Share

5: Gambar Aneh

Penulis: Cerita Diamond
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-14 14:07:09

"Ayo, makan!"

Dena melambaikan tangan pada Aurora dan Axio yang ternyata malah sedang menikmati es krim di teras rumah Maria bersama Darren.

"Keburu makan ini," sahut Maria, sambil mengangkat es krim coklatnya.

"Waduh, tapi nanti tetap makan nasi ya? Awas!" Dena memandangi anaknya satu persatu dari jauh.

Keduanya mengangguk, lalu mengikuti Darren menuju pohon di depan rumah. Mereka duduk bertiga di sana, sibuk tertawa dengan mulut penuh sisa es krim coklat yang juga menodai baju.

"Jangan terlalu keras mendidik anak. Mereka masih kecil," nasehat Maria, saat Dena datang mendekat.

Dena tersenyum," Tidak keras, bu. cuma menerapkan disiplin."

"Oh, kalau itu bagus."

"Bu, saya jadi penasaran dengan pemilik rumah terakhir. Cerita dong sedikit," Dena kemudian duduk di seberang Maria.

"Oh, orang Belanda itu?"

"Iya."

"Apa mereka pelukis? Atau tipe orang yang suka lukisan?"

Maria menggeleng, sambil menjilat es krimnya dengan nikmat, persis seperti anak kecil.

"Suaminya dulu pengajar bahasa Belanda. Istrinya perias pengantin. Kalau anak-anaknya sih sudah pada remaja. Ada Zeta, Juliana dan Minna. Lebih besar dari Darren. Sepertinya tidak ada yang jadi pelukis."

Dena mengangguk-angguk, "Lukisan itu wujud ekspresi seni yang mahal. Saya mengagumi cara seniman menjabarkan kegelisan hatinya. Saya suka lukisan apa pun, asal terlihat sopan."

Maria terkekeh,"Mana bisa kita atur-atur seniman. Mereka punya hak personal untuk berkarya."

"Betul juga, sih."

"Kita yang mengagumi karya seniman juga punya hak untuk memilih, mana yang mau kita lihat atau tidak."

,

"Semua orang punya hak."

"'Benar, dan kita hanya bisa saling menghormati."

"Kalau yang punya rumah, atau penghuni pertama di sini dulu, ibu tahu?"

"Pak Moksa? Waduh, kurang tahu juga. Kita tidak begitu kenal, dia jarang keluar. Tetapi istrinya saya tahu, Bu Gayatri. Beliau penari dulunya. Anak mereka ada dua, Kalungga dan Turangga. Masih kecil-kecil itu waktu terjadi peristiwa kebakaran itu."

"Kalau usia ibu saat itu?"

"Saya juga waktu itu masih sebesar Aurora, dan jarang mengunjungi rumah Bibi di sini. Justru Bibi yang rajin ke rumah kami, sebab itu pas waktu peristiwa kebakaran pertama itu, Bibi selamat. Karen lagi sedang di rumah kita sama Austin."

"Lalu bagaimana dengan peristiwa kebakaran kedua?"

Maria mulai tergesa mengelap mulutnya dengan tisu, sebelum memandang Dena.

"Bibi Marce, punya anak yang sedikit aneh. Si Austin itu! Dia suka membakar sesuatu kalau sedang marah. Suatu hari, dia membakar kertas, dan habislah rumah. Tapi untung semuanya selamat. Huh, dasar itu bocah!"

"Apa... apa anak Bibinya Bu Maria itu, maaf... agak terganggu?"

"Gila maksudnya?" Maria melotot. "Dia memang agak tolol, tapi keluarga kami tak ada yang gila!"

"Maaf..." Dena jadi salah tingkah.

"Austin tidak gila. Cuma emosinya tidak stabil saja kadang, sejak putus cinta. Tolol kan?"

"Putus cinta?"

"Cerita remaja galau. Dulu dia pacaran sama si Minna, anak Belanda itu. Tapi si bapaknya melarang keras."

"Dilarang kenapa?"

"Sudahlah, jangan dibicarakan. Austin juga sudah lama mati, menyusul Bibi Marce."

