Suatu hari, di sekolah dasar di kota Padang, hari menunjukkan pukul 12 siang. Di mana anak-anak kelas 3 sekolah dasar bersiap-siap mengemasi barang mereka untuk segera pulang.
Lonceng pun berbunyi, semua murid kelas 3 sekolah dasar berlarian keluar kelas untuk menuju rumah mereka masing-masing. Begitu juga dengan kelas lainnya, yang sama berlomba untuk pulang ke rumah mereka.
Seperti biasa dua gadis cantik kembar saling berpegangan tangan menunggu jemputan mereka. 30 menit telah berlalu, jemputan yang biasanya tidak pernah telat. Namun, sekarang tidak kunjung datang. Padahal, hanya beberapa siswa lagi yang tersisa, membuat mereka pun lelah.
“Dek, kita pulang saja yuk. Mungkin pak Anto lupa jemput kita, kan dia sudah tua haha. Makanya sampai sekarang belum juga datang, karena pelupa,” ucap Alea kepada adik kembarnya Alena.
“Iya, Kak. Kita pulang saja yah, adek juga sudah capek nunggu, kaki adek hampir nggak kuat lagi untuk berdiri, tapi kita istirahat sebentar di sana yuk,” jawab Alena dengan polosnya dan keduanya pun beristirahat beberapa menit.
“Ayok. Udah nggak capek lagi kan, kita pulang.”
Alena mengangguk pelan. Alea pun menggenggam pergelangan tangan adiknya lalu melangkah meninggalkan pagar depan sekolah mereka.
Dengan langkah pasti, mereka berjalan menyusuri rumah demi rumah, gang demi gang hingga akhirnya mereka sampai di depan rumah mewah bertingkat dengan hiasan patung perak di halamannya. Cukup jauh perjalanan yang mereka tempuh untuk sampai di depan rumah mereka. Tapi, daripada berdiam di sekolah, lebih baik mereka segera pulang ke rumah.
Tanpa kedua gadis kecil itu sadari, di dalam rumah mewah mereka, dua manusia dewasa, tergeletak di lantai. Tubuh mereka telah berlumuran darah, dan tidak lagi bernyawa.
Ya, dua orang itu tidak lain adalah pekerja di rumah Marvel dan Anastasya. Bi Jina dan Pak Anto yang merupakan asisten rumah tangga serta sopir pribadi yang telah lama bekerja pada mereka. Bahkan mereka sudah bekerja sebelum dua saudara kembar itu dilahirkan.
Sesaat setelah dua gadis kecil itu membuka pelan gagang pintu rumahnya, mereka melihat dua pria berbaju serba hitam tengah berada di dekat tangga. Mereka melangkah pelan dan senyap, berusaha menghindari bunyi apapun. Dua pria dewasa itu terus menaiki lantai dua rumah mewah tersebut.
Melihat orang yang tidak dikenalnya dan menakutkan, seketika Alena berteriak kuat. Terlebih ketika melihat Bi Jina dan Pak Anto yang mereka kenal tergeletak dengan bersimbah darah di lantai, bola mata keduanya melotot dan mulut mereka terbuka lebar.
Alea yang cerdas, dia paham akan situasi mereka saat ini yanh tidak baik-baik saja. Lekas membungkam mulut sang adik agar aman. Namun, tak dipungkiri teriakan sang adik nyatanya telah membuat 2 lelaki itu berbalik arah. Dua lelaki itu tersenyum sinis dan secepat kilat berlari pada mereka yang juga melangkah menjauh keluar rumah.
"Lari."
Alea enarik tangan Alena. Tetapi mereka kalah cepat dari dua lelaki itu, malangnya, tubuh mungil mereka dengan mudah terangkat oleh kedua lelaki tersebut dan membawa mereka ke dalam rumah.
Tubuh mereka dihempaskan ke lantai yang telah dibanjiri darah segar yang mulai membeku. Sembari terisak, Alea berusaha mendekati Alena yang berteriak dan menangis dengan kencang. Dia menunjukkan betapa sang kakak harus kuat dan akan selalu melindungi adiknya dalam kondisi apapun, sekalipun dia sendiri dalam bahaya.
