Empat tahun berlalu … “Kak! Aku tidak mau tahu kau harus minta maaf pada temanku!” Janita bertolak pinggang, melotot menatap Marvel—saudara kembarnya—yang tengah asik bermain dengan game yang ada di Ipad. Omelan Janita sama sekali tidak dipedulikan oleh bocah laki-laki tampan itu.“Kak! Kau dengar aku atau tidak?” Janita merampas iPad Marvel, menatap kejam dan kesal saudara kembarnya yang sangat menyebalkan. Sudah sejak tadi dia mengajak bicara saudara kembarnya, tapi hasilnya nihil. Marvel mendecakkan lidahnya. “Kau ini kenapa Janita? Kau pulang malah berteriak-teriak tidak jelas. Lama-lama kau seperti Mommy yang selalu mengomel.”Marvel merasa terganggu! Bocah laki-laki tampan itu tengah bermain game, tapi malah diganggu oleh saudara kembarnya. Kesabarannya benar-benar diuji. Hal yang paling membuatnya kesal adalah Janita mirip sekali seperti ibunya yang kerap mengomel hal-hal kecil.Janita mendengkus tak suka. “Aku akan adukan pada Mommy! Kau sudah mengatakan Mommy tukang mengom
Pertengkaran Marvel dan Janita sudah berakhir. Joice kini berbaring di ranjang, bersamaan dengan sang suami tercinta. Drama hari ini sudah berakhir. Mereka dibuat sakit kepala dengan tindakan kedua anak mereka. Sejak beranjak dewasa, Janita cenderung cerewet mirip seperti Joice. Sedangkan Marvel cenderung dingin tak banyak bicara seperti Marcel.Marvel dan Janita memang kembar, tapi anak kembar mereka memiliki sifat yang berbeda jauh. Marvel cenderung introvert, berbeda dengan Janita yang ekstrovert. Marvel tak memiliki banyak teman. Sedangkan Janita memiliki banyak teman.Kehidupan dua anak kembar yang sangat berbeda jauh. Namun, meski demikian baik Marvel ataupun Janita tentu saling menyayangi. Hanya terkadang Marvel kerap meledek Janita gendut. Tubuh Janita memang berisi persis seperti Joice waktu kecil dulu.“Kau terlihat sangat lelah.” Marcel menarik tubuh Joice, membawa masuk sang istri ke dalam pelukannya.Joice mendesah panjang. “Bagaimana tidak lelah? Aku pusing sekali meliha
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k
“Mom, kenapa kau tidur di kamarku? Nanti Daddy kesepian. Kasihan Daddy, Mom. Daddy bilang padaku, dia tidak akan bisa tidur nyenyak, jika tanpa Mommy.” Janita menatap Joice yang tidur di kamarnya. Biasanya ibunya itu akan menemaninya tidur, jika dia tengah sakit. Tapi dia sehat dan baik-baik saja. Itu yang membuat gadis kecil itu bingung.Joice memeluk Janita dan mengecupi pipi bulat putrinya itu. “Mommy sangat merindukanmu. Itu kenapa Mommy tidur denganmu. Memangnya kau tidak suka tidur bersama Mommy?”Janita tersenyum lembut dan manis. “Tentu saja aku suka, Mommy. Aku suka tidur bersama Mommy. Tapi, aku kasihan pada Daddy tidur sendiri. Nanti Daddy kesepian. Bagaimana kalau Daddy diajak tidur bersama kita saja?” Gadis kecil itu memberikan ide luar biasa.“Tidak!” tolak Joice tegas, dengan raut wajah jengkel.“Kenapa tidak, Mommy? Kasihan Daddy tidur sendiri.” Raut wajah Janita muram.“Daddy tidak tidur sendiri. Malam ini Daddy tidur bersama Marvel, Little Girl.” Marcel melangkah men
Mobil sport milik Marcel terhenti di sebuah restoran ternama di Milan. Detik itu juga raut wajah Joice berubah menunjukkan jelas kebingungannya. Dia sedang marah, tapi kenapa malah diajak ke restoran? Apa-apaan ini? Sungguh! Joice menjadi semakin kesal pada Marcel.“Marcel, kau kenapa mengajakku ke sini?” seru Joice kesal pada Marcel.“Kita akan bertemu dengan seseorang.” Marcel membuka seat belt-nya, turun dari mobil—dan membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya itu.“Bertemu siapa?!” Joice enggan untuk bertemu siapa pun. Dalam kondisi raut wajah yang sedang marah, menunjukkan jelas rasa tak suka jika harus bertemu dengan orang. Entah siapa yang ingin ditunjukkan oleh suaminya itu. Marcel menunduk, membuka seat belt sang istri. “Kau akan tahu, jika kau sudah turun.” Lalu, pria itu menarik tangan istrinya—memaksa untuk turun dari mobil. Joice mendesah kasar ketika tangannya ditarik sang suami masuk ke dalam restoran. Dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti suaminya it
Joice turun dari mobil, dan melangkah terburu-buru masuk ke dalam mansion menuju kamar. Tentu saja, Marcel segera menyusul Joice yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Sejak di mana bertemu dengan Poppy—Joice memang terlihat masih marah. Padahal seharusnya Joice sudah tidak lagi marah padanya.“Joice, kau masih mendiamiku setelah aku memberikan penjelasan padamu?” Marcel masuk ke dalam kamar, mendekat pada Joice.“Aku ingin istirahat, Marcel. Tolong kau keluar.” Joice tetap bersikap dingin, dan acuh, meminta Marcel untuk keluar. Dia masih enggan untuk bicara dengan suaminya. Sekalipun, tadi dia sudah bertemu dengan Poppy—tetap saja dia masih kesal dan marah.Marcel berusaha bersabar menghadapi sang istri yang cemburu buta. Dia menarik tangan Joice—membuat tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapannya. Tampak Joice berontak di kala Marcel memeluknya dengan erat.“Marcel, lepaskan aku! Lepas!” Joice mendorong dada bidang Marcel.“Jika kau berontak, maka aku akan benar-benar b
“Mommy, Daddy, kami pulang.”Marvel, Janita, dan si bungsu—Maxime—menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tua mereka. Pun tentu Joice dan Marcel membalas pelukan tiga anak mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.Kemarin, kedua orang tua Marcel sudah kembali ke Milan. Namun, mereka tidak langsung mengembalikan Maxime. Yang mereka lakukan malah menjemput Marvel dan Janita untuk berjalan-jalan. Weekend terakhir, tak ingin diasia-siakan oleh kedua orang tua Marcel itu.Sekarang Marvel, Janita, dan Maxime dipulangkan, karena Marvel dan Janita akan masuk sekolah. Maxime juga dipulangkan, karena pastinya Marcel dan Joice sangatlah merindukan putra bungsu mereka.“Sayang Mommy. Ah, kalian baru pulang jalan-jalan. Pasti kalian happy.” Joice menciumi ketiga anaknya itu. Bergantian dengan Marcel yang kini menciumi tiga anaknya. “Mommy kami senang sekali diajak jalan-jalan Grandpa Mateo dan Grandma Miracle,” ucap Janita dengan riang gembira.Joice tersenyum mendengar apa yang dikatakan