"Oh, maafkan saya jadi banyak bertanya. Soalnya saya menemukan lukisan seorang perempuan di lantai dasar."

"Mungkin itu lukisan Gayatri, atau istri dari orang Belanda itu. Seperti apa wujud perempuan dalam lukisan itu?"

"Cantik sekali. Seperti gadis muda belia."

"Oh, berarti bukan Gayatri. Wanita itu, baik wajah dan hatinya sama buruknya. Sama seperti suaminya Si Moksa yang angkuh itu. Tetapi setidaknya, Moksa baik dengan Bibi Marce. Tapi Si Gayatri itu, selalu memusuhi Bibi saya. Mungkin iri, karena Bibi saya kan cantik!"

"Berarti bukan Bu Gayatri?"

"Bukan pasti."

"Istri orang Belanda?"

"Maminya Zeta? Si Zarina? Mungkin saja. Tapi Zarina tidak terlalu cantik juga dan sudah tua."

"Lukisan itu... lukisan wanita telanjang, Bu!"

"Apa?!"

"Iya, Bu."

"Bakar! Bakar lukisan itu!"

"Hah?!"

"Itu lukisan pembawa bencana!"

Maria tiba-tiba melempar es krimnya, dan bangkit berlari memasuki rumah sewaan Dena. Sementara Dena hanya bisa mengikutinya dengan kebingungan.

"Jangan sampai ada pria yang melihat lukisan itu! Itu lukisan iblis! Cepat tunjukkan di mana lukisan itu!"

Kini, giliran Dena yang berlari duluan. Dia menyambar lampu yang masih menyala untuk bergerak menuju lantai dasar rumah. Maria ikut bergegas menyusul di belakangnya.

"Lukisannya hilang, Bu!" Teriak Dena, saat dia tak melihat lukisan itu lagi. Padahal tadinya tergeletak tak jauh dari lemari. Dena sudah berusaha mencari, tetapi lukisan itu benar-benar lenyap.

"Hmm... rupanya ini adalah ruangan rahasia itu!"

Dena menoleh pada Maria yang nampak sibuk menarik-narik kertas dinding pada ruangan lantai dasar tersebut. Perlahan, Dena mengarahkan lampu pada dinding-dinding suram yang kini sudah tanpa wallpaper lagi itu.

"Astaghfirullah..."

Dena menutup mulutnya. Lututnya seakan begitu lemah dan gemetaran. Dia tak sanggup untuk memandang gambar-gambar mengerikan di dinding itu. Sangat menakutkan. Semuanya lukisan wanita telanjang dengan pose seksi menantang.

Bab terkait

  • Bisikan Tengah Malam   6: Rahasia

    "Tempat apa ini?!" Jerit Dena, saat Maria terus menarik kertas penutup dinding dengan ganas, sehingga makin terlihat gambar-gambar tak senonoh. Lampu di tangan Dena bergoyang-goyang, sesuai suasana hatinya yang tak karuan. "Dulu dia dikurung di ruang bawah ini, karena otaknya kotor. Setiap hari yang dia pikirkan hanya masalah seksual. Anak itu kecanduan untuk terus berhubungan intim dengan banyak perempuan," kata Maria, usai kelelahan mencabik kertas dinding."Siapa Bu?""Moksa kecil.""Pemilik rumah ini dulu?""Begitulah. Sebetulnya aku tak mengenalnya, cuma cerita dari Bibi Marce. Beliau juga tak tahu banyak, karena keluarganya Moksa sangat tertutup dulu. Setahuku, mereka datang ke rumah ini dengan membawa banyak rahasia. Salah satunya adalah tentang seorang anak lelaki yang kecanduan perempuan. Setiap malam Ayahnya memasukkan pelacur ke ruangan bawah tanah ini. Biar anaknya tidak mengamuk."Dena merinding,"Ih, ngerinya. Jadi, penunggu pertama rumah ini bukan Pak Moksa? Tetapi oran

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-14
  • Bisikan Tengah Malam   7: Kuburan