“Tenang ya, Dek. Ada kakak di sini. Kakak pasti akan melindungi kamu.” Didekapnya kuat tubuh Alena yang gemetar hebat, menenangkan sang adik yang amat ketakutan.
Alea dan Alena yang masih kecil, tentu tidak pernah tahu hidupnya akan seseram ini. Niat mereka untuk cepat pulang ke rumah, dapat beristirahat, makan dengan nikmat dan tidur siang. Justru menjadi malapetaka sendiri bagi mereka berdua.
Dua pria itu tersenyum menatap mangsa mungil mereka. Segera beraksi, setelah mengeluarkan benda tajam dari balik jaket hitamnya. Pisau itu pun dia arahkan ke tubuh Alena yang ketakutan. Pria bertato di keningnya itu sangat suka melihat mangsa yang takut padanya.
Sementara pria yang satunya lagi. Hanya memperhatikan, toh hanya bocah. Anak-anak yang lemah dan tidak sebanding dengan kekuatan mereka.
Di arahkan pisau padanya, Alena memejamkan matanya dalam pelukan Alea. Sementara gadis itu mendongak, menantang kesal pria botak bertato itu.
“Mau apa kalian di rumah kami? Pergi!!” teriaknya gemetar.
“DIAM!!” bentak pria botak bertato itu.
Dua bocah mendadak lemah, memejamkan mata pasrah. Beberapa detik kemudian, terdengar suara hantaman kayu cukup kuat. Dua lelaki tersebut tersungkur setelah terhantam kayu balok dari arah belakang mereka, tanpa sempat melukai mereka.
“Papa!! Mama!!” teriak mereka kompak dan menghambur pada orang tua mereka.
“Ayok, Nak, kita pergi dari sini," ucapnya dan membalas pelukan putri-putri mereka.
Keduanya segera menggendong dan membawa anak-anaknya pergi dari tempat itu. Sementara dua pria tadi menahan rasa sakit di pundak mereka akibat hantaman kayu yang begitu kuat. Mereka berempat memanfaatkan waktu itu sedemikian mungkin, untuk terus berlari menjauh dari rumah yang sudah menjadi neraka tersebut.
“Bangkit kamu. Cepat kita kejar mereka!!” perintah si botak bertato, berusaha bangkit menahan nyeri di tengkuk mereka.
Dengan rasa khawatir yang tinggi. Sekeluarga itu bersembunyi di balik bak sampah besar yang hampir menutupi setengah jalan.
“Sayang. Kalian berdua tetap tenang di sini dulu yah. Mama sama papa akan pastikan kondisi dulu. Aman atau tidak! Setelah itu, baru kami jemput kalian yah!! Mama, papa sayang kalian!!” Marvel dan Anastasya mencium kening putri mereka bergantian, sebelum meninggalkan mereka entah sampai ... kapan.
Pasangan suami istri itu melangkah keluar, meninggalkan putri kembar mereka. Kemudian, dengan cepat mengangkat beberapa kantong hitam berisi sampah untuk menutupi tubuh si kembar agar tidak terlihat dari luar dan memancing para pembunuh bayaran mendekati anak mereka.
Kedua saudara kembar itu pasrah di tempat mereka. Diam, tidak berani bersuara sesuai perintah orang tuanya.
Selang satu jam, orang tua mereka tidak kunjung datang. Alena mulai panik dan kembali menangis terisak.
“Kak. Papa, Mama, mana?” tanyanya sambil mengusap air matanya yang mulai mengalir deras.
“Kakak juga tidak tahu mereka di mana.” Merasa panik, Alea berusaha menenangkan sang adik dan berusaha mencari kedua orang tua mereka.
“Kamu di sini dulu ya, Dek. Kakak keluar dulu mau cari papa dan mama.” Alena mengangguk menuruti ucapan kakaknya.
Pelan-pelan dan penuh kewaspadaan. Alea berusaha keluar untuk mencari orang tuanya yang menghilang daritadi. Rela meninggalkan sang adik yang mulai berhenti menangis agar dirinya aman saat ditinggal sendiri oleh kakaknya.
