Minggu fakultatif telah berakhir seiring selesainya MOS untuk anak-anak kelas sepuluh. Sekarang sudah memasuki minggu aktif, kegiatan belajar mengajar akan berlangsung sebagaimana mestinya.
Farizka menyiapkan perangkat pembelajaran yang akan digunakan mengajar untuk hari Senin. Buku Panduan Matematika dan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk kelas sepuluh. Tak lupa, dia juga membawa kotak bekal makanannya dan botol mineral. Istirahat pertama hanya berlangsung lima belas menit. Waktu tersebut akan habis jika digunakan bolak-balik naik turun tangga dari pojok gedung lantai dua (kelas 211) menuju pojok gedung lantai satu (ruang guru). Farizka memutuskan untuk menghabiskan jam istirahat pertama dengan tinggal di dalam kelas saja sambil sarapan.Bel tanda masuk jam pertama berbunyi. Farizka segera bergegas menuju kelas 211. Jarak yang lumayan jauh dari ruang guru membuatnya harus lebih efisien dalam mengatur waktu. Tidak ada waktu untuk menunda berangkat menuju ke kelas.
Setelah menaiki tangga dari tangga tengah dan melewati empat kelas, Farizka sampai di kelas 211.Not bad. Kurang lebihnya itu komentarnya begitu sampai di kelas tersebut.Kelasnya menjorok ke dalam tertutup dinding sebelah kelas 210. Pencahayaannya sedikit kurang karena tidak adanya sinar matahari yang menembus langsung ke kelas sehingga lampu harus dinyalakan meskipun pagi hari.Ruangan ini memiliki desain yang sama dengan kelas lain. Ada AC di dinding atas tembok belakang. Tata letak, perabot, serta berbagai sarana dan prasarana yang lain memiliki letak yang sama dengan kelas lain. Sama persis.Hal yang paling menonjol membedakan adalah tidak adanya sinar matahari yang masuk dan ventilasi udaranya kurang. Sehingga kelas menjadi agak pengap.Begitulah gambaran awal Farizka tentang ruang kelas 211. Kelas ini juga bukan jalur lalu-lalang siswa. Hanya anak yang kebetulan mendapat jadwal di kelas 211 yang akan berlalu-lalang karena letaknya bukan pada jalur utama.
“Selamat pagi anak-anak.”Farizka mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Berusaha mengamati satu per satu wajah siswa-siswa barunya.
“Pagi Bu,” jawab mereka serempak.Seorang siswa perempuan yang duduk sendirian di bangku belakang tersenyum dengan manisnya berhasil mencuri perhatian Farizka. Farizka membalas senyum itu. Sementara itu, para siswa yang lain menaikkan alis mereka dan mengikuti arah pandang sang guru. Mereka menengok ke bangku pojok belakang. Kosong. Meskipun bingung dengan siapa guru mereka tersenyum, siswa-siswa kembali menyimak saat Farizka sibuk mempresensi satu per satu siswanya. Tanpa Farizka sadari, siswi yang duduk di bangku pojok tidak masuk ke dalam daftar presensi.Farizka fokus memulai pembelajaran. Kali ini, guru cantik itu sibuk menjelaskan tentang materi “Peluang”.
Tak terasa, sembilan puluh menit berlangsung dengan menyenangkan. Kurang lebihnya begitu dugaan Farizka. Semoga demikian dengan anak-anak, batin Farizka.Sesaat kemudian, jam istirahat pertama berbunyi. Para siswa meninggalkan kelas dan berhamburan menuju kantin yang ada di lantai satu. Kelas menjadi kosong seketika. Perlahan, embusan angin terasa. Padahal, kelas sangat minim ventilasi. Farizka mendongak ke atas, menatap dinding belakang. Pasti udara dari AC yang berubah dingin karena jumlah penghuni kelasnya yang berkurang drastis.Farizka membuka kotak bekal dan memulai sarapannya. Di tengah keasyikan mengunyah nugget, dia merasa ada anak yang dari tadi memperhatikannya. Ya, entah kenapa Farizka merasa gerak-geriknya diamati. Tatapan itu berasal dari pojok kelas.Farizka menghentikan “acara” makannya sejenak. Benar dugaannya. Anak perempuan tadi. Anak perempuan yang tersenyum begitu ramah kepadanya.