    "Sayuuuur.... sayuuuur...." Dena setengah mati berteriak menghentikan tukang sayur bersepeda itu. Tetapi pria itu malah terus menggenjot sepedanya seperti kesurupan. Malang, sepedanya malah hilang kendali dan dia jatuh terjungkal. Sayur mayur tampak berserakan keluar dari dua keranjang bambu. "Ya, Allah! Lagian kenapa ngebut sih, Pak? Saya kan mau beli sayur" kata Dena, sambil membantu tukang sayur itu mengumpulkan sayur mayur yang berserakan di jalan. "Maaf, bu. Saya pikir tadi ibu setan..." "Hah, setan?!" "Maaf, bu. Maaf..." Tukang sayur itu bangkit, lalu memperkenalkan diri. "Nama saya Pak Sanusi. Kawasan ini memang terkenal angker. Tak berpenghuni. Saya terpaksa lewat di sini, karena jalur ini paling cepat menuju ke rumah saya. Biar tidak terlambat untuk sholat maghrib di masjid." "Tuh, Bapak tiap hari lewat sini. Kan tidak ada apa-apa. Saya penghuni baru di sini, baru menyewa rumah itu!" Dena menunjuk tempat tinggalnya, di mana Aurora dan Axio tampak baru keluar rumah d

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-14
  • Bisikan Tengah Malam   8: Lukisan Dewa

    Malam itu, semua aman. Dena mengunci rapat pintu, sementara tirai menutup pemandangan kaca jendela. Aurora dan Axio mulai mengantuk usai makan malam, lalu Dena membawa mereka ke lantai atas untuk tidur di kamar masing-masing. Barulah dia bisa beristirahat sambil memperhatikan buku-buku yang berderet di ruang perpustakaan. Ruang itu, tidak terlalu besar. Namun begitu banyak buku-buku lama. Sebagian buku ternyata tentang sejarah-sejarah kuno atau peradaban silam. Dena bukan orang yang suka membaca, jadi dia malas untuk memeriksa buku-buku itu lebih jauh. Tetapi, Dena lebih tertarik dengan lukisan Dewa dan Dewi Hindu yang tergantung di dinding ruangan itu. Dena tak memahami tentang Hindu, maka dia cuma memandang lurus kedua lukisan itu. Apa Moksa dulu penganut Hindu? Pikirnya. Sebab keluarga Van der Mosch kata Pak Samiran adalah keluarga Nasrani. Dena menghela nafas, lalu duduk di kursi ruang perpustakaan itu. Sementara tangannya menempel di meja. Lampu minyak yang dibawanya diletak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-14
  • Bisikan Tengah Malam   9: Tetangga Mencurigakan

    Dena menghela nafas, kepalanya masih pusing. Terbangun pagi buta, dengan tubuh nyaris beku tergeletak di atas rumput penuh embun, tepat di depan pintu belakang rumah. Tak ada siapapun di sana, namun suara adzan lantang menggema. Dena bangkit kebingungan, lalu membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Lalu, dimana pria itu semalam? Lampu minyak masih ada di lantai, tetap menyala. Dia bergerak melangkah untuk melongok ke arah lantai dasar, tetap saja gelap disana. Dena kembali menuju pintu belakang, memandangi halaman belakang yang sunyi senyap. Tak ada api unggun, tadi penari yang menari dengan alunan gamelan. Apalagi anak-anak kecil menyeramkan. Tak terlihat seorangpun!. "Anakku! Oyaaa... Ciyooo...." Dena berlari sekuat tenaga memasuki rumah, lanjut bergegas naik tangga. Diperiksanya kamar kedua anaknya dengan cemas. Alhamdulilah, Aurora dan Axio ternyata masih tertidur lelap. Semua ternyata baik-baik saja. Baru setelah sedikit tenang, Dena bisa mandi dan berganti pakaian.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-14
  • Bisikan Tengah Malam   10: Tumbal