Dengan berani Alea berjalan ke arah rumah mereka tadi, untuk memastikan apakah papa dan mamanya kembali ke rumah itu atau tidak. Namun, belum sampai kaki kecilnya menginjak depan rumah tersebut, dia sudah terlihat oleh dua lelaki tadi yang sekarang bertambah banyak.
Alea berusaha lari secepat mungkin menuju tempat persembunyiannya tadi. Dan di waktu yang bersamaan sang adik terlihat digendong oleh papanya memasuki mobil hitam mereka.
“Papa, Mama, Alena, tunggu!! Tunggu Alea, Pah. Mah!!” teriaknya dengan kencang, kaki kecilnya terus berlari menjauh.
Bukan mereka tidak mendengar teriakan Alea. Namun, dengan berat hati mereka terpaksa meninggalkan anaknya yang berusaha lari dari kejaran orang-orang jahat itu, demi menyelematkan 3 nyawa yang lain.
Kaki Alea sudah lemah, membuatnya jatuh tersungkur hingga membuat lututnya berdarah. Namun, semangatnya untuk terus mengejar tidak pernah pudar, membuatnya terus berusaha bangkit dan kembali berlari. Meski mobil itu sudah semakin menjauh.
Apalah daya, tubuh mungil Alea yang sudah lemah tersebut, tertangkap oleh orang-orang tadi. Mereka tertawa, berhasil menangkap mangsa mereka.
“Lepas!! Lepass!!” ucapnya dalam posisi setengah duduk, bertumpu pada lutunya. Sembari terus memberontak kuat dan menangis.
Seorang pria berkaca mata hitam, berjongkok di hadapan Alea. Dengan senyum sinisnya, dia mengangkat dagu si gadis mungil tersebut.
“Haha, lihat, lihatlah mereka. Mereka meninggalkan kamu,” ucapnya sembari tertawa kencang.
“Nggak, mereka pasti kembali. Aku yakin itu,” jawabnya berteriak, sembari berusaha dan terus melawan.
“Mereka tidak akan pernah kembali, mereka tidak menganggapmu lagi ada,” jawabnya sambil tersenyum.
“Bohong, mereka sayang sama aku. Aku anak mereka,” tangis Alea pecah, merasa pasrah dengan keadaan yang tengah ia rasakan. Lelaki itu kemudian memegang kembali dagu gadis itu.
“Bodoh!! Mereka sudah membuangmu, mereka sudah meninggalkan kamu,” teriaknya berang.
Alea semakin menangis, betul juga apa yang dikatakan lelaki itu. Dia merasa telah dibuang keluarganya sendiri, merasa tidak disayang lagi oleh mereka. Sekarang, tanpa dirinya mereka pergi begitu saja. Mereka pasti mendengar teriakannya tadi, tetapi tetap tidak berhenti dan semakin pergi menjauh meninggalkannya seorang diri.
“Berhenti menangis, mereka tidak pantas untuk ditangisi,” lanjut lelaki itu yang kemudian berdiri.
Alea tetap menangis. Dalam hatinya, dia masih berharap kedua orang tua beserta adiknya menjemput kembali dirinya.
“Aku tidak akan membunuh kamu. Ikut aku, atau kamu akan mati di sini menunggu orang yang telah membuang kamu dalam kehidupan mereka.” Kemudian lelaki itu melangkah pergi diikuti pengikut-pengikutnya.
Namun Alea sama sekali tidak beranjak dari tempatnya berpijak. Dia masih berharap dan menunggu keajaiban datang. Hujan mulai turun, setelah beberapa jam yang lalu mendung menyelimuti langit. Dendam mulai tumbuh dihati Nindy kecil, tangannya mengepal kuat, bibirnya bergetar menahan amarah yang membara di dalam hatinya.
“Ini tidak adil. Tidak adil,” ujarnya dalam hati seraya terus mengepal tangannya kuat menatap ke arah tempat keluarganya pergi.
