Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa, sudah sebulan Farizka menghabiskan waktu mengajar di kelas 211. Sepertinya, dia tak sependapat jika kelas 211 harus menjadi kelas yang paling dihindari bagi rekan-rekan sesama guru. Justru, dari kelas paling pojok ini, dia sering mendapatkan inspirasi dalam mengajar. Membuat media pembelajaran yang baru atau kadang-kadang mendapatkan ide dalam membuat soal-soal untuk latihan siswanya.
Suasana kelas yang sepi, jauh dari hiruk pikuk siswa, menjadi alasan terkuat bagi Farizka untuk betah berada di dalamnya. Di samping itu, dia juga bisa fokus mengerjakan apa pun tanpa diganggu siapa pun.Sama seperti hari Senin ini, jadwal mengajar Farizka penuh dari jam pertama sampai jam terakhir. Ditambah jam tambahan pembinaan olimpiade Matematika sampai sore. Dan malamnya, dia harus lembur membuat silabus pembelajaran.Sebenarnya, jadwal lembur tidak harus dikerjakan di sekolah. Boleh saja dikerjakan di rumah asalkan besok pagi sudah selesai. Namun, Farizka memilih mengerjakannya di sekolah. ***Milna baru saja sampai di kantor guru sore itu dari memberikan les tambahan untuk anak kelas dua belas. Ruang guru tampak sudah sepi. Hanya ada Eka dan Rahma.“Eh, kayaknya guru baru itu enjoy-enjoy aja di kelas itu.” Rahma mengawali pembicaraan.“Iya nih Mil, dia sama sekali enggak ada takut-takutnya,” tambah Eka.“Iya juga ya, aku mikirnya juga begitu. Padahal, ini sudah satu bulan dia mengajar di sana.” Milna menyahut.Mereka bertiga diam sejenak tampak sibuk berpikir dengan pikiran masing-masing.“Atau, jangan-jangan dia sebenarnya diganggu makhluk itu, tapi enggak mau cerita.” Eka mencoba menerka.Bagaimana mungkin makhluk yang selalu mengganggu mereka bertiga bisa “pilih kasih” tanpa mengganggu Farizka?“Bisa juga, sih. Tapi, hebat juga dia kalau sampai bisa memendam sendiri selama ini.” Milna menyahut.Rahma memberanikan diri bertanya, “Sebenarnya, salah dia apa sih Mil? sampai kita kerjain kayak gini?” Makhluk cantik itu sudah lama bergabung di ruang guru dari awal mereka membicarakan guru baru itu. Sayang, ketiga guru itu tidak bisa melihatnya. Dia duduk di bangku pojok sambil menunduk. Seakan-akan mengingat masa lalu kelamnya selama bersekolah di sini. Dulu. Dulu sekali. Saat bersama teman-temannya. Eka ikut mengangguk. “Iya Mil, aku enggak tega kali sama dia. Kayaknya, dia baik kok. Semester depan, enggak usah minta ke ayah kamu buat naruh dia di kelas sana terus. Kasihan.” Makhluk cantik yang memakai seragam sekolah itu spontan menengok ke arah mereka bertiga. Menatap dengan mata merahnya. Penuh kemarahan. Penuh dendam.Jadi, mereka berusaha mengerjai Farizka, pikirnya. Milna dan teman-temannya harus diberi pelajaran! Makhluk itu mengangkat tangannya dan dengan gerakan cepat menyenggol tangan Milna yang sedang memakai lipstik. Milna kaget dan langsung marah menyadari sebagian pipinya berlepotan lipstik.“Ka, enggak usah nyenggol aku, dong. Kamu enggak lihat aku lagi pakai lipstik?”
