aleta tak bisa menahan, pun mendorong tubuh pasangan dansanya, menarik jarum suntik yang ia selipkan di antara belahan dada lalu menyodorkan pada pria tersebut. "Menyerah atau kubunuh!" ancam Aleta bermata bengis. Melihat netra kehijauan milik Aleta melotot tajam seakan ingin keluar dari bingkainya, pria yang ke-1001 dijodohkan dengan Aleta pun beringsut ketakutan. Pria berambut pirang itu berjalan mundur diikuti langkah Aleta senada dengannya. Sekejap ia memutar badan dan lari terbirit-birit. Aleta melengking tawa. Sampai detik ini ia belum gagal mengusir para penjilat cinta seperti mereka. Semua ini berkat kepiawaian Aleta dalam berwujud wanita cantik, tapi penuh kekejaman. Gadis berumur 19 tahun, putri kedua dari pimpinan mafia terbesar di Rusia tak segan-segan melukai orang di sekitarnya tanpa memandang siapapun, terkecuali ayahnya sendiri, Louison. "Aleta!" Buru-buru Aleta menyelipkan kembali jarum suntik di antara gundukan dada. Kemudian berbalik memasang senyuman simpul. "Daddy …." Suara Aleta dibuat manja-manja menyebalkan. "Kau berulah lagi?" Tatapan Louison penuh kecurigaan. "Oh, no, Daddy," bantah Aleta seraya dadah-dadah, "ngomong-ngomong acara dansaku sudah selesai, bolehkan aku duduk menyilangkan kaki di sudut sana, Daddy?" Tempat yang dimaksud Aleta adalah bar mini. Segala botol minuman bisa didapatkan dengan mudah pada bar tersebut. Pantas saja sepasang kekasih yang Aleta lihat dari beberapa jam lalu betah bertahan. "Hanya tiga kali tegukan! Setelah itu—" Tanpa menunggu penjelasan ayahnya selesai, Aleta sudah melebarkan langkah menghampiri tujuannya. Gadis itu menduduki kursi bartender. Ia menunjuk salah-satu botol minuman beralkohol kemudian menuangkan isinya ke dalam gelas kaca berbentuk bulat, juga memiliki kaki. Aleta melihat ke arah Louison, ia mengangkat satu jari pertanda baru satu kali tegukan. "Uncle, kau mau selfie?" tawar teman Aleta teramat polos. "No! Thanks,” tolak Louison tak mengalihkan perhatian dari putrinya. "Oh, oke …." Wanita bergaun silver itu malah bersandar pada bahu Louison. Lantas, memotret dirinya sendiri. "One … two … three …" Cekrek … cekrek … "Pose sempurna." Aleta mengangkat dua jari, diikuti mengeluarkan sebatang rokok. Sayang, ia tak membawa korek. "Hello, Boy," sapa Aleta pada pasangan kekasih pria di sampingnya. Mereka berdua serempak melihat ke arah Aleta. Mereka memperhatikan penampilan wanita itu dari rambut hitam, pakaian, riasan sampai cara Aleta mengedipkan mata. "Kau punya korek?" "Ada." "Bantu aku!" pintanya sambil mencondongkan dagu, yang terselip rokok di celah bibir ranumnya. Seorang kekasih pria di depannya mengeluarkan rokok, menyalakan lalu menyulut ujung rokok milik Aleta. Fiuh! Kepulan asap tipis dari mulut dan hidung Aleta sengaja ia hembuskan mengenai wajah mereka. Sontak kekasih wanitanya merasa tak terima. Ia mendorong kasar pundak Aleta sambil berucap, "You are the bitch!" Plakkk! Aleta menampar pipi kanan wanita itu hingga membuat wanitanya meringis kesakitan. Tak mau kalah, si wanita pun membalas tamparan Aleta lebih keras dari yang ia dapat. Plakkk! Mendadak ketenangan di wajah Aleta berubah cepat, pipinya memanas mengikuti kobaran api yang telah membakar hatinya. Tarrr … Aleta memecahkan botol minuman, secepat angin mendaratkan pecahan botol tersebut pada tangan wanita di depannya. "Aaa … bitch!" pekik wanita itu. "Baby, oh my God. Tangan kamu berdarah," tambah kekasihnya kepanikan. Dari tempat Louison berdiri, hanya memutar bola mata disertai helaan berat. Tak tunggu lama sirine mobil polisi menyeruak dalam gendang telinga. Menjadikan semua orang kalang-kabut. Mereka kira, jika para polisi akan menyergap. Setidaknya ada empat polisi sekaligus yang datang. Kemudian disusul polisi-polisi lain. "Aku sampai bosan menangkapmu berulang kali,” lontar seorang polisi tengah memborgol kedua pergelangan tangan Aleta. Louison sama sekali tak bertindak menyaksikan putrinya dibawa pergi para polisi. Bahkan saat mereka melewati dirinya, ia acuh tak acuh seakan-akan tak saling kenal. "Uncle, apakah Aleta hanya akan mampu menghitung sampai 20 untuk menunggumu atau …?" "Kali ini dia akan menginap di Hotel Torpedo, biarkan ia merasakan bagaimana nikmatnya tidur semalaman di neraka." "Oh, ini mengejutkan!" Satu-persatu mobil polisi meninggalkan gedung megah berlantai tiga, tempat barusan mereka berhenti. Diapit dua polisi berbadan dan berotot besar, Aleta tak merasakan takut. Ia sangat menikmati perjalanan ini, tak henti-hentinya ia berdecak kagum melihat cinderamata di luar kaca. "Hei, Nona Aleta!" panggil polisi yang memborgol Aleta. "Ada apa, Kakak?" Saking seringnya mereka dipertemukan, Aleta sampai tak sungkan memberi sebutan 'kakak' untuk polisi tersebut. "Bisakah satu bulan saja kau tidak mengunjungi kantor kami bertugas?" "Aku pun ingin, tapi kalian hobi sekali mengajakku ke sana." Sang Polisi berdecak kesal, ia tak menggubris jawaban konyol Aleta. Dari cermin pengemudi, ia mengintip bayangan Aleta. Tanpa sadar ia tersenyum kala Aleta tersenyum, karena senang melihat gedung pencakar langit. *** Cittt … Mobil berhenti, begitu pula suara sirinenya. Aleta dikawal masuk. Sebelum ia dibiarkan menunggu jemputan sang ayah, polisi lain lebih dulu menginterogasi Aleta. "Hish, kau lagi," dumel polisi yang bertugas menginterogasi, "langsung saja jelaskan tanpa basa-basi!" Aleta memasang raut melas tapi mulutnya mendesis lirih. "Dengarkan baik-baik! Ayah memintaku meneguk tiga kali saja, jadi saat sudah melalui tegukan kedua aku menyelingi diri untuk merokok. Aku lupa tidak membawa korek. Kau tau itu berbahaya, 'kan?" "Iya iya, lanjutkan dongengmu!" "Seorang pria berambut pirang, kuminta bantuannya agar menyalakan rokokku. Pria itu mengikuti, Lalu, tak sengaja Aku mengepulkan asap rokokku kepada mereka. Dan kau tahu?" "Tidak! Selesaikan saja ceritamu." "Pacar pria itu marah, ia mengataiku pelac**, hiks. Aku mana pernah open order. Aku jadi kesal, kutampar dia, eh, dia balik menamparku. Jadi kulukai saja tangannya." Sang Polisi bagian menginterogasi membuang kasar napasnya. "Wanita ini sudah gila! Kenapa Ayahmu tidak-!" "Pak .…" Polisi lain menggelengkan kepala, pertanda larangan. "Sudah sana, bawa wanita ini ke kamar favoritnya!" Aleta digiring menuju ruangan terpisah yang letaknya sudah ia hafal di luar kepala. Oleh karenanya, ia begitu santai jalan lebih depan. "Kutebak dalam hitungan menit ayahnya akan datang."Pukul 03.00 dini hari. Dinginnya ruangan dengan sekelompok nyamuk menjadi tempat persinggahan Aleta. Dia meringkuk di pojokan seraya menatap lekat besi-besi jeruji. Satu jam sudah berlalu semenjak ia memasuki neraka dunia, ia pun telah menghitung