Tujuh tahun telah berlalu ... Derap langkah kaki menggema di sepanjang lorong. Seorang gadis dengan berpakaian serba hitam, tak lupa aksesoris kacamata juga topi hitam yang melekat di tubuhnya. Gadis itu melangkah sepanjang lorong yang kelam, berjalan menuju sebuah ruangan yang terletak di ujung lorong tersebut. Dia berjalan tegap, dan sama sekali tidak menoleh ke belakang. Kakinya pun terhenti tepat di depan pintu di ujung lorong. 2 pintu dengan tinggi 3 meter berwarna kuning emas dengan gambar berlian hitam di tengahnya. "Mister B ada? Katakan padanya, saya ingin menemuinya," ucapnya singkat pada 2 orang penjaga yang setia berdiri di depan pintu tuan besarnya. Tanpa menjawab ucapan gadis itu, kedua lelaki bertubuh tegap tersebut pun lantas membukakan pintu. Gadis itu langsung memasuki ruangan. Langkahnya terhenti, saat melihat lelaki berusia hampir 60 tahun itu tengah bersantai di kursi yang terletak di sudut ruangan. Matanya terpejam dengan kedua kaki yang dipijat oleh 2 wanita
Seorang gadis memakai seragam sekolah menengah atas, tengah berlari beberapa kali mengelilingi lapangan sekolah yang cukup luas. Gadis itu tengah di hukum oleh guru piket di sekolahnya karena terlambat datang, meski hanya rentan 15 menit saja dari jadwal gerbang tutup. Di belakangnya, terdapat seorang lelaki berparas tampan yang juga satu kelas dengannya, ikut bergabung, berlari mengekori gadis itu dengan kecepatan lari yang menyamai gadis di depannya. "Darren, kamu ngapain sih ikutan lari? Kamu kan nggak terlambat datang, sana pergi. Nanti pak Joy marah loh sama kamu karena tidak masuk kelas," ucap Alena yang tidak ingin kekasihnya itu ikut di hukum demi menemaninya menerima hukuman."Nggak apa-apa kok cantik. Aku cuma ingin nemani wanita yang aku cintai ini saja, biar tidak kesepian. Lagian, lihat ke sana, banyak yang lihatin kamu loh, makanya, aku ikut keliling sekalian jagain kamu dari mereka si hidung belang," ucapnya dan tersenyum lebar, terus melambatkan larinya demi menyamai
Retno selalu saja memandangi Cindy tanpa lelah, bahkan hingga pembelajarannya pun selesai. Dia pun berniat untuk bisa keluar bersama dengan gadis itu. Dia pun sengaja berlama di ruangan, pura-pura berkemas. Dia dengan sengaja membiarkan siswanya keluar lebih dulu. Dia ingin menunggu Cindy keluar kelas agar bisa berbarengan dengannya.Sayang, dua pasang mata yang menatap cemburu itu sadar dengan Retno. Namun, guru itu tidak habis ide untuk segera meminta siswanya keluar kelas. Dia menyuruh Gilang membawakan buku tugas siswa untuk diantar ke ruangannya.Sementara Kesya yang menyadari itu, ia menahan diri dan gengnya untuk menunggu keluarnya Retno dari ruangan. Sembari menunggu, Kesya mengarahkan pandangannya pada Cindy yang masih belum menyadari ada orang yang mengintainya, terus saja membereskan peralatannya di atas meja.Lama Retno berdiri di depan menanti pujaan hati. Dia pun menyadari Kesya belum beranjak dari tempat duduknya.Sorot mata Retno mengarah pada Kesya. Dia merasa gadis it
