Sepanjang perjalanan, Joice menatap Marcel yang melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Joice sudah terbiasa mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh, tapi kondisinya sekarang berbeda. Joice tengah hamil muda. Mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh bisa berpengaruh buruk untuk bayi yang ada di kandungan Joice.“Marcel, pelan-pelan saja mengemudikan mobilnya. Apa kau ingin anakmu di kandunganku tiada?” seru Joice jengkel pada Marcel.“Jangan berbicara konyol, Joice!” geram Marcel kesal pada Joice yang kerap berbicara konyol.Joice mendesah panjang. “Aku bukan bermaksud untuk berbicara konyol. Aku hanya ingin kau pelan-pelan mengemudikan mobilmu, Marcel.”“Diamlah! Aku tahu apa yang harus dan tidak aku lakukan!” tukas Marcel menekankan.Bibir Joice tertekuk dalam. Tidak ada pilihan lain. Wanita memilih menurut agar Marcel tidak marah padanya.Marcel sedikit menurunkan kecepatannya namun tidak mengatakan sepatah kata pun. Ya, nampaknya perkataan Joice membuat Marcel memiliki perasaan
Sinar matahari menembus sela-sela jendela menyentuh wajah Joice. Sayup-sayup mata Joice mulai terbuka—dan menatap sosok object yang ada di hadapannya. Tampak senyuman di wajah Joice terlukis melihat Marcel ada di hadapannya.Pipi Joice merona malu melihat Marcel memeluknya dengan erat. Sungguh, tindakan Marcel membuat Joice benar-benar seperti berada di atas awan. Kepingan memori di dalam ingatannya mulai tersusun menjadi satu. Kejadian tadi malam tidak akan mungkin bisa Joice lupakan. Kejadian yang dikatakan manis. Joice tidak mungkin lupa di saat Marcel menyentuhnya. Meskipun kegiatan panas mereka terhenti, tetap saja tidak akan pernah bisa dia lupakan.Joice membawa tangannya membelai rahang Marcel, menelusuri setiap inci bagian wajah pria itu. Mulai dari mata, hidung, dan bibir Marcel. Semua sangat indah dan sempurna di mata Joice. Terlalu indah sampai wanita itu tidak pernah bisa berhenti mencintai sosok Marcel De Luca. Segala hal tentang Marcel telah membuat Joice jatuh sedalam
“Daddy, Mommy.” Joice menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Mateo dan Miracle. Tentu Mateo dan Miracle membalas pelukan Joice. Malah Mateo dan Miracle lebih memilih fokus pada Joice ketimbang pada Marcel—putra mereka.“Sayang, kau semakin cantik.” Miracle mengurai pelukannya, meraih kedua bahu Joice, menatap menantunya itu.Joice tersenyum lembut. “Terima kasih, Mom. Kau juga semakin cantik.”Miracle mencubit pelan hidung Joice. “Mommy sudah semakin tua, Sayang.”“Tapi apa yang dikatakan Joice benar. Kau semakin cantik.” Mateo mengecup pipi Miracle.Senyuman di wajah Joice terlukis melihat kedekatan antara Mateo dan Miracle. Meskipun sudah tidak lagi muda, tapi Mateo dan Miracle sangatlah romantis. Bahkan mereka tidak segan mengumbar keromantisan mereka di depan umum. Miracle memukul pelan lengan kekar sang suami dengan pipi yang merona malu. Marcel memutar bola matanya malas melihat tingkah kedua orang tuanya seperti anak remaja yang tengah kasmaran.“Mom, Dad, ayo duduk,” ucap
Marcel menenggak vodka di tangannya. Pria itu memejamkan mata lelah. Benaknya terus mengingat apa yang dikatakan oleh Joice. Lepas dari siapa yang salah dan siapa yang benar, dia sama sekali tidak mengira kalau Paige akan datang ke mansion baru yang ditempatinya dengan Joice. Pun hal itu membuat Marcel marah pada Paige yang datang ke rumahnya. Padahal sudah berkali-kali dia katakan pada Paige untuk tidak mengganggunya di kala dirinya tengah sibuk. Marcel mengakui emosinya memuncak melihat Joice bertengkar dengan Paige. Dia tidak sama sekali bermaksud untuk membela Paige. Tetapi emosi Marcel benar-benar terpancing karena Joice tidak patuh padanya untuk menghentikan perkelahian. Joice bahkan tidak sama sekali memikirkan keadaan wanita itu yang tengah dalam keadaan berbadan dua.Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Marcel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan meminta orang yang mengetuk pintu untuk segera masuk ke dalam. “Tuan, Anda memanggil saya?” tanya seorang pelayan seraya