lebih dari 20 angka. Namun, sosok berkumis tebal yang ia tunggu tak kunjung tiba. "Cih, di mana Daddy?" gerutunya, "tidak mungkin Daddy membiarkan para polisi itu memiliki kesempatan curi-curi pandang padaku 'kan?" Setiap kali Aleta berada di sini, beberapa polisi memang menjadikan ia cindera malam. Kecantikan dan bentuk tubuh laksana biola Spanyol, memungkinkan semua mata terhipnotis. Sayang sekali jika nantinya mereka tau kenyataan mengerikan dibalik wanita itu. Di lain sisi .... Louison duduk menyilangkan kaki seraya melipat tangan di atas dadas. Sepasang matanya terpejam rapat tapi telinganya begitu awas. "Aaa! Aaa! Ampun!" Rintihan demi rintihan bergema memenuhi ruang minim cahaya tersebut. Louison tampak menikmati jeritan j
Langit mulai redup, guntur menggelegar tanda hujan kan turunm. Beberapa orang mulai berlarian, terkecuali Jhon. Selepas bermandikan keringat bersama tiga pelatih bela diri sekaligus, Jhon memutuskan keluar membeli sesuatu, tentu sebagai pengganjal kekosongan perutnya. Ia menyusuri setiap toko, berharap ada makanan yang bisa diterima lambung Indonesianya. Akan tetapi hampir 15 menit dia berjalan, tak satupun isi toko memuaskan pencarian Jhon. "Masa harus makan mie setiap hari," gerutunya sambil tetap berjalan namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia yang sudah melewati tiga langkah dari satu toko ke toko lain, pun berjalan mundur dengan kepala menoleh ke dalam toko. "Aleta .…" Seketika rasa lapar di perut Jhon menghilang! Tak salah lagi, sesuatu yang bisa mengalihkan dunia Jhon hanyalah gadis bengis itu, Aleta. Di dalam ia tengah memindahkan beberapa barang belanjaan dari tangannya ke meja kasir. Rambutnya tergerai ke bawah ia kibaskan, menjadikan bibir Jhon menganga. S
Lantunan musik ballerina bergema di setiap sudut kamar Aleta. Bermodal dress hitam kesukaannya, sepatu balet serta rambut tergerai. Gadis itu berjinjit, melompat dan memutar mengikuti nada irama. Gerakannya begitu luwes dan rapi, seakan-akan ia penari balet sungguhan. "Pieter," panggil Aleta di sela tarian. Sedari tadi Pieter berdiri tegak bak patung hidup. Kala namanya dipanggil, ia pun menyahuti tuannya. "Iya, Nona." "Apa tarianku bagus?" Pieter sedikit bingung, ia seorang bodyguard, mana tahu hal semacam itu. "Itu … sangat bagus," jawab Pieter. Mendadak Aleta berhenti berjinjit, CD yang sedari tadi memutar ia matikan. "Sungguh?" "Benar, Nona." Brakkk … Benda berdiameter 120mm tersebut, Aleta lempar dan tergelincir ke kolong-kolong ranjang. "Kau bilang ini bagus?" tanya Aleta lebih terdengar memaki. Pieter pun tak berani memandang secara langsung wajah Tuannya. Di balik kacamata hitam, matanya menunduk melihati garis-garis kasar marmer yang ia pijak. "Aku tanya padam
Detik berubah menit, menit menjadi jam. Semua berlalu begitu cepat hingga lima hari sudah Pieter bekerja di bawah keluarga Louison. Mulanya Pieter tak begitu menggubris segala keanehan tuannya, karena ia sudah sering mendengar tentang Aleta yang seringkali bolak-balik masuk Hotel Torpedo, akan tetapi berbeda dengan hari ini. Pieter dibuat bergidik ngeri kala ia memperhatikan Aleta mengendalikan pisau kecil untuk mencukur habis rambut Beni, yakni anjing peliharaan Louison yang setiap hari ribut dengan kucing kesayangan Aleta; Katy. Sebagai seorang pecinta anjing, Pieter turut bersedih menyaksikan anjing mungil seperti Beni kehilangan pelindung kulitnya, sehingga setiap bagian tulang Beni tampak jelas di mata. Si Beni terus menggonggong dan berusaha melepaskan diri, retapi cengkraman tangan dan kuku-kuku Aleta bagai menguncinya kuat-kuat, alhasil sulit bagi anjing itu untuk meloloskan diri. "Huh… akhirnya selesai," ucap Aleta setelah rambut Beni tercukur habis, ia membersihkan pis