“Eh, dari tadi aku ngetik silabus. Kamu enggak lihat tangan aku di depan laptop?” balas Eka tak kalah sinis sambil mengangkat kedua tangannya.Benar saja. Eka dari tadi sibuk mengetik, sedangkan Rahma duduk di depan Eka. Tidak mungkin Rahma yang menyenggolnya.Makhluk yang duduk di sudut pojok kini telah berpindah berdiri di belakang Milna dan siap menjambak rambutnya.“Aduuuh!” Milna menjerit kesakitan.Eka langsung menghentikan acara mengetiknya.“Ada apa lagi sih Mil?”
“Kayak ada yang menjambak rambutku deh.” Milna masih mengelus kepalanya yang sakit.
Sementara itu, makhluk cantik itu tampak tersenyum sinis.
“Mending aku lembur di rumah aja kalau begini. Enggak konsen tahu di sini.” Rahma menjawab ketus.
Eka juga ikut-ikutan merapikan laptop dan memasukkannya ke tas.
“Iya, aku juga ngerjain aja di rumah. Capek.”
“Kalian berdua itu kenapa sih? Kalian temenin aku lembur di sekolah,” perintah Milna.
Sayang, perintah ketua geng sejak dua guru itu duduk di bangku SMP, tak digubris. Mereka berdua beranjak dari kursi masing-masing dan meninggalkan Milna sendirian.
“Eh, sejak kapan kalian berani membantahku?” Milna memegang kedua tangan temannya, mencegah keduanya pergi.
“Sejak sekarang, aku mengundurkan diri jadi anggota gengmu.” Rahma menepis tangan Milna.
Eka juga melakukan hal yang sama.
“Iya, aku juga. Aku juga udah capek Mil. Aku juga resign dari geng.”Mereka berdua kembali berjalan dan menghentikan langkah kaki sebelum sampai di pintu.
“Mulai sekarang, berhenti mengganggu guru baru itu.”
Milna menahan napasnya yang tersengal-sengal. Kaget dengan pengakuan kedua temannya barusan. Apa dia tidak salah dengar? Dia sadar memang dia sangat keterlaluan. Namun, sama sekali tidak pernah terpikirkan bahwa dua temannya itu akan meninggalkannya. Dua sahabat dari SMP, SMA, bahkan kuliah sampai masuk dunia kerja kini tiba-tiba meninggalkannya. Tidak ada yang sekuat mereka berdua saat berteman dengannya. Kalau bukan berteman dengan mereka berdua, Milna akan berteman dengan siapa?
Meski Milna adalah anak kepala sekolah di sini, sifat sombongnya membuat teman-teman guru menjauhinya. Semua orang tahu itu. Itulah sebabnya tak banyak yang mau berteman dengannya, kecuali Eka dan Rahma.Makhluk cantik itu masih mengamati Milna.Milna mengemasi barang-barangnya lalu meninggalkan ruang guru. Saat sampai di pintu, seseorang menabraknya.“Maaf,” ucap orang itu. Tak lain adalah Farizka.
Milna mendongak, menatapnya penuh benci. Kenapa pada saat seperti ini harus muncul wajah Farizka? Guru baru itu. Meski baru, semua orang dibuat menyukainya. Termasuk ayahnya yang tak lain adalah kepala sekolah di sini.
Tatapan kebencian Milna bisa dirasakan Farizka, tetapi Farizka membalas dengan senyum.
“Lain kali, kalau jalan pakai mata!” ujar Milna ketus.
Farizka diam saja dan sibuk membantu membereskan beberapa berkas Milna yang terjatuh. Tanpa mengucapkan terima kasih, Milna berlalu pergi.
Farizka menggelengkan kepala. Meski bukan pertama kali mendapatkan perlakuan seperti ini dari Milna. Dari pertama kali pindah, sebenarnya dia tahu bahwa Milna tidak menyukainya. Entah untuk alasan apa.
