Tiga mangkuk mie instan rebus tersaji di meja makan, juga saos dan kecap. Aurora dan Axio lalu makan dengan lahap, sementara Dena hanya menyuap pelan-pelan. Dia kurang tidur semalam, sibuk menjaga kedua anaknya. Kejadian jelang maghrib kemarin, betul-betul sangat membuatnya ketakutan. Dena bersyukur, pemilik rumah sudah menyiapkan kompor minyak tanah. Sementara perabotan masak yang berdebu telah dicuci bersih. Sehingga Dena bisa masak dengan mudah. Dia membawa beberapa bungkus mie instan, inilah yang menjadi bahan makanan sarapan pagi mereka. "Selamat pagi!" Tiba-tiba terdengar salam, juga ketukan pintu yang begitu lembut. Dena berlari ke ruang tamu, menyibak tirai jendela dan menyaksikan tetangga sebelahnya sedang berdiri sambil membawa keranjang berisi roti. "Silakan masuk, Bu..." kata Dena, usai membukakan pintu. Wanita tua itu tersenyum, sambil menyerahkan keranjangnya. "Ini ada roti, mungkin anakmu suka. Oh, kenalkan. Nama saya Mariam, tetapi dipanggil Maria, dan di r
Pasar pagi itu begitu ramai. Dena menggandeng tangan kedua anaknya sambil menawar harga sayur dan membeli sembako. Saat semua sudah terbeli, giliran Aurora yang sibuk menggandeng adiknya, karena ibu mereka sedang kesulitan membawa dua kantong besar belanjaan. "Kita naik taksi, Bu?" Tanya Aurora dengan ceria. "Tidak, kita jalan saja." "Jauh!" Aurora mulai cemberut, tetapi Dena terus melangkah. Dia merasa wajib untuk sangat ketat berhemat. Keuangan mulai menipis, dan dia belum selesai merajut syal pesanan teman sekampusnya dulu, jadi pemasukan memang belum ada. Pernikahan dengan Hendra selama 8 tahun memang tidak menghasilkan harta gono gini. Rumah yang mereka tempati baru dicicil belum genap setahun, dan kini dikuasai Hendra. Perabot rumah juga tak ada yang mewah. Mobil yang dipakai Hendra juga milik kantor. Apa yang harus diperebutkan? Soal anak saja, Hendra menyerahkan pada Dena. Sebab Lolita katanya juga sedang bunting, jadi khawatir keguguran jika dipaksa mengurus anak tiri
"Ayo, makan!" Dena melambaikan tangan pada Aurora dan Axio yang ternyata malah sedang menikmati es krim di teras rumah Maria bersama Darren. "Keburu makan ini," sahut Maria, sambil mengangkat es krim coklatnya. "Waduh, tapi nanti tetap makan nasi ya? Awas!" Dena memandangi anaknya satu persatu dari jauh. Keduanya mengangguk, lalu mengikuti Darren menuju pohon di depan rumah. Mereka duduk bertiga di sana, sibuk tertawa dengan mulut penuh sisa es krim coklat yang juga menodai baju. "Jangan terlalu keras mendidik anak. Mereka masih kecil," nasehat Maria, saat Dena datang mendekat. Dena tersenyum," Tidak keras, bu. cuma menerapkan disiplin." "Oh, kalau itu bagus." "Bu, saya jadi penasaran dengan pemilik rumah terakhir. Cerita dong sedikit," Dena kemudian duduk di seberang Maria. "Oh, orang Belanda itu?" "Iya." "Apa mereka pelukis? Atau tipe orang yang suka lukisan?" Maria menggeleng, sambil menjilat es krimnya dengan nikmat, persis seperti anak kecil. "Suaminya dulu
"Tempat apa ini?!" Jerit Dena, saat Maria terus menarik kertas penutup dinding dengan ganas, sehingga makin terlihat gambar-gambar tak senonoh. Lampu di tangan Dena bergoyang-goyang, sesuai suasana hatinya yang tak karuan. "Dulu dia dikurung di ruang bawah ini, karena otaknya kotor. Setiap hari yang dia pikirkan hanya masalah seksual. Anak itu kecanduan untuk terus berhubungan intim dengan banyak perempuan," kata Maria, usai kelelahan mencabik kertas dinding."Siapa Bu?""Moksa kecil.""Pemilik rumah ini dulu?""Begitulah. Sebetulnya aku tak mengenalnya, cuma cerita dari Bibi Marce. Beliau juga tak tahu banyak, karena keluarganya Moksa sangat tertutup dulu. Setahuku, mereka datang ke rumah ini dengan membawa banyak rahasia. Salah satunya adalah tentang seorang anak lelaki yang kecanduan perempuan. Setiap malam Ayahnya memasukkan pelacur ke ruangan bawah tanah ini. Biar anaknya tidak mengamuk."Dena merinding,"Ih, ngerinya. Jadi, penunggu pertama rumah ini bukan Pak Moksa? Tetapi oran