Semburat jingga menggantung indah di batas cakrawala, pelan tapi pasti berpamitan, mengundang rembulan malu-malu di balik awan Jhon menikmati masa santainya memandang langit. Namun, wajah Aleta yang terbayang-bayang. "Aleta …" sebut Jhon lirih bak embusan napas, "aku merindukan-mu." Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu, hanya dengan celana pendek dan dada terbuka, Jhon berbalik menarik handle. "Good night, Jho." Baru beberapa menit mereka terpisah, Erik sudah tak bisa menahan keinginannya bertemu dengan Jhon. Pria itu berdiri di ambang pintu, memasang wajah bersahabat seraya senyuman singkat. Tampang Jhon tampak malas, meski begitu dia tetap membukakan pintu, mempersilakan Erik masuk lalu menutupnya kembali. Buk! Erik langsung menjatuhkan diri pada kursi kesukaan Jhon setiap berkutat di depan layar televisi. Ia juga mengambil alih remot control televisi nya lalu memilih-milih chanel yang dianggap menarik. "Kau tahu apa yang paling kusuka darimu, Jhon?" Tiba-tiba Erik bert
Mimpi buruk telah berakhir, menyisakan peta-peta kecil yang tergambar tipis pada sarung bantal merah maroon milik Aleta. Tok! Tok! Gadis itu mengerjap kala ketukan pintu memenuhi gendang telinganya. "Pembantu sialan!" Lantas, Aleta beranjak bangun, melempar selimutnya ke dasar lantai, diikuti dirinya berjalan malas menuju cermin. Ia berdiri di sana, memperhatikan pantulan wajah sendiri sembari menguap beberapa kali. Hoam! "Aleta?" Bukan hanya si asisten rumah tangga yang mengusik Aleta tapi juga ayahnya. "Kau sudah bangun?" tanya Louison di balik pintu, "ini hari kuliahmu! Kumohon jangan buat aku mati cepat." "Yes, Daddy!" seru Aleta menjatuhkan diri pada kasur. Tak lagi mendengar suara-suara di balik pintu, Aleta membuang napas lega. Dibanding menimba ilmu, gadis itu lebih tak rela meninggalkan kenyamanan kasur dan bantalnya. Di sisi lain dari kediaman keluarga Louison, Jhon tengah bersiap memulai misi pertama setelah ia dinyatakan lolos dari tahap pelatihan.
Jhon meminta seseorang menjemputnya, dan tidak sampai 10 menit sebuah mobil butut datang mencolok mata. Wajah Nyonya Kim semakin jelek! "Terima kasih, Nyonya Maria," ucap Jhon setelah duduk bersebelahan dengan Nyonya Kim. Hanya Maria yang bisa Jhon minta pertolongan. Tidak mungkin baginya meminta bantuan Romis, karena bukannya membantu, pria legam berambut panjang itu pasti malah menambah masalah. "Jangan sungkan, Jhon! Duduklah dengan nyaman!" sahut Maria. Jhon balas bergumam, "Hm." Maria mulai melajukan mobil tak lambat tapi juga tak cepat. Namun tatkala jalanan sedikit lenggang, wanita itu langsung menambah kecepatan mobilnya, sekaligus menyalip kendaraan lain selayaknya pembalap sekelas F1. "Wah," degup kagum Jhon. Maria tampak melirik Jhon lantas tersenyum simpul sebelum bertanya, "Apa itu ibumu?" Jhon malah balik bertanya, "Apa kita mirip?" Maria balas menggeleng. "Hanya menebak." Jhon melirik Nyonya Kim sekilas, ekspresi wanita bergaya nyentrik itu belum juga beruba
Hingga kelas berakhir, Aleta tetap terlelap. Tidak satupun teman kelasnya yang punya keberanian membangunkan gadis itu. Kadang-kadang mereka sampai harus saling dorong hanya untuk sekedar menggoyangkan pundak gadis itu, pun atas perintah dosen. Namun hari ini... Arloji pintar Pieter menunjukan angka 15:15. Dia yang awalnya tak berani bergerak sebelum Aleta panggil, pun mau tak mau menerobos memasuki kelas. "..." Pieter melenggong! Selain Aleta seorang, tak ada siapapun di kelas! Tentu saja Pieter segera memanggil; membangunkan Aleta. "Nona, Nona Aleta!" Karena panggilan darinya tak kunjung membangunkan Aleta, Pieter dengan penuh keberanian menggoyang-goyangkan punggung gadis bengis itu. Sontak Aleta tersentak. "Hish, berani sekali membangunkan ku!" Pieter sigap melangkah mundur dengan wajah tertunduk. "Kelas sudah berakhir, Nona. Tinggal anda sendirian di sini." Aleta mengedarkan pandangan. Ruang kelas yang awalnya penuh, kini menyisakan dirinya seorang. Dia pun sigap meraih
Dorrr!Tarr!Peluru berdesing. Kaca belakang mobil Jhon pecah. Meski serpihan kaca tidak lari ke depan tapi Jhon reflek melindungi Aleta dengan satu tangannya, sedang tangan lain tetap memegang kendali setir."Kamu tidak terluka, hah?" Jhon bertanya khawatir.Aleta melihat ke depan. "Fokus saja ke depan! Biar aku yang menghadapi mereka!"Jhon tak yakin tapi dia tahu Aleta tak bisa diremehkan. "Jika merasa tak aman, kamu harus segera sembunyi!"Aleta seolah tak menghiraukan. Gadis yang beberapa jam lalu mengucapkan janji suci pernikahan di hadapan Pendeta, Jhon dan banyak orang itu, kini mengeluarkan senjata api dari saku jok lalu berpindah ke belakang walau sulit sekalipun."Dua mobil!" seru Aleta.Jhon melirik kaca spion. Dia yakin mobil paling depan ditumpangi Sky dan Markus, sedang mobil di belakangnya mungkin anak buah Sky.Dorrr!Tak mau kalah, melalui celah pecahan kaca mobil, Aleta menembakkan senjata apinya.Tarrr!Bidikkan Aleta berhasil menembus kaca mobil depan mobil yang d
Waktu bergulir.Jhon berhasil membujuk Ibunya segera pergi dari acara pernikahan anak temannya itu usai dirinya berbohong jadi tak sabar ingin menikah juga.Ibunya sangat senang, hingga sepulang dari sana mereka langsung mampir ke kantor catatan sipil guna mendaftarkan pernikahan Jhon bersama Aleta minggu depan.Lebih bagus lagi, Jhon berhasil merayu Ibunya tidak pergi ke pasar karena jika wanita itu sudah pergi ke pasar maka kaki Jhon bisa dibuat bergetar saking lelahnya berkeliling.Sekarang mereka berada di rumah.Ibunya Jhon menikmati secangkir teh di lantai dua yang berhadapan dengan bukit-bukit, sedang Jhon bersama Aleta berhadap-hadapan secara serius."Mereka dalam perjalanan ke sini," ungkap Jhon sungguh-sungguh.Aleta mengangguk tak kalah serius. "Lalu bagaimana?""Kedatangan mereka pasti akan membuat kekacauan," tebak Jhon, "jadi kita harus pergi dari sini setelah menikah nanti."Aleta mengangguk sekali lagi. "Setuju!""Kamu punya tempat rekomendasi?""Moskow," jawab Aleta m