Melihat ruang guru sepi dan sudah tak ada siapa pun, Farizka memutuskan mengerjakan lanjutan silabusnya di ruang guru. Dia membuka laptop dan mulai mengetikkan beberapa kalimat. Namun, baru satu halaman terselesaikan, entah karena kelelahan atau apa, dia tertidur. Farizka merasakan seseorang membelainya. Begitu menenangkan. ***Farizka menyusuri lorong lantai dua. Hari masih siang, tetapi sekolah sudah sepi. Dia terus berjalan. Tiba-tiba, terdengar jeritan anak perempuan dari kelas pojok. Farizka mempercepat langkah kakinya. Jeritan itu makin jelas. Jeritan meminta tolong atau jeritan kesakitan. Entahlah. Suara itu berasal dari kelas 211.Farizka mendapati tiga anak perempuan sedang mengeroyok satu temannya. Sesama perempuan. Gadis itu terpojok. Terisak-isak.
Farizka menghardik. “Hentikan!”Akan tetapi, tak ada satu pun dari mereka yang mendengar Farizka.
“Enaknya kita apakan, Mil?” Salah satu dari pengeroyok bertanya kepada temannya.
Sepertinya, anak yang dipanggil “Mil” adalah ketua gengnya. Dia masih menjambak rambut siswi yang menjadi korbannya kali ini.
“Kali ini cukup. Kuperingatkan terakhir kalinya, jangan menggoda Brian!” ucapnya sambil membenturkan kepala korbannya ke tembok.
“Hentikan! Cukup!” Farizka berusaha melerai mereka.
Karena ucapannya tak juga didengar, Farizka berusaha memegang tangan sang penjambak. Namun, tangannya seperti menembus tangan itu. Tak dapat menyentuh.
Mereka bertiga pergi dan mengunci kelas. Kelas paling pojok. Farizka tidak habis pikir apa yang terjadi. Kenapa mereka bertiga tidak dapat melihatnya?
Anak perempuan itu tetap menangis. Rambut panjang dan poninya juga berantakan. Beberapa kancing bajunya copot. Baju seragamnya basah, sepertinya bekas siraman dari ketiga anak tadi. Sementara itu, isi tasnya berhamburan ke mana-mana.“Kamu tidak apa-apa?” Farizka memeluk anak itu.
Rasa iba muncul. Anak itu diam. Meski berantakan, Farizka dapat mencium wangi parfumnya yang begitu kentara. Seperti wangi bunga-bungaan. Entah aroma melati, kenanga, atau kamboja.Farizka merasakan bahunya digoyang-goyang dengan keras. Samar-samar, terdengar suara.“Farizka, bangun.”
Makin lama, suara itu makin jelas. Farizka membuka matanya. Sesuatu yang pertama kali terlihat adalah wajah Angga.
Melihat sekelilingnya, Farizka baru sadar bahwa dia tertidur di ruang guru.“Udah, ayo pulang” ajak Angga sambil membantu membereskan beberapa buku Farizka yang masih ada di atas meja.
“Belum selesai. Nanggung, bentar lagi,” pinta Farizka.
Angga mengernyitkan alisnya.
“Bukannya udah dicetak? Mana lagi yang belum?”
Farizka mengamati kertas cetakan yang dipegang Angga. Ada silabus atas nama Farizka Anastasia, berjumlah tiga puluh halaman.
Perasaan, tadi dia baru mengetik satu halaman di ruang guru. Kenapa sekarang sudah selesai semua? Sudah dicetak, lagi.Farizka bengong mengamati Angga.“Makasih, ya, Angga,” Farizka mengira Anggalah yang membantu menyelesaikan dan mencetak tugasnya.
