Mata Joice terbuka seraya menyeka matanya menggunakan punggung tangannya. Sayup-sayup di kala mata Joice terbuka—tatapannya mengendar ke sekitar—melihat dirinya berada di dalam kamar.Raut wajah Joice berubah. Tunggu! Kenapa dirinya berada di dalam kamar? Joice mengingat bahwa terakhir dirinya makan di ruang makan, sampai terlelap karena kekenyangan. Tapi kenapa malah dirinya berada di kamar bahkan sudah membaringkan tubuhnya di ranjang?Kening Joice mengerut dalam melihat dirinya sudah terbaring di ranjang. Rasanya tidak mungkin dirinya bisa pindah sendiri kalau tidak dipindahkan. Namun, siapa yang memindahkannya?“Marcel? Apa dia yang memindahkanku ke kamar?” gumam Joice pelan menduga dengan sangat yakin bahwa Marcel yang memindahkannya ke dalam kamar. Dia tidak mungkin lupa terakhir dirinya itu berada di ruang makan.“Ya, aku yang memindahkanmu. Kau tidur seperti orang mati.” Marcel melangkah masuk ke dalam kamar, mendekat ke arah Joice yang duduk di ranjang.Joice mengalihkan pand
Aroma masakan lezat menyeruak memenuhi dapur megah. Joice tengah berkutat di dapur dengan memakai apron berwarna kuning motif bunga. Sekitar satu jam lalu, Joice sudah bangun tidur. Wanita itu memutuskan untuk memasak karena jenuh tak tahu harus melakukan apa.Tadi saat Joice sudah bangun, dia tidak melihat Marcel. Pelayan mengatakan Marcel sedang berangkat ke kantor. Itu kenapa sekarang Joice berkutat di dapur. Wanita itu ingin menyiapkan masakan special untuk Marcel.Sebelumnya, Joice menghubungi Nicole—istri Oliver—untuk menanyakan beberapa resep masakan. Meskipun tak terlalu hebat dalam memasak, tapi Joice cukup cerdas mengolah masakan jika sudah mendapatkan resep masakan.“Nyonya Joice, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya sang pelayan pada Joice yang asik berkutat di dapur.“Tidak usah. Biar aku saja yang memasak. Tolong kau siapkan buah anggur dan jeruk ke atas meja,” jawab Joice meminta tolong pada sang pelayan.“Baik, Nyonya.” Pelayan itu segera menjalankan perintah Joice.Ta
Menikah dengan Marcel membuat perasaan Joice begitu merasa bahagia. Walaupun berawal dari konflik, tapi tetap saja tak bisa menampik bahwa perasaan Joice amat sangat bahagia.Demi anak yang ada di kandungannya, Joice memilih untuk menyingkirkan ego dalam dirinya. Dia memutuskan untuk kembali memperjuangkan cintanya pada Marcel.Tindakan Joice memang termasuk gila dan tidak waras, namun nyatanya rasa cinta Joice telah melewati batas normal. Jika wanita di luar sana pasti sudah menyerah dengan sikap Marcel, sedangkan Joice malah tetap ingin berjuang.Joice berjuang bukan serta merta karena cintanya saja, tapi juga karena dia ingin memberikan keluarga yang utuh dan bahagia untuk anak yang ada di kandungannya. Yang membuat Joice yakin Marcel bisa berubah adalah karena sampai detik ini, Marcel selalu lemah jika Joice memberikan ancaman dengan membawa-bawa anak yang ada di kandungannya. “Marcel, hari ini kau pulang jam berapa?” tanya Joice seraya menatap Marcel yang tengah memakai arloji.
“Shawn.” Joice menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Shawn. Dia begitu kegirangan karena Shawn datang menemuinya. Shawn tinggal di New York, kalau Shawn sampai ke Milan artinya memang pria itu rela meluangkan waktu untuknya.Shawn tersenyum di kala Joice berada di dalam pelukannya. Pria itu membawa tangannya mengusap punggung Joice. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya.Joice mengurai pelukan itu. “Aku baik, Shawn. Kau sendiri bagaimana?”“Aku juga baik.” Shawn tersenyum hangat.Joice memeluk lengan Shawn. “Ayo duduk. Tidak enak mengobrol sambil berdiri.” Shawn menurut, duduk di samping Joice. Tepat di kala mereka sudah duduk, para pelayan menghidangkan minuman ke atas meja. Sebelumnya, Joice sudah meminta pelayan untuk membawakan minuman.“Shawn, aku tidak menyangka kau berada di Milan,” ucap Joice dengan senyuman di wajahnya.Shawn mengambil secangkir kopi yang ada di hadapannya dan menyesap perlahan. “Kebetulan aku memiliki pekerjaan di Milan. Itu kenapa aku mendatangimu. Bagaimana pe
Joice menatap ke jam dinding—waktu menunjukkan pukul satu malam. Sekitar dua jam lalu, Marcel pergi meninggalkan rumah. Entah ke mana pria itu pergi. Joice sempat bertanya ke mana Marcel akan pergi, namun malah Marcel tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Pria itu tetap pergi tanpa berkata apa pun. Joice pikir Marcel akan keluar sebentar dan segera kembali pulang. Namun kenyataannya sampai detik ini Marcel tak kunjung datang. Hal tersebut yang membuat Joice jengkel luar biasa.“Ke mana Marcel?” gerutu Joice kesal. “Kenapa dia belum juga pulang?” gerutunya lagi.Joice mengembuskan napas panjang. Hatinya gelisah karena Marcel belum juga pulang. Lalu, tiba-tiba sesuatu hal menyelinap masuk ke dalam pikirannya—membuat raut wajah Joice berubah. Yang ada di kepala Joice adalah Marcel pergi menemui Paige. Tampak sepasang iris mata Joice berkilat menunjukkan penuh kemarahan yang tak terkira.Detik itu juga, Joice memutuskan untuk menghubungi Marcel, namun sayangnya nomor ponsel Marcel ma
Sepanjang perjalanan, Joice menatap Marcel yang melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Joice sudah terbiasa mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh, tapi kondisinya sekarang berbeda. Joice tengah hamil muda. Mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh bisa berpengaruh buruk untuk bayi yang ada di kandungan Joice.“Marcel, pelan-pelan saja mengemudikan mobilnya. Apa kau ingin anakmu di kandunganku tiada?” seru Joice jengkel pada Marcel.“Jangan berbicara konyol, Joice!” geram Marcel kesal pada Joice yang kerap berbicara konyol.Joice mendesah panjang. “Aku bukan bermaksud untuk berbicara konyol. Aku hanya ingin kau pelan-pelan mengemudikan mobilmu, Marcel.”“Diamlah! Aku tahu apa yang harus dan tidak aku lakukan!” tukas Marcel menekankan.Bibir Joice tertekuk dalam. Tidak ada pilihan lain. Wanita memilih menurut agar Marcel tidak marah padanya.Marcel sedikit menurunkan kecepatannya namun tidak mengatakan sepatah kata pun. Ya, nampaknya perkataan Joice membuat Marcel memiliki perasaan
Sinar matahari menembus sela-sela jendela menyentuh wajah Joice. Sayup-sayup mata Joice mulai terbuka—dan menatap sosok object yang ada di hadapannya. Tampak senyuman di wajah Joice terlukis melihat Marcel ada di hadapannya.Pipi Joice merona malu melihat Marcel memeluknya dengan erat. Sungguh, tindakan Marcel membuat Joice benar-benar seperti berada di atas awan. Kepingan memori di dalam ingatannya mulai tersusun menjadi satu. Kejadian tadi malam tidak akan mungkin bisa Joice lupakan. Kejadian yang dikatakan manis. Joice tidak mungkin lupa di saat Marcel menyentuhnya. Meskipun kegiatan panas mereka terhenti, tetap saja tidak akan pernah bisa dia lupakan.Joice membawa tangannya membelai rahang Marcel, menelusuri setiap inci bagian wajah pria itu. Mulai dari mata, hidung, dan bibir Marcel. Semua sangat indah dan sempurna di mata Joice. Terlalu indah sampai wanita itu tidak pernah bisa berhenti mencintai sosok Marcel De Luca. Segala hal tentang Marcel telah membuat Joice jatuh sedalam
“Daddy, Mommy.” Joice menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Mateo dan Miracle. Tentu Mateo dan Miracle membalas pelukan Joice. Malah Mateo dan Miracle lebih memilih fokus pada Joice ketimbang pada Marcel—putra mereka.“Sayang, kau semakin cantik.” Miracle mengurai pelukannya, meraih kedua bahu Joice, menatap menantunya itu.Joice tersenyum lembut. “Terima kasih, Mom. Kau juga semakin cantik.”Miracle mencubit pelan hidung Joice. “Mommy sudah semakin tua, Sayang.”“Tapi apa yang dikatakan Joice benar. Kau semakin cantik.” Mateo mengecup pipi Miracle.Senyuman di wajah Joice terlukis melihat kedekatan antara Mateo dan Miracle. Meskipun sudah tidak lagi muda, tapi Mateo dan Miracle sangatlah romantis. Bahkan mereka tidak segan mengumbar keromantisan mereka di depan umum. Miracle memukul pelan lengan kekar sang suami dengan pipi yang merona malu. Marcel memutar bola matanya malas melihat tingkah kedua orang tuanya seperti anak remaja yang tengah kasmaran.“Mom, Dad, ayo duduk,” ucap