Aroma masakan lezat menyeruak memenuhi dapur megah. Joice tengah berkutat di dapur dengan memakai apron berwarna kuning motif bunga. Sekitar satu jam lalu, Joice sudah bangun tidur. Wanita itu memutuskan untuk memasak karena jenuh tak tahu harus melakukan apa.Tadi saat Joice sudah bangun, dia tidak melihat Marcel. Pelayan mengatakan Marcel sedang berangkat ke kantor. Itu kenapa sekarang Joice berkutat di dapur. Wanita itu ingin menyiapkan masakan special untuk Marcel.Sebelumnya, Joice menghubungi Nicole—istri Oliver—untuk menanyakan beberapa resep masakan. Meskipun tak terlalu hebat dalam memasak, tapi Joice cukup cerdas mengolah masakan jika sudah mendapatkan resep masakan.“Nyonya Joice, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya sang pelayan pada Joice yang asik berkutat di dapur.“Tidak usah. Biar aku saja yang memasak. Tolong kau siapkan buah anggur dan jeruk ke atas meja,” jawab Joice meminta tolong pada sang pelayan.“Baik, Nyonya.” Pelayan itu segera menjalankan perintah Joice.Ta
Menikah dengan Marcel membuat perasaan Joice begitu merasa bahagia. Walaupun berawal dari konflik, tapi tetap saja tak bisa menampik bahwa perasaan Joice amat sangat bahagia.Demi anak yang ada di kandungannya, Joice memilih untuk menyingkirkan ego dalam dirinya. Dia memutuskan untuk kembali memperjuangkan cintanya pada Marcel.Tindakan Joice memang termasuk gila dan tidak waras, namun nyatanya rasa cinta Joice telah melewati batas normal. Jika wanita di luar sana pasti sudah menyerah dengan sikap Marcel, sedangkan Joice malah tetap ingin berjuang.Joice berjuang bukan serta merta karena cintanya saja, tapi juga karena dia ingin memberikan keluarga yang utuh dan bahagia untuk anak yang ada di kandungannya. Yang membuat Joice yakin Marcel bisa berubah adalah karena sampai detik ini, Marcel selalu lemah jika Joice memberikan ancaman dengan membawa-bawa anak yang ada di kandungannya. “Marcel, hari ini kau pulang jam berapa?” tanya Joice seraya menatap Marcel yang tengah memakai arloji.
“Shawn.” Joice menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Shawn. Dia begitu kegirangan karena Shawn datang menemuinya. Shawn tinggal di New York, kalau Shawn sampai ke Milan artinya memang pria itu rela meluangkan waktu untuknya.Shawn tersenyum di kala Joice berada di dalam pelukannya. Pria itu membawa tangannya mengusap punggung Joice. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya.Joice mengurai pelukan itu. “Aku baik, Shawn. Kau sendiri bagaimana?”“Aku juga baik.” Shawn tersenyum hangat.Joice memeluk lengan Shawn. “Ayo duduk. Tidak enak mengobrol sambil berdiri.” Shawn menurut, duduk di samping Joice. Tepat di kala mereka sudah duduk, para pelayan menghidangkan minuman ke atas meja. Sebelumnya, Joice sudah meminta pelayan untuk membawakan minuman.“Shawn, aku tidak menyangka kau berada di Milan,” ucap Joice dengan senyuman di wajahnya.Shawn mengambil secangkir kopi yang ada di hadapannya dan menyesap perlahan. “Kebetulan aku memiliki pekerjaan di Milan. Itu kenapa aku mendatangimu. Bagaimana pe
Joice menatap ke jam dinding—waktu menunjukkan pukul satu malam. Sekitar dua jam lalu, Marcel pergi meninggalkan rumah. Entah ke mana pria itu pergi. Joice sempat bertanya ke mana Marcel akan pergi, namun malah Marcel tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Pria itu tetap pergi tanpa berkata apa pun. Joice pikir Marcel akan keluar sebentar dan segera kembali pulang. Namun kenyataannya sampai detik ini Marcel tak kunjung datang. Hal tersebut yang membuat Joice jengkel luar biasa.“Ke mana Marcel?” gerutu Joice kesal. “Kenapa dia belum juga pulang?” gerutunya lagi.Joice mengembuskan napas panjang. Hatinya gelisah karena Marcel belum juga pulang. Lalu, tiba-tiba sesuatu hal menyelinap masuk ke dalam pikirannya—membuat raut wajah Joice berubah. Yang ada di kepala Joice adalah Marcel pergi menemui Paige. Tampak sepasang iris mata Joice berkilat menunjukkan penuh kemarahan yang tak terkira.Detik itu juga, Joice memutuskan untuk menghubungi Marcel, namun sayangnya nomor ponsel Marcel ma