Gilang yang sudah keluar lebih dulu karena ditugaskan Retno, terlihat mencari seseorang di kantin sekolah. “Cindy kok nggak ketemu yah,” pikirnya bingung dan terus melangkahkan kakinya mengitari kantin tersebut.Ya, siapa lagi yang dicari kalau bukan Cindy, gadis pujaan hatinya. Semenjak cintanya diterima Cindy, jika tidak ada kesibukan masing-masing, mereka selalu melewatkan waktu jam istirahatnya bersama.“Haduh, Cindy di mana sih. Kok nggak ketemu juga daritadi,” ucapnya dan memilih mengantri dideretan siswa untuk mengambil makan siangnya.Selepas mendapat makanannya. Gilang melangkah menuju tempat duduk yang kosong berada di pojok kanan. Tidak beberapa lama, gadis yang ditunggu datang. Dia pun lekas menghampiri Cindy yang tampak lesu."Kamu ke mana sih, cantik? Dicariin daritadi nggak ada,” tanyanya bingung.Cindy tidak menjawab, dia hanya tersenyum manis menatap kekasih hatinya. Lalu pamit untuk ikut mengantri dengan siswa lain yang belum mendapatkan makanan. Setelah mendapat ma
Sebuah gedung tua, berdiri kokoh di tengah hutan belantara. Seorang gadis cantik berkacamata hitam tengah melangkah memasuki gedung tersebut. Setiap ruangan dengan minim pencahayaan, dia tembus dengan langkah anggunnya. "Mr. P!!" ucapnya pada dua pria bertubuh besar yang berada di depan ruangan, menjaganya dengan ketat. Tanpa membalas, keduanya membuka pintu itu dengan lebar. Gadis itu kembali melangkah setelah sebelumnya menghentikan langkah untuk menghidupkan sebatang rokok yang dibawanya. "Haiii gadisku," ucap pria paruh baya, meletakkan gelas kopi yang baru dia seruput isinya. Gadis itu hanya mengangkat tangannya sekilas, lalu meletakkan sebuah foto di atas meja yang berada di sebelah kiri pria itu. Sembari tersenyum, dia berucap mission succes. Pria paruh baya itu tersenyum getir, melirik sekilas foto dan merasa puas dengan foto tersebut. Lantas Mr. P kembali tersenyum padanya, mengangguk kecil sembari bertepuk tangan memberi pujian."I Like You, Yuna. You're the best. Perfe
Setelah satu jam Cindy mengerjakan pekerjaannya. Dia merasa tubuhnya sangat lelah dan segera mengistirahatkannya, untung saja semua pekerjaannya sudah beres hingga dia bisa bersantai sejenak. Cindy yang memang bergantung pada pekerjaan ini, bekerja tanpa henti agar bisa digaji lebih tinggi oleh Wina, sang pemilik toko. Dia juga menjadi karyawan amanah sang pemilik toko, makanya dia sering diberikan makanan gratis oleh Wina karena jujur dan sangat membantu. Cindy menyeka keringat yang membanjiri keningnya. Kedua tangannya aktif mengibas untuk menghilangkan hawa panas di tubuhnya, setelah bekerja cukup keras. "Huufff, lelahnya," ucapnya sembari mengibas baju kausnya, menyenderkan tubuhnya di bangku kasir. Terdengar pintu kaca toko itu dibuka pelan. Cindy lekas berdiri, saat melihat pelanggan masuk ke tokonya. Dia menundukkan kepala sedikit. "Selamat datang," ucapnya sembari tersenyum ramah pada pelanggan yang wajahnya belum terlihat olehnya. Cindy begitu ramah melayani setiap pelan
Cindy panik kala pekerjaannya yang baru saja diselesaikan, justru kembali dikacaukan teman-teman kelasnya. Dia gegas menuju Kesya, untuk menghentikan kekacauan yang diperbuat mereka. Dia takut jika buk Wina nantinya marah padanya, hingga membuat dirinya harus kehilangan pekerjaan yang menggantungkan kehidupannya. "Stop, stop, hentikan semuanya. Kalian tidak boleh mengobrak-abriknya. Tolong, jangan seenaknya di sini." Cindy berteriak mencoba menghentikan. Namun, sayang, mereka yang memang sengaja berbuat demikian. Mengabaikan ucapan, dan larangan dari Cindy. Justru mereka semakin menjadi-jadi dengan kelakuan mereka. Cindy menguatkan dirinya untuk berani melawan mereka, dia memegang tangan Kesya. "Kesya, cukup. Hentikan semua ini," teriak Cindy. Sang empu nama seketika menghentikan kegiatannya. Dia melihat ada tangan mencengkram pergelangan tangannya. Lalu, mengalihkan pandangannya pada si gadis yang memegang tangannya itu. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Kesya mendekati menatap Cind