    Siang itu nampak redup. Meski tak hujan. Aurora dan Axio tertidur di kamarnya masing-masing. Dena baru selesai mencuci piring, dan iseng melihat halaman belakang dari kaca pintu. Semua sepi. Hanya lokasi berumput yang dikelilingi tembok tinggi. Sementara tanaman dari luar tembok seperti bambu, kelapa dan beringin, tampak terlihat ujung-ujungnya saja. Menurut Maria, lokasi halaman belakang itu adalah tempat Gayatri mengajar menari kepada banyak anak-anak. Termasuk anak-anak tetangganya. Suara gamelan, adalah iringan anggota grup Gayatri, para pria tua penabuh alat musik itu yang sering berkeliling mengikuti Si Penari pentas. Nama Gayatri sangat terkenal sebagai penari bertopeng yang bertubuh indah menggiurkan. Suatu hari, Moksa yang mulai terlihat normal usai sering diobati ke dukun, mendadak kembali tak mampu menahan hasrat, saat melihat wanita itu di atas pentas. Pemuda itu lalu menunggu Gayatri di balik panggung, lalu menawari untuk mengantarnya pulang. Gayatri bukan penari biasa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-14
  • Bisikan Tengah Malam   11: Diancam

    "Tidak ada masalah dengan powerbank anda, Mbak. Lihatlah, di sini masih menyala sempurna," pemilik counter ponsel tersebut tersenyum, sambil menunjukkan barang yang dimaksud. Dena memperhatikan powerbank tersebut. Lampunya menyala! Padahal tidak di-charge. Bagaimana mungkin di rumahnya justru mati? Ponselnya juga tidak kehabisan baterai. Bisa digunakan. Lalu dia cepat menelepon Lastri, teman sekampusnya dulu yang katanya ingin membeli karya hasil rajutannya. "Jadi kapan kau kirim, Den?" tanya Lastri di ujung telepon sana, dia mengaku sedang sibuk menerima tamu karena anaknya baru saja menenangkan kontes kecantikan balita. Lalu dia menggelar pengajian dan menyantuni anak yatim dan kaum dhuafa di rumahnya yang mewah. Lastri memang salah satu kembang kampus dulu, wajar kecantikan itu menurun pada anaknya. Dena juga termasuk primadona kampus saat itu, tetapi nasibnya tidak semanis Lastri yang dipersunting pria kaya yang setia. Nasib Dena berbanding terbalik. Sudah suaminya hidup kekura

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Bisikan Tengah Malam   12: Anak Lelaki Penggoda

    Denna seperti terbang saat menuju ke rumah Maria. Dari pasar, dia berlari kencang. Cerita Cici Meri membuatnya begitu risau. Apalagi ketika dia terlanjur menitipkan Aurora dan Axio ke rumah tetangganya tersebut. "Mereka sedang tidur siang bersama Darren. Mengapa kau sepucat ini?" tanya Maria, saat membuka pintu untuk Dena.Dena menghela nafas lega. Menyesal dia telah berpikiran buruk terhadap tetangganya itu. Sebab cerita Ci Meri seakan begitu mirip dengan..."Masuklah ke ruang keluarga. Mereka semua tertidur pulas, termasuk Darren. Aku mau membeli sesuatu di pasar."Dena memasuki rumah itu untuk pertama kalinya. Selama ini dia hanya duduk di teras depan saja jika berkunjung. Bentuk rumah itu seperti rumah campuran beton dan kayu pada umumnya. Keduanya saling mengisi esensi tampilan ruang, sehingga tidak menimbulkan kesan membosankan. Kayu-kayu jati itu dibiarkan coklat alami, menghias lantai dan sebagian ornamen pada dinding. Sejak pintu masuk, ruangan terasa seperti hanya terdiri

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Bisikan Tengah Malam   13: Minna

    Denna berdiri menatap cermin di kamar mandi. Siang itu, jendela mungil di kamar mandi menyumbangkan cahaya matahari. Semua jadi terlihat jelas. Denna mulai menangis saat melihat kondisi tubuhnya yang telanjang. Ada tanda-tanda cupangan di bagian area payudara. Bahkan cairan lengket kental pada bagian kelamin begitu terasa saat disentuh dengan tangannya. "Gardena, kamu kenapa?" bisiknya, serak. Denna semakin tak kuasa menahan sedu sedannya. Dia mendadak merasa begitu kotor dan bodoh. Seperti betina gatal yang rakus dengan jantan, gampang sekali terjerat rayuan. Konyolnya dia rela melakukan itu pada anak remaja seperti Daren! "Ke mana akal sehatku," keluh Dena, sembari berusaha menyudahi sedu sedannya. Sementara di dapur, terdengar suara Aurora dan Axio yang sedang rebutan makan biskuit dengan riang. Sungguh Dena tak ingin anak-anaknya melihat air matanya. Maka dengan mengendap-endap, dia ke luar kamar mandi dan langsung naik tangga ke lantai atas. Lalu kamar kerja bekas Van Der

