*FLASHBACK*"Pa, Ma," teriak Nindy kecil, menangis sembari terduduk di jalanan. Menatap mobil hitam yang membawa pergi keluarga kecilnya, meninggalkan dia seorang diri di sana. "Papa, Mama, Nindy ikut," teriaknya terus. "Cukup!! Percuma kamu memanggil mereka. Kamu hanya sebagai tumbal bagi mereka, supaya mereka selamat. Berhenti menangis, atau kamu mau mati seperti dua mayat di rumah mu itu, hah!!" tegas Mr. P. Entah mengapa pria tua itu setia menunggu Nindy, berharap gadis kecil itu ikut dengannya saat ini. Langit sudah menurunkan tetesan air matanya. Membasahi tubuh mungil Nindy yang tidak beranjak. Sementara Mr. P, duduk memperhatikan targetnya itu dari dalam mobilnya, sembari tangan kanannya terus memegang rokoknya. Nindy pun merasakan perih di lututnya, berdarah, pun juga merasakan sekujur tubuhnya perih. Perutnya yang terasa lapar, berbunyi, hingga dia pun memutuskan untuk mengikuti kemauan Mr. P. "Bagus. Pilihan kamu tepat," ucap Mr. P melihat Nindy yang tanpa disuruh, masu
Yuna terisak dalam tangisnya. Menolak takdir yang begitu kejam padanya. Bodohnya, dia yang seharusnya marah pada Mr. P karena pria tua itu lah keluarganya berpisah, justru dia sekarang hidup bahagia bersama pria itu.Namun, juga ada rasa syukur dalam diri Yuna, di mana Mr. P yang seorang pembunuh bayaran, tidak membunuhnya. Justru pria itu membesarkannya dan membuatnya menjadi wanita tangguh dengan melakukan berbagai pelatihan dan tantangan sejak dari kecil. Meski Yuna harus mengorbankan masa kanak-kanaknya yang seharusnya menikmati bangku sekolah seperti anak biasanya. Sementara dirinya, tidak sama sekali. Di tengah kegalauan Yuna yang teringat masa lalunya yang kelam, hingga membuat dirinya memasuki dunia kejam seperti sekarang. Ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Yuna pun bangkit dan mengambil ponsel yang berada di atas nakas. Mr. P menghubunginya. "Yuna, kamu di mana sekarang?" tanya Mr. P panik. "Di kontrakan," jawab Yuna singkat. "Masalah misi kemarin, jangan kamu
Yuna yang terpisah selama 7 tahun dengan keluarganya. Dia yang memang tidak tahu keberadaan kedua orang tuanya, hanya bisa menerka-nerka. Apakah toko yang saat ini, toko yang dijaga oleh sang adik kembar adalah milik keluarganya atau bukan. Untuk memastikan hal itu, Yuna segera masuk ke dalamnya. Berpura-pura menjadi pelanggan.Langkahnya mengitari isi toko, awalnya Yuna hanya memperhatikan saja barang-barang yang dia butuhkan, dan berniat menunda untuk membeli, sembari mencari apakah benar keluarganya tinggal di sini atau bukan. Mencari keberadaan papa dan mamanya yang selama 7 tahun tidak pernah berjumpa. Rindu, jelas ada di hati Yuna, tetapi dia tidak ingin terlalu berharap, karena dirinya juga menanamkan kebencian pada kedua orang tuanya. "Sepertinya ini hanya toko biasa deh. Tidak ada tempat tinggal di dalamnya," ucap Yuna dalam hati dan tetap berkeliling tanpa mengambil apapun. Cindy memperhatikan gerak gerik Yuna dari tempat kasir. Dia menaruh kecurigaan pada gadis itu, diperh