Perasaan tadi semua anak sudah keluar kelas. “Maaf ya, Ibu tidak menawari kamu. Ibu pikir tidak ada anak di kelas,” ucap Farizka tidak kalah ramah.“Tidak apa-apa, Bu. Saya tidak makan nasi kok.” Tanpa ditanya, siswi itu berusaha menjelaskan. Seperti memberi sebuah “clue” kepada Farizka. Alis Farizka terangkat. “Oh maaf, pasti kamu vegetarian ya? Pantas kulitnya putih bersih, cantik,” puji Farizka tulus.“Saya bukan vegetarian, Bu. Tidak makan nasi juga sayur,” jelas si siswi perempuan itu.Tidak makan nasi juga sayur? Apa mungkin dia hanya makan daging? Roti? batin Farizka.Sayang pertanyaan itu tidak sempat terjawab karena bel pelajaran masuk sudah berbunyi.“Lho Bu Farizka kok sudah di kelas?” tanya anak yang duduk paling pojok di deretan bangku terdepan.“Iya, tadi Ibu istirahat di kelas saja kok. Biar tidak bolak-balik.” “Bu Farizka sendirian dong berarti di kelas?” Anak perempuan tadi kembali bertanya.“Tidak kok, sama teman kalian yang duduk di bangku pojok belakang itu.”Mereka tidak sempat menengok ke belakang karena kelas telah penuh. Anak-anak semuanya sudah kembali. Seandainya menengok ke belakang, tentu mereka tidak akan mendapati siswi perempuan yang duduk di bangku pojok belakang. Atau, bisa saja mereka beranggapan bahwa guru mereka salah lihat.Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa, sudah sebulan Farizka menghabiskan waktu mengajar di kelas 211. Sepertinya, dia tak sependapat jika kelas 211 harus menjadi kelas yang paling dihindari bagi rekan-rekan sesama guru. Justru, dari kelas paling pojok ini, dia sering mendapatkan inspirasi dalam mengajar. Membuat media pembelajaran yang baru atau kadang-kadang mendapatkan ide dalam membuat soal-soal untuk latihan siswanya.Suasana kelas yang sepi, jauh dari hiruk pikuk siswa, menjadi alasan terkuat bagi Farizka untuk betah berada di dalamnya. Di samping itu, dia juga bisa fokus mengerjakan apa pun tanpa diganggu siapa pun.Sama seperti hari Senin ini, jadwal mengajar Farizka penuh dari jam pertama sampai jam terakhir. Ditambah jam tambahan pembinaan olimpiade Matematika sampai sore. Dan malamnya, dia harus lembur membuat silabus pembelajaran.Sebenarnya, jadwal lembur tidak harus dikerjakan di sekolah. Boleh saja diker
Keesokan harinya, Farizka mendapatkan panggilan dari Pak Yajid, sang kepala sekolah. Dia mendapatkan pujian karena sebagai guru baru mengumpulkan tugas silabus untuk pertama kali. Farizka dianggap mampu memberi contoh kepada guru lain terutama para senior karena memiliki disiplin waktu yang tinggi dalam mengerjakan tugas. Namun, imbas dari itu semua, dia mendapatkan tugas tambahan untuk membuat silabus kelas sebelas. Sebenarnya, tugas ini bukan tugasnya, melainkan tugas Bu Milna.Farizka keluar dari ruang kepala sekolah dengan tertunduk lesu. Harusnya, nanti malam dia bisa sekadar untuk beristirahat sejenak dari aktivitas lembur.Sementara itu, setelah Farizka keluar, Milna keluar dari salah satu ruang dari ruangan kepala sekolah. Ruang kepala sekolah ini memang memiliki tiga ruang. Ruang untuk tamu, ruang kerja, dan satunya ruangan kosong.“Harusnya, kamu bisa mencontoh si Farizka,” ujar Pak Yajid.Milna mengerucutka