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17

Bab terbaru

  • Bisikan Tengah Malam   141: Tangisan Maria

    Karel sesaat memandangi Kiki dan kedua staf Humas itu dengan tajam. Dia butuh waktu untuk menjelaskan. "Secara kebetulan," lanjutnya. "Satu hari sebelum menghilangnya Mbak Centini, ada petugas polisi di Kapolsek yang dipimpin Pak Sangiran, masih mengingat wajah wanita dalam video ini, yang mereka katakan sebagai 'keluarga Kapolsek yang terganggu jiwa dan ngamuk di Polsek'. Lalu dibawa Si Kapolsek pergi dengan mobil dinasnya dalam kondisi tangan terborgol dan mulut dilakban...""Oh, Tuhan!" Kiki dan kedua stafnya kompak berteriak sambil menutup mulut mereka. Karel menghela nafas dan langsung bangkit dari duduknya. "Saya akan melaporkan kasus ini ke Polda, dan saya berharap pihak Rajawali Air dapat turut membantu saya untuk itu. Kapolsek Sangiran saya perkirakan juga sudah berusaha membunuh Ibu Inoy, klien saya, karena beliau memiliki video-video ini sebagai barang bukti..."***Julianna tertegun di hadapan wanita tua itu. Sejak pagi dia datang ke rumah besar tersebut, malah Maria di

  • Bisikan Tengah Malam   140: Korbannya seorang Dokter

    "Pinter, sih iya." Prana terkenang ucapan Triman. "Ayu sih ndak ya... udah perawan tua juga... tapi kok ya bisa nyangkut ke pasiennya yang kurang waras?"Prana mengangguk bingung,"Agak ganjil juga."Triman tertawa serak,"Itu mungkin karena nafsu toh? Wong Mas Ostin memang ganteng tenan iku! Saya juga kalo dadi wong wedhok, yo mesti ikut naksir. Anaknya memang masih kelihatan bocah, tapi tinggi tubuhnya. Sifatnya juga ramah, memang bikin jatuh hati kaum wanita. Cuma memang saya sering dapati, dia itu suka memamerkan kelaminnya ke pasien wanita ..."Prana mengendarai mobilnya menuju Kawasan Hitam. Dia telah berjanji kepada Syahreza dan Zulfan, untuk tiba di sana sebelum jam makan siang. Sementara Ustadz Hanif tidak bisa datang segera karena harus menjaga Samiran di rumah sakit, dia berjanjian datang saat Ashar setelah berganti tugas jaga dengan Pak Salam, salah satu pengurus masjid.Sebentar lagi, ritual permainan Hoom Pim Pah akan digelar Sukemi. Julianna memastikan datang, meski belu

  • Bisikan Tengah Malam   139: Psikopat Ganteng

    Prana menghela nafas, dan lebih menghela nafas lagi saat bertemu Dokter Ginaryo Sp.KJ. Dokter itu dengan ramah mempersilahkannya untuk berbincang di ruang kerjanya. Mereka bercakap cukup panjang, hingga terbongkar banyak hal."Saya menangani pasien Austin itu, justru setelah sekitar 5 tahunan dia telah menghuni rumah sakit ini. Dokter pertama yang menanganinya adalah Dokter Emilia, yang meninggal waktu itu, jadi saya yang lanjut menangani Austin. Anak muda itu memang sulit dilupakan. Terutama karena fisiknya yang berbeda dari yang lain. Dia sangat tampan, bule. Bahkan sering jadi rebutan pasien-pasien wanita di RSJ ini. Jangankan dia, ada saja petugas wanita yang juga sempat naksir...""Seperti apa kondisi Austin waktu dokter tangani?""Saya menangani Austin sekitar tahun 2005, ya... saya melihat kondisinya saat itu masih tidak begitu baik. Sering kabur dari rumah sakit, dan ditemukan petugas selalu senang berjalan-jalan sendirian tengah malam, tanpa alas kaki. Pokoknya kalau ditemuka