Cindy terduduk di lantai, dia menunduk malu diperlakukan demikian rendah oleh Kesya. Hati kecilnya berbicara untuk melawannya, tapi tetap saja dia tidak mampu untuk melawan. Beberapa siswa yang lewat didekatnya, hanya acuh pada gadis itu. Bahkan diantara mereka ada yang dengan sengaja ikut mengoloknya. Toh, mereka memang tidak ingin dekat dan tidak peduli dengan anak seperti Cindy yang miskin dan juga yatim piatu. Begitu rendah levelnya di sekolah itu. Kadang mereka juga berpikir, mengapa anak seperti itu bisa disekolahkan di tempat yang berkelas seperti Martin Internasional High School.Ya, sekolah yang hanya dihuni oleh orang-orang kaya, anak-anak dari pengusaha atau sebangsa dengan itu. Seperti Kesya yang merupakan anak CEO perusahaan tekstil terkenal yang sukses mengekspor produk mereka ke berbagai negara.Atau Nada yang merupakan anak dari pemilik restoran mewah, dengan cabang yang sudah tersebar hampir di pulau Sumatera.Sekolah Martin Intern
Gilang menyenderkan kepalanya ke meja, duduk termangu menatap kosong ke arah bangku Cindy. Pelajaran pertama yang diisi tanpa adanya kekasihnya itu, membuat Gilang malas mengikuti kelas. Dia berharap kekasihnya itu bisa masuk kelas setelah ini, agar dirinya bisa lebih semangat mengikuti kelas. Gilang menghela nafas panjang, mengusap wajahnya kasar."Cindy lagi apa yah sekarang!" pikirnya berharap bisa masuk ke UKS tanpa ada halangan dari Retno, yang dia pahami juga menaruh rasa pada kekasihnya itu.Kesya yang baru saja masuk ke dalam kelas, diikuti Nada dan Tania. Menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu. Sorot matanya melihat Gilang yang tiada semangat, dengan mata pria itu menatap bangku Cindy yang kosong.Kesya geram, dia langsung melangkah ke arah Gilang yang memperhatikan bangku Cindy sekilas. Dia pun duduk di bangku Cindy, lalu melihat ke arah pria itu dengan senyuman terbaiknya."Gimana, aku cantik kan. Sampai se
Suatu hari, di sekolah dasar di kota Padang, hari menunjukkan pukul 12 siang. Di mana anak-anak kelas 3 sekolah dasar bersiap-siap mengemasi barang mereka untuk segera pulang.Lonceng pun berbunyi, semua murid kelas 3 sekolah dasar berlarian keluar kelas untuk menuju rumah mereka masing-masing. Begitu juga dengan kelas lainnya, yang sama berlomba untuk pulang ke rumah mereka.Seperti biasa dua gadis cantik kembar saling berpegangan tangan menunggu jemputan mereka. 30 menit telah berlalu, jemputan yang biasanya tidak pernah telat. Namun, sekarang tidak kunjung datang. Padahal, hanya beberapa siswa lagi yang tersisa, membuat mereka pun lelah.“Dek, kita pulang saja yuk. Mungkin pak Anto lupa jemput kita, kan dia sudah tua haha. Makanya sampai sekarang belum juga datang, karena pelupa,” ucap Alea kepada adik kembarnya Alena. “Iya, Kak. Kita pulang saja yah, adek juga sudah capek nunggu, kaki adek hampir nggak kuat lagi untuk berdiri, tapi kita istirahat sebentar di sana yuk,” jawab Alena
Tujuh tahun telah berlalu ... Derap langkah kaki menggema di sepanjang lorong. Seorang gadis dengan berpakaian serba hitam, tak lupa aksesoris kacamata juga topi hitam yang melekat di tubuhnya. Gadis itu melangkah sepanjang lorong yang kelam, berjalan menuju sebuah ruangan yang terletak di ujung lorong tersebut. Dia berjalan tegap, dan sama sekali tidak menoleh ke belakang. Kakinya pun terhenti tepat di depan pintu di ujung lorong. 2 pintu dengan tinggi 3 meter berwarna kuning emas dengan gambar berlian hitam di tengahnya. "Mister B ada? Katakan padanya, saya ingin menemuinya," ucapnya singkat pada 2 orang penjaga yang setia berdiri di depan pintu tuan besarnya. Tanpa menjawab ucapan gadis itu, kedua lelaki bertubuh tegap tersebut pun lantas membukakan pintu. Gadis itu langsung memasuki ruangan. Langkahnya terhenti, saat melihat lelaki berusia hampir 60 tahun itu tengah bersantai di kursi yang terletak di sudut ruangan. Matanya terpejam dengan kedua kaki yang dipijat oleh 2 wanita