Angga membalas dengan sebuah senyum meski tidak tahu Farizka berterima kasih untuk apa. Mungkin karena dia membangunkannya tadi.Sementara itu, makhluk cantik itu hanya tersenyum.Keesokan harinya, Farizka mendapatkan panggilan dari Pak Yajid, sang kepala sekolah. Dia mendapatkan pujian karena sebagai guru baru mengumpulkan tugas silabus untuk pertama kali. Farizka dianggap mampu memberi contoh kepada guru lain terutama para senior karena memiliki disiplin waktu yang tinggi dalam mengerjakan tugas. Namun, imbas dari itu semua, dia mendapatkan tugas tambahan untuk membuat silabus kelas sebelas. Sebenarnya, tugas ini bukan tugasnya, melainkan tugas Bu Milna.Farizka keluar dari ruang kepala sekolah dengan tertunduk lesu. Harusnya, nanti malam dia bisa sekadar untuk beristirahat sejenak dari aktivitas lembur.Sementara itu, setelah Farizka keluar, Milna keluar dari salah satu ruang dari ruangan kepala sekolah. Ruang kepala sekolah ini memang memiliki tiga ruang. Ruang untuk tamu, ruang kerja, dan satunya ruangan kosong.“Harusnya, kamu bisa mencontoh si Farizka,” ujar Pak Yajid.Milna mengerucutka
“Farizka,” panggil seseorang saat Farizka menuruni anak tangga dari lantai dua.Ternyata, Angga. Guru Olahraga itu menatap Farizka sambil tersenyum dari ujung tangga lantai satu.“Untung ada Angga.” Farizka berjalan bersebelahan dengan Angga menuju ruang guru.“Kok belum pulang?”“Iya, masih lembur,” jawab Farizka dengan napas yang masih memburu.Angga menghentikan langkahnya. Kali ini, mereka berhadapan. Angga menatap Farizka.Bukannya Farizka tidak tahu. Sebenarnya, dari awal Farizka tahu bahwa Angga ada rasa yang tidak biasa. Itulah kenapa Milna dan teman-temannya tidak menyukainya. Mungkin alasan “hati” ini masuk ke dalam salah satunya. Tentu saja juga ada segudang alasan lain untuk orang yang iri. Mau sebaik apa pun, kalau berhadapan dengan orang yang iri, semua akan terlihat salah.“Lembur apa lagi?” Angga menatap lurus ke a
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, se
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, seharusnya sang kepala sekolah tidak bisa membela anaknya terus-menerus dan melakukan tindakan semena-mena terhadap Farizka.“Pak, anak-anak sudah menunggu di rua
Pagi itu, sebelum jam pertama dimulai, mereka memutuskan untuk mencari info ke bagian TU (Tata Usaha) sekolah tentang siswi yang bernama Monica Miyana Renaldi.“Buat apa?” tanya Bu Elok, penjaga TU, sebelum memberikan data.Untungnya, Farizka dan Angga sudah mengantisipasinya. Mereka sudah menyiapkan jawaban-jawaban yang akan diberikan jika ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Bagaimanapun, mereka tidak mungkin menceritakan apa sebenarnya yang mereka alami. Meskipun mungkin sebagian penghuni sekolah sudah tahu misteri kelas 211. Apalagi, Bu Elok adalah senior TU di sini dan sudah mengabdikan diri puluhan tahun di yayasan ini, pasti beliau juga pernah mendengar desas-desus cerita hantu itu.“Buat apa kalian menanyakan Monic?” ulang Bu Elok melihat kedua guru baru di hadapannya masih terdiam.Farizka akhirnya angkat bicara, “Saya butuh data anak-anak pindahan, Bu, terutama anak blasteran. Untuk keperlu
Farizka dan Angga keluar dari ruang TU dengan pikiran masing-masing.Kira-kira, benda apa yang dimaksud Monic? Kalau mengingat kata Bu Elok tadi, berarti Monic adalah teman Milna, Eka, dan Rahma. Mereka seangkatan. Ya, kami seangkatan. Tapi, kenapa hantu itu tetap menjadi siswa SMA, sedangkan kami sekarang sudah beranjak dewasa?Farizka tampak pusing, pusing mengaitkan antara satu masalah dan masalah yang lainnya. Sepertinya, benang merahnya satu per satu mulai bisa diusut. Namun, bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya sekarang. Dia dan Angga harus mengajar pada jam pertama.Farizka harus kembali menuju kelas 211. Seperti biasa. Dia juga akan bersikap biasa saja seandainya Monic ikut bergabung belajar di kelasnya. Sementara itu, Angga langsung menghambur ke lapangan bersama siswanya.Sepulang sekolah sore nanti, mereka berjanji untuk membahas masalah ini. Di tempat biasa. Di Warung Bakso Prima. &n
Mereka sampai di sebuah rumah bergaya bangunan Jawa Kuno. Setengah mirip Joglo. Farizka memandangi nomor rumahnya, sama persis dengan alamat yang diberikan Bu Elok. Sementara itu, Angga segera memarkir mobilnya di halaman setelah seorang pelayan rumah membukakan gerbang.Laki-laki paruh baya itu kurang lebih berusia enam puluhan. Memakai pakaian serba hitam. Celana hitam, baju hitam, dan kepalanya dihiasi semacam hiasan yang ada di keraton Surakarta. Entah apa namanya. Bukan peci, bukan juga blangkon. Sejenis kain yang diikatkan ke belakang. Penampilannya begitu mirip abdi dalem zaman dulu.Menurut cerita dari Bu Elok, ayah Moniclah yang merupakan orang Denmark asli, sedangkan ibunya adalah penduduk pribumi. Campuran Jawa dan Batak. Pantas saja jika Farizka dan Angga kini berada di rumah bergaya Jawa Kuno. Pasti rumah itu dibeli mengikuti selera ibu Monic.Bulu kuduk Farizka dan Angga kembali berdiri saat mencium bau kemenyan. Mereka melewati sebuah taman kecil.
“Tidak wajar?” Farizka mengulang pernyataan itu.Meski sudah mendengar sendiri dari pengakuan Monic bahwa dia didorong oleh Milna, Eka, dan Rahma dari lantai dua sehingga membuat dia terjatuh dan naasnya kepalanya membentur lapangan basket terlebih dahulu, Farizka ingin mendengar versi lain, dari versi Sekar, sepupu Monic.“Setelah orang tuanya bercerai, papa dan mamanya sama-sama tidak mau mengasuhnya meski sebenarnya hak asuh jatuh ke tangan mamanya. Akhirnya, papanya tetap menjadi arsitek di Denmark, sedangkan mamanya berbisnis di sana. Oleh mamanya, Monic dipulangkan ke Indonesia dan dipasrahkan untuk diasuh oleh bibinya, yaitu mama saya. Saya baru tahu, waktu itu, kejadiannya tengah malam. Saat bangun untuk mengambil susu, Monic menangis, suaranya terdengar makin keras.Dan ....” Sekar menghentikan suaranya sejenak, berusaha menguatkan hatinya.Farizka menggenggam tangan Sekar sebagai bentuk dukungan.“Saya
Gadis itu turun dari mobil. Kulitnya putih diterpa sinar mentari pagi. Rambutnya panjang hitam legam. Tangannya diapit kedua orang tuanya yang menyusul turun dari mobil.Semua anak yang kebetulan sedang berolahraga di lapangan sebelah parkiran mobil spontan langsung menengok. Kini, semua mata tertuju kepada seorang gadis cantik yang sepertinya berasal dari keluarga berada. Dari penampilannya, terlihat cantik dan anak baik-baik.Anak-anak dari lapangan kasak-kusuk. Mungkin gadis blasteran itu sebentar lagi akan menjadi teman mereka. Beberapa anak laki-laki bahkan saling senyum dan melempar pandang satu sama lain.Sementara itu, anak-anak perempuan sibuk nyinyir. Sepertinya, sebentar lagi mereka akan punya saingan baru.Gadis itu menuju ruang kepala sekolah bersama orang tuanya. Beberapa saat kemudian, orang tua gadis itu tampak berpamitan dengan kepala sekolah.Sepeninggal orang tuanya, gadis itu dibimbing oleh Bu Elok menuju kelas 211. Kelas pe