Aleta dan Jhon duduk berdampingan di salah satu kursi tamu.Kebingungan tampak jelas di mata Aleta, sedang di mata Jhon hanya ada perasaan campur aduk yang bisa saja membuatnya mencekik siapapun.Ibu pria itu tidak duduk bersama mereka tapi bergabung dengan Ibu-ibu lain untuk bergosip dan tertawa renyah tanpa beban."Bisa-bisanya anak sebesar diriku dibawa kondangan!" geram Jhon tertahan.Aleta menoleh bertanya. "Kondangan itu apa?""Mendatangi hajat orang lain. Contohnya seperti ini. Kita datang sebagai tamu yang menyaksikan pernikahan mereka," jawab Jhon.Aleta manggut-manggut. "Kalau begitu, aku juga pernah kondangan.""Kapan?" tanya Jhon balik."Sudah lama, jauh dari Moskow.""Apa seperti ini?" tanya Jhon lagi.Aleta mengedarkan pandangan lalu menggeleng samar. "Tidak ada pisang sebanyak itu."Jhon mengarahkan pandangannya pada pisang dua tundun yang menempel pada tiang-tiang akses masuk Pendopo."Tidak ada tumpukan makanan yang berjajar seperti itu, tidak ada toples cemilan dan a
Hap!Tangan Jhon sigap menangkap. Dan tak mau menunggu celurit lain datang, Jhon langsung melarikan diri ke kamarnya.Brak!Tepat setelah pintu tertutup, ujung celurit berhasil menembus pintu kayu kamar Jhon dan itu hampir saja mengenai kakinya kalau dia tidak segera melompat."Ya Tuhan, baru ditinggal beberapa bulan bar-barnya semakin mengerikan!""Jhon! Keluar!" teriak Ibunya.Jhon berlari melompati tempat tidur lalu buru-buru membuka lemari. Dia menggeledah seluruh isinya sampai menemukan set pakaian anti benda tajam yang dulu digunakan sebagai perlindungan ekstra.Sekarang set pakaian itu kembali dipakai lantas Jhon membuka pintu kamar sebelum pintunya rusak akibat serangan Ibunya."Cukup!" teriak Jhon setengah emosi, "pintu kamarku bisa ganti tujuh kali nanti!"Ibunya masih berdiri di tempat. Dengan seringai lebar, dia mengisyaratkan Jhon naik maka Jhon pun mengikuti."Lumayan," ucap Ibunya sambil memperhatikan Jhon dari ujung ke ujung."Di sana aku bekerja sebagai Bodyguard. Har
Jhon menarik Ibunya masuk. Sambil sesekali melihat ke luar, pria itu memprotes wanita tersebut. "Apa-apaan Ibu ini!"Ibunya menanggapi dengan santai. "Aleta bilang kalian sudah tidur bersama, tentu menikah cepat adalah jalan terbaik."Jhon melotot ternganga. Pria itu tak menyangka Aleta bisa berkata terang-terangan seperti yang diakui Ibunya."Gadis itu tidak bohong, bukan? Kamu dan dia sudah …" Ibunya sengaja menggantung kalimat sambil mengisyaratkan sesuatu.Karena sudah terlanjur diketahui, Jhon pun tak mengelak meski sebenarnya sangat malu. "Iy–a, itu ben–ar tapi pernikahan kita tidak bisa secepat itu, Ibu!"Ibunya menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri. "Tidak bisa, Jhon! Kamu sudah merenggut kesuciannya jadi kamu harus sesegera mungkin menikahi Aleta.""Bu!""Ingat, Jhon! Kamu ini tinggal di Indonesia. Adatmu disini jangan disamakan dengan negara di luaran sana!" Marah Ibunya. "Masih syukur Ibu tidak memukulmu!"Jhon tahu maksud ibunya namun dia tetap tak bisa menerima
Lima jam berselang."Sudah hampir lima jam tapi Ibumu belum datang," keluh Aleta, "apakah rumahmu sejauh Arab Saudi, hah?"Jhon mendaratkan telunjuknya ke permukaan bibir gadis itu. Dan pacarnya yang bar-bar langsung membuka mulut menggigit ujung jarinya."Awh!" pekik Jhon refleks."Kalau masih lama, aku ingin tidur saja." Kesal Aleta.Jhon melirik jam tangannya pelan. Waktu menunjukkan pukul tiga sore, dan seakan sudah tahu sebentar lagi Ibunya datang, pria itu langsung mengemas barang sekaligus mengambil fasilitas hotel yang boleh dibawa pulang."Apa-apaan ini?" Protes Aleta padahal dia sudah siap tidur.Jhon menjawab santai. "Siapkan dirimu, sebentar lagi Ibuku sampai."Aleta melotot kesal luar biasa. "Ya Tuhan!"Drrr! Ponsel Jhon bergetar. Setelah membaca isi pesan, pria itu tanpa komando menggandeng tangan Aleta serta membawanya keluar.Aleta pasrah mengikuti. Dan begitu mereka sampai di pelataran parkir hotel, Aleta dibuat membatu karena rupanya mobil yang digunakan Ibunya Jhon
"Indonesia," ulang Aleta dengan mata menerawang."Efek obat pemberian Ayahmu seharusnya sudah hilang. Apa sekarang kamu mengingat setiap momen di sana?" tanya Jhon serius.Aleta mengedikkan bahu secara malas. "Aku malas mengingatnya kecuali ..." Dengan kalimat menggantung, gadis itu menatap dan membelai wajah Jhon begitu lembut."Tentang pertemuan kita," sambung Jhon disertai seulas senyum.Aleta balas tersenyum, tetapi kali ini senyumannya benar-benar terlihat tulus. "Asal bersamamu, kemanapun aku tidak masalah."Bunga-bunga bagai bermekaran di hati Jhon. Sudut bibirnya terangkat tinggi, dan sekali lagi dia merangkul Aleta penuh cinta.Kemudian hari berganti.Persiapan keberangkatan Jhon dan Aleta ke Indonesia telah siap keseluruhan. Guna mempermudah pelarian mereka bila mana musuh tiba-tiba menyergap, mereka sengaja tidak membawa banyak barang.Pada pukul sepuluh malam, mereka akhirnya memasuki pesawat dan duduk saling bersebelahan. Tak kurang dari sepuluh menit, pesawat terbang men
Cittt!Aleta menghentikan laju mobilnya tepat di depan kantor agen bodyguard milik Romis.Berhubung sudah lewat dari pukul sebelas malam, suasana kantor telah begitu sepi bak tak berpenghuni. Hanya saja, akses utama masuk masih bisa dibuka dan sekarang Aleta melewatinya dengan langkah lebar.Ceklek! Byur!Gadis itu membuka pintu ruangan Romis tanpa aba-aba. Alhasil Romis yang tengah menyeruput kopi sembari menatap laptop, pun seketika menyemburkan kopinya."Kamu …" Penampilan Aleta sungguh jauh berbeda dari kali terakhir dia meninggalkan ruangan Romis, terutama pada bagian belahan pahanya yang nyaris menyentuh pinggul. "Mengambil pakaian di bak sampah mana kamu sampai robek-robek seperti itu?"Aleta tak memperdulikan pertanyaan Romis. Gadis itu membuka genggaman tangannya, sehingga tampak robekan dari gaunnya yang sudah berlumuran darah serta mengeluarkan bau anyir.Perasaan Romis mendadak tak enak. Jakunnya naik turun, ancang-ancang mengambil posisi melarikan diri.Seraya tersenyum
Beberapa detik setelah Haiden keluar, Aleta langsung menghampiri sasarannya!Aleta duduk menyilangkan kaki. Berkat belahan rok yang tinggi, paha mulus gadis itu terekspos di mata sasaran tersebut.Gluk! Sasarannya menelan ludah diikuti jakunnya yang naik turun seakan menahan dahaga.Aleta memanfaatkan hal ini dengan menatap sasarannya penuh gairah. "Izinkan aku bermain, Tuan!"Gluk! Sasarannya menelan ludah sekali lagi lalu mempersilahkan Aleta ikut andil dalam permainan casino mereka. "Silahkan."Aleta lekas meletakkan uangnya di atas meja.Lantaran nominalnya terlalu kecil di mata para pemain casino kelas kakap ini, nominal itu menjadi bahan lelucon mereka. "Nona! Kalau tidak punya uang tidak perlu bertaruh!""Ha ha ha, cantik tapi miskin!""Terlalu sedikit tapi kalau disandingkan dengan tubuhmu mungkin akan seimbang!"Rasanya, Aleta ingin menembak mulut mereka atau merobeknya menjadi tujuh bagian. Hanya saja, sekarang dia masih harus berakting terlihat lembut, anggun dan menggiu