Cindy mati kutu dibuatnya. Tatapan ketiga gadis kaya keturunan bangsawan, bangsa di atas awan itu, bak menusuk jantungnya. Apalagi, bisikan roh halus jelmaan manusia, Kesya Alvionita, berisi tentang sebuah ancaman. Membuat bulu kuduk Cindy merinding. "Jawab cepat," sentak Kesya memberi ultimatum dari tatapannya. Kesya sibuk sendiri melihat Cindy yang diam membisu. Dia sedikit takut pada Retno yang bisa saja menjadi ancamannya saat ini. Sementara Tania dan Nada hanya diam, memperhatikan di belakang Kesya."I-iya, Pak. Mereka ke sini cuma belanja kok," jawab Cindy gugup, sembari tangannya menyeka keringat yang membendung keningnya. Sadar Cindy ketakutan, Retno melirik tidak percaya pada Kesya, lalu kedua temannya yang mematung. Dia menarik nafas panjang, menghempaskannya kasar. "Ya sudah, kalau kalian sudah selesai membeli apa yang kalian mau, pulang lagi ke rumah kalian," ucap Retno dengan tegas sembari terus berdiri, berkacak pinggang memperhatikan murid-muridnya.Kesya mencebik k
Gilang menyenderkan kepalanya ke meja, duduk termangu menatap kosong ke arah bangku Cindy. Pelajaran pertama yang diisi tanpa adanya kekasihnya itu, membuat Gilang malas mengikuti kelas. Dia berharap kekasihnya itu bisa masuk kelas setelah ini, agar dirinya bisa lebih semangat mengikuti kelas. Gilang menghela nafas panjang, mengusap wajahnya kasar."Cindy lagi apa yah sekarang!" pikirnya berharap bisa masuk ke UKS tanpa ada halangan dari Retno, yang dia pahami juga menaruh rasa pada kekasihnya itu.Kesya yang baru saja masuk ke dalam kelas, diikuti Nada dan Tania. Menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu. Sorot matanya melihat Gilang yang tiada semangat, dengan mata pria itu menatap bangku Cindy yang kosong.Kesya geram, dia langsung melangkah ke arah Gilang yang memperhatikan bangku Cindy sekilas. Dia pun duduk di bangku Cindy, lalu melihat ke arah pria itu dengan senyuman terbaiknya."Gimana, aku cantik kan. Sampai se
Cindy terduduk di lantai, dia menunduk malu diperlakukan demikian rendah oleh Kesya. Hati kecilnya berbicara untuk melawannya, tapi tetap saja dia tidak mampu untuk melawan. Beberapa siswa yang lewat didekatnya, hanya acuh pada gadis itu. Bahkan diantara mereka ada yang dengan sengaja ikut mengoloknya. Toh, mereka memang tidak ingin dekat dan tidak peduli dengan anak seperti Cindy yang miskin dan juga yatim piatu. Begitu rendah levelnya di sekolah itu. Kadang mereka juga berpikir, mengapa anak seperti itu bisa disekolahkan di tempat yang berkelas seperti Martin Internasional High School.Ya, sekolah yang hanya dihuni oleh orang-orang kaya, anak-anak dari pengusaha atau sebangsa dengan itu. Seperti Kesya yang merupakan anak CEO perusahaan tekstil terkenal yang sukses mengekspor produk mereka ke berbagai negara.Atau Nada yang merupakan anak dari pemilik restoran mewah, dengan cabang yang sudah tersebar hampir di pulau Sumatera.Sekolah Martin Intern