Pagi itu, secara mengejutkan, Milna, Eka, dan Rahma mengundurkan diri sebagai guru. Tentu saja semua penghuni sekolah dibuat terheran-heran dengan sikap mereka. Namun, Pak Yajid Harahap sebagai kepala sekolah menyetujui pengunduran diri mereka. Biarlah ketiganya hidup tanpa bayang-bayang kekuasaan dari keluarganya. Biarlah mereka sukses dengan caranya sendiri. Mungkin itu yang dipikirkan ayah satu anak itu.Sebelum pergi meninggalkan sekolah, Milna, Eka, dan Rahma menyerahkan kalung, gelang, dan cincin dengan warna yang sama kepada Farizka dan Angga. Mereka tahu pemiliknya akan tenang jika benda itu telah kembali. Ketiganya juga meminta maaf kepada Farizka dan Angga. Setelah itu, mereka pergi dari sekolah tanpa menengok ke belakang. Tanpa menengok ke kelas 211, tempat sosok gadis itu memandangi kepergian mereka bertiga sambil tersenyum. ***Pada sore hari, Fariz
Pak Yajid Harahap memegang dadanya. Seperti menahan kemarahan yang telah lama dipendamnya.“Ayah harus melakukan sesuatu,” pinta putri semata wayangnya.Kali ini, laki-laki separuh abad itu memutar tubuhnya. Menatap dalam-dalam putri kesayangannya. Selama seumur hidup, Milna sama sekali tidak pernah mendapati ayahnya terlihat sebegitu menakutkan seperti malam ini.Sepeninggal ibunya Ayah Milna justru selalu menuruti apa yang dia mau.“Apa lagi yang kamu inginkan?” Pak Yajid menatap Milna tajam.Milna sebenarnya ragu untuk mengatakannya. Namun, ini adalah satu-satunya cara untuk menyingkirkan Farizka. Apalagi, peristiwa beberapa hari lalu, di depan ruang guru, gambaran Farizka dan Angga yang begitu romantis, terbayang-bayang di matanya. Tak bisa dibiarkan, ini adalah momen yang tepat untuk memisahkan Farizka dan Angga.“Milna ingin Ayah memecat Farizka.”“Apaaaa?”“Ya,
“Tidak wajar?” Farizka mengulang pernyataan itu.Meski sudah mendengar sendiri dari pengakuan Monic bahwa dia didorong oleh Milna, Eka, dan Rahma dari lantai dua sehingga membuat dia terjatuh dan naasnya kepalanya membentur lapangan basket terlebih dahulu, Farizka ingin mendengar versi lain, dari versi Sekar, sepupu Monic.“Setelah orang tuanya bercerai, papa dan mamanya sama-sama tidak mau mengasuhnya meski sebenarnya hak asuh jatuh ke tangan mamanya. Akhirnya, papanya tetap menjadi arsitek di Denmark, sedangkan mamanya berbisnis di sana. Oleh mamanya, Monic dipulangkan ke Indonesia dan dipasrahkan untuk diasuh oleh bibinya, yaitu mama saya. Saya baru tahu, waktu itu, kejadiannya tengah malam. Saat bangun untuk mengambil susu, Monic menangis, suaranya terdengar makin keras.Dan ....” Sekar menghentikan suaranya sejenak, berusaha menguatkan hatinya.Farizka menggenggam tangan Sekar sebagai bentuk dukungan.“Saya
Mereka sampai di sebuah rumah bergaya bangunan Jawa Kuno. Setengah mirip Joglo. Farizka memandangi nomor rumahnya, sama persis dengan alamat yang diberikan Bu Elok. Sementara itu, Angga segera memarkir mobilnya di halaman setelah seorang pelayan rumah membukakan gerbang.Laki-laki paruh baya itu kurang lebih berusia enam puluhan. Memakai pakaian serba hitam. Celana hitam, baju hitam, dan kepalanya dihiasi semacam hiasan yang ada di keraton Surakarta. Entah apa namanya. Bukan peci, bukan juga blangkon. Sejenis kain yang diikatkan ke belakang. Penampilannya begitu mirip abdi dalem zaman dulu.Menurut cerita dari Bu Elok, ayah Moniclah yang merupakan orang Denmark asli, sedangkan ibunya adalah penduduk pribumi. Campuran Jawa dan Batak. Pantas saja jika Farizka dan Angga kini berada di rumah bergaya Jawa Kuno. Pasti rumah itu dibeli mengikuti selera ibu Monic.Bulu kuduk Farizka dan Angga kembali berdiri saat mencium bau kemenyan. Mereka melewati sebuah taman kecil.