  • Bisikan Tengah Malam   138: Rumah Sakit Jiwa

    Aku menikahi Gayatri, tapi perjalanan "rumah tanggaku" yang sebenarnya, justru bersama Marce Si Tetangga Sebelah. Hal inilah yang membuat Austin memohon permintaan kepada Shumb Si Raja Iblis. Dia ingin agar kami bertiga bersatu menjadi keluarga utuh. "Bapak berhak hidup bahagia tanpa harus terus berpura-pura dalam pernikahan hampa. Austin ingin Bapak dan Mami bersatu selamanya, dalam pernikahan yang sah. Mami sangat menyayangi Austin, Pak. Dan pernahkah Mami juga mengecewakan hidup Bapak? Pernahkah Mami membunuh wanita-wanita yang membuat Bapak lupa untuk mengunjungi Mami di rumah? Jika Gayatri adalah Mami Marce, mungkin saat itu, Ibu Austin... Lovina... tidak akan tersiksa sampai mati...."Kalimat panjang anak itu, seakan menyadarkan aku betapa pentingnya ketulusan cinta. Ketulusan itu ternyata tidak hanya tentang harus selalu bersama, tetapi hanya butuh saling mengerti. Marce pernah mengatakan, dia tak sanggup marah saat aku selalu menyelingkuhinya."Karena aku tahu, aku bukan siap

  • Bisikan Tengah Malam   137: Marce dan Moksa

    Austin tumbuh dengan fisik sempurna. Ya, semakin mirip aku. Jauh berbeda dari Kalungga dan Turangga, yang wujudnya mirip Gayatri. Itulah sebabnya, aku sangat menyayangi Austin. Dia bebas bermain di rumahku kapan saja, tanpa Gayatri berani mengusirnya. Aku berikan apa saja yang dia mau, yang dia suka. Semua!Dia anak yang baik, juga berprestasi di sekolah. Marce ternyata sangat pandai mengurus anak rupawan itu, sebab semua orang menyukai kepribadiannya. Austin juga pandai melukis dan memahat sepertiku, sebab itu, dia kuizinkan untuk memasuki Ruangan Rahasia di Bawah Tanah.Ini adalah tempat yang tidak sengaja ditemukan Romo, saat sedang membuat ruangan lantai dasar, serta membuat makam. Ruangan aneh itu begitu besar, dengan dua patung raksasa. Romo sering melakukan semedi di tempat itu, jika sedang merasa gundah. "Ini sebenarnya pernah jadi tempat pemujaan iblis, mungkin sekian abad silam" kata Romo, saat membawaku ke sana, waktu kami baru saja menguburkan Kadita."Siapa itu, Romo?" T

  • Bisikan Tengah Malam   136: Rumah Tangga Moksa

    Semula, aku mengira, berumahtangga itu sama seperti aku pernah melukis tubuh telanjang Kadita yang memesona. Asal kita suka melakukannya, meski itu sulit, pastinya bisa dapat diwujudkan juga. Tetapi nyatanya, pernikahan tidak seperti itu. Menikahi wanita bukan hanya untuk cuma bisa tersalurkan urusan kebutuhan biologis, punya anak, tidak cerai dan dianggap normal oleh masyarakat. Bukan itu!Aku menikahi Gayatri, yang tak pernah aku cintai. Aku bahkan tidak menerima segala kekurangannya. Bahkan aku tidak mengizinkan dia membuka topengnya, saat kami bersetubuh. Aku tak ingin gairahku memudar melihat wajahnya yang tak membangkitkan selera itu. Aku selalu membayangkan, jika dibalik topeng itu ada wanita berparas ayu rupawan, dan bukan pastinya itu bukan Gayatri!Dan ternyata, wanita itu juga tidak subur. Meski setiap malam kugagahi, dia tak kunjung bunting. Tapi sulit menuduhnya mandul, sebab dia pernah kawin dan punya anak sebelumnya. Aku juga, tidak ingin dituduh tidak subur! Inilah ya