Yuna yang terpisah selama 7 tahun dengan keluarganya. Dia yang memang tidak tahu keberadaan kedua orang tuanya, hanya bisa menerka-nerka. Apakah toko yang saat ini, toko yang dijaga oleh sang adik kembar adalah milik keluarganya atau bukan. Untuk memastikan hal itu, Yuna segera masuk ke dalamnya. Berpura-pura menjadi pelanggan.Langkahnya mengitari isi toko, awalnya Yuna hanya memperhatikan saja barang-barang yang dia butuhkan, dan berniat menunda untuk membeli, sembari mencari apakah benar keluarganya tinggal di sini atau bukan. Mencari keberadaan papa dan mamanya yang selama 7 tahun tidak pernah berjumpa. Rindu, jelas ada di hati Yuna, tetapi dia tidak ingin terlalu berharap, karena dirinya juga menanamkan kebencian pada kedua orang tuanya. "Sepertinya ini hanya toko biasa deh. Tidak ada tempat tinggal di dalamnya," ucap Yuna dalam hati dan tetap berkeliling tanpa mengambil apapun. Cindy memperhatikan gerak gerik Yuna dari tempat kasir. Dia menaruh kecurigaan pada gadis itu, diperh
Yuna terisak dalam tangisnya. Menolak takdir yang begitu kejam padanya. Bodohnya, dia yang seharusnya marah pada Mr. P karena pria tua itu lah keluarganya berpisah, justru dia sekarang hidup bahagia bersama pria itu.Namun, juga ada rasa syukur dalam diri Yuna, di mana Mr. P yang seorang pembunuh bayaran, tidak membunuhnya. Justru pria itu membesarkannya dan membuatnya menjadi wanita tangguh dengan melakukan berbagai pelatihan dan tantangan sejak dari kecil. Meski Yuna harus mengorbankan masa kanak-kanaknya yang seharusnya menikmati bangku sekolah seperti anak biasanya. Sementara dirinya, tidak sama sekali. Di tengah kegalauan Yuna yang teringat masa lalunya yang kelam, hingga membuat dirinya memasuki dunia kejam seperti sekarang. Ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Yuna pun bangkit dan mengambil ponsel yang berada di atas nakas. Mr. P menghubunginya. "Yuna, kamu di mana sekarang?" tanya Mr. P panik. "Di kontrakan," jawab Yuna singkat. "Masalah misi kemarin, jangan kamu
*FLASHBACK*"Pa, Ma," teriak Nindy kecil, menangis sembari terduduk di jalanan. Menatap mobil hitam yang membawa pergi keluarga kecilnya, meninggalkan dia seorang diri di sana. "Papa, Mama, Nindy ikut," teriaknya terus. "Cukup!! Percuma kamu memanggil mereka. Kamu hanya sebagai tumbal bagi mereka, supaya mereka selamat. Berhenti menangis, atau kamu mau mati seperti dua mayat di rumah mu itu, hah!!" tegas Mr. P. Entah mengapa pria tua itu setia menunggu Nindy, berharap gadis kecil itu ikut dengannya saat ini. Langit sudah menurunkan tetesan air matanya. Membasahi tubuh mungil Nindy yang tidak beranjak. Sementara Mr. P, duduk memperhatikan targetnya itu dari dalam mobilnya, sembari tangan kanannya terus memegang rokoknya. Nindy pun merasakan perih di lututnya, berdarah, pun juga merasakan sekujur tubuhnya perih. Perutnya yang terasa lapar, berbunyi, hingga dia pun memutuskan untuk mengikuti kemauan Mr. P. "Bagus. Pilihan kamu tepat," ucap Mr. P melihat Nindy yang tanpa disuruh, masu
Di tengah kegalauan yang Yuna rasakan, ponselnya berdering, segera membuyarkan lamunannya yang saat ini masih memikirkan tentang sang adik setelah sekian tahun tidak pernah berjumpa. "Hallo," jawabnya ketus. "Hallo Yuna, kamu di mana sekarang?" tanya Mr. P dari sebrang, dari nada suaranya, pria nyaris tua itu tampak sedikit panik. "Di kontrakan. Memangnya ada apa?" jawab Yuna santai. Dia pun bangkit menuju dapurnya, mencari beberapa makanan untuk mengganjal perutnya. "Kamu sendirian di sana? Gawat, gawat. Kamu harus tetap bersembunyi, Yuna. Kamu tahu, Axel sudah tahu kamu membunuh Zaquile, ayahnya. Dia marah besar dan segera bertindak dengan menyuruh asistennya Broto mencari keberadaanmu," jelas Mr. P panjang lebar. Yuna menelan salivanya susah payah. Dia sudah tahu, dan mengira ini sebelumnya, bahkan bukankah tadi dirinya hampir saja kehilangan nyawa oleh anak buah Axel yang terlalu banyak itu. "Yuna, carilah tempat yang aman. Pindah segera dari sana. Papa cemas dengan kamu. Sea
Cindy terduduk lesu di depan pintu, mengingat kembali pertemuannya dengan Nindy yang begitu singkat dan sulit untuk diungkap. Dia seolah tidak percaya dengan apa yang barusan dirinya lihat. Membuat dadanya terasa sesak karenanya.Nindy, melupakan dirinya. Nindy mengucapkan jika dia bukanlah seorang Nindy lagi. Nindy telah mati, sementara dirinya mengaku bernama Yuna ping. "Kak, kenapa kakak seperti itu? Kenapa?" pikirnya. "Dendamkah kakak pada kami? Kak, andai kakak tahu jika kami tidak meninggalkan kakak waktu itu!!!" Cindy terdiam sejenak. Pikirannya kembali ke masa 7 tahun silam, di mana saat itu dia, Marcel dan Luna berhasil meloloskan diri dari kejaran pembunuh bayaran. *Flashback*"Pa, bagaimana ini? Nindy kita, Pa. Nindy kita tertinggal," ucap Luna menangis dalam pelukan Marcel, suaminya. Cindy yang merasa haus dan tenggorokannya kering, memilih keluar kamar. Dia terbangun dari mimpi indahnya. Namun, tidak berani membuka mata kala mendengar kedua orang tuanya masih terjaga.
Yuna melebarkan matanya menatap tajam Cindy yang berdiri beberapa langkah di depannya. "Siapa Nindy? Nindy? Emm, Ahh, gadis yang dibuang dan ditinggal bak seonggok sampah yang tidak berguna itu kan? Ahhh iya iya, dia itu Nindy yah," ucapnya dengan gaya sombong dan mengejek. Cindy menaikkan alis matanya. Dia bingung dengan ucapan kakaknya. Dia pun hendak kembali berbicara, menyanggah ucapan kakaknya. Namun, Yuna mengangkat tangannya, seolah melarang Cindy untuk berbicara. Sang adik pun terpaksa diam. "Gue bukan Nindy, gue Yuna. My Name is Yuna Ping, You Know?" lanjutnya dengan sedikit kasar mendorong tubuh ringkih Cindy, hingga si gadis cantik itu kembali terjatuh. "Kak, kakak kenapa? Kakak jangan gitu kak. Ini Cindy, Cindy adik kakak. Kak, please Papa dan Mama rindu sama kakak." Cindy berusaha mencegat Yuuna semampunya. Memberikan ucapan-ucapan yang bisa membuka hati sang kakak, dan mengingatkannya kembali pada kedua orang tua mereka. Yuna tersenyum sinis mendengarnya. "Papa, Ma
Yuna pun menarik nafas berat. Baginya hari ini adalah hari sialnya. Padahal, tadi dia sangat bahagia mendapat bayaran yang cukup banyak dari Mr. P, hingga dia lupa diri.Yuna yang bosan diciduk seperti maling oleh peliharaan dari pemilik rumah mewah tempat persembunyiannya itu. Lantas memilih melompati pagar untuk keluar dari rumah besar itu, daripada dirinya nanti benar-benar dituduh sebagai maling asli.Yuna mulai memanjat dinding itu. Dan saat dia lompat, tanpa melihat ke sekelilingnya lebih dulu. Dia pun meloncat dari pagar tinggi itu hingga tanpa sengaja, lompatan Yuna hampir mengenai seseorang yang tengah lewat di jalan depannya. "Aduh," ucap gadis itu terduduk seketika. Cindy yang kecewa karena tidak bisa masuk ke sekolahnya, lantas pulang dan ingin segera masuk kerja agar mendapat upah besar nantinya. Terduduk letih karena sosok yang hampir menghimpitnya. Yuna yang tanpa bersalah, segera berdiri dan gegas membalikkan tubuhnya tanpa mau menolong korbannya. "Ya ampun. Siapa s