Farizka dan Angga keluar dari ruang TU dengan pikiran masing-masing.Kira-kira, benda apa yang dimaksud Monic? Kalau mengingat kata Bu Elok tadi, berarti Monic adalah teman Milna, Eka, dan Rahma. Mereka seangkatan. Ya, kami seangkatan. Tapi, kenapa hantu itu tetap menjadi siswa SMA, sedangkan kami sekarang sudah beranjak dewasa?Farizka tampak pusing, pusing mengaitkan antara satu masalah dan masalah yang lainnya. Sepertinya, benang merahnya satu per satu mulai bisa diusut. Namun, bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya sekarang. Dia dan Angga harus mengajar pada jam pertama.Farizka harus kembali menuju kelas 211. Seperti biasa. Dia juga akan bersikap biasa saja seandainya Monic ikut bergabung belajar di kelasnya. Sementara itu, Angga langsung menghambur ke lapangan bersama siswanya.Sepulang sekolah sore nanti, mereka berjanji untuk membahas masalah ini. Di tempat biasa. Di Warung Bakso Prima. &n
Pagi itu, sebelum jam pertama dimulai, mereka memutuskan untuk mencari info ke bagian TU (Tata Usaha) sekolah tentang siswi yang bernama Monica Miyana Renaldi.“Buat apa?” tanya Bu Elok, penjaga TU, sebelum memberikan data.Untungnya, Farizka dan Angga sudah mengantisipasinya. Mereka sudah menyiapkan jawaban-jawaban yang akan diberikan jika ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Bagaimanapun, mereka tidak mungkin menceritakan apa sebenarnya yang mereka alami. Meskipun mungkin sebagian penghuni sekolah sudah tahu misteri kelas 211. Apalagi, Bu Elok adalah senior TU di sini dan sudah mengabdikan diri puluhan tahun di yayasan ini, pasti beliau juga pernah mendengar desas-desus cerita hantu itu.“Buat apa kalian menanyakan Monic?” ulang Bu Elok melihat kedua guru baru di hadapannya masih terdiam.Farizka akhirnya angkat bicara, “Saya butuh data anak-anak pindahan, Bu, terutama anak blasteran. Untuk keperlu
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, seharusnya sang kepala sekolah tidak bisa membela anaknya terus-menerus dan melakukan tindakan semena-mena terhadap Farizka.“Pak, anak-anak sudah menunggu di rua
Perasaan Farizka jauh lebih tenang sekarang setelah bercerita kepada Angga. Ditambah juga jauh lebih berbunga-bunga. Setidaknya, dia tidak perlu merasa takut lagi saat berada di kelas 211. Nasihat pacar barunya, Angga, selama hantu itu tidak mengganggu, tidak masalah. Terlebih, Angga berjanji akan menemaninya lembur jika dia terpaksa lembur di kelas 211. Termasuk, menemaninya lembur nanti malam.Masalah jadian, mereka sepakat untuk backstreet agar tidak terjadi gosip macam-macam. Sekaligus menjaga perasaan Milna.Malam itu, selesai melatih ekstrakurikuler basket, Angga berencana segera naik ke lantai dua, ke kelas 211, menemani pacarnya untuk lembur mengerjakan silabus kelas sebelas. Dalam hati, Angga sedikit jengkel. Meski Pak Yajid Harahap adalah ayah kandung dari Milna, se