Sinar matahari menembus sela-sela jendela, menyentuh wajah Joice, dan membuat mata wanita itu mengerjap beberapa kali. Wanita itu menggeliat sambil merentangkan kedua tangannya. Saat mata Joice terbuka, tatapan Joice mengendar ke sekitar melihat dirinya berada di kamar hotel megah. Kepingan memori Joice mengingat tentang apa yang terjadi padanya.Joice terdiam sebentar di kala dirinya langsung mengingat bahwa sekarang dirinya telah resmi menjadi istri dari Marcel. Pun ingatannya mengingat akan kejadian tadi malam. Kejadian di mana Marcel menuduhnya menggoda pria itu. Padahal, Joice sama sekali tidak bermaksud untuk menggoda Marcel.Dalang di balik semua ini adalah Hana. Kalau saja Hana tidak membawakan lingerie untuknya, maka pasti masalah tadi malam tidak akan terjadi. Sungguh, jika saja Hana ada di hadapannya, dia akan memarahi manager-nya itu yang bertindak gila.Joice menoleh menatap ke ranjang samping, namun ternyata Marcel sudah tidak ada di sana. Entah tadi malam Marcel tidur
Kamar yang megah dengan nuansa gold dikombinasikan silver begitu indah dan memukau. Joice yang memasuki kamarnya dengan Marcel, wanita itu mengendarkan pandangan ke sekitar—melihat sekeliling kamar. Tatanan kamar yang dia datangi dengan Marcel ini sangatlah indah. Semua pajangan tertata begitu rapi sempurna.“Marcel, ini kamar kita?” tanya Joice pelan seraya menatap Marcel. “Ya,” jawab Marcel dingin dan datar.Joice menatap Marcel. “Jadi kita tidur di kamar yang sama, kan? Tidak di kamar yang berbeda, kan?” serunya riang.“Kalau berbeda kamar, dan keluargamu atau keluargaku melihat, itu sama saja kita akan mendapatkan masalah baru,” jawab Marcel lagi dengan nada seperti biasa—dingin, datar, dan acuh.Joice kembali tersenyum. “Aku juga lebih menyukai kita tidur satu kamar.”Marcel menatap Joice dengan tatapan tegas. “Jangan coba-coba menggodaku seperti sebelumnya!”Joice menekuk bibirnya. “Siapa yang menggodamu? Kan tadi malam Hana yang menyiapkan gaun tidurku, bukan aku.”“Istirahatl
Mata Joice terbuka seraya menyeka matanya menggunakan punggung tangannya. Sayup-sayup di kala mata Joice terbuka—tatapannya mengendar ke sekitar—melihat dirinya berada di dalam kamar.Raut wajah Joice berubah. Tunggu! Kenapa dirinya berada di dalam kamar? Joice mengingat bahwa terakhir dirinya makan di ruang makan, sampai terlelap karena kekenyangan. Tapi kenapa malah dirinya berada di kamar bahkan sudah membaringkan tubuhnya di ranjang?Kening Joice mengerut dalam melihat dirinya sudah terbaring di ranjang. Rasanya tidak mungkin dirinya bisa pindah sendiri kalau tidak dipindahkan. Namun, siapa yang memindahkannya?“Marcel? Apa dia yang memindahkanku ke kamar?” gumam Joice pelan menduga dengan sangat yakin bahwa Marcel yang memindahkannya ke dalam kamar. Dia tidak mungkin lupa terakhir dirinya itu berada di ruang makan.“Ya, aku yang memindahkanmu. Kau tidur seperti orang mati.” Marcel melangkah masuk ke dalam kamar, mendekat ke arah Joice yang duduk di ranjang.Joice mengalihkan pand
Aroma masakan lezat menyeruak memenuhi dapur megah. Joice tengah berkutat di dapur dengan memakai apron berwarna kuning motif bunga. Sekitar satu jam lalu, Joice sudah bangun tidur. Wanita itu memutuskan untuk memasak karena jenuh tak tahu harus melakukan apa.Tadi saat Joice sudah bangun, dia tidak melihat Marcel. Pelayan mengatakan Marcel sedang berangkat ke kantor. Itu kenapa sekarang Joice berkutat di dapur. Wanita itu ingin menyiapkan masakan special untuk Marcel.Sebelumnya, Joice menghubungi Nicole—istri Oliver—untuk menanyakan beberapa resep masakan. Meskipun tak terlalu hebat dalam memasak, tapi Joice cukup cerdas mengolah masakan jika sudah mendapatkan resep masakan.“Nyonya Joice, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya sang pelayan pada Joice yang asik berkutat di dapur.“Tidak usah. Biar aku saja yang memasak. Tolong kau siapkan buah anggur dan jeruk ke atas meja,” jawab Joice meminta tolong pada sang pelayan.“Baik, Nyonya.” Pelayan itu segera menjalankan perintah Joice.Ta
Menikah dengan Marcel membuat perasaan Joice begitu merasa bahagia. Walaupun berawal dari konflik, tapi tetap saja tak bisa menampik bahwa perasaan Joice amat sangat bahagia.Demi anak yang ada di kandungannya, Joice memilih untuk menyingkirkan ego dalam dirinya. Dia memutuskan untuk kembali memperjuangkan cintanya pada Marcel.Tindakan Joice memang termasuk gila dan tidak waras, namun nyatanya rasa cinta Joice telah melewati batas normal. Jika wanita di luar sana pasti sudah menyerah dengan sikap Marcel, sedangkan Joice malah tetap ingin berjuang.Joice berjuang bukan serta merta karena cintanya saja, tapi juga karena dia ingin memberikan keluarga yang utuh dan bahagia untuk anak yang ada di kandungannya. Yang membuat Joice yakin Marcel bisa berubah adalah karena sampai detik ini, Marcel selalu lemah jika Joice memberikan ancaman dengan membawa-bawa anak yang ada di kandungannya. “Marcel, hari ini kau pulang jam berapa?” tanya Joice seraya menatap Marcel yang tengah memakai arloji.