“Farizka,” panggil seseorang saat Farizka menuruni anak tangga dari lantai dua.Ternyata, Angga. Guru Olahraga itu menatap Farizka sambil tersenyum dari ujung tangga lantai satu.“Untung ada Angga.” Farizka berjalan bersebelahan dengan Angga menuju ruang guru.“Kok belum pulang?”“Iya, masih lembur,” jawab Farizka dengan napas yang masih memburu.Angga menghentikan langkahnya. Kali ini, mereka berhadapan. Angga menatap Farizka.Bukannya Farizka tidak tahu. Sebenarnya, dari awal Farizka tahu bahwa Angga ada rasa yang tidak biasa. Itulah kenapa Milna dan teman-temannya tidak menyukainya. Mungkin alasan “hati” ini masuk ke dalam salah satunya. Tentu saja juga ada segudang alasan lain untuk orang yang iri. Mau sebaik apa pun, kalau berhadapan dengan orang yang iri, semua akan terlihat salah.“Lembur apa lagi?” Angga menatap lurus ke a
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, se
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, seharusnya sang kepala sekolah tidak bisa membela anaknya terus-menerus dan melakukan tindakan semena-mena terhadap Farizka.“Pak, anak-anak sudah menunggu di rua
Pagi itu, sebelum jam pertama dimulai, mereka memutuskan untuk mencari info ke bagian TU (Tata Usaha) sekolah tentang siswi yang bernama Monica Miyana Renaldi.“Buat apa?” tanya Bu Elok, penjaga TU, sebelum memberikan data.Untungnya, Farizka dan Angga sudah mengantisipasinya. Mereka sudah menyiapkan jawaban-jawaban yang akan diberikan jika ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Bagaimanapun, mereka tidak mungkin menceritakan apa sebenarnya yang mereka alami. Meskipun mungkin sebagian penghuni sekolah sudah tahu misteri kelas 211. Apalagi, Bu Elok adalah senior TU di sini dan sudah mengabdikan diri puluhan tahun di yayasan ini, pasti beliau juga pernah mendengar desas-desus cerita hantu itu.“Buat apa kalian menanyakan Monic?” ulang Bu Elok melihat kedua guru baru di hadapannya masih terdiam.Farizka akhirnya angkat bicara, “Saya butuh data anak-anak pindahan, Bu, terutama anak blasteran. Untuk keperlu
Farizka dan Angga keluar dari ruang TU dengan pikiran masing-masing.Kira-kira, benda apa yang dimaksud Monic? Kalau mengingat kata Bu Elok tadi, berarti Monic adalah teman Milna, Eka, dan Rahma. Mereka seangkatan. Ya, kami seangkatan. Tapi, kenapa hantu itu tetap menjadi siswa SMA, sedangkan kami sekarang sudah beranjak dewasa?Farizka tampak pusing, pusing mengaitkan antara satu masalah dan masalah yang lainnya. Sepertinya, benang merahnya satu per satu mulai bisa diusut. Namun, bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya sekarang. Dia dan Angga harus mengajar pada jam pertama.Farizka harus kembali menuju kelas 211. Seperti biasa. Dia juga akan bersikap biasa saja seandainya Monic ikut bergabung belajar di kelasnya. Sementara itu, Angga langsung menghambur ke lapangan bersama siswanya.Sepulang sekolah sore nanti, mereka berjanji untuk membahas masalah ini. Di tempat biasa. Di Warung Bakso Prima. &n
Mereka sampai di sebuah rumah bergaya bangunan Jawa Kuno. Setengah mirip Joglo. Farizka memandangi nomor rumahnya, sama persis dengan alamat yang diberikan Bu Elok. Sementara itu, Angga segera memarkir mobilnya di halaman setelah seorang pelayan rumah membukakan gerbang.Laki-laki paruh baya itu kurang lebih berusia enam puluhan. Memakai pakaian serba hitam. Celana hitam, baju hitam, dan kepalanya dihiasi semacam hiasan yang ada di keraton Surakarta. Entah apa namanya. Bukan peci, bukan juga blangkon. Sejenis kain yang diikatkan ke belakang. Penampilannya begitu mirip abdi dalem zaman dulu.Menurut cerita dari Bu Elok, ayah Moniclah yang merupakan orang Denmark asli, sedangkan ibunya adalah penduduk pribumi. Campuran Jawa dan Batak. Pantas saja jika Farizka dan Angga kini berada di rumah bergaya Jawa Kuno. Pasti rumah itu dibeli mengikuti selera ibu Monic.Bulu kuduk Farizka dan Angga kembali berdiri saat mencium bau kemenyan. Mereka melewati sebuah taman kecil.
Gadis itu turun dari mobil. Kulitnya putih diterpa sinar mentari pagi. Rambutnya panjang hitam legam. Tangannya diapit kedua orang tuanya yang menyusul turun dari mobil.Semua anak yang kebetulan sedang berolahraga di lapangan sebelah parkiran mobil spontan langsung menengok. Kini, semua mata tertuju kepada seorang gadis cantik yang sepertinya berasal dari keluarga berada. Dari penampilannya, terlihat cantik dan anak baik-baik.Anak-anak dari lapangan kasak-kusuk. Mungkin gadis blasteran itu sebentar lagi akan menjadi teman mereka. Beberapa anak laki-laki bahkan saling senyum dan melempar pandang satu sama lain.Sementara itu, anak-anak perempuan sibuk nyinyir. Sepertinya, sebentar lagi mereka akan punya saingan baru.Gadis itu menuju ruang kepala sekolah bersama orang tuanya. Beberapa saat kemudian, orang tua gadis itu tampak berpamitan dengan kepala sekolah.Sepeninggal orang tuanya, gadis itu dibimbing oleh Bu Elok menuju kelas 211. Kelas pe
Pagi itu, secara mengejutkan, Milna, Eka, dan Rahma mengundurkan diri sebagai guru. Tentu saja semua penghuni sekolah dibuat terheran-heran dengan sikap mereka. Namun, Pak Yajid Harahap sebagai kepala sekolah menyetujui pengunduran diri mereka. Biarlah ketiganya hidup tanpa bayang-bayang kekuasaan dari keluarganya. Biarlah mereka sukses dengan caranya sendiri. Mungkin itu yang dipikirkan ayah satu anak itu.Sebelum pergi meninggalkan sekolah, Milna, Eka, dan Rahma menyerahkan kalung, gelang, dan cincin dengan warna yang sama kepada Farizka dan Angga. Mereka tahu pemiliknya akan tenang jika benda itu telah kembali. Ketiganya juga meminta maaf kepada Farizka dan Angga. Setelah itu, mereka pergi dari sekolah tanpa menengok ke belakang. Tanpa menengok ke kelas 211, tempat sosok gadis itu memandangi kepergian mereka bertiga sambil tersenyum. ***Pada sore hari, Fariz
Pak Yajid Harahap memegang dadanya. Seperti menahan kemarahan yang telah lama dipendamnya.“Ayah harus melakukan sesuatu,” pinta putri semata wayangnya.Kali ini, laki-laki separuh abad itu memutar tubuhnya. Menatap dalam-dalam putri kesayangannya. Selama seumur hidup, Milna sama sekali tidak pernah mendapati ayahnya terlihat sebegitu menakutkan seperti malam ini.Sepeninggal ibunya Ayah Milna justru selalu menuruti apa yang dia mau.“Apa lagi yang kamu inginkan?” Pak Yajid menatap Milna tajam.Milna sebenarnya ragu untuk mengatakannya. Namun, ini adalah satu-satunya cara untuk menyingkirkan Farizka. Apalagi, peristiwa beberapa hari lalu, di depan ruang guru, gambaran Farizka dan Angga yang begitu romantis, terbayang-bayang di matanya. Tak bisa dibiarkan, ini adalah momen yang tepat untuk memisahkan Farizka dan Angga.“Milna ingin Ayah memecat Farizka.”“Apaaaa?”“Ya,
“Tidak wajar?” Farizka mengulang pernyataan itu.Meski sudah mendengar sendiri dari pengakuan Monic bahwa dia didorong oleh Milna, Eka, dan Rahma dari lantai dua sehingga membuat dia terjatuh dan naasnya kepalanya membentur lapangan basket terlebih dahulu, Farizka ingin mendengar versi lain, dari versi Sekar, sepupu Monic.“Setelah orang tuanya bercerai, papa dan mamanya sama-sama tidak mau mengasuhnya meski sebenarnya hak asuh jatuh ke tangan mamanya. Akhirnya, papanya tetap menjadi arsitek di Denmark, sedangkan mamanya berbisnis di sana. Oleh mamanya, Monic dipulangkan ke Indonesia dan dipasrahkan untuk diasuh oleh bibinya, yaitu mama saya. Saya baru tahu, waktu itu, kejadiannya tengah malam. Saat bangun untuk mengambil susu, Monic menangis, suaranya terdengar makin keras.Dan ....” Sekar menghentikan suaranya sejenak, berusaha menguatkan hatinya.Farizka menggenggam tangan Sekar sebagai bentuk dukungan.“Saya