Angin malam berembus cukup kencang. Langit di luar begitu gelap seakan memberi tanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Namun, hingga detik ini hujan tak kunjung turun. Hanya ada awan gelap yang menutupi keindahan bulan dan bintang yang seharusnya menjadi penghias langit megah.Marcel berdiri di balkon kamar seraya mengisap rokok. Kumpulan asap rokok mengumpul di udara, lalu hilang karena diterpa angin yang cukup kencang. Tampak sorot mata Marcel menatap lurus ke depan dengan sorot mata yang memiliki arti khusus. Marcel menekan putung rokok ke asbak, dan mengalihkan pandangannya menatap Joice yang tertidur pulas di ranjang. Tubuh wanita itu masih telanjang. Hanya selimut tebal yang membalut tubuhnya.Ya, Marcel mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Dia menyadari bahwa dirinya sulit mengendalikan diri jika berada di dekat Joice. Mungkin itu semua karena dirinya dan Joice sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Hal itu yang membuat alam bawah sadar Marcel malah memiliki peran me
Joice lega karena Marcel mau menuruti keinginannya untuk menjauh dari Paige. Ancamanya ternyata berhasil sampai membuat Marcel akhirnya mau mengalah. Setidaknya perjuangannya tidaklah sia-sia. Joice tidak pernah bisa menerima Marcel berada di dekat Paige. Sampai kapan pun, dia tidak rela wanita ular itu di dekat suaminya. Sejak di mana Joice memutuskan untuk memperjuangkan kembali hubungannya dengan Marcel, maka dia akan berusaha berjuang sampai akhir.Kemarin, Joice sempat kecewa pada Marcel yang jauh lebih membela Paige, namun semuanya sudah membaik saat Marcel mengucapkan maaf padanya. Ya, untuk urusan hati memang Joice mengakui dirinya sangat lemah.Joice selalu mudah memaafkan Marcel yang memberikan luka yang dalam untuknya. Anggaplah dirinya bodoh, Joice mengakui akan hal itu. Namun, dia tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang padanya.“Joice, aku pergi. Ada pekerjaan yang harus aku urus,” ucap Marcel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.Joice menatap Marcel yang tenga
“Marcel, kau sudah pulang?” Joice tersenyum hangat melihat Marcel sudah pulang. Dia segera memeluk dan membenamkan wajahnya di dada bidang Marcel. Meskipun sudah seharian di luar rumah, tapi aroma parfume di tubuh Marcel tidaklah hilang.“Kenapa kau belum tidur?” Marcel menatap dingin Joice. Dia membiarkan Joice memeluknya, tapi dia juga tidak membalas pelukan wanita itu.Joice menekuk bibirnya. “Aku tidak bisa tidur, Marcel.”“Ini sudah malam. Tidurlah,” tukas Marcel dingin dan datar.“Iya, sebentar lagi aku akan tidur.” Joice masih menyandarkan kepalanya di dada bidang Marcel. Dia seperti enggan untuk menjauh dari Marcel. Hamil membuatnya selalu ingin berada di dekat Marcel.Marcel terdiam sebentar membiarkan Joice memeluknya. “Minggu depan kita akan memeriksa kandunganmu.”Joice mendongakkan kepalanya dari dalam pelukan Marcel. “Kenapa tidak bulan depan saja, Marcel?” tanyanya pelan.“Ck! Terlalu lama!” jawab Marcel.Joice tersenyum sambil membelai rahang Marcel. “Pasti kau tidak s
Joice tidak henti melukiskan senyumannya membayangkan dirinya akan mengasuh dua anak kembar sekaligus. Tidak pernah Joice sangka kalau dirinya mengandung anak kembar. Sebuah kebahagiaan yang tidak lagi terkira. Joice seperti mendapatkan hadiah yang sebelumnya tidak pernah dia dapatkan.Sepanjang perjalanan pulang kembali dari rumah sakit, Joice terus melukiskan senyumannya. Jika Joice sejak tadi melukiskan senyuman—Marcel yang mengemudikan mobil dengan tatapan menyorot ke depan menyimpan sesuatu hal yang ada di dalam pikiran pria itu.“Marcel, menurutmu anak kita kembar laki-laki sepertimu dan Moses, atau kembar laki-laki dan perempuan?” ujar Joice bertanya dengan begitu riang.“Apa saja. Yang penting mereka sehat,” jawab Marcel dingin dan datar.Joice memeluk lengan Marcel dan menyandarkan kepalanya di lengan kekar pria itu. “Marcel, aku senang sekali memiliki anak kembar.” Marcel hanya diam di kala Joice bersandar di lengannya. Pria itu memang fokus mengemudikan mobil, namun sejak
