Pasar pagi itu begitu ramai. Dena menggandeng tangan kedua anaknya sambil menawar harga sayur dan membeli sembako. Saat semua sudah terbeli, giliran Aurora yang sibuk menggandeng adiknya, karena ibu mereka sedang kesulitan membawa dua kantong besar belanjaan.
"Kita naik taksi, Bu?" Tanya Aurora dengan ceria. "Tidak, kita jalan saja." "Jauh!" Aurora mulai cemberut, tetapi Dena terus melangkah. Dia merasa wajib untuk sangat ketat berhemat. Keuangan mulai menipis, dan dia belum selesai merajut syal pesanan teman sekampusnya dulu, jadi pemasukan memang belum ada. Pernikahan dengan Hendra selama 8 tahun memang tidak menghasilkan harta gono gini. Rumah yang mereka tempati baru dicicil belum genap setahun, dan kini dikuasai Hendra. Perabot rumah juga tak ada yang mewah. Mobil yang dipakai Hendra juga milik kantor. Apa yang harus diperebutkan? Soal anak saja, Hendra menyerahkan pada Dena. Sebab Lolita katanya juga sedang bunting, jadi khawatir keguguran jika dipaksa mengurus anak tiri yang masih kecil-kecil. Akhirnya Dena hanya bisa menjual cincin dan kalung emas warisan almarhumah ibunya, agar dapat terus melanjutkan kehidupan bersama kedua anaknya. "Ibu, kapan rumah baru kita ada listriknya?" Dena melirik Aurora yang memegang permen lolipop sambil terus menggandeng Axio yang memeluk mobil kecil murah yang baru saja di beli di pasar. "Ibu juga tidak tahu," jawab Dena, saat mereka berdiri di depan rumah sewaan mereka. "Hei, ayo kita bermain!" Sesosok anak lelaki tiba-tiba meloncati pagar rumahnya yang pendek, sambil membawa sebuah helikopter kayu. Dia berlari ke sana kemari sambil membawa mainan itu, seakan terbang melaju. Aurora dan Axio menjerit-jerit mengikutinya dengan senang. Dena kebingungan melihat ketiga bocah itu berlari-lari dengan riang, seakan mereka telah lama mengenal. "Biarkan mereka bermain dengan Darren. Kau kan jadi bisa memasak dan membereskan rumah," teriak Maria, sambil duduk di teras rumahnya. "Terima kasih Bu," sahut Dena sambil tersenyum. Rasanya begitu lega ketika bisa memasak dan merapihkan rumah, saat anak-anak ada yang menjaga. Pak Samiran mengatakan, di lantai dasar rumahnya ada banyak stok minyak tanah. Jadi soal penerangan dan kompor, Dena tidak perlu khawatir. Dia tinggal rajin menambahkan minyak ke kompor dan lampu-lampu setiap hari. Maka usai memasak nasi, sayur dan menggoreng ayam, Dena bergegas membawa 3 lampu sambil menuruni tangga di bawah dapur untuk menambahkan minyak tanah, sesuai saran Pak Samiran. Ruangan lantai dasar yang gelap itu, diisi begitu banyak perabotan tua dan stok minyak tanah dalam drum-drum besar berkarat. Dena menyalakan salah satu lampu, sehingga bisa menuruni tangga dengan tenang. Lampu-lampu yang dipegangnya adalah lampu kuno. Berbentuk agak besar dengan beling yang menutupi api jika menyala. Lampu itu memiliki penutup seperti topi, juga memiliki pegangan sehingga mudah untuk tergantung saat dibawa. Bersama Pak Samiran, Dena pernah menuju bagian lantai dasar rumah itu. Saat itu, dia tak merasa begitu takut. Tetapi siang itu, dia sendirian. Jantungnya berdegup kencang saat melihat kondisi lantai dasar yang begitu gelap. Dena lalu meletakkan lampunya, untuk mulai mengisi minyak tanah dari sebuah tanki drum minyak tua. Ada banyak drum di sana, kata Pak Samiran, itu memang stok minyak semua. "Minyak dari kakek moyang dulu masih tersimpan dalam drum-drum tua yang bisa mengalir pada tangki. Kami tak pernah kesulitan penerangan meski tanpa listrik. Jadi jika PLN tidak bisa memasang listrik, rumah ini tak bakal pernah gelap," jelas Samiran. "Tapi mengapa rumah ini tak ikut terbakar saat itu, meski ada minyak tanah di lantai dasarnya? Bukankah seluruh rumah lain di sini pada saat itu musnah terbakar?" Pak Samiran mengangkat bahunya,"Mungkin keberuntungan saja. Namanya juga takdir." Kreeeekkkkk....... Dena mendadak menoleh. Lampu kemudian dia arahkan pada suara itu. Ternyata, ada sebuah lemari yang pintunya tiba-tiba terbuka. Dena tergesa mendekat, memperhatikan begitu banyak gaun-gaun indah tergantung di sana. Tapi seperti gaun-gaun bergaya Eropa lama, jadi mirip gaun-gaun pengantin jika dikenakan zaman kini. Dena hampir menutup kembali lemari itu, ketika dia tak sengaja melihat sesuatu yang tergeletak di bagian dasar lemari. Tangan Dena bergetar menarik bingkai besar panjang itu, dan lebih bergetar lagi saat dia mengarahkan lampu ke benda itu. Ternyata sebuah lukisan! Dena mengarahkan lampu minyak ke lukisan tersebut. "Oh, Tuhan!" Dena tiba-tiba melempar lukisan mengerikan itu. Gambar seorang wanita telanjang! Betul-betul seperti asli. Sehingga cukup memualkan untuk dipandang. Sungguh tak dibayangkannya ada wanita yang sudi dilukis dalam keadan tanpa busana. "Sakit jiwa! Itu yang melukis lebih sakit lagi, " gerutu Dena kesal, sebelum membawa semua lampu minyak tanah dan bergegas meninggalkan tempat itu."Ayo, makan!" Dena melambaikan tangan pada Aurora dan Axio yang ternyata malah sedang menikmati es krim di teras rumah Maria bersama Darren. "Keburu makan ini," sahut Maria, sambil mengangkat es krim coklatnya. "Waduh, tapi nanti tetap makan nasi ya? Awas!" Dena memandangi anaknya satu persatu dari jauh. Keduanya mengangguk, lalu mengikuti Darren menuju pohon di depan rumah. Mereka duduk bertiga di sana, sibuk tertawa dengan mulut penuh sisa es krim coklat yang juga menodai baju. "Jangan terlalu keras mendidik anak. Mereka masih kecil," nasehat Maria, saat Dena datang mendekat. Dena tersenyum," Tidak keras, bu. cuma menerapkan disiplin." "Oh, kalau itu bagus." "Bu, saya jadi penasaran dengan pemilik rumah terakhir. Cerita dong sedikit," Dena kemudian duduk di seberang Maria. "Oh, orang Belanda itu?" "Iya." "Apa mereka pelukis? Atau tipe orang yang suka lukisan?" Maria menggeleng, sambil menjilat es krimnya dengan nikmat, persis seperti anak kecil. "Suaminya dulu
"Tempat apa ini?!" Jerit Dena, saat Maria terus menarik kertas penutup dinding dengan ganas, sehingga makin terlihat gambar-gambar tak senonoh. Lampu di tangan Dena bergoyang-goyang, sesuai suasana hatinya yang tak karuan. "Dulu dia dikurung di ruang bawah ini, karena otaknya kotor. Setiap hari yang dia pikirkan hanya masalah seksual. Anak itu kecanduan untuk terus berhubungan intim dengan banyak perempuan," kata Maria, usai kelelahan mencabik kertas dinding."Siapa Bu?""Moksa kecil.""Pemilik rumah ini dulu?""Begitulah. Sebetulnya aku tak mengenalnya, cuma cerita dari Bibi Marce. Beliau juga tak tahu banyak, karena keluarganya Moksa sangat tertutup dulu. Setahuku, mereka datang ke rumah ini dengan membawa banyak rahasia. Salah satunya adalah tentang seorang anak lelaki yang kecanduan perempuan. Setiap malam Ayahnya memasukkan pelacur ke ruangan bawah tanah ini. Biar anaknya tidak mengamuk."Dena merinding,"Ih, ngerinya. Jadi, penunggu pertama rumah ini bukan Pak Moksa? Tetapi oran
"Sayuuuur.... sayuuuur...." Dena setengah mati berteriak menghentikan tukang sayur bersepeda itu. Tetapi pria itu malah terus menggenjot sepedanya seperti kesurupan. Malang, sepedanya malah hilang kendali dan dia jatuh terjungkal. Sayur mayur tampak berserakan keluar dari dua keranjang bambu. "Ya, Allah! Lagian kenapa ngebut sih, Pak? Saya kan mau beli sayur" kata Dena, sambil membantu tukang sayur itu mengumpulkan sayur mayur yang berserakan di jalan. "Maaf, bu. Saya pikir tadi ibu setan..." "Hah, setan?!" "Maaf, bu. Maaf..." Tukang sayur itu bangkit, lalu memperkenalkan diri. "Nama saya Pak Sanusi. Kawasan ini memang terkenal angker. Tak berpenghuni. Saya terpaksa lewat di sini, karena jalur ini paling cepat menuju ke rumah saya. Biar tidak terlambat untuk sholat maghrib di masjid." "Tuh, Bapak tiap hari lewat sini. Kan tidak ada apa-apa. Saya penghuni baru di sini, baru menyewa rumah itu!" Dena menunjuk tempat tinggalnya, di mana Aurora dan Axio tampak baru keluar rumah d
Malam itu, semua aman. Dena mengunci rapat pintu, sementara tirai menutup pemandangan kaca jendela. Aurora dan Axio mulai mengantuk usai makan malam, lalu Dena membawa mereka ke lantai atas untuk tidur di kamar masing-masing. Barulah dia bisa beristirahat sambil memperhatikan buku-buku yang berderet di ruang perpustakaan. Ruang itu, tidak terlalu besar. Namun begitu banyak buku-buku lama. Sebagian buku ternyata tentang sejarah-sejarah kuno atau peradaban silam. Dena bukan orang yang suka membaca, jadi dia malas untuk memeriksa buku-buku itu lebih jauh. Tetapi, Dena lebih tertarik dengan lukisan Dewa dan Dewi Hindu yang tergantung di dinding ruangan itu. Dena tak memahami tentang Hindu, maka dia cuma memandang lurus kedua lukisan itu. Apa Moksa dulu penganut Hindu? Pikirnya. Sebab keluarga Van der Mosch kata Pak Samiran adalah keluarga Nasrani. Dena menghela nafas, lalu duduk di kursi ruang perpustakaan itu. Sementara tangannya menempel di meja. Lampu minyak yang dibawanya diletak
Dena menghela nafas, kepalanya masih pusing. Terbangun pagi buta, dengan tubuh nyaris beku tergeletak di atas rumput penuh embun, tepat di depan pintu belakang rumah. Tak ada siapapun di sana, namun suara adzan lantang menggema. Dena bangkit kebingungan, lalu membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Lalu, dimana pria itu semalam? Lampu minyak masih ada di lantai, tetap menyala. Dia bergerak melangkah untuk melongok ke arah lantai dasar, tetap saja gelap disana. Dena kembali menuju pintu belakang, memandangi halaman belakang yang sunyi senyap. Tak ada api unggun, tadi penari yang menari dengan alunan gamelan. Apalagi anak-anak kecil menyeramkan. Tak terlihat seorangpun!. "Anakku! Oyaaa... Ciyooo...." Dena berlari sekuat tenaga memasuki rumah, lanjut bergegas naik tangga. Diperiksanya kamar kedua anaknya dengan cemas. Alhamdulilah, Aurora dan Axio ternyata masih tertidur lelap. Semua ternyata baik-baik saja. Baru setelah sedikit tenang, Dena bisa mandi dan berganti pakaian.
Siang itu nampak redup. Meski tak hujan. Aurora dan Axio tertidur di kamarnya masing-masing. Dena baru selesai mencuci piring, dan iseng melihat halaman belakang dari kaca pintu. Semua sepi. Hanya lokasi berumput yang dikelilingi tembok tinggi. Sementara tanaman dari luar tembok seperti bambu, kelapa dan beringin, tampak terlihat ujung-ujungnya saja. Menurut Maria, lokasi halaman belakang itu adalah tempat Gayatri mengajar menari kepada banyak anak-anak. Termasuk anak-anak tetangganya. Suara gamelan, adalah iringan anggota grup Gayatri, para pria tua penabuh alat musik itu yang sering berkeliling mengikuti Si Penari pentas. Nama Gayatri sangat terkenal sebagai penari bertopeng yang bertubuh indah menggiurkan. Suatu hari, Moksa yang mulai terlihat normal usai sering diobati ke dukun, mendadak kembali tak mampu menahan hasrat, saat melihat wanita itu di atas pentas. Pemuda itu lalu menunggu Gayatri di balik panggung, lalu menawari untuk mengantarnya pulang. Gayatri bukan penari biasa