Mereka sampai di sebuah rumah bergaya bangunan Jawa Kuno. Setengah mirip Joglo. Farizka memandangi nomor rumahnya, sama persis dengan alamat yang diberikan Bu Elok. Sementara itu, Angga segera memarkir mobilnya di halaman setelah seorang pelayan rumah membukakan gerbang.Laki-laki paruh baya itu kurang lebih berusia enam puluhan. Memakai pakaian serba hitam. Celana hitam, baju hitam, dan kepalanya dihiasi semacam hiasan yang ada di keraton Surakarta. Entah apa namanya. Bukan peci, bukan juga blangkon. Sejenis kain yang diikatkan ke belakang. Penampilannya begitu mirip abdi dalem zaman dulu.Menurut cerita dari Bu Elok, ayah Moniclah yang merupakan orang Denmark asli, sedangkan ibunya adalah penduduk pribumi. Campuran Jawa dan Batak. Pantas saja jika Farizka dan Angga kini berada di rumah bergaya Jawa Kuno. Pasti rumah itu dibeli mengikuti selera ibu Monic.Bulu kuduk Farizka dan Angga kembali berdiri saat mencium bau kemenyan. Mereka melewati sebuah taman kecil.
Farizka dan Angga keluar dari ruang TU dengan pikiran masing-masing.Kira-kira, benda apa yang dimaksud Monic? Kalau mengingat kata Bu Elok tadi, berarti Monic adalah teman Milna, Eka, dan Rahma. Mereka seangkatan. Ya, kami seangkatan. Tapi, kenapa hantu itu tetap menjadi siswa SMA, sedangkan kami sekarang sudah beranjak dewasa?Farizka tampak pusing, pusing mengaitkan antara satu masalah dan masalah yang lainnya. Sepertinya, benang merahnya satu per satu mulai bisa diusut. Namun, bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya sekarang. Dia dan Angga harus mengajar pada jam pertama.Farizka harus kembali menuju kelas 211. Seperti biasa. Dia juga akan bersikap biasa saja seandainya Monic ikut bergabung belajar di kelasnya. Sementara itu, Angga langsung menghambur ke lapangan bersama siswanya.Sepulang sekolah sore nanti, mereka berjanji untuk membahas masalah ini. Di tempat biasa. Di Warung Bakso Prima. &n
Pagi itu, sebelum jam pertama dimulai, mereka memutuskan untuk mencari info ke bagian TU (Tata Usaha) sekolah tentang siswi yang bernama Monica Miyana Renaldi.“Buat apa?” tanya Bu Elok, penjaga TU, sebelum memberikan data.Untungnya, Farizka dan Angga sudah mengantisipasinya. Mereka sudah menyiapkan jawaban-jawaban yang akan diberikan jika ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Bagaimanapun, mereka tidak mungkin menceritakan apa sebenarnya yang mereka alami. Meskipun mungkin sebagian penghuni sekolah sudah tahu misteri kelas 211. Apalagi, Bu Elok adalah senior TU di sini dan sudah mengabdikan diri puluhan tahun di yayasan ini, pasti beliau juga pernah mendengar desas-desus cerita hantu itu.“Buat apa kalian menanyakan Monic?” ulang Bu Elok melihat kedua guru baru di hadapannya masih terdiam.Farizka akhirnya angkat bicara, “Saya butuh data anak-anak pindahan, Bu, terutama anak blasteran. Untuk keperlu
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, seharusnya sang kepala sekolah tidak bisa membela anaknya terus-menerus dan melakukan tindakan semena-mena terhadap Farizka.“Pak, anak-anak sudah menunggu di rua
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, se