Lombok, Indonesia. Menepuh perjalanan jauh dari London ke Lombok adalah hal yang tak pernah Joice sangka-sangka. Saat usia Janita dan Marvel dua tahun, Joice pernah diajak Marcel ke Bali dan Jakarta. Hanya saja dia belum pernah ke Lombok. Wanita cantik itu takjub, di kala Marcel membawanya benar-benar berkeliling pedesaan.Joice tak pernah mengira Marcel akan membawanya serta tiga anaknya berlibur ke Lombok. Liburan di benua Eropa dan Amerika adalah hal biasa untuk Joice bersama keluarga. Akan tetapi, liburan ke Asia benar-benar sangat menakjubkan!“Sayang, ini indah sekali. Terima kasih sudah membawaku ke sini.” Mata Joice berkaca-kaca menatap Marcel dengan haru.Marcel mengecup kening Joice. “Aku sudah yakin kau akan menyukai tempat ini.”Joice tersenyum lembut seraya menatap tiga anaknya yang sedang berlari-larian. “Waktu terasa sangatlah cepat. Dulu, aku selalu hidup berdua dengan Hana. Ke mana pun aku pergi, maka Hana akan ikut denganku. Tapi sekarang semua berubah di kala takdi
London, UK. Janji suci pernikahan yang terucap secara bergantian di bibir Landon dan Anya—wanita yang menikah dengan Landon—nampak membuat Joice sejak tadi tersenyum penuh haru bahagia. Sepasang iris mata Joice menunjukkan betapa dia bahagia. Kepingan memori teringat akan masa kecilnya bersama dengan sang adik, membuat Joice meneteskan air mata haru.Landon bertemu dengan Anya saat adiknya itu tengah berlibur ke Singapore. Singkat cerita, mereka hanya berawal berkencan biasa, namun ternyata berujung pada pernikahan. Tentunya perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada kalanya naik turun. Tapi Joice selalu memberikan nasihat terbaik untuk adiknya, di kala adiknya mengalami masalah hubungan percintaan.Joice menetap tinggal di Milan, karena ikut dengan sang suami. Jarak tinggalnya dengan orang tua serta adiknya memang jauh, tapi Joice sering sekali mengunjungi London. Banyak keluarga yang tinggal di London, tentunya membuat Joice wajib mengunjungi kota indah itu.Selama proses upacara pern
*Dua minggu lagi hari pernikahanku. Kau pasti akan ke London, kan? Jangan bilang kau sibuk. Aku tidak akan lagi menganggapmu, jika kau sampai tidak datang di hari pernikahanku.* Pesan singkat dari Landon membuat Joice mengulumkan senyumannya. Wanita berparas cantik itu terlihat gemas akan pesan yang dia baca ini. Well, Joice tak akan mungkin hari pernikahan adiknya yang akan diadakan dua minggu lagi.Singkat cerita, beberapa bulan lalu Landon mendatangi Milan, memperkenalkan seseorang wanita cantik yang merupakan calon istri adiknya itu. Joice tentu saja bahagia mendengar kabar Landon akan segera menikah.Sudah sejak lama Joice meminta Landon untuk segera menikah. Karena bagaimanapun, Joice tahu bahwa kedua orang tuanya menginginkan Landon memiliki keluarga seperti dirinya dan Marcel. Doa Joice selama ini terjawab. Adiknya akhirnya dipertemukan dengan takdirnya.“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu, Sayang?” Marcel mendekat, menghampiri sang istri. Joice mengalihkan pandangannya,