"Tidak ada masalah dengan powerbank anda, Mbak. Lihatlah, di sini masih menyala sempurna," pemilik counter ponsel tersebut tersenyum, sambil menunjukkan barang yang dimaksud. Dena memperhatikan powerbank tersebut. Lampunya menyala! Padahal tidak di-charge. Bagaimana mungkin di rumahnya justru mati? Ponselnya juga tidak kehabisan baterai. Bisa digunakan. Lalu dia cepat menelepon Lastri, teman sekampusnya dulu yang katanya ingin membeli karya hasil rajutannya. "Jadi kapan kau kirim, Den?" tanya Lastri di ujung telepon sana, dia mengaku sedang sibuk menerima tamu karena anaknya baru saja menenangkan kontes kecantikan balita. Lalu dia menggelar pengajian dan menyantuni anak yatim dan kaum dhuafa di rumahnya yang mewah. Lastri memang salah satu kembang kampus dulu, wajar kecantikan itu menurun pada anaknya. Dena juga termasuk primadona kampus saat itu, tetapi nasibnya tidak semanis Lastri yang dipersunting pria kaya yang setia. Nasib Dena berbanding terbalik. Sudah suaminya hidup kekura
Denna seperti terbang saat menuju ke rumah Maria. Dari pasar, dia berlari kencang. Cerita Cici Meri membuatnya begitu risau. Apalagi ketika dia terlanjur menitipkan Aurora dan Axio ke rumah tetangganya tersebut. "Mereka sedang tidur siang bersama Darren. Mengapa kau sepucat ini?" tanya Maria, saat membuka pintu untuk Dena.Dena menghela nafas lega. Menyesal dia telah berpikiran buruk terhadap tetangganya itu. Sebab cerita Ci Meri seakan begitu mirip dengan..."Masuklah ke ruang keluarga. Mereka semua tertidur pulas, termasuk Darren. Aku mau membeli sesuatu di pasar."Dena memasuki rumah itu untuk pertama kalinya. Selama ini dia hanya duduk di teras depan saja jika berkunjung. Bentuk rumah itu seperti rumah campuran beton dan kayu pada umumnya. Keduanya saling mengisi esensi tampilan ruang, sehingga tidak menimbulkan kesan membosankan. Kayu-kayu jati itu dibiarkan coklat alami, menghias lantai dan sebagian ornamen pada dinding. Sejak pintu masuk, ruangan terasa seperti hanya terdiri
Karel sesaat memandangi Kiki dan kedua staf Humas itu dengan tajam. Dia butuh waktu untuk menjelaskan. "Secara kebetulan," lanjutnya. "Satu hari sebelum menghilangnya Mbak Centini, ada petugas polisi di Kapolsek yang dipimpin Pak Sangiran, masih mengingat wajah wanita dalam video ini, yang mereka katakan sebagai 'keluarga Kapolsek yang terganggu jiwa dan ngamuk di Polsek'. Lalu dibawa Si Kapolsek pergi dengan mobil dinasnya dalam kondisi tangan terborgol dan mulut dilakban...""Oh, Tuhan!" Kiki dan kedua stafnya kompak berteriak sambil menutup mulut mereka. Karel menghela nafas dan langsung bangkit dari duduknya. "Saya akan melaporkan kasus ini ke Polda, dan saya berharap pihak Rajawali Air dapat turut membantu saya untuk itu. Kapolsek Sangiran saya perkirakan juga sudah berusaha membunuh Ibu Inoy, klien saya, karena beliau memiliki video-video ini sebagai barang bukti..."***Julianna tertegun di hadapan wanita tua itu. Sejak pagi dia datang ke rumah besar tersebut, malah Maria di
"Pinter, sih iya." Prana terkenang ucapan Triman. "Ayu sih ndak ya... udah perawan tua juga... tapi kok ya bisa nyangkut ke pasiennya yang kurang waras?"Prana mengangguk bingung,"Agak ganjil juga."Triman tertawa serak,"Itu mungkin karena nafsu toh? Wong Mas Ostin memang ganteng tenan iku! Saya juga kalo dadi wong wedhok, yo mesti ikut naksir. Anaknya memang masih kelihatan bocah, tapi tinggi tubuhnya. Sifatnya juga ramah, memang bikin jatuh hati kaum wanita. Cuma memang saya sering dapati, dia itu suka memamerkan kelaminnya ke pasien wanita ..."Prana mengendarai mobilnya menuju Kawasan Hitam. Dia telah berjanji kepada Syahreza dan Zulfan, untuk tiba di sana sebelum jam makan siang. Sementara Ustadz Hanif tidak bisa datang segera karena harus menjaga Samiran di rumah sakit, dia berjanjian datang saat Ashar setelah berganti tugas jaga dengan Pak Salam, salah satu pengurus masjid.Sebentar lagi, ritual permainan Hoom Pim Pah akan digelar Sukemi. Julianna memastikan datang, meski belu
