Anggun tersenyum tipis ketika membaca pesan yang dikirimkan Kimmy padanya. Ternyata, Kimmy dengan cepat mencari informasi mengenai jatuhnya April di salah satu kafe di Kalingga Tower dan memberitakannya. Yang tidak Anggun sangka-sangka ialah, berita tersebut naik malam itu juga.Namun, Kimmy tidak menyertakan nama Anggun sebagai penyebab jatuhnya April karena belum mendapatkan informasi lebih lanjut. Saat ini, Anggun tinggal menunggu keterangan dari keluarga Regan yang pastinya akan diburu media terkait kejadian tersebut.“Sepagi ini, tapi kamu sudah mau pergi?” Sabda baru keluar kamar, tetapi sudah menjumpai sang istri berpakaian rapi dengan membawa tas ransel.Semalam, Anggun tidur di kamar yang dulu ditempatinya dan wanita itu menguncinya dari dalam. Karena itulah, ketika Sabda kembali pulang ke apartemen di malam hari, ia tidak bisa menemui istrinya sendiri.“Aku ada urusan,” ujar Anggun buru-buru berjalan menuju foyer dan menekan tombol lift. “Sarapan sudah aku siapin. Tinggal ma
Tanpa mengetuk lebih dulu, Anggun membuka pintu kamar VVIP yang ditempati oleh April. Di dalam sana, Wahyu yang sedang menunggu April dan langsung memberinya tatapan datar.“Nggak usah pura-pura simpati dan berempati,” ucap Wahyu datar, ketika melihat Anggun masuk ke dalam ruangan tersebut tanpa memberi ekspresi apa pun.“Aku nggak bersimpati sama sekali,” ucap Anggun tenang, menghampiri ranjang pasien dan berhenti di sudut yang berseberangan dengan Wahyu. “Apalagi berempati. Nggak akan.”“Tunggu sampai kamu ada di posisiku!” April mendesis, suaranya bergetar menahan emosi yang mulai meluap. Matanya membara, seiring dengan napasnya yang semakin cepat.“Aku juga menunggumu ada di posisiku,” balas Anggun dingin saat memotong ucapan April dan menatap tajam. “Apa bisa kamu bertahan, saat semua yang kamu miliki dirampas dan dibuang tanpa perasaan.”“Sialan!” maki April. Tangannya mencengkeram selimut, berusaha meredam amarah dan kesedihan yang menghancurkannya dari dalam. Wanita itu seolah
“Apa diperbolehkan menjenguk orang sakit sampai sebanyak ini?” Syifa terkejut ketika baru memasuki ruang rawat inap April, setelah berbicara dengan menantunya. Di dalam kamar VVIP tersebut, ternyata sudah ada Budiman dan Darwin yang sepertinya datang ketika Syifa sedang berada di kafetaria.“Nggak papa,” jawab Darwin yang duduk pada sofa panjang di samping jendela kaca bersama Budiman. “Kita juga cuma sebentar, mumpung ada waktu.”“Tapi ke mana Elsa?” tanya Syifa terus melangkah menghampiri ranjang pasien, lalu duduk di sebelah kaki April. Di ujung tempat tidur.“Mama sakit kepala,” ujar April berbaring lemah ditemani Desty yang duduk di sampingnya. “Nanti kalau mendingan baru ke sini, karena tadi pagi sempat nggak bisa bangun.”“Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit sekalian, Pak Regan?” Syifa menatap regan yang berada di ujung sofa L di dekat pintu. Pria itu duduk bersama Wahyu, yang berada di tengah-tengah. “Biar diperiksa dokter.”“Dokternya sudah ke rumah,” terang Regan. “Mamanya Ap
“Pagi, Sayangku,” sapa Sabda segera menghampiri Anggun yang sudah berada di dapur. Memeluknya dari belakang, lalu memberi ciuman berkali-kali pada sisi leher sang istri.Sabda berharap, hubungan mereka akan selalu hangat seperti sekarang dan Anggun bisa terus melunak seperti tadi malam.Karena setelah bicara dengan Syifa, Sabda ternyata harus mengubah gaya bicaranya pada Anggun. Istrinya itu, sepertinya memang tidak bisa disudutkan dan Sabda harus pintar-pintar mencari kalimat yang tepat, serta menjaga intonasi bicaranya.“Pagi,” balas Anggun tidak protes dengan sikap Sabda, yang sebenarnya sudah membuat tubuhnya meremang. Anggun tidak berniat memberi respons, karena tidak ingin berakhir di kamar mandi karena ia sudah mandi sejak subuh tadi. “Sarapan dulu.”“Sarapan kamu.”“Nggak.”Sabda semakin mengeratkan pelukannya dan terkekeh mendengar penolakan tegas sang istri. “Mau ke Puncak minggu depan? Kita berangkat sabtu siang, pulangnya minggu malam atau senin pagi juga nggak papa.”“Ber
“Sab, kita serah terima jabatan senin depan,” ujar Budiman setelah memasuki ruangan Sabda. “Pagi, jam sembilan dan setelah itu kamu sah jadi CEO Warta.”“Ahh!” Sabda menepuk pelan kepalanya. “Berarti aku harus pulang hari minggu.”“Mau ke mana?” tanya Budiman menarik kursi di hadapan meja putranya.“Mau ke Puncak,” jawabnya segera men-sleep komputernya. “Rencana berangkat sabtu pagi atau siang, terus pulang senin pagi.”“Pergilah jumat sore.”“Macet, Pa.” Sabda melirik ponselnya yang menyala dan melihat notifikasi pesan yang dikirimkan oleh sang istri. “Anggun di bawah. Aku mau ngopi di atas bentar.”“April keluar besok,” celetuk Budiman ketika Sabda menyebut nama istrinya. “Dan dia tetap bilang kalau Anggun yang dorong dia dari tangga. Ahh, anak itu.”“Papa percaya?”Budiman menggaruk pelipisnya sebentar, sembari tertawa remeh. “Kalau Anggun mau mencelakakan April, dia nggak akan melakukannya secara frontal,” terang Budiman. “Itu riskan, Sab, karena nama baiknya pasti jadi taruhan.”