“Mommy, Daddy, kami pulang.”Marvel, Janita, dan si bungsu—Maxime—menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tua mereka. Pun tentu Joice dan Marcel membalas pelukan tiga anak mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.Kemarin, kedua orang tua Marcel sudah kembali ke Milan. Namun, mereka tidak langsung mengembalikan Maxime. Yang mereka lakukan malah menjemput Marvel dan Janita untuk berjalan-jalan. Weekend terakhir, tak ingin diasia-siakan oleh kedua orang tua Marcel itu.Sekarang Marvel, Janita, dan Maxime dipulangkan, karena Marvel dan Janita akan masuk sekolah. Maxime juga dipulangkan, karena pastinya Marcel dan Joice sangatlah merindukan putra bungsu mereka.“Sayang Mommy. Ah, kalian baru pulang jalan-jalan. Pasti kalian happy.” Joice menciumi ketiga anaknya itu. Bergantian dengan Marcel yang kini menciumi tiga anaknya. “Mommy kami senang sekali diajak jalan-jalan Grandpa Mateo dan Grandma Miracle,” ucap Janita dengan riang gembira.Joice tersenyum mendengar apa yang dikatakan
Joice turun dari mobil, dan melangkah terburu-buru masuk ke dalam mansion menuju kamar. Tentu saja, Marcel segera menyusul Joice yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Sejak di mana bertemu dengan Poppy—Joice memang terlihat masih marah. Padahal seharusnya Joice sudah tidak lagi marah padanya.“Joice, kau masih mendiamiku setelah aku memberikan penjelasan padamu?” Marcel masuk ke dalam kamar, mendekat pada Joice.“Aku ingin istirahat, Marcel. Tolong kau keluar.” Joice tetap bersikap dingin, dan acuh, meminta Marcel untuk keluar. Dia masih enggan untuk bicara dengan suaminya. Sekalipun, tadi dia sudah bertemu dengan Poppy—tetap saja dia masih kesal dan marah.Marcel berusaha bersabar menghadapi sang istri yang cemburu buta. Dia menarik tangan Joice—membuat tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapannya. Tampak Joice berontak di kala Marcel memeluknya dengan erat.“Marcel, lepaskan aku! Lepas!” Joice mendorong dada bidang Marcel.“Jika kau berontak, maka aku akan benar-benar b
Mobil sport milik Marcel terhenti di sebuah restoran ternama di Milan. Detik itu juga raut wajah Joice berubah menunjukkan jelas kebingungannya. Dia sedang marah, tapi kenapa malah diajak ke restoran? Apa-apaan ini? Sungguh! Joice menjadi semakin kesal pada Marcel.“Marcel, kau kenapa mengajakku ke sini?” seru Joice kesal pada Marcel.“Kita akan bertemu dengan seseorang.” Marcel membuka seat belt-nya, turun dari mobil—dan membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya itu.“Bertemu siapa?!” Joice enggan untuk bertemu siapa pun. Dalam kondisi raut wajah yang sedang marah, menunjukkan jelas rasa tak suka jika harus bertemu dengan orang. Entah siapa yang ingin ditunjukkan oleh suaminya itu. Marcel menunduk, membuka seat belt sang istri. “Kau akan tahu, jika kau sudah turun.” Lalu, pria itu menarik tangan istrinya—memaksa untuk turun dari mobil. Joice mendesah kasar ketika tangannya ditarik sang suami masuk ke dalam restoran. Dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti suaminya it
“Mom, kenapa kau tidur di kamarku? Nanti Daddy kesepian. Kasihan Daddy, Mom. Daddy bilang padaku, dia tidak akan bisa tidur nyenyak, jika tanpa Mommy.” Janita menatap Joice yang tidur di kamarnya. Biasanya ibunya itu akan menemaninya tidur, jika dia tengah sakit. Tapi dia sehat dan baik-baik saja. Itu yang membuat gadis kecil itu bingung.Joice memeluk Janita dan mengecupi pipi bulat putrinya itu. “Mommy sangat merindukanmu. Itu kenapa Mommy tidur denganmu. Memangnya kau tidak suka tidur bersama Mommy?”Janita tersenyum lembut dan manis. “Tentu saja aku suka, Mommy. Aku suka tidur bersama Mommy. Tapi, aku kasihan pada Daddy tidur sendiri. Nanti Daddy kesepian. Bagaimana kalau Daddy diajak tidur bersama kita saja?” Gadis kecil itu memberikan ide luar biasa.“Tidak!” tolak Joice tegas, dengan raut wajah jengkel.“Kenapa tidak, Mommy? Kasihan Daddy tidur sendiri.” Raut wajah Janita muram.“Daddy tidak tidur sendiri. Malam ini Daddy tidur bersama Marvel, Little Girl.” Marcel melangkah men
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam