Farizka selesai menyalin jadwal mengajarnya untuk satu semester ganjil enam bulan ke depan. Dia kembali memperhatikan jadwal yang sudah berpindah pada buku harian yang selalu dibawa. Dua puluh lima jam dalam seminggu, mengajar dari hari Senin sampai Jumat. Semuanya kelas sepuluh.
Kepala sekolah sempat menyampaikan dalam rapat pleno pada hari pertama masuk bahwa semua guru baru yang terhitung hanya dua orang, akan mengajar di kelas sepuluh. Farizka dan Angga. Angga—guru Olahraga—juga mendapatkan jam mengajar di kelas sepuluh. Tentu saja Angga akan mengajar di lapangan olahraga yang bersebelahan dengan lapangan upacara. Namun, Farizka justru harus mengajar di kelas yang sama, dari hari Senin sampai Jumat. Kelas 211. Kelas yang terletak di pojok lantai dua, menjorok ke dalam. Tidak terlihat dari lantai satu, bahkan dari lapangan upacara. Semua kelas di lantai dua dapat dilihat dari lantai satu. Kelas 201-212 semua terlihat, kecuali kelas 211 yang bangunannya terpisah dari kelas 210. Kelas 211 merupakan sambungan dari kelas 212 tetapi seakan-akan merupakan perluasan wilayah. Mungkin seperti itu.“Pagi, Farizka,” sapa Angga yang kebetulan akan mengambil botol minuman yang terletak di dalam tasnya di ruang guru.“Udah lihat jadwal?”
“Sudah. Ini sudah kucatat.” Farizka menunjukkan catatan pada buku hariannya.
“Oh ya, mengajar di kelas berapa?” lanjut Angga sambil meneguk minumannya.
“Kelas 211.”
Beberapa pasang mata di ruang guru secara tidak langsung berpandangan dan menggeleng ketika mendengar ucapan Farizka. Kelas 211.
Farizka sendiri tahu bahwa tatapan mata itu buka tatapan mata biasa. Mungkin semacam prihatin, kasihan, atau iba. Namun, dia tidak bisa menemukan jawaban. Iba untuk apa?“Wah, kok bisa kebetulan ya? Semua di kelas 211."A
Angga memperbaiki posisi duduknya di sebelah Farizka.
“Iya,” jawab Farizka.NNamun bukan “iya” yang dipikirkannya. Farizka tahu bahwa itu bukan sebuah “kebetulan”, melainkan “kesengajaan”.
Ada tiga puluh ruang kelas di sekolah. Semua kelas menggunakan sistem moving saat perpindahan jam. Sangat aneh jika Farizka mendapatkan kelas yang sama setiap harinya.Sementara itu, tiga guru perempuan yang diam-diam memperhatikan pembicaraan Farizka tampak tersenyum penuh arti. Mereka adalah Milna, Eka, dan Rahma.Tanpa mereka bertiga sadari, sesosok makhluk dengan tatapan tajam dan menusuk tengkuk turut memperhatikan ketiganya dengan penuh amarah.Kantin siswa tampak sangat ramai. Hampir setiap bangku terisi penuh dengan anak-anak yang sibuk makan atau sedang ngerumpi meski hanya memesan segelas es teh.Minggu fakultatif menjadikan kantin sebagai tujuan utama mereka menghabiskan waktu di sekolah bagi sebagian siswa yang tidak ikut kegiatan Masa Orientasi Siswa(MOS) atau lomba. Setelah memesan nasi goreng telur mata sapi dan segelas es teh, Farizka berkeliling mencari bangku yang kosong.Anak-anak sibuk dengan kegiatannya sendiri dan tampak acuh tak acuh dengan keberadaan guru yang baru lima hari berada di sekolah tersebut. Sebenarnya, bisa saja Farizka menyuruh salah satu dari mereka untuk bergeser dan mencari tempat duduk lain, tetapi niat tersebut urung dilakukan. Dia ingin menguji sejauh mana kepekaan anak-anak—calon siswa barunya.Akhirnya, seorang siswa laki-laki segera berdiri ketika Farizka sampai di bangku pojok.“Silakan, Bu,” u
Minggu fakultatif telah berakhir seiring selesainya MOS untuk anak-anak kelas sepuluh. Sekarang sudah memasuki minggu aktif, kegiatan belajar mengajar akan berlangsung sebagaimana mestinya.Farizka menyiapkan perangkat pembelajaran yang akan digunakan mengajar untuk hari Senin. Buku Panduan Matematika dan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk kelas sepuluh. Tak lupa, dia juga membawa kotak bekal makanannya dan botol mineral. Istirahat pertama hanya berlangsung lima belas menit. Waktu tersebut akan habis jika digunakan bolak-balik naik turun tangga dari pojok gedung lantai dua (kelas 211) menuju pojok gedung lantai satu (ruang guru). Farizka memutuskan untuk menghabiskan jam istirahat pertama dengan tinggal di dalam kelas saja sambil sarapan.Bel tanda masuk jam pertama berbunyi. Farizka segera bergegas menuju kelas 211. Jarak yang lumayan jauh dari ruang guru membuatnya harus lebih efisien dalam mengatur waktu. Tidak ada waktu untuk menunda berangkat menuju ke kelas.
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa, sudah sebulan Farizka menghabiskan waktu mengajar di kelas 211. Sepertinya, dia tak sependapat jika kelas 211 harus menjadi kelas yang paling dihindari bagi rekan-rekan sesama guru. Justru, dari kelas paling pojok ini, dia sering mendapatkan inspirasi dalam mengajar. Membuat media pembelajaran yang baru atau kadang-kadang mendapatkan ide dalam membuat soal-soal untuk latihan siswanya.Suasana kelas yang sepi, jauh dari hiruk pikuk siswa, menjadi alasan terkuat bagi Farizka untuk betah berada di dalamnya. Di samping itu, dia juga bisa fokus mengerjakan apa pun tanpa diganggu siapa pun.Sama seperti hari Senin ini, jadwal mengajar Farizka penuh dari jam pertama sampai jam terakhir. Ditambah jam tambahan pembinaan olimpiade Matematika sampai sore. Dan malamnya, dia harus lembur membuat silabus pembelajaran.Sebenarnya, jadwal lembur tidak harus dikerjakan di sekolah. Boleh saja diker
Keesokan harinya, Farizka mendapatkan panggilan dari Pak Yajid, sang kepala sekolah. Dia mendapatkan pujian karena sebagai guru baru mengumpulkan tugas silabus untuk pertama kali. Farizka dianggap mampu memberi contoh kepada guru lain terutama para senior karena memiliki disiplin waktu yang tinggi dalam mengerjakan tugas. Namun, imbas dari itu semua, dia mendapatkan tugas tambahan untuk membuat silabus kelas sebelas. Sebenarnya, tugas ini bukan tugasnya, melainkan tugas Bu Milna.Farizka keluar dari ruang kepala sekolah dengan tertunduk lesu. Harusnya, nanti malam dia bisa sekadar untuk beristirahat sejenak dari aktivitas lembur.Sementara itu, setelah Farizka keluar, Milna keluar dari salah satu ruang dari ruangan kepala sekolah. Ruang kepala sekolah ini memang memiliki tiga ruang. Ruang untuk tamu, ruang kerja, dan satunya ruangan kosong.“Harusnya, kamu bisa mencontoh si Farizka,” ujar Pak Yajid.Milna mengerucutka
“Farizka,” panggil seseorang saat Farizka menuruni anak tangga dari lantai dua.Ternyata, Angga. Guru Olahraga itu menatap Farizka sambil tersenyum dari ujung tangga lantai satu.“Untung ada Angga.” Farizka berjalan bersebelahan dengan Angga menuju ruang guru.“Kok belum pulang?”“Iya, masih lembur,” jawab Farizka dengan napas yang masih memburu.Angga menghentikan langkahnya. Kali ini, mereka berhadapan. Angga menatap Farizka.Bukannya Farizka tidak tahu. Sebenarnya, dari awal Farizka tahu bahwa Angga ada rasa yang tidak biasa. Itulah kenapa Milna dan teman-temannya tidak menyukainya. Mungkin alasan “hati” ini masuk ke dalam salah satunya. Tentu saja juga ada segudang alasan lain untuk orang yang iri. Mau sebaik apa pun, kalau berhadapan dengan orang yang iri, semua akan terlihat salah.“Lembur apa lagi?” Angga menatap lurus ke a
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, se
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, seharusnya sang kepala sekolah tidak bisa membela anaknya terus-menerus dan melakukan tindakan semena-mena terhadap Farizka.“Pak, anak-anak sudah menunggu di rua
Pagi itu, sebelum jam pertama dimulai, mereka memutuskan untuk mencari info ke bagian TU (Tata Usaha) sekolah tentang siswi yang bernama Monica Miyana Renaldi.“Buat apa?” tanya Bu Elok, penjaga TU, sebelum memberikan data.Untungnya, Farizka dan Angga sudah mengantisipasinya. Mereka sudah menyiapkan jawaban-jawaban yang akan diberikan jika ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Bagaimanapun, mereka tidak mungkin menceritakan apa sebenarnya yang mereka alami. Meskipun mungkin sebagian penghuni sekolah sudah tahu misteri kelas 211. Apalagi, Bu Elok adalah senior TU di sini dan sudah mengabdikan diri puluhan tahun di yayasan ini, pasti beliau juga pernah mendengar desas-desus cerita hantu itu.“Buat apa kalian menanyakan Monic?” ulang Bu Elok melihat kedua guru baru di hadapannya masih terdiam.Farizka akhirnya angkat bicara, “Saya butuh data anak-anak pindahan, Bu, terutama anak blasteran. Untuk keperlu
Gadis itu turun dari mobil. Kulitnya putih diterpa sinar mentari pagi. Rambutnya panjang hitam legam. Tangannya diapit kedua orang tuanya yang menyusul turun dari mobil.Semua anak yang kebetulan sedang berolahraga di lapangan sebelah parkiran mobil spontan langsung menengok. Kini, semua mata tertuju kepada seorang gadis cantik yang sepertinya berasal dari keluarga berada. Dari penampilannya, terlihat cantik dan anak baik-baik.Anak-anak dari lapangan kasak-kusuk. Mungkin gadis blasteran itu sebentar lagi akan menjadi teman mereka. Beberapa anak laki-laki bahkan saling senyum dan melempar pandang satu sama lain.Sementara itu, anak-anak perempuan sibuk nyinyir. Sepertinya, sebentar lagi mereka akan punya saingan baru.Gadis itu menuju ruang kepala sekolah bersama orang tuanya. Beberapa saat kemudian, orang tua gadis itu tampak berpamitan dengan kepala sekolah.Sepeninggal orang tuanya, gadis itu dibimbing oleh Bu Elok menuju kelas 211. Kelas pe
Pagi itu, secara mengejutkan, Milna, Eka, dan Rahma mengundurkan diri sebagai guru. Tentu saja semua penghuni sekolah dibuat terheran-heran dengan sikap mereka. Namun, Pak Yajid Harahap sebagai kepala sekolah menyetujui pengunduran diri mereka. Biarlah ketiganya hidup tanpa bayang-bayang kekuasaan dari keluarganya. Biarlah mereka sukses dengan caranya sendiri. Mungkin itu yang dipikirkan ayah satu anak itu.Sebelum pergi meninggalkan sekolah, Milna, Eka, dan Rahma menyerahkan kalung, gelang, dan cincin dengan warna yang sama kepada Farizka dan Angga. Mereka tahu pemiliknya akan tenang jika benda itu telah kembali. Ketiganya juga meminta maaf kepada Farizka dan Angga. Setelah itu, mereka pergi dari sekolah tanpa menengok ke belakang. Tanpa menengok ke kelas 211, tempat sosok gadis itu memandangi kepergian mereka bertiga sambil tersenyum. ***Pada sore hari, Fariz
Pak Yajid Harahap memegang dadanya. Seperti menahan kemarahan yang telah lama dipendamnya.“Ayah harus melakukan sesuatu,” pinta putri semata wayangnya.Kali ini, laki-laki separuh abad itu memutar tubuhnya. Menatap dalam-dalam putri kesayangannya. Selama seumur hidup, Milna sama sekali tidak pernah mendapati ayahnya terlihat sebegitu menakutkan seperti malam ini.Sepeninggal ibunya Ayah Milna justru selalu menuruti apa yang dia mau.“Apa lagi yang kamu inginkan?” Pak Yajid menatap Milna tajam.Milna sebenarnya ragu untuk mengatakannya. Namun, ini adalah satu-satunya cara untuk menyingkirkan Farizka. Apalagi, peristiwa beberapa hari lalu, di depan ruang guru, gambaran Farizka dan Angga yang begitu romantis, terbayang-bayang di matanya. Tak bisa dibiarkan, ini adalah momen yang tepat untuk memisahkan Farizka dan Angga.“Milna ingin Ayah memecat Farizka.”“Apaaaa?”“Ya,
“Tidak wajar?” Farizka mengulang pernyataan itu.Meski sudah mendengar sendiri dari pengakuan Monic bahwa dia didorong oleh Milna, Eka, dan Rahma dari lantai dua sehingga membuat dia terjatuh dan naasnya kepalanya membentur lapangan basket terlebih dahulu, Farizka ingin mendengar versi lain, dari versi Sekar, sepupu Monic.“Setelah orang tuanya bercerai, papa dan mamanya sama-sama tidak mau mengasuhnya meski sebenarnya hak asuh jatuh ke tangan mamanya. Akhirnya, papanya tetap menjadi arsitek di Denmark, sedangkan mamanya berbisnis di sana. Oleh mamanya, Monic dipulangkan ke Indonesia dan dipasrahkan untuk diasuh oleh bibinya, yaitu mama saya. Saya baru tahu, waktu itu, kejadiannya tengah malam. Saat bangun untuk mengambil susu, Monic menangis, suaranya terdengar makin keras.Dan ....” Sekar menghentikan suaranya sejenak, berusaha menguatkan hatinya.Farizka menggenggam tangan Sekar sebagai bentuk dukungan.“Saya