“Sudah lihat pesan yang aku kirim?” April menatap berang pada Wahyu yang baru memasuki kamar. Pria itu berpamitan pergi ke kafetaria dan baru kembali 30 menit kemudian.“Pesan?” Wahyu langsung merebahkan tubuh pada sofa di samping pintu dengan perlahan, sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ponselnya memang kerap bergetar karena urusan pekerjaan. Namun, jika hanya getaran singkat maka Wahyu akan mengeceknya belakangan, karena hal tersebut menurutnya tidaklah urgen.“Sudah buka?” tanya April tidak sabar.“Sebentar.” Setelah berbaring, barulah Wahyu membuka pesan yang dikirimkan sang istri. Wahyu menatap beberapa foto yang dikirim April ke ponselnya, tanpa memberi reaksi yang berarti. Ternyata, reporter yang mengambil fotonya dengan Anggun, langsung mengirimkan hasil gambarnya pada April. “Memang kenapa dengan foto-foto ini? Nggak ada yang salah. Aku duduk di kafetaria dengan sepupumu. Ada meja di antara kami dan bukan duduk—”“Jadi kamu keluar nemui dia!”“Iya.”“Mau apa!” Kedu
“Kamu bodoh, atau apa?”April mendesah dan memunggungi Wahyu yang baru memasuki kamar dan langsung melempar protesnya. Entah tidur di mana pria itu semalam, karena Wahyu tidak ada di sampingnya, dari April menutup mata hingga terbangun di pagi hari.“Aku masih harus istirahat.” April menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya. Yang ingin ia dapatkan saat ini hanyalah ketenangan dan beristirahat memulihkan kesehatannya. Karena itulah, sejak semalam April menonaktifkan ponselnya, karena tidak ingin lagi menerima panggilan dari reporter yang ingin wawancara dengannya.“Kamu sudah lihat berita dari, ha!” Wahyu menarik selimut yang digunakan April dan melemparnya dengan asal.April membuka mata dan melihat Wahyu sudah berdiri menjulang tinggi di hadapannya.“Memangnya ada yang salah?” tanya April bangkit perlahan lalu menghela panjang sambil memijat kepalanya. “Apa ada yang merugikan kita? Nggak ada, kan?”“Masalah receh seperti ini nggak seharusnya naik ke media.”“Receh katamu!” April
“Akhirnya, Papa muncul di kantor.” Sabda memasuki ruangan Budiman, begitu mendapat kabar pria itu berada di ruangan.“Papa sibuk, banyak kerjaan.”“Termasuk sibuk mengurusi hasil tes DNA?” Sabda duduk perlahan di hadapan Budiman.“Termasuk itu,” jawab Budiman tanpa ragu sembari membuka laci meja kerjanya dan mencari sesuatu. “Dan Papa yakin, Anggun ada di balik semua ini.”“Om Regan yang ada di balik semua ini.”Budiman menutup lacinya dengan keras, lalu menatap Sabda dengan wajah serius. “Andai Papa dan om Darwin tahu Regan yang mengusir Anggun 15 tahun yang lalu, kami nggak akan pernah mau bantu dia.”“Tapi itu sudah terjadi,” ujar Sabda dengan mengangkat kedua bahu. “Papa dan om Darwin sudah menolong ular itu. Dan, apa yang didapat sekarang? Kalian bertiga pasti akan terjerat kasus hukum dan terimalah itu, Pa.”“Kamu mau Papamu—”“Ya,” sela Sabda dengan suara tegas. “Coba bayangkan kalau aku yang ada di posisi Anggun. Diusir dari rumah dan sendirian di tempat asing? Anggun masih 12