“Shawn.” Joice menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Shawn. Dia begitu kegirangan karena Shawn datang menemuinya. Shawn tinggal di New York, kalau Shawn sampai ke Milan artinya memang pria itu rela meluangkan waktu untuknya.Shawn tersenyum di kala Joice berada di dalam pelukannya. Pria itu membawa tangannya mengusap punggung Joice. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya.Joice mengurai pelukan itu. “Aku baik, Shawn. Kau sendiri bagaimana?”“Aku juga baik.” Shawn tersenyum hangat.Joice memeluk lengan Shawn. “Ayo duduk. Tidak enak mengobrol sambil berdiri.” Shawn menurut, duduk di samping Joice. Tepat di kala mereka sudah duduk, para pelayan menghidangkan minuman ke atas meja. Sebelumnya, Joice sudah meminta pelayan untuk membawakan minuman.“Shawn, aku tidak menyangka kau berada di Milan,” ucap Joice dengan senyuman di wajahnya.Shawn mengambil secangkir kopi yang ada di hadapannya dan menyesap perlahan. “Kebetulan aku memiliki pekerjaan di Milan. Itu kenapa aku mendatangimu. Bagaimana pe
Joice menatap ke jam dinding—waktu menunjukkan pukul satu malam. Sekitar dua jam lalu, Marcel pergi meninggalkan rumah. Entah ke mana pria itu pergi. Joice sempat bertanya ke mana Marcel akan pergi, namun malah Marcel tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Pria itu tetap pergi tanpa berkata apa pun. Joice pikir Marcel akan keluar sebentar dan segera kembali pulang. Namun kenyataannya sampai detik ini Marcel tak kunjung datang. Hal tersebut yang membuat Joice jengkel luar biasa.“Ke mana Marcel?” gerutu Joice kesal. “Kenapa dia belum juga pulang?” gerutunya lagi.Joice mengembuskan napas panjang. Hatinya gelisah karena Marcel belum juga pulang. Lalu, tiba-tiba sesuatu hal menyelinap masuk ke dalam pikirannya—membuat raut wajah Joice berubah. Yang ada di kepala Joice adalah Marcel pergi menemui Paige. Tampak sepasang iris mata Joice berkilat menunjukkan penuh kemarahan yang tak terkira.Detik itu juga, Joice memutuskan untuk menghubungi Marcel, namun sayangnya nomor ponsel Marcel ma
Sepanjang perjalanan, Joice menatap Marcel yang melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Joice sudah terbiasa mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh, tapi kondisinya sekarang berbeda. Joice tengah hamil muda. Mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh bisa berpengaruh buruk untuk bayi yang ada di kandungan Joice.“Marcel, pelan-pelan saja mengemudikan mobilnya. Apa kau ingin anakmu di kandunganku tiada?” seru Joice jengkel pada Marcel.“Jangan berbicara konyol, Joice!” geram Marcel kesal pada Joice yang kerap berbicara konyol.Joice mendesah panjang. “Aku bukan bermaksud untuk berbicara konyol. Aku hanya ingin kau pelan-pelan mengemudikan mobilmu, Marcel.”“Diamlah! Aku tahu apa yang harus dan tidak aku lakukan!” tukas Marcel menekankan.Bibir Joice tertekuk dalam. Tidak ada pilihan lain. Wanita memilih menurut agar Marcel tidak marah padanya.Marcel sedikit menurunkan kecepatannya namun tidak mengatakan sepatah kata pun. Ya, nampaknya perkataan Joice membuat Marcel memiliki perasaan