Share

5: Gambar Aneh

"Ayo, makan!"

Dena melambaikan tangan pada Aurora dan Axio yang ternyata malah sedang menikmati es krim di teras rumah Maria bersama Darren.

"Keburu makan ini," sahut Maria, sambil mengangkat es krim coklatnya.

"Waduh, tapi nanti tetap makan nasi ya? Awas!" Dena memandangi anaknya satu persatu dari jauh.

Keduanya mengangguk, lalu mengikuti Darren menuju pohon di depan rumah. Mereka duduk bertiga di sana, sibuk tertawa dengan mulut penuh sisa es krim coklat yang juga menodai baju.

"Jangan terlalu keras mendidik anak. Mereka masih kecil," nasehat Maria, saat Dena datang mendekat.

Dena tersenyum," Tidak keras, bu. cuma menerapkan disiplin."

"Oh, kalau itu bagus."

"Bu, saya jadi penasaran dengan pemilik rumah terakhir. Cerita dong sedikit," Dena kemudian duduk di seberang Maria.

"Oh, orang Belanda itu?"

"Iya."

"Apa mereka pelukis? Atau tipe orang yang suka lukisan?"

Maria menggeleng, sambil menjilat es krimnya dengan nikmat, persis seperti anak kecil.

"Suaminya dulu pengajar bahasa Belanda. Istrinya perias pengantin. Kalau anak-anaknya sih sudah pada remaja. Ada Zeta, Juliana dan Minna. Lebih besar dari Darren. Sepertinya tidak ada yang jadi pelukis."

Dena mengangguk-angguk, "Lukisan itu wujud ekspresi seni yang mahal. Saya mengagumi cara seniman menjabarkan kegelisan hatinya. Saya suka lukisan apa pun, asal terlihat sopan."

Maria terkekeh,"Mana bisa kita atur-atur seniman. Mereka punya hak personal untuk berkarya."

"Betul juga, sih."

"Kita yang mengagumi karya seniman juga punya hak untuk memilih, mana yang mau kita lihat atau tidak."

,

"Semua orang punya hak."

"'Benar, dan kita hanya bisa saling menghormati."

"Kalau yang punya rumah, atau penghuni pertama di sini dulu, ibu tahu?"

"Pak Moksa? Waduh, kurang tahu juga. Kita tidak begitu kenal, dia jarang keluar. Tetapi istrinya saya tahu, Bu Gayatri. Beliau penari dulunya. Anak mereka ada dua, Kalungga dan Turangga. Masih kecil-kecil itu waktu terjadi peristiwa kebakaran itu."

"Kalau usia ibu saat itu?"

"Saya juga waktu itu masih sebesar Aurora, dan jarang mengunjungi rumah Bibi di sini. Justru Bibi yang rajin ke rumah kami, sebab itu pas waktu peristiwa kebakaran pertama itu, Bibi selamat. Karen lagi sedang di rumah kita sama Austin."

"Lalu bagaimana dengan peristiwa kebakaran kedua?"

Maria mulai tergesa mengelap mulutnya dengan tisu, sebelum memandang Dena.

"Bibi Marce, punya anak yang sedikit aneh. Si Austin itu! Dia suka membakar sesuatu kalau sedang marah. Suatu hari, dia membakar kertas, dan habislah rumah. Tapi untung semuanya selamat. Huh, dasar itu bocah!"

"Apa... apa anak Bibinya Bu Maria itu, maaf... agak terganggu?"

"Gila maksudnya?" Maria melotot. "Dia memang agak tolol, tapi keluarga kami tak ada yang gila!"

"Maaf..." Dena jadi salah tingkah.

"Austin tidak gila. Cuma emosinya tidak stabil saja kadang, sejak putus cinta. Tolol kan?"

"Putus cinta?"

"Cerita remaja galau. Dulu dia pacaran sama si Minna, anak Belanda itu. Tapi si bapaknya melarang keras."

"Dilarang kenapa?"

"Sudahlah, jangan dibicarakan. Austin juga sudah lama mati, menyusul Bibi Marce."

"Oh, maafkan saya jadi banyak bertanya. Soalnya saya menemukan lukisan seorang perempuan di lantai dasar."

"Mungkin itu lukisan Gayatri, atau istri dari orang Belanda itu. Seperti apa wujud perempuan dalam lukisan itu?"

"Cantik sekali. Seperti gadis muda belia."

"Oh, berarti bukan Gayatri. Wanita itu, baik wajah dan hatinya sama buruknya. Sama seperti suaminya Si Moksa yang angkuh itu. Tetapi setidaknya, Moksa baik dengan Bibi Marce. Tapi Si Gayatri itu, selalu memusuhi Bibi saya. Mungkin iri, karena Bibi saya kan cantik!"

"Berarti bukan Bu Gayatri?"

"Bukan pasti."

"Istri orang Belanda?"

"Maminya Zeta? Si Zarina? Mungkin saja. Tapi Zarina tidak terlalu cantik juga dan sudah tua."

"Lukisan itu... lukisan wanita telanjang, Bu!"

"Apa?!"

"Iya, Bu."

"Bakar! Bakar lukisan itu!"

"Hah?!"

"Itu lukisan pembawa bencana!"

Maria tiba-tiba melempar es krimnya, dan bangkit berlari memasuki rumah sewaan Dena. Sementara Dena hanya bisa mengikutinya dengan kebingungan.

"Jangan sampai ada pria yang melihat lukisan itu! Itu lukisan iblis! Cepat tunjukkan di mana lukisan itu!"

Kini, giliran Dena yang berlari duluan. Dia menyambar lampu yang masih menyala untuk bergerak menuju lantai dasar rumah. Maria ikut bergegas menyusul di belakangnya.

"Lukisannya hilang, Bu!" Teriak Dena, saat dia tak melihat lukisan itu lagi. Padahal tadinya tergeletak tak jauh dari lemari. Dena sudah berusaha mencari, tetapi lukisan itu benar-benar lenyap.

"Hmm... rupanya ini adalah ruangan rahasia itu!"

Dena menoleh pada Maria yang nampak sibuk menarik-narik kertas dinding pada ruangan lantai dasar tersebut. Perlahan, Dena mengarahkan lampu pada dinding-dinding suram yang kini sudah tanpa wallpaper lagi itu.

"Astaghfirullah..."

Dena menutup mulutnya. Lututnya seakan begitu lemah dan gemetaran. Dia tak sanggup untuk memandang gambar-gambar mengerikan di dinding itu. Sangat menakutkan. Semuanya lukisan wanita telanjang dengan pose seksi menantang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status