Seorang gadis memakai seragam sekolah menengah atas, tengah berlari beberapa kali mengelilingi lapangan sekolah yang cukup luas. Gadis itu tengah di hukum oleh guru piket di sekolahnya karena terlambat datang, meski hanya rentan 15 menit saja dari jadwal gerbang tutup. Di belakangnya, terdapat seorang lelaki berparas tampan yang juga satu kelas dengannya, ikut bergabung, berlari mengekori gadis itu dengan kecepatan lari yang menyamai gadis di depannya. "Darren, kamu ngapain sih ikutan lari? Kamu kan nggak terlambat datang, sana pergi. Nanti pak Joy marah loh sama kamu karena tidak masuk kelas," ucap Alena yang tidak ingin kekasihnya itu ikut di hukum demi menemaninya menerima hukuman."Nggak apa-apa kok cantik. Aku cuma ingin nemani wanita yang aku cintai ini saja, biar tidak kesepian. Lagian, lihat ke sana, banyak yang lihatin kamu loh, makanya, aku ikut keliling sekalian jagain kamu dari mereka si hidung belang," ucapnya dan tersenyum lebar, terus melambatkan larinya demi menyamai
Gilang menyenderkan kepalanya ke meja, duduk termangu menatap kosong ke arah bangku Cindy. Pelajaran pertama yang diisi tanpa adanya kekasihnya itu, membuat Gilang malas mengikuti kelas. Dia berharap kekasihnya itu bisa masuk kelas setelah ini, agar dirinya bisa lebih semangat mengikuti kelas. Gilang menghela nafas panjang, mengusap wajahnya kasar."Cindy lagi apa yah sekarang!" pikirnya berharap bisa masuk ke UKS tanpa ada halangan dari Retno, yang dia pahami juga menaruh rasa pada kekasihnya itu.Kesya yang baru saja masuk ke dalam kelas, diikuti Nada dan Tania. Menghentikan langkahnya sejenak di depan pintu. Sorot matanya melihat Gilang yang tiada semangat, dengan mata pria itu menatap bangku Cindy yang kosong.Kesya geram, dia langsung melangkah ke arah Gilang yang memperhatikan bangku Cindy sekilas. Dia pun duduk di bangku Cindy, lalu melihat ke arah pria itu dengan senyuman terbaiknya."Gimana, aku cantik kan. Sampai se
Cindy terduduk di lantai, dia menunduk malu diperlakukan demikian rendah oleh Kesya. Hati kecilnya berbicara untuk melawannya, tapi tetap saja dia tidak mampu untuk melawan. Beberapa siswa yang lewat didekatnya, hanya acuh pada gadis itu. Bahkan diantara mereka ada yang dengan sengaja ikut mengoloknya. Toh, mereka memang tidak ingin dekat dan tidak peduli dengan anak seperti Cindy yang miskin dan juga yatim piatu. Begitu rendah levelnya di sekolah itu. Kadang mereka juga berpikir, mengapa anak seperti itu bisa disekolahkan di tempat yang berkelas seperti Martin Internasional High School.Ya, sekolah yang hanya dihuni oleh orang-orang kaya, anak-anak dari pengusaha atau sebangsa dengan itu. Seperti Kesya yang merupakan anak CEO perusahaan tekstil terkenal yang sukses mengekspor produk mereka ke berbagai negara.Atau Nada yang merupakan anak dari pemilik restoran mewah, dengan cabang yang sudah tersebar hampir di pulau Sumatera.Sekolah Martin Intern
Yuna yang terpisah selama 7 tahun dengan keluarganya. Dia yang memang tidak tahu keberadaan kedua orang tuanya, hanya bisa menerka-nerka. Apakah toko yang saat ini, toko yang dijaga oleh sang adik kembar adalah milik keluarganya atau bukan. Untuk memastikan hal itu, Yuna segera masuk ke dalamnya. Berpura-pura menjadi pelanggan.Langkahnya mengitari isi toko, awalnya Yuna hanya memperhatikan saja barang-barang yang dia butuhkan, dan berniat menunda untuk membeli, sembari mencari apakah benar keluarganya tinggal di sini atau bukan. Mencari keberadaan papa dan mamanya yang selama 7 tahun tidak pernah berjumpa. Rindu, jelas ada di hati Yuna, tetapi dia tidak ingin terlalu berharap, karena dirinya juga menanamkan kebencian pada kedua orang tuanya. "Sepertinya ini hanya toko biasa deh. Tidak ada tempat tinggal di dalamnya," ucap Yuna dalam hati dan tetap berkeliling tanpa mengambil apapun. Cindy memperhatikan gerak gerik Yuna dari tempat kasir. Dia menaruh kecurigaan pada gadis itu, diperh
Yuna terisak dalam tangisnya. Menolak takdir yang begitu kejam padanya. Bodohnya, dia yang seharusnya marah pada Mr. P karena pria tua itu lah keluarganya berpisah, justru dia sekarang hidup bahagia bersama pria itu.Namun, juga ada rasa syukur dalam diri Yuna, di mana Mr. P yang seorang pembunuh bayaran, tidak membunuhnya. Justru pria itu membesarkannya dan membuatnya menjadi wanita tangguh dengan melakukan berbagai pelatihan dan tantangan sejak dari kecil. Meski Yuna harus mengorbankan masa kanak-kanaknya yang seharusnya menikmati bangku sekolah seperti anak biasanya. Sementara dirinya, tidak sama sekali. Di tengah kegalauan Yuna yang teringat masa lalunya yang kelam, hingga membuat dirinya memasuki dunia kejam seperti sekarang. Ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Yuna pun bangkit dan mengambil ponsel yang berada di atas nakas. Mr. P menghubunginya. "Yuna, kamu di mana sekarang?" tanya Mr. P panik. "Di kontrakan," jawab Yuna singkat. "Masalah misi kemarin, jangan kamu
*FLASHBACK*"Pa, Ma," teriak Nindy kecil, menangis sembari terduduk di jalanan. Menatap mobil hitam yang membawa pergi keluarga kecilnya, meninggalkan dia seorang diri di sana. "Papa, Mama, Nindy ikut," teriaknya terus. "Cukup!! Percuma kamu memanggil mereka. Kamu hanya sebagai tumbal bagi mereka, supaya mereka selamat. Berhenti menangis, atau kamu mau mati seperti dua mayat di rumah mu itu, hah!!" tegas Mr. P. Entah mengapa pria tua itu setia menunggu Nindy, berharap gadis kecil itu ikut dengannya saat ini. Langit sudah menurunkan tetesan air matanya. Membasahi tubuh mungil Nindy yang tidak beranjak. Sementara Mr. P, duduk memperhatikan targetnya itu dari dalam mobilnya, sembari tangan kanannya terus memegang rokoknya. Nindy pun merasakan perih di lututnya, berdarah, pun juga merasakan sekujur tubuhnya perih. Perutnya yang terasa lapar, berbunyi, hingga dia pun memutuskan untuk mengikuti kemauan Mr. P. "Bagus. Pilihan kamu tepat," ucap Mr. P melihat Nindy yang tanpa disuruh, masu
Di tengah kegalauan yang Yuna rasakan, ponselnya berdering, segera membuyarkan lamunannya yang saat ini masih memikirkan tentang sang adik setelah sekian tahun tidak pernah berjumpa. "Hallo," jawabnya ketus. "Hallo Yuna, kamu di mana sekarang?" tanya Mr. P dari sebrang, dari nada suaranya, pria nyaris tua itu tampak sedikit panik. "Di kontrakan. Memangnya ada apa?" jawab Yuna santai. Dia pun bangkit menuju dapurnya, mencari beberapa makanan untuk mengganjal perutnya. "Kamu sendirian di sana? Gawat, gawat. Kamu harus tetap bersembunyi, Yuna. Kamu tahu, Axel sudah tahu kamu membunuh Zaquile, ayahnya. Dia marah besar dan segera bertindak dengan menyuruh asistennya Broto mencari keberadaanmu," jelas Mr. P panjang lebar. Yuna menelan salivanya susah payah. Dia sudah tahu, dan mengira ini sebelumnya, bahkan bukankah tadi dirinya hampir saja kehilangan nyawa oleh anak buah Axel yang terlalu banyak itu. "Yuna, carilah tempat yang aman. Pindah segera dari sana. Papa cemas dengan kamu. Sea
Cindy terduduk lesu di depan pintu, mengingat kembali pertemuannya dengan Nindy yang begitu singkat dan sulit untuk diungkap. Dia seolah tidak percaya dengan apa yang barusan dirinya lihat. Membuat dadanya terasa sesak karenanya.Nindy, melupakan dirinya. Nindy mengucapkan jika dia bukanlah seorang Nindy lagi. Nindy telah mati, sementara dirinya mengaku bernama Yuna ping. "Kak, kenapa kakak seperti itu? Kenapa?" pikirnya. "Dendamkah kakak pada kami? Kak, andai kakak tahu jika kami tidak meninggalkan kakak waktu itu!!!" Cindy terdiam sejenak. Pikirannya kembali ke masa 7 tahun silam, di mana saat itu dia, Marcel dan Luna berhasil meloloskan diri dari kejaran pembunuh bayaran. *Flashback*"Pa, bagaimana ini? Nindy kita, Pa. Nindy kita tertinggal," ucap Luna menangis dalam pelukan Marcel, suaminya. Cindy yang merasa haus dan tenggorokannya kering, memilih keluar kamar. Dia terbangun dari mimpi indahnya. Namun, tidak berani membuka mata kala mendengar kedua orang tuanya masih terjaga.
Yuna melebarkan matanya menatap tajam Cindy yang berdiri beberapa langkah di depannya. "Siapa Nindy? Nindy? Emm, Ahh, gadis yang dibuang dan ditinggal bak seonggok sampah yang tidak berguna itu kan? Ahhh iya iya, dia itu Nindy yah," ucapnya dengan gaya sombong dan mengejek. Cindy menaikkan alis matanya. Dia bingung dengan ucapan kakaknya. Dia pun hendak kembali berbicara, menyanggah ucapan kakaknya. Namun, Yuna mengangkat tangannya, seolah melarang Cindy untuk berbicara. Sang adik pun terpaksa diam. "Gue bukan Nindy, gue Yuna. My Name is Yuna Ping, You Know?" lanjutnya dengan sedikit kasar mendorong tubuh ringkih Cindy, hingga si gadis cantik itu kembali terjatuh. "Kak, kakak kenapa? Kakak jangan gitu kak. Ini Cindy, Cindy adik kakak. Kak, please Papa dan Mama rindu sama kakak." Cindy berusaha mencegat Yuuna semampunya. Memberikan ucapan-ucapan yang bisa membuka hati sang kakak, dan mengingatkannya kembali pada kedua orang tua mereka. Yuna tersenyum sinis mendengarnya. "Papa, Ma
Yuna pun menarik nafas berat. Baginya hari ini adalah hari sialnya. Padahal, tadi dia sangat bahagia mendapat bayaran yang cukup banyak dari Mr. P, hingga dia lupa diri.Yuna yang bosan diciduk seperti maling oleh peliharaan dari pemilik rumah mewah tempat persembunyiannya itu. Lantas memilih melompati pagar untuk keluar dari rumah besar itu, daripada dirinya nanti benar-benar dituduh sebagai maling asli.Yuna mulai memanjat dinding itu. Dan saat dia lompat, tanpa melihat ke sekelilingnya lebih dulu. Dia pun meloncat dari pagar tinggi itu hingga tanpa sengaja, lompatan Yuna hampir mengenai seseorang yang tengah lewat di jalan depannya. "Aduh," ucap gadis itu terduduk seketika. Cindy yang kecewa karena tidak bisa masuk ke sekolahnya, lantas pulang dan ingin segera masuk kerja agar mendapat upah besar nantinya. Terduduk letih karena sosok yang hampir menghimpitnya. Yuna yang tanpa bersalah, segera berdiri dan gegas membalikkan tubuhnya tanpa mau menolong korbannya. "Ya ampun. Siapa s