Mereka sampai di sebuah rumah bergaya bangunan Jawa Kuno. Setengah mirip Joglo. Farizka memandangi nomor rumahnya, sama persis dengan alamat yang diberikan Bu Elok. Sementara itu, Angga segera memarkir mobilnya di halaman setelah seorang pelayan rumah membukakan gerbang.Laki-laki paruh baya itu kurang lebih berusia enam puluhan. Memakai pakaian serba hitam. Celana hitam, baju hitam, dan kepalanya dihiasi semacam hiasan yang ada di keraton Surakarta. Entah apa namanya. Bukan peci, bukan juga blangkon. Sejenis kain yang diikatkan ke belakang. Penampilannya begitu mirip abdi dalem zaman dulu.Menurut cerita dari Bu Elok, ayah Moniclah yang merupakan orang Denmark asli, sedangkan ibunya adalah penduduk pribumi. Campuran Jawa dan Batak. Pantas saja jika Farizka dan Angga kini berada di rumah bergaya Jawa Kuno. Pasti rumah itu dibeli mengikuti selera ibu Monic.Bulu kuduk Farizka dan Angga kembali berdiri saat mencium bau kemenyan. Mereka melewati sebuah taman kecil.
Farizka dan Angga keluar dari ruang TU dengan pikiran masing-masing.Kira-kira, benda apa yang dimaksud Monic? Kalau mengingat kata Bu Elok tadi, berarti Monic adalah teman Milna, Eka, dan Rahma. Mereka seangkatan. Ya, kami seangkatan. Tapi, kenapa hantu itu tetap menjadi siswa SMA, sedangkan kami sekarang sudah beranjak dewasa?Farizka tampak pusing, pusing mengaitkan antara satu masalah dan masalah yang lainnya. Sepertinya, benang merahnya satu per satu mulai bisa diusut. Namun, bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya sekarang. Dia dan Angga harus mengajar pada jam pertama.Farizka harus kembali menuju kelas 211. Seperti biasa. Dia juga akan bersikap biasa saja seandainya Monic ikut bergabung belajar di kelasnya. Sementara itu, Angga langsung menghambur ke lapangan bersama siswanya.Sepulang sekolah sore nanti, mereka berjanji untuk membahas masalah ini. Di tempat biasa. Di Warung Bakso Prima. &n
Pagi itu, sebelum jam pertama dimulai, mereka memutuskan untuk mencari info ke bagian TU (Tata Usaha) sekolah tentang siswi yang bernama Monica Miyana Renaldi.“Buat apa?” tanya Bu Elok, penjaga TU, sebelum memberikan data.Untungnya, Farizka dan Angga sudah mengantisipasinya. Mereka sudah menyiapkan jawaban-jawaban yang akan diberikan jika ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Bagaimanapun, mereka tidak mungkin menceritakan apa sebenarnya yang mereka alami. Meskipun mungkin sebagian penghuni sekolah sudah tahu misteri kelas 211. Apalagi, Bu Elok adalah senior TU di sini dan sudah mengabdikan diri puluhan tahun di yayasan ini, pasti beliau juga pernah mendengar desas-desus cerita hantu itu.“Buat apa kalian menanyakan Monic?” ulang Bu Elok melihat kedua guru baru di hadapannya masih terdiam.Farizka akhirnya angkat bicara, “Saya butuh data anak-anak pindahan, Bu, terutama anak blasteran. Untuk keperlu
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, seharusnya sang kepala sekolah tidak bisa membela anaknya terus-menerus dan melakukan tindakan semena-mena terhadap Farizka.“Pak, anak-anak sudah menunggu di rua
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, se