Prana menghela nafas, dan lebih menghela nafas lagi saat bertemu Dokter Ginaryo Sp.KJ. Dokter itu dengan ramah mempersilahkannya untuk berbincang di ruang kerjanya. Mereka bercakap cukup panjang, hingga terbongkar banyak hal."Saya menangani pasien Austin itu, justru setelah sekitar 5 tahunan dia telah menghuni rumah sakit ini. Dokter pertama yang menanganinya adalah Dokter Emilia, yang meninggal waktu itu, jadi saya yang lanjut menangani Austin. Anak muda itu memang sulit dilupakan. Terutama karena fisiknya yang berbeda dari yang lain. Dia sangat tampan, bule. Bahkan sering jadi rebutan pasien-pasien wanita di RSJ ini. Jangankan dia, ada saja petugas wanita yang juga sempat naksir...""Seperti apa kondisi Austin waktu dokter tangani?""Saya menangani Austin sekitar tahun 2005, ya... saya melihat kondisinya saat itu masih tidak begitu baik. Sering kabur dari rumah sakit, dan ditemukan petugas selalu senang berjalan-jalan sendirian tengah malam, tanpa alas kaki. Pokoknya kalau ditemuka
Aku menikahi Gayatri, tapi perjalanan "rumah tanggaku" yang sebenarnya, justru bersama Marce Si Tetangga Sebelah. Hal inilah yang membuat Austin memohon permintaan kepada Shumb Si Raja Iblis. Dia ingin agar kami bertiga bersatu menjadi keluarga utuh. "Bapak berhak hidup bahagia tanpa harus terus berpura-pura dalam pernikahan hampa. Austin ingin Bapak dan Mami bersatu selamanya, dalam pernikahan yang sah. Mami sangat menyayangi Austin, Pak. Dan pernahkah Mami juga mengecewakan hidup Bapak? Pernahkah Mami membunuh wanita-wanita yang membuat Bapak lupa untuk mengunjungi Mami di rumah? Jika Gayatri adalah Mami Marce, mungkin saat itu, Ibu Austin... Lovina... tidak akan tersiksa sampai mati...."Kalimat panjang anak itu, seakan menyadarkan aku betapa pentingnya ketulusan cinta. Ketulusan itu ternyata tidak hanya tentang harus selalu bersama, tetapi hanya butuh saling mengerti. Marce pernah mengatakan, dia tak sanggup marah saat aku selalu menyelingkuhinya."Karena aku tahu, aku bukan siap
Austin tumbuh dengan fisik sempurna. Ya, semakin mirip aku. Jauh berbeda dari Kalungga dan Turangga, yang wujudnya mirip Gayatri. Itulah sebabnya, aku sangat menyayangi Austin. Dia bebas bermain di rumahku kapan saja, tanpa Gayatri berani mengusirnya. Aku berikan apa saja yang dia mau, yang dia suka. Semua!Dia anak yang baik, juga berprestasi di sekolah. Marce ternyata sangat pandai mengurus anak rupawan itu, sebab semua orang menyukai kepribadiannya. Austin juga pandai melukis dan memahat sepertiku, sebab itu, dia kuizinkan untuk memasuki Ruangan Rahasia di Bawah Tanah.Ini adalah tempat yang tidak sengaja ditemukan Romo, saat sedang membuat ruangan lantai dasar, serta membuat makam. Ruangan aneh itu begitu besar, dengan dua patung raksasa. Romo sering melakukan semedi di tempat itu, jika sedang merasa gundah. "Ini sebenarnya pernah jadi tempat pemujaan iblis, mungkin sekian abad silam" kata Romo, saat membawaku ke sana, waktu kami baru saja menguburkan Kadita."Siapa itu, Romo?" T
Semula, aku mengira, berumahtangga itu sama seperti aku pernah melukis tubuh telanjang Kadita yang memesona. Asal kita suka melakukannya, meski itu sulit, pastinya bisa dapat diwujudkan juga. Tetapi nyatanya, pernikahan tidak seperti itu. Menikahi wanita bukan hanya untuk cuma bisa tersalurkan urusan kebutuhan biologis, punya anak, tidak cerai dan dianggap normal oleh masyarakat. Bukan itu!Aku menikahi Gayatri, yang tak pernah aku cintai. Aku bahkan tidak menerima segala kekurangannya. Bahkan aku tidak mengizinkan dia membuka topengnya, saat kami bersetubuh. Aku tak ingin gairahku memudar melihat wajahnya yang tak membangkitkan selera itu. Aku selalu membayangkan, jika dibalik topeng itu ada wanita berparas ayu rupawan, dan bukan pastinya itu bukan Gayatri!Dan ternyata, wanita itu juga tidak subur. Meski setiap malam kugagahi, dia tak kunjung bunting. Tapi sulit menuduhnya mandul, sebab dia pernah kawin dan punya anak sebelumnya. Aku juga, tidak ingin dituduh tidak subur! Inilah ya
Semua orang tahu, jika Mintje Molina hanyalah anak Jans Pietter dari seorang gundiknya, yang bernama Nyai Midah. Sebab itu, meski aku mendapat gelar bangsawan dari Bapak, beliau tidak merasa ada alasan bagiku untuk tidak mau jadi Belanda."Manson Jans Pietter, kamu itu Belanda. Darah Eropa menetes di tubuhmu. Persetan soal priyayi, itu juga pribumi. Derajat mereka itu, di bawah kita..." kata Mami suatu kali, saat aku menolak untuk dipanggil Manson Jans Pietter."Jika Mami merasa tidak sederajat, mengapa menikahi Romo?"Saat itu, aku hanya melihat Mientje Molina hanya membuang muka. Di kemudian hari aku tahu, ternyata memang tak ada satupun orang Belanda, ras Eropa lainnya, atau siapalah yang dianggap Mami derajatnya jauh lebih tinggi, bersedia menikahi seorang anak Nyai yang pernah sempat melacurkan diri demi sesuap nasi, setelah Bapak Belandanya mati. Romo mengangkat derajat wanita itu, tapi dia tidak pernah berterima kasih.Bahkan Mami mencoba meninggalkannya demi pria Cina kaya. Ya
Prana menepuk halus pundak Samiran, dia khawatir pria itu akan tambah sakit jika bicara. Tapi Samiran tidak mau berhenti."Muntarso ingin mengusai harta rumah itu dengan menikahi Gayatri, sebab itu dia membunuh Pak Moksa dengan meracunnya. Bu Gayatri tidak tahu. Wanita itu juga tidak tahu, jika kecelakaan mobil yang dialami Kalungga dan Turangga juga karena sabotase Muntarso. Tapi mobil yang pernah dibawa Muntarso untuk meneror kedua orang itu sebelumnya, juga kelak malah kemudian terbalik dan terbakar...""Dia pernah membakar orang, bukan?"Samiran memandang sedih ke arah Prana,"Saya juga. Mungkinkah akan terjadi hal yang sama?"Prana menggeleng, lalu kembali menepuk halus pundak pria itu."Bapak orang yang sudah berusaha menjadi baik...""Saya tidak tahu apakah Tuhan akan memaafkan saya. Sebab saya terlalu bodoh dan patuh kepada sesama manusia. Sebelum mati, Bu Gayatri berpesan agar saya menjaga dan jiwanya dari gangguan jiwa lain yang juga terjebak di rumah itu. Sebab itu setiap 20
Samiran masih tampak lemah, tapi dia tahu, kehadiran kedua pria di depannya memang telah ditunggunya. Prana, yang membawa Syahreza temannya, diyakini Samiran dapat segera menuntaskan segala masalah."Kami ingin bertanya tentang Austin, Pak. Sebentar saja," kata Prana.Perlahan, Samiran mulai memejamkan matanya. Dia bersyukur, kini nafasnya tidak lagi sesak sehingga bisa bicara."Ada yang sedikit rancu tentang Austin anak Lovina. Dia sebenarnya sudah ada sebelum saya dibawa Muntarso ke sana.""Austin sudah lahir?""Sudah besar malah. Saat saya masuk ke sana, Austin jelas lebih tua dari saya.""Kalau Lovina?""Usia Lovina saat hamil, juga jauh berbeda dengan Kalungga dan Turangga, 13 tahun. Kalau dua anak itu, sekitar usia 3 dan 1 tahun waktu Lovina mati. Dia itu diasuh Bu Gayatri dari bayi, sebagai anak pancingan biar cepat hamil. Saya tahu cerita itu juga dari Muntarso. Kasus kematian Lovina terjadi, itu jauh dari kasus Tumini mati. Sebelum itu, Lovina adalah korban Moksa pertama seb