Mexico City. *Michaela Geovan De Luca, kapan kau membawa kekasihmu ke hadapan Mommy? Jika kau kesulitan mendapatkan kekasih, maka Mommy akan memperkenalkanmu pada salah satu anak dari teman Mommy.* Michaela yang kerap disapa Mika itu hanya mengembuskan napas kasar, di kala membaca pesan dari ibunya. Sudah tidak lagi terhitung berapa kali dalam sehari ibunya menanyakan kapan dirinya akan memiliki kekasih.Berada diusia kepala tiga, seolah membuat dirinya berada di zona merah—yang aman zona sangat berbahaya. Kepalanya pusing setiap kali ibunya bertanya kapan dirinya memiliki kekasih. Padahal Marcel—salah satu adiknya sudah menikah. Harusnya ibunya sudah merasa cukup karena memiliki cucu dari Marcel. Tapi sialnya, sejak di mana Marcel sudah memiliki anak—malah dirinya semakin terus menerus dikejar. Alasan utama Mika jarang menetap tinggal di Milan adalah karena dia ingin terbebas. Dia mencari-cari alasan agar ibunya tak memaksanya hadir di acara kencan buta. Bukan tidak mau memiliki
Berlin, Germany. Moses melonggarkan dasinya di kala menyudahi meeting dengan client kakeknya. Sejak dulu, Moses paling malas menghadiri pertemuan bisnis di keluarganya. Baik itu keluarga ibunya ataupun keluarga ayahnya. Ya, dia memang sedikit berbeda. Dia tidak suka terlibat di perusahaan keluarga.Moses memiliki perusahaan sendiri. Pria itu lebih menyukai fokus pada pengembangan perusahaannya sendiri. Tapi sialnya, memang Moses tidak bisa berkutik ketika Marcel meminta bantuan dengan membawa-bawa dua keponakannya. Moses terpaksa menggantikan Marcel, walau sebenarnya dia sangat kesal! Perusahaannya saja banyak yang harus dia urus, tapi karena harus mengalah pada saudara kembarnya yang sudah menikah—mau tak mau Moses turun langsung membantu perusahaan keluarganya. “Tuan…” Asisten pribadi Moses menghampiri Moses yang hendak masuk ke dalam mobil.“Ada apa?” tanya Moses dingin seraya menatap sang asisten.Sang asisten menatap Moses. “Tuan, tadi ibu Anda menghubungi saya. Beliau meminta
Joice memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Sudah tak terhitung berapa kali di pagi hari dia bolak-balik mual hebat. Marcel yang ingin berangkat ke kantor langsung mengurungkan niatnya—di kala melihat Joice muntah-muntah.“Sayang? Kau kenapa?” Marcel memijat pelan tengkuk leher Joice. Tampak raut wajah pria itu menunjukkan jelas kepanikan dan rasa khawatir. Dia takut terjadi sesuatu hal buruk pada Joice.Joice membuka keran wastafel, dan membasuh mulutnya dengan air bersih. Kepalanya sedikit pusing. Tapi untungnya, ada Marcel yang memegangnya. Pun dia tetap masih bisa bertahan.“Aku baik-baik saja. Sepertinya aku kelelahan.” Joice memeluk pinggang Marcel.Marcel membelai pipi lembut Joice. “Kita ke rumah sakit sekarang. Aku tidak mau terjadi sesuatu hal buruk menimpamu.”Joice menggeleng. “Tidak usah. Nanti saja, Marcel.”“Joice—”“Sayang, please. Aku hanya ingin istirahat di rumah saja.” Joice menatap Marcel dengan tatapan penuh permohonan.Marcel memgembuskan napas panjang. “O
Keluarga besar Marcel dan Joice berkumpul di mansion Joice. Kabar Marcel mengalami kecelakaan membuat semua orang panik dan khawatir. Baik ayah ataupun kakek Marcel sudah mengerahkan anak buah mereka melakukan pencarian.Miracle—ibu Marcel—sudah sejak tadi menangis bersamaan dengan Joice. Sebagai seorang ibu sangat wajar kalau dia pasti hancur mendengar kabar putranya mengalami kecelakaan. Apalagi sampai detik ini belum ada kabar apa pun.Seluruh keluarga kini tahu Joice tengah hamil muda. Tadi, di kala Joice pingsan—dokter memeriksa keadaan wanita itu—dan memberi tahu bahwa ada nyawa di kandungan Joice.Semua orang bahagia mendengar kehamilan kedua Joice. Tetapi, kebahagian mereka terselimuti rasa khawatir dan takut kemungkinan terburuk terjadi. Kondisi Joice mengandung bertepatan dengan Marcel mengalami kecelakaan.Mereka khawatir akan kondisi mental Joice. Sejak tadi Joice hanya menangis dan terus menanyakan kabar keberadaan Marcel. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Mansio
Empat tahun berlalu … “Kak! Aku tidak mau tahu kau harus minta maaf pada temanku!” Janita bertolak pinggang, melotot menatap Marvel—saudara kembarnya—yang tengah asik bermain dengan game yang ada di Ipad. Omelan Janita sama sekali tidak dipedulikan oleh bocah laki-laki tampan itu.“Kak! Kau dengar aku atau tidak?” Janita merampas iPad Marvel, menatap kejam dan kesal saudara kembarnya yang sangat menyebalkan. Sudah sejak tadi dia mengajak bicara saudara kembarnya, tapi hasilnya nihil. Marvel mendecakkan lidahnya. “Kau ini kenapa Janita? Kau pulang malah berteriak-teriak tidak jelas. Lama-lama kau seperti Mommy yang selalu mengomel.”Marvel merasa terganggu! Bocah laki-laki tampan itu tengah bermain game, tapi malah diganggu oleh saudara kembarnya. Kesabarannya benar-benar diuji. Hal yang paling membuatnya kesal adalah Janita mirip sekali seperti ibunya yang kerap mengomel hal-hal kecil.Janita mendengkus tak suka. “Aku akan adukan pada Mommy! Kau sudah mengatakan Mommy tukang mengom
Pertengkaran Marvel dan Janita sudah berakhir. Joice kini berbaring di ranjang, bersamaan dengan sang suami tercinta. Drama hari ini sudah berakhir. Mereka dibuat sakit kepala dengan tindakan kedua anak mereka. Sejak beranjak dewasa, Janita cenderung cerewet mirip seperti Joice. Sedangkan Marvel cenderung dingin tak banyak bicara seperti Marcel.Marvel dan Janita memang kembar, tapi anak kembar mereka memiliki sifat yang berbeda jauh. Marvel cenderung introvert, berbeda dengan Janita yang ekstrovert. Marvel tak memiliki banyak teman. Sedangkan Janita memiliki banyak teman.Kehidupan dua anak kembar yang sangat berbeda jauh. Namun, meski demikian baik Marvel ataupun Janita tentu saling menyayangi. Hanya terkadang Marvel kerap meledek Janita gendut. Tubuh Janita memang berisi persis seperti Joice waktu kecil dulu.“Kau terlihat sangat lelah.” Marcel menarik tubuh Joice, membawa masuk sang istri ke dalam pelukannya.Joice mendesah panjang. “Bagaimana tidak lelah? Aku pusing sekali meliha
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k