Sepanjang perjalanan, Joice menatap Marcel yang melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Joice sudah terbiasa mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh, tapi kondisinya sekarang berbeda. Joice tengah hamil muda. Mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh bisa berpengaruh buruk untuk bayi yang ada di kandungan Joice.“Marcel, pelan-pelan saja mengemudikan mobilnya. Apa kau ingin anakmu di kandunganku tiada?” seru Joice jengkel pada Marcel.“Jangan berbicara konyol, Joice!” geram Marcel kesal pada Joice yang kerap berbicara konyol.Joice mendesah panjang. “Aku bukan bermaksud untuk berbicara konyol. Aku hanya ingin kau pelan-pelan mengemudikan mobilmu, Marcel.”“Diamlah! Aku tahu apa yang harus dan tidak aku lakukan!” tukas Marcel menekankan.Bibir Joice tertekuk dalam. Tidak ada pilihan lain. Wanita memilih menurut agar Marcel tidak marah padanya.Marcel sedikit menurunkan kecepatannya namun tidak mengatakan sepatah kata pun. Ya, nampaknya perkataan Joice membuat Marcel memiliki perasaan
Sinar matahari menembus sela-sela jendela menyentuh wajah Joice. Sayup-sayup mata Joice mulai terbuka—dan menatap sosok object yang ada di hadapannya. Tampak senyuman di wajah Joice terlukis melihat Marcel ada di hadapannya.Pipi Joice merona malu melihat Marcel memeluknya dengan erat. Sungguh, tindakan Marcel membuat Joice benar-benar seperti berada di atas awan. Kepingan memori di dalam ingatannya mulai tersusun menjadi satu. Kejadian tadi malam tidak akan mungkin bisa Joice lupakan. Kejadian yang dikatakan manis. Joice tidak mungkin lupa di saat Marcel menyentuhnya. Meskipun kegiatan panas mereka terhenti, tetap saja tidak akan pernah bisa dia lupakan.Joice membawa tangannya membelai rahang Marcel, menelusuri setiap inci bagian wajah pria itu. Mulai dari mata, hidung, dan bibir Marcel. Semua sangat indah dan sempurna di mata Joice. Terlalu indah sampai wanita itu tidak pernah bisa berhenti mencintai sosok Marcel De Luca. Segala hal tentang Marcel telah membuat Joice jatuh sedalam
“Daddy, Mommy.” Joice menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Mateo dan Miracle. Tentu Mateo dan Miracle membalas pelukan Joice. Malah Mateo dan Miracle lebih memilih fokus pada Joice ketimbang pada Marcel—putra mereka.“Sayang, kau semakin cantik.” Miracle mengurai pelukannya, meraih kedua bahu Joice, menatap menantunya itu.Joice tersenyum lembut. “Terima kasih, Mom. Kau juga semakin cantik.”Miracle mencubit pelan hidung Joice. “Mommy sudah semakin tua, Sayang.”“Tapi apa yang dikatakan Joice benar. Kau semakin cantik.” Mateo mengecup pipi Miracle.Senyuman di wajah Joice terlukis melihat kedekatan antara Mateo dan Miracle. Meskipun sudah tidak lagi muda, tapi Mateo dan Miracle sangatlah romantis. Bahkan mereka tidak segan mengumbar keromantisan mereka di depan umum. Miracle memukul pelan lengan kekar sang suami dengan pipi yang merona malu. Marcel memutar bola matanya malas melihat tingkah kedua orang tuanya seperti anak remaja yang tengah kasmaran.“Mom, Dad, ayo duduk,” ucap
Marcel menenggak vodka di tangannya. Pria itu memejamkan mata lelah. Benaknya terus mengingat apa yang dikatakan oleh Joice. Lepas dari siapa yang salah dan siapa yang benar, dia sama sekali tidak mengira kalau Paige akan datang ke mansion baru yang ditempatinya dengan Joice. Pun hal itu membuat Marcel marah pada Paige yang datang ke rumahnya. Padahal sudah berkali-kali dia katakan pada Paige untuk tidak mengganggunya di kala dirinya tengah sibuk. Marcel mengakui emosinya memuncak melihat Joice bertengkar dengan Paige. Dia tidak sama sekali bermaksud untuk membela Paige. Tetapi emosi Marcel benar-benar terpancing karena Joice tidak patuh padanya untuk menghentikan perkelahian. Joice bahkan tidak sama sekali memikirkan keadaan wanita itu yang tengah dalam keadaan berbadan dua.Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Marcel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan meminta orang yang mengetuk pintu untuk segera masuk ke dalam. “Tuan, Anda memanggil saya?” tanya seorang pelayan seraya
Lombok, Indonesia. Menepuh perjalanan jauh dari London ke Lombok adalah hal yang tak pernah Joice sangka-sangka. Saat usia Janita dan Marvel dua tahun, Joice pernah diajak Marcel ke Bali dan Jakarta. Hanya saja dia belum pernah ke Lombok. Wanita cantik itu takjub, di kala Marcel membawanya benar-benar berkeliling pedesaan.Joice tak pernah mengira Marcel akan membawanya serta tiga anaknya berlibur ke Lombok. Liburan di benua Eropa dan Amerika adalah hal biasa untuk Joice bersama keluarga. Akan tetapi, liburan ke Asia benar-benar sangat menakjubkan!“Sayang, ini indah sekali. Terima kasih sudah membawaku ke sini.” Mata Joice berkaca-kaca menatap Marcel dengan haru.Marcel mengecup kening Joice. “Aku sudah yakin kau akan menyukai tempat ini.”Joice tersenyum lembut seraya menatap tiga anaknya yang sedang berlari-larian. “Waktu terasa sangatlah cepat. Dulu, aku selalu hidup berdua dengan Hana. Ke mana pun aku pergi, maka Hana akan ikut denganku. Tapi sekarang semua berubah di kala takdi
London, UK. Janji suci pernikahan yang terucap secara bergantian di bibir Landon dan Anya—wanita yang menikah dengan Landon—nampak membuat Joice sejak tadi tersenyum penuh haru bahagia. Sepasang iris mata Joice menunjukkan betapa dia bahagia. Kepingan memori teringat akan masa kecilnya bersama dengan sang adik, membuat Joice meneteskan air mata haru.Landon bertemu dengan Anya saat adiknya itu tengah berlibur ke Singapore. Singkat cerita, mereka hanya berawal berkencan biasa, namun ternyata berujung pada pernikahan. Tentunya perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada kalanya naik turun. Tapi Joice selalu memberikan nasihat terbaik untuk adiknya, di kala adiknya mengalami masalah hubungan percintaan.Joice menetap tinggal di Milan, karena ikut dengan sang suami. Jarak tinggalnya dengan orang tua serta adiknya memang jauh, tapi Joice sering sekali mengunjungi London. Banyak keluarga yang tinggal di London, tentunya membuat Joice wajib mengunjungi kota indah itu.Selama proses upacara pern
*Dua minggu lagi hari pernikahanku. Kau pasti akan ke London, kan? Jangan bilang kau sibuk. Aku tidak akan lagi menganggapmu, jika kau sampai tidak datang di hari pernikahanku.* Pesan singkat dari Landon membuat Joice mengulumkan senyumannya. Wanita berparas cantik itu terlihat gemas akan pesan yang dia baca ini. Well, Joice tak akan mungkin hari pernikahan adiknya yang akan diadakan dua minggu lagi.Singkat cerita, beberapa bulan lalu Landon mendatangi Milan, memperkenalkan seseorang wanita cantik yang merupakan calon istri adiknya itu. Joice tentu saja bahagia mendengar kabar Landon akan segera menikah.Sudah sejak lama Joice meminta Landon untuk segera menikah. Karena bagaimanapun, Joice tahu bahwa kedua orang tuanya menginginkan Landon memiliki keluarga seperti dirinya dan Marcel. Doa Joice selama ini terjawab. Adiknya akhirnya dipertemukan dengan takdirnya.“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu, Sayang?” Marcel mendekat, menghampiri sang istri. Joice mengalihkan pandangannya,
“Mommy, Daddy, kami pulang.”Marvel, Janita, dan si bungsu—Maxime—menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tua mereka. Pun tentu Joice dan Marcel membalas pelukan tiga anak mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.Kemarin, kedua orang tua Marcel sudah kembali ke Milan. Namun, mereka tidak langsung mengembalikan Maxime. Yang mereka lakukan malah menjemput Marvel dan Janita untuk berjalan-jalan. Weekend terakhir, tak ingin diasia-siakan oleh kedua orang tua Marcel itu.Sekarang Marvel, Janita, dan Maxime dipulangkan, karena Marvel dan Janita akan masuk sekolah. Maxime juga dipulangkan, karena pastinya Marcel dan Joice sangatlah merindukan putra bungsu mereka.“Sayang Mommy. Ah, kalian baru pulang jalan-jalan. Pasti kalian happy.” Joice menciumi ketiga anaknya itu. Bergantian dengan Marcel yang kini menciumi tiga anaknya. “Mommy kami senang sekali diajak jalan-jalan Grandpa Mateo dan Grandma Miracle,” ucap Janita dengan riang gembira.Joice tersenyum mendengar apa yang dikatakan
Joice turun dari mobil, dan melangkah terburu-buru masuk ke dalam mansion menuju kamar. Tentu saja, Marcel segera menyusul Joice yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Sejak di mana bertemu dengan Poppy—Joice memang terlihat masih marah. Padahal seharusnya Joice sudah tidak lagi marah padanya.“Joice, kau masih mendiamiku setelah aku memberikan penjelasan padamu?” Marcel masuk ke dalam kamar, mendekat pada Joice.“Aku ingin istirahat, Marcel. Tolong kau keluar.” Joice tetap bersikap dingin, dan acuh, meminta Marcel untuk keluar. Dia masih enggan untuk bicara dengan suaminya. Sekalipun, tadi dia sudah bertemu dengan Poppy—tetap saja dia masih kesal dan marah.Marcel berusaha bersabar menghadapi sang istri yang cemburu buta. Dia menarik tangan Joice—membuat tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapannya. Tampak Joice berontak di kala Marcel memeluknya dengan erat.“Marcel, lepaskan aku! Lepas!” Joice mendorong dada bidang Marcel.“Jika kau berontak, maka aku akan benar-benar b
Mobil sport milik Marcel terhenti di sebuah restoran ternama di Milan. Detik itu juga raut wajah Joice berubah menunjukkan jelas kebingungannya. Dia sedang marah, tapi kenapa malah diajak ke restoran? Apa-apaan ini? Sungguh! Joice menjadi semakin kesal pada Marcel.“Marcel, kau kenapa mengajakku ke sini?” seru Joice kesal pada Marcel.“Kita akan bertemu dengan seseorang.” Marcel membuka seat belt-nya, turun dari mobil—dan membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya itu.“Bertemu siapa?!” Joice enggan untuk bertemu siapa pun. Dalam kondisi raut wajah yang sedang marah, menunjukkan jelas rasa tak suka jika harus bertemu dengan orang. Entah siapa yang ingin ditunjukkan oleh suaminya itu. Marcel menunduk, membuka seat belt sang istri. “Kau akan tahu, jika kau sudah turun.” Lalu, pria itu menarik tangan istrinya—memaksa untuk turun dari mobil. Joice mendesah kasar ketika tangannya ditarik sang suami masuk ke dalam restoran. Dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti suaminya it
“Mom, kenapa kau tidur di kamarku? Nanti Daddy kesepian. Kasihan Daddy, Mom. Daddy bilang padaku, dia tidak akan bisa tidur nyenyak, jika tanpa Mommy.” Janita menatap Joice yang tidur di kamarnya. Biasanya ibunya itu akan menemaninya tidur, jika dia tengah sakit. Tapi dia sehat dan baik-baik saja. Itu yang membuat gadis kecil itu bingung.Joice memeluk Janita dan mengecupi pipi bulat putrinya itu. “Mommy sangat merindukanmu. Itu kenapa Mommy tidur denganmu. Memangnya kau tidak suka tidur bersama Mommy?”Janita tersenyum lembut dan manis. “Tentu saja aku suka, Mommy. Aku suka tidur bersama Mommy. Tapi, aku kasihan pada Daddy tidur sendiri. Nanti Daddy kesepian. Bagaimana kalau Daddy diajak tidur bersama kita saja?” Gadis kecil itu memberikan ide luar biasa.“Tidak!” tolak Joice tegas, dengan raut wajah jengkel.“Kenapa tidak, Mommy? Kasihan Daddy tidur sendiri.” Raut wajah Janita muram.“Daddy tidak tidur sendiri. Malam ini Daddy tidur bersama Marvel, Little Girl.” Marcel melangkah men
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam