"Ayo, makan!"
Dena melambaikan tangan pada Aurora dan Axio yang ternyata malah sedang menikmati es krim di teras rumah Maria bersama Darren. "Keburu makan ini," sahut Maria, sambil mengangkat es krim coklatnya. "Waduh, tapi nanti tetap makan nasi ya? Awas!" Dena memandangi anaknya satu persatu dari jauh. Keduanya mengangguk, lalu mengikuti Darren menuju pohon di depan rumah. Mereka duduk bertiga di sana, sibuk tertawa dengan mulut penuh sisa es krim coklat yang juga menodai baju. "Jangan terlalu keras mendidik anak. Mereka masih kecil," nasehat Maria, saat Dena datang mendekat. Dena tersenyum," Tidak keras, bu. cuma menerapkan disiplin." "Oh, kalau itu bagus." "Bu, saya jadi penasaran dengan pemilik rumah terakhir. Cerita dong sedikit," Dena kemudian duduk di seberang Maria. "Oh, orang Belanda itu?" "Iya." "Apa mereka pelukis? Atau tipe orang yang suka lukisan?" Maria menggeleng, sambil menjilat es krimnya dengan nikmat, persis seperti anak kecil. "Suaminya dulu pengajar bahasa Belanda. Istrinya perias pengantin. Kalau anak-anaknya sih sudah pada remaja. Ada Zeta, Juliana dan Minna. Lebih besar dari Darren. Sepertinya tidak ada yang jadi pelukis." Dena mengangguk-angguk, "Lukisan itu wujud ekspresi seni yang mahal. Saya mengagumi cara seniman menjabarkan kegelisan hatinya. Saya suka lukisan apa pun, asal terlihat sopan." Maria terkekeh,"Mana bisa kita atur-atur seniman. Mereka punya hak personal untuk berkarya." "Betul juga, sih." "Kita yang mengagumi karya seniman juga punya hak untuk memilih, mana yang mau kita lihat atau tidak." , "Semua orang punya hak." "'Benar, dan kita hanya bisa saling menghormati." "Kalau yang punya rumah, atau penghuni pertama di sini dulu, ibu tahu?" "Pak Moksa? Waduh, kurang tahu juga. Kita tidak begitu kenal, dia jarang keluar. Tetapi istrinya saya tahu, Bu Gayatri. Beliau penari dulunya. Anak mereka ada dua, Kalungga dan Turangga. Masih kecil-kecil itu waktu terjadi peristiwa kebakaran itu." "Kalau usia ibu saat itu?" "Saya juga waktu itu masih sebesar Aurora, dan jarang mengunjungi rumah Bibi di sini. Justru Bibi yang rajin ke rumah kami, sebab itu pas waktu peristiwa kebakaran pertama itu, Bibi selamat. Karen lagi sedang di rumah kita sama Austin." "Lalu bagaimana dengan peristiwa kebakaran kedua?" Maria mulai tergesa mengelap mulutnya dengan tisu, sebelum memandang Dena. "Bibi Marce, punya anak yang sedikit aneh. Si Austin itu! Dia suka membakar sesuatu kalau sedang marah. Suatu hari, dia membakar kertas, dan habislah rumah. Tapi untung semuanya selamat. Huh, dasar itu bocah!" "Apa... apa anak Bibinya Bu Maria itu, maaf... agak terganggu?" "Gila maksudnya?" Maria melotot. "Dia memang agak tolol, tapi keluarga kami tak ada yang gila!" "Maaf..." Dena jadi salah tingkah. "Austin tidak gila. Cuma emosinya tidak stabil saja kadang, sejak putus cinta. Tolol kan?" "Putus cinta?" "Cerita remaja galau. Dulu dia pacaran sama si Minna, anak Belanda itu. Tapi si bapaknya melarang keras." "Dilarang kenapa?" "Sudahlah, jangan dibicarakan. Austin juga sudah lama mati, menyusul Bibi Marce." "Oh, maafkan saya jadi banyak bertanya. Soalnya saya menemukan lukisan seorang perempuan di lantai dasar." "Mungkin itu lukisan Gayatri, atau istri dari orang Belanda itu. Seperti apa wujud perempuan dalam lukisan itu?" "Cantik sekali. Seperti gadis muda belia." "Oh, berarti bukan Gayatri. Wanita itu, baik wajah dan hatinya sama buruknya. Sama seperti suaminya Si Moksa yang angkuh itu. Tetapi setidaknya, Moksa baik dengan Bibi Marce. Tapi Si Gayatri itu, selalu memusuhi Bibi saya. Mungkin iri, karena Bibi saya kan cantik!" "Berarti bukan Bu Gayatri?" "Bukan pasti." "Istri orang Belanda?" "Maminya Zeta? Si Zarina? Mungkin saja. Tapi Zarina tidak terlalu cantik juga dan sudah tua." "Lukisan itu... lukisan wanita telanjang, Bu!" "Apa?!" "Iya, Bu." "Bakar! Bakar lukisan itu!" "Hah?!" "Itu lukisan pembawa bencana!" Maria tiba-tiba melempar es krimnya, dan bangkit berlari memasuki rumah sewaan Dena. Sementara Dena hanya bisa mengikutinya dengan kebingungan. "Jangan sampai ada pria yang melihat lukisan itu! Itu lukisan iblis! Cepat tunjukkan di mana lukisan itu!" Kini, giliran Dena yang berlari duluan. Dia menyambar lampu yang masih menyala untuk bergerak menuju lantai dasar rumah. Maria ikut bergegas menyusul di belakangnya. "Lukisannya hilang, Bu!" Teriak Dena, saat dia tak melihat lukisan itu lagi. Padahal tadinya tergeletak tak jauh dari lemari. Dena sudah berusaha mencari, tetapi lukisan itu benar-benar lenyap. "Hmm... rupanya ini adalah ruangan rahasia itu!" Dena menoleh pada Maria yang nampak sibuk menarik-narik kertas dinding pada ruangan lantai dasar tersebut. Perlahan, Dena mengarahkan lampu pada dinding-dinding suram yang kini sudah tanpa wallpaper lagi itu. "Astaghfirullah..." Dena menutup mulutnya. Lututnya seakan begitu lemah dan gemetaran. Dia tak sanggup untuk memandang gambar-gambar mengerikan di dinding itu. Sangat menakutkan. Semuanya lukisan wanita telanjang dengan pose seksi menantang."Tempat apa ini?!" Jerit Dena, saat Maria terus menarik kertas penutup dinding dengan ganas, sehingga makin terlihat gambar-gambar tak senonoh. Lampu di tangan Dena bergoyang-goyang, sesuai suasana hatinya yang tak karuan. "Dulu dia dikurung di ruang bawah ini, karena otaknya kotor. Setiap hari yang dia pikirkan hanya masalah seksual. Anak itu kecanduan untuk terus berhubungan intim dengan banyak perempuan," kata Maria, usai kelelahan mencabik kertas dinding."Siapa Bu?""Moksa kecil.""Pemilik rumah ini dulu?""Begitulah. Sebetulnya aku tak mengenalnya, cuma cerita dari Bibi Marce. Beliau juga tak tahu banyak, karena keluarganya Moksa sangat tertutup dulu. Setahuku, mereka datang ke rumah ini dengan membawa banyak rahasia. Salah satunya adalah tentang seorang anak lelaki yang kecanduan perempuan. Setiap malam Ayahnya memasukkan pelacur ke ruangan bawah tanah ini. Biar anaknya tidak mengamuk."Dena merinding,"Ih, ngerinya. Jadi, penunggu pertama rumah ini bukan Pak Moksa? Tetapi oran
"Sayuuuur.... sayuuuur...." Dena setengah mati berteriak menghentikan tukang sayur bersepeda itu. Tetapi pria itu malah terus menggenjot sepedanya seperti kesurupan. Malang, sepedanya malah hilang kendali dan dia jatuh terjungkal. Sayur mayur tampak berserakan keluar dari dua keranjang bambu. "Ya, Allah! Lagian kenapa ngebut sih, Pak? Saya kan mau beli sayur" kata Dena, sambil membantu tukang sayur itu mengumpulkan sayur mayur yang berserakan di jalan. "Maaf, bu. Saya pikir tadi ibu setan..." "Hah, setan?!" "Maaf, bu. Maaf..." Tukang sayur itu bangkit, lalu memperkenalkan diri. "Nama saya Pak Sanusi. Kawasan ini memang terkenal angker. Tak berpenghuni. Saya terpaksa lewat di sini, karena jalur ini paling cepat menuju ke rumah saya. Biar tidak terlambat untuk sholat maghrib di masjid." "Tuh, Bapak tiap hari lewat sini. Kan tidak ada apa-apa. Saya penghuni baru di sini, baru menyewa rumah itu!" Dena menunjuk tempat tinggalnya, di mana Aurora dan Axio tampak baru keluar rumah d
Malam itu, semua aman. Dena mengunci rapat pintu, sementara tirai menutup pemandangan kaca jendela. Aurora dan Axio mulai mengantuk usai makan malam, lalu Dena membawa mereka ke lantai atas untuk tidur di kamar masing-masing. Barulah dia bisa beristirahat sambil memperhatikan buku-buku yang berderet di ruang perpustakaan. Ruang itu, tidak terlalu besar. Namun begitu banyak buku-buku lama. Sebagian buku ternyata tentang sejarah-sejarah kuno atau peradaban silam. Dena bukan orang yang suka membaca, jadi dia malas untuk memeriksa buku-buku itu lebih jauh. Tetapi, Dena lebih tertarik dengan lukisan Dewa dan Dewi Hindu yang tergantung di dinding ruangan itu. Dena tak memahami tentang Hindu, maka dia cuma memandang lurus kedua lukisan itu. Apa Moksa dulu penganut Hindu? Pikirnya. Sebab keluarga Van der Mosch kata Pak Samiran adalah keluarga Nasrani. Dena menghela nafas, lalu duduk di kursi ruang perpustakaan itu. Sementara tangannya menempel di meja. Lampu minyak yang dibawanya diletak
Dena menghela nafas, kepalanya masih pusing. Terbangun pagi buta, dengan tubuh nyaris beku tergeletak di atas rumput penuh embun, tepat di depan pintu belakang rumah. Tak ada siapapun di sana, namun suara adzan lantang menggema. Dena bangkit kebingungan, lalu membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Lalu, dimana pria itu semalam? Lampu minyak masih ada di lantai, tetap menyala. Dia bergerak melangkah untuk melongok ke arah lantai dasar, tetap saja gelap disana. Dena kembali menuju pintu belakang, memandangi halaman belakang yang sunyi senyap. Tak ada api unggun, tadi penari yang menari dengan alunan gamelan. Apalagi anak-anak kecil menyeramkan. Tak terlihat seorangpun!. "Anakku! Oyaaa... Ciyooo...." Dena berlari sekuat tenaga memasuki rumah, lanjut bergegas naik tangga. Diperiksanya kamar kedua anaknya dengan cemas. Alhamdulilah, Aurora dan Axio ternyata masih tertidur lelap. Semua ternyata baik-baik saja. Baru setelah sedikit tenang, Dena bisa mandi dan berganti pakaian.
Siang itu nampak redup. Meski tak hujan. Aurora dan Axio tertidur di kamarnya masing-masing. Dena baru selesai mencuci piring, dan iseng melihat halaman belakang dari kaca pintu. Semua sepi. Hanya lokasi berumput yang dikelilingi tembok tinggi. Sementara tanaman dari luar tembok seperti bambu, kelapa dan beringin, tampak terlihat ujung-ujungnya saja. Menurut Maria, lokasi halaman belakang itu adalah tempat Gayatri mengajar menari kepada banyak anak-anak. Termasuk anak-anak tetangganya. Suara gamelan, adalah iringan anggota grup Gayatri, para pria tua penabuh alat musik itu yang sering berkeliling mengikuti Si Penari pentas. Nama Gayatri sangat terkenal sebagai penari bertopeng yang bertubuh indah menggiurkan. Suatu hari, Moksa yang mulai terlihat normal usai sering diobati ke dukun, mendadak kembali tak mampu menahan hasrat, saat melihat wanita itu di atas pentas. Pemuda itu lalu menunggu Gayatri di balik panggung, lalu menawari untuk mengantarnya pulang. Gayatri bukan penari biasa
"Tidak ada masalah dengan powerbank anda, Mbak. Lihatlah, di sini masih menyala sempurna," pemilik counter ponsel tersebut tersenyum, sambil menunjukkan barang yang dimaksud. Dena memperhatikan powerbank tersebut. Lampunya menyala! Padahal tidak di-charge. Bagaimana mungkin di rumahnya justru mati? Ponselnya juga tidak kehabisan baterai. Bisa digunakan. Lalu dia cepat menelepon Lastri, teman sekampusnya dulu yang katanya ingin membeli karya hasil rajutannya. "Jadi kapan kau kirim, Den?" tanya Lastri di ujung telepon sana, dia mengaku sedang sibuk menerima tamu karena anaknya baru saja menenangkan kontes kecantikan balita. Lalu dia menggelar pengajian dan menyantuni anak yatim dan kaum dhuafa di rumahnya yang mewah. Lastri memang salah satu kembang kampus dulu, wajar kecantikan itu menurun pada anaknya. Dena juga termasuk primadona kampus saat itu, tetapi nasibnya tidak semanis Lastri yang dipersunting pria kaya yang setia. Nasib Dena berbanding terbalik. Sudah suaminya hidup kekura
Denna seperti terbang saat menuju ke rumah Maria. Dari pasar, dia berlari kencang. Cerita Cici Meri membuatnya begitu risau. Apalagi ketika dia terlanjur menitipkan Aurora dan Axio ke rumah tetangganya tersebut. "Mereka sedang tidur siang bersama Darren. Mengapa kau sepucat ini?" tanya Maria, saat membuka pintu untuk Dena.Dena menghela nafas lega. Menyesal dia telah berpikiran buruk terhadap tetangganya itu. Sebab cerita Ci Meri seakan begitu mirip dengan..."Masuklah ke ruang keluarga. Mereka semua tertidur pulas, termasuk Darren. Aku mau membeli sesuatu di pasar."Dena memasuki rumah itu untuk pertama kalinya. Selama ini dia hanya duduk di teras depan saja jika berkunjung. Bentuk rumah itu seperti rumah campuran beton dan kayu pada umumnya. Keduanya saling mengisi esensi tampilan ruang, sehingga tidak menimbulkan kesan membosankan. Kayu-kayu jati itu dibiarkan coklat alami, menghias lantai dan sebagian ornamen pada dinding. Sejak pintu masuk, ruangan terasa seperti hanya terdiri
Denna berdiri menatap cermin di kamar mandi. Siang itu, jendela mungil di kamar mandi menyumbangkan cahaya matahari. Semua jadi terlihat jelas. Denna mulai menangis saat melihat kondisi tubuhnya yang telanjang. Ada tanda-tanda cupangan di bagian area payudara. Bahkan cairan lengket kental pada bagian kelamin begitu terasa saat disentuh dengan tangannya. "Gardena, kamu kenapa?" bisiknya, serak. Denna semakin tak kuasa menahan sedu sedannya. Dia mendadak merasa begitu kotor dan bodoh. Seperti betina gatal yang rakus dengan jantan, gampang sekali terjerat rayuan. Konyolnya dia rela melakukan itu pada anak remaja seperti Daren! "Ke mana akal sehatku," keluh Dena, sembari berusaha menyudahi sedu sedannya. Sementara di dapur, terdengar suara Aurora dan Axio yang sedang rebutan makan biskuit dengan riang. Sungguh Dena tak ingin anak-anaknya melihat air matanya. Maka dengan mengendap-endap, dia ke luar kamar mandi dan langsung naik tangga ke lantai atas. Lalu kamar kerja bekas Van Der