Jakarta, 2019
Sebuah taksi berhenti di depan rumah besar itu dengan terburu-buru. Kemudian seorang wanita muda turun sambil membawa koper dan tas besar, lalu disusul dua anak kecil di belakangnya yang masing-masing tampak keberatan membawa ransel. "Tidak usah, Bu. Ambil saja uangnya!" Kata sopir taksi, sebelum mendadak ngebut membawa taksinya yang seakan melayang terbang. Dena terpana, dia tak menyangka jika sikap sopir taksi sampai sebegitu parahnya. Kenapa dia? Saat taksi akan memasuki kawasan yang dituju, sopirnya bahkan berulang kali mengucapkan doa-doa pengusir setan. "Kawasan ini dulu pernah terbakar, Bu. Ada beberapa rumah yang hangus terbakar. Kecuali satu rumah. Ibu serius akan pindah ke sini?" tanya sopir itu sambil memandangi Dena dari kaca spion. "Iya, Pak. Cuma rumah ini yang sewanya murah, bahkan berikut barang-barangnya" sahut Dena, sambil memegang tangan kedua anaknya, Aurora dan Axio. "Ibu dapat informasi tentang rumah ini dari mana?" "Dari koran, Pak. Ada sewa rumah murah berikut perabotannya. Lalu saya hubungi yang punya rumah" "Janjian di sini?" "Ya, kemarin kami bertemu di sini. Ternyata ini rumah Kakeknya dulu. Sudah dua puluh tahun tidak diisi, hingga penuh debu dan kotor. Tetapi cucunya itu sudah membersihkan rumah ini menggunakan jasa cleaning service panggilan. Cuma listriknya aja yang belum dibenerin, nunggu petugas PLN." "Bu, perasaan saya kok tidak enak ya? Ibu hati-hati ya, jika nanti terpaksa tinggal di tempat ini. Jaga baik-baik anak-anaknya." "Memang kenapa, Pak?" "Sebab setahu saya, banyak kasus anak hilang dulu di sini" "Diculik?" "Semacam itu! Dulu banyak anak yang mati, katanya. Jadi, setannya itu berkeliaran. Ini dari dulu kawasan angker, disebut Kawasan Hitam. Pembunuhan pribumi oleh Jepang dan Belanda juga banyak katanya zaman dulu di sini. Ceritanya serem!" Dena menghela nafas, dia cuma bisa pasrah saat memandangi tempat tinggal baru mereka. Perlahan, dia berjalan memasuki rumah besar itu diikuti anaknya, meski pandangan matanya masih memperhatikan lingkungan sekeliling. "Kenapa rumah tetangga kita pada hitam begini, ya?" kata Dena, sambil memukul-mukul kepalanya dengan telapak tangan. "Ibu, memang rumah tetangga kita berwarna hitam?" Dena menoleh pada Aurora, sebelum kembali memperhatikan rumah-rumah di sekeliling rumah sewa mereka. Ya, rumah-rumah itu terlihat dicat hitam pekat. Beda dengan rumah sewa mereka yang dicat putih, meski sudah sangat kusam hingga malah mirip kuning gading. "Ayo, cepat masuk!" perintah Dena pada anak-anaknya, saat pintu rumah sudah terbuka. Namun Dena sempat menoleh pada rumah tetangga di sebelahnya. Di situ, dia melihat seorang wanita dan anak lelakinya nampak tersenyum padanya. Dena membalas senyuman itu, sambil menganggukkan kepala. Namun dia cepat menutup pintu. Enggan untuk sekedar berbasa-basi. "Kata Pak Samiran yang punya rumah ini, kita tak punya tetangga yang tepat berada di sebelah rumah sewa kita. Kok di sebelah ada orang?" "Baru pindah juga mungkin, Bu. Mendadak pindah, kayak kita" sahut Aurora, sambil menyusun bonekanya di atas ranjang mungil. Dena bersyukur, rumah sewa itu memenuhi segala kebutuhannya. Ada tiga kamar. Satu kamarnya, satu untuk Aurora dan satu lagi untuk Axio di lantai dua. Juga ada beberapa ruangan lain, seperti ruangan kerja, dan ruang semacam bekas tempat berkumpul keluarga. Di lantai satu, terdapat ruang tamu, ruang makan, yang berbatas dengan dapur. Dapurnya juga lumayan luas, terdapat sumur yang di sebelahnya ada tempat cuci piring dan baju, juga kamar mandi. Sementara di lantai dasar ada bagian gudang tempat meletakkan barang tak terpakai, serta stok minyak tanah untuk lampu penerang. "Puluhan tahun lalu kami tinggal di sini, sebelum semua keluarga saya meninggal dunia. Lalu saya membangun rumah sendiri. Selama dua puluh tahun rumah ini kosong, baru saya sewakan kepada keluarga Belanda. Mereka pindah, saya biarkan kosong lagi. Baru dua puluh tahun kemudian saya sewakan lagi kepada anda" jelas Pak Samiran. "Unik ya, tiap 20 tahun disewakan?" "Kebetulan, Bu." Dena mulai menata pakaian di dalam lemari, lalu meletakkan tas dan koper di bawah ranjangnya. Iseng, dia melongok bagian bawah ranjangnya. Bersih. Kosong. Saat berada di dapur, Dena juga melihat semua perabotan tersusun rapi tanpa debu. Betapa petugas cleaning service tersebut memang nyata bertugas secara maksimal. Harga sewa rumah tersebut hanya 5 juta per tahun, untuk rumah sebesar itu. Kekurangannya cuma tak ada listrik, tetapi sumurnya mengalirkan air jernih. Hanya butuh kemampuan untuk menimba saja. Awalnya, Dena kelelahan menimba air sumur itu. Tetapi lama kelamaan, dia mencoba menyabarkan hatinya. Sebentar lagi maghrib, penerangan hanya akan berupa lampu minyak tanah, jadi tergesa menimba mengisi air kamar mandi adalah wajib. Hidup memang tidak mudah, harus bisa berdamai dengan keadaan apapun. Tak ada pilihan lain. Usai bercerai, dia hanya memiliki uang 7 juta rupiah. Sebesar 5 juta telah dia bayarkan kepada Pak Sumiran. Sisanya, dia cuma berusaha nekat untuk tetap bertahan hidup. Dena membeli benang wol yang banyak, dan mulai merajut. Dia berharap dapat bekerja di rumah dengan merajut topi, pakaian dan sepatu. Sambil mencari sekolah nanti untuk Aurora yang mulai masuk SD. "Ada sekolah SD negeri tak jauh dari sini," Dena ingat ucapan Pak Samiran