"Sayuuuur.... sayuuuur...." Dena setengah mati berteriak menghentikan tukang sayur bersepeda itu. Tetapi pria itu malah terus menggenjot sepedanya seperti kesurupan. Malang, sepedanya malah hilang kendali dan dia jatuh terjungkal. Sayur mayur tampak berserakan keluar dari dua keranjang bambu. "Ya, Allah! Lagian kenapa ngebut sih, Pak? Saya kan mau beli sayur" kata Dena, sambil membantu tukang sayur itu mengumpulkan sayur mayur yang berserakan di jalan. "Maaf, bu. Saya pikir tadi ibu setan..." "Hah, setan?!" "Maaf, bu. Maaf..." Tukang sayur itu bangkit, lalu memperkenalkan diri. "Nama saya Pak Sanusi. Kawasan ini memang terkenal angker. Tak berpenghuni. Saya terpaksa lewat di sini, karena jalur ini paling cepat menuju ke rumah saya. Biar tidak terlambat untuk sholat maghrib di masjid." "Tuh, Bapak tiap hari lewat sini. Kan tidak ada apa-apa. Saya penghuni baru di sini, baru menyewa rumah itu!" Dena menunjuk tempat tinggalnya, di mana Aurora dan Axio tampak baru keluar rumah d
Malam itu, semua aman. Dena mengunci rapat pintu, sementara tirai menutup pemandangan kaca jendela. Aurora dan Axio mulai mengantuk usai makan malam, lalu Dena membawa mereka ke lantai atas untuk tidur di kamar masing-masing. Barulah dia bisa beristirahat sambil memperhatikan buku-buku yang berderet di ruang perpustakaan. Ruang itu, tidak terlalu besar. Namun begitu banyak buku-buku lama. Sebagian buku ternyata tentang sejarah-sejarah kuno atau peradaban silam. Dena bukan orang yang suka membaca, jadi dia malas untuk memeriksa buku-buku itu lebih jauh. Tetapi, Dena lebih tertarik dengan lukisan Dewa dan Dewi Hindu yang tergantung di dinding ruangan itu. Dena tak memahami tentang Hindu, maka dia cuma memandang lurus kedua lukisan itu. Apa Moksa dulu penganut Hindu? Pikirnya. Sebab keluarga Van der Mosch kata Pak Samiran adalah keluarga Nasrani. Dena menghela nafas, lalu duduk di kursi ruang perpustakaan itu. Sementara tangannya menempel di meja. Lampu minyak yang dibawanya diletak
Dena menghela nafas, kepalanya masih pusing. Terbangun pagi buta, dengan tubuh nyaris beku tergeletak di atas rumput penuh embun, tepat di depan pintu belakang rumah. Tak ada siapapun di sana, namun suara adzan lantang menggema. Dena bangkit kebingungan, lalu membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Lalu, dimana pria itu semalam? Lampu minyak masih ada di lantai, tetap menyala. Dia bergerak melangkah untuk melongok ke arah lantai dasar, tetap saja gelap disana. Dena kembali menuju pintu belakang, memandangi halaman belakang yang sunyi senyap. Tak ada api unggun, tadi penari yang menari dengan alunan gamelan. Apalagi anak-anak kecil menyeramkan. Tak terlihat seorangpun!. "Anakku! Oyaaa... Ciyooo...." Dena berlari sekuat tenaga memasuki rumah, lanjut bergegas naik tangga. Diperiksanya kamar kedua anaknya dengan cemas. Alhamdulilah, Aurora dan Axio ternyata masih tertidur lelap. Semua ternyata baik-baik saja. Baru setelah sedikit tenang, Dena bisa mandi dan berganti pakaian.
Siang itu nampak redup. Meski tak hujan. Aurora dan Axio tertidur di kamarnya masing-masing. Dena baru selesai mencuci piring, dan iseng melihat halaman belakang dari kaca pintu. Semua sepi. Hanya lokasi berumput yang dikelilingi tembok tinggi. Sementara tanaman dari luar tembok seperti bambu, kelapa dan beringin, tampak terlihat ujung-ujungnya saja. Menurut Maria, lokasi halaman belakang itu adalah tempat Gayatri mengajar menari kepada banyak anak-anak. Termasuk anak-anak tetangganya. Suara gamelan, adalah iringan anggota grup Gayatri, para pria tua penabuh alat musik itu yang sering berkeliling mengikuti Si Penari pentas. Nama Gayatri sangat terkenal sebagai penari bertopeng yang bertubuh indah menggiurkan. Suatu hari, Moksa yang mulai terlihat normal usai sering diobati ke dukun, mendadak kembali tak mampu menahan hasrat, saat melihat wanita itu di atas pentas. Pemuda itu lalu menunggu Gayatri di balik panggung, lalu menawari untuk mengantarnya pulang. Gayatri bukan penari biasa