Share

3: Rumah Misteri

Tiga mangkuk mie instan rebus tersaji di meja makan, juga saos dan kecap. Aurora dan Axio lalu makan dengan lahap, sementara Dena hanya menyuap pelan-pelan. Dia kurang tidur semalam, sibuk menjaga kedua anaknya. Kejadian jelang maghrib kemarin, betul-betul sangat membuatnya ketakutan.

Dena bersyukur, pemilik rumah sudah menyiapkan kompor minyak tanah. Sementara perabotan masak yang berdebu telah dicuci bersih. Sehingga Dena bisa masak dengan mudah. Dia membawa beberapa bungkus mie instan, inilah yang menjadi bahan makanan sarapan pagi mereka.

"Selamat pagi!"

Tiba-tiba terdengar salam, juga ketukan pintu yang begitu lembut. Dena berlari ke ruang tamu, menyibak tirai jendela dan menyaksikan tetangga sebelahnya sedang berdiri sambil membawa keranjang berisi roti.

"Silakan masuk, Bu..." kata Dena, usai membukakan pintu.

Wanita tua itu tersenyum, sambil menyerahkan keranjangnya. "Ini ada roti, mungkin anakmu suka. Oh, kenalkan. Nama saya Mariam, tetapi dipanggil Maria, dan di rumah ada anak saya, Darren"

"Oh, saya Dena. Anak saya ada dua, Aurora dan Axio. Kami baru pindah. Maaf semalam... soal kejadian seram itu, saya tidak sempat berterima kasih. Saya sangat takut, Bu!"

Maria lalu mengelus pundak gadis kecil itu dengan lembut."Jika ingin bermain, ke rumah saja. Ada Kakak Darren. Jangan bermain dengan siapapun di sini. Tidak semua orang yang kau lihat, betul-betul nyata terlihat..."

"Maksud ibu?" potong Dena.

"Maksud saya, tidak semua orang satu pemikiran dengan kita."

"Apalagi tetangga."

"Nah, paham kan?"

Dena mengangguk. Dia paham soal itu. Saat Hendra berselingkuh, tetangga malah sibuk menggosipkan dirinya. Tidak ada yang berpikiran untuk menjaga perasaan Dena dan anak-anaknya saat itu.

"Itulah tak becus mengurus suami, sampai laki kawin lagi."

"Ranjang sendiri kok dikuasai orang? Lubangnya nggak bersih kali. Udah bau, longgar pula jangan-jangan..."

"Denger-denger katanya udah bunting tujuh bulan dulu, baru terpaksa dinikahi Hendra. Pantaslah jika Hendra tidak puas, jadinya nyari perawan lagi."

"Hamil tujuh bulan? Busyet... udah jelang beranak dong, baru ketemu penghulu. Jangan-jangan, si Aurora bukan anaknya Hendra?"

Saat itu, Dena hanya bisa menutup telinganya dengan sedih. Berusaha tidak melabrak ibu-ibu kompleks yang mulutnya pedas mirip cabai yang ditaburi merica. Dan pastinya, mereka juga tak punya otak dan hati.

"Ya, Allah... mending saya bertetangga dengan setan beneran kalo begini. Dari pada sama manusia tapi lebih seram dari iblis" jerit hati Dena saat itu.

Tetapi kejadian semalam, malah membuatnya ngeri. Ketemu setan beneran ternyata menakutkan. Untung ada Bu Maria dan Darren yang menolong mereka.

"Bu, apakah benar dulu beberapa rumah di kawasan ini sempat terbakar?"

Maria mengangguk,"Ya, hampir satu perumahan ini terbakar. Kecuali rumah yang kau tinggali ini."

"Satu perumahan ini? Bagaimana bisa! Termasuk rumah ibu?"

"Ya, tapi kami membangunnya kembali."

"Kapan itu, Bu? Maksud saya peristiwa kebakarannya?"

"Sudah puluhan tahun. Bibi saya yang mengalaminya saja bahkan sulit mengingatnya. Trauma! Anaknya si Austin dulu bahkan tak mau berangkat ke sekolah. Dia cuma berdiam di rumah setelah peristiwa itu."

"Apa penyebab kebakaran itu?"

"Itu, karena anak-anak yang bermain Hoom Pim Pah dengan menyalakan api unggun di belakang rumah ini. Tiba-tiba api menyebar ke segala arah dengan cepat karena kebetulan malam itu sedang angin kencang."

"Sumber api dari belakang rumah ini, tetapi cuma rumah ini yang tak terbakar. Kok bisa?"

Maria tertawa,"Seharusnya kau tanyakan itu kepada pemilik rumah ini nanti, mengapa itu bisa terjadi. Tetapi rumah yang kau tinggali ini, memang dari dulu angker. Pemiliknya pindah. Lalu dua puluh tahun kemudian diisi keluarga keturunan Belanda. Kosong lagi selama dua puluh tahun, sampai terakhir oleh kalian ini."

"Ibu kenal penghuni terakhirnya?"

"Ya, keluarga Van Mosch. Mereka suami istri, anaknya tiga orang."

"Mereka kembali ke Belanda?"

"Ya."

Dena memandang wujud Bu Maria yang memang tua tetapi masih lincah. Menurut Dena, ibu ini paling usianya sekitar 60 tahunan. Dan Darren anaknya, meski hanya terlihat selintas kemarin, seperti anak remaja berusia 14 tahunan.

"Kata pemilik rumah, peristiwa kebakaran itu terjadi sekitar 50 tahun yang lalu. Tetapi mengapa ibu dan Darren masih terlihat tidak setua orang yang pernah melewati masa setengah abad silam?"

Kembali Maria tertawa,"Kamu tidak paham ya? Bibi Marce dan saya, Maria, itu berbeda. Juga Austin dan Darren. Saya dan Darren adalah generasi ketiga dari rumah ini."

"Saya bingung. Karena menurut cerita pemilik rumah, katanya di sebelah rumah ini adalah tetangga yang ada sejak dari zaman dulu."

"Pemilik rumah ini sekarang, si Samiran itu,cuma anak dari pembantu yang punya rumah ini. Nama bapaknya, Muntarso! Jadi sebenarnya dia tidak tahu banyak hal."

Dena masih tetap bingung, namun dia merasa ada hal penting yang harus dibahasnya lagi.

"Apakah disini ada warung sayur dan sembako, Bu?"

"Sembako harus dibeli di pasar. Tetapi sayuran, sering lewat sore."

"Wah, berarti kalau sore pada ramai ya tetangga yang ikutan beli sayur?"

Maria menatap Dena dengan tajam,"Cuma kami satu-satunya tetangga kalian..."

Dena terhenyak, dia mulai merasa gugup.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status