  • Bisikan Tengah Malam   135: Tulisan Moksa

    Semua orang tahu, jika Mintje Molina hanyalah anak Jans Pietter dari seorang gundiknya, yang bernama Nyai Midah. Sebab itu, meski aku mendapat gelar bangsawan dari Bapak, beliau tidak merasa ada alasan bagiku untuk tidak mau jadi Belanda."Manson Jans Pietter, kamu itu Belanda. Darah Eropa menetes di tubuhmu. Persetan soal priyayi, itu juga pribumi. Derajat mereka itu, di bawah kita..." kata Mami suatu kali, saat aku menolak untuk dipanggil Manson Jans Pietter."Jika Mami merasa tidak sederajat, mengapa menikahi Romo?"Saat itu, aku hanya melihat Mientje Molina hanya membuang muka. Di kemudian hari aku tahu, ternyata memang tak ada satupun orang Belanda, ras Eropa lainnya, atau siapalah yang dianggap Mami derajatnya jauh lebih tinggi, bersedia menikahi seorang anak Nyai yang pernah sempat melacurkan diri demi sesuap nasi, setelah Bapak Belandanya mati. Romo mengangkat derajat wanita itu, tapi dia tidak pernah berterima kasih.Bahkan Mami mencoba meninggalkannya demi pria Cina kaya. Ya

  • Bisikan Tengah Malam   134: Cerita Samiran

    Prana menepuk halus pundak Samiran, dia khawatir pria itu akan tambah sakit jika bicara. Tapi Samiran tidak mau berhenti."Muntarso ingin mengusai harta rumah itu dengan menikahi Gayatri, sebab itu dia membunuh Pak Moksa dengan meracunnya. Bu Gayatri tidak tahu. Wanita itu juga tidak tahu, jika kecelakaan mobil yang dialami Kalungga dan Turangga juga karena sabotase Muntarso. Tapi mobil yang pernah dibawa Muntarso untuk meneror kedua orang itu sebelumnya, juga kelak malah kemudian terbalik dan terbakar...""Dia pernah membakar orang, bukan?"Samiran memandang sedih ke arah Prana,"Saya juga. Mungkinkah akan terjadi hal yang sama?"Prana menggeleng, lalu kembali menepuk halus pundak pria itu."Bapak orang yang sudah berusaha menjadi baik...""Saya tidak tahu apakah Tuhan akan memaafkan saya. Sebab saya terlalu bodoh dan patuh kepada sesama manusia. Sebelum mati, Bu Gayatri berpesan agar saya menjaga dan jiwanya dari gangguan jiwa lain yang juga terjebak di rumah itu. Sebab itu setiap 20

  • Bisikan Tengah Malam   133: Bunuh Diri

    Samiran masih tampak lemah, tapi dia tahu, kehadiran kedua pria di depannya memang telah ditunggunya. Prana, yang membawa Syahreza temannya, diyakini Samiran dapat segera menuntaskan segala masalah."Kami ingin bertanya tentang Austin, Pak. Sebentar saja," kata Prana.Perlahan, Samiran mulai memejamkan matanya. Dia bersyukur, kini nafasnya tidak lagi sesak sehingga bisa bicara."Ada yang sedikit rancu tentang Austin anak Lovina. Dia sebenarnya sudah ada sebelum saya dibawa Muntarso ke sana.""Austin sudah lahir?""Sudah besar malah. Saat saya masuk ke sana, Austin jelas lebih tua dari saya.""Kalau Lovina?""Usia Lovina saat hamil, juga jauh berbeda dengan Kalungga dan Turangga, 13 tahun. Kalau dua anak itu, sekitar usia 3 dan 1 tahun waktu Lovina mati. Dia itu diasuh Bu Gayatri dari bayi, sebagai anak pancingan biar cepat hamil. Saya tahu cerita itu juga dari Muntarso. Kasus kematian Lovina terjadi, itu jauh dari kasus Tumini mati. Sebelum itu, Lovina adalah korban Moksa pertama seb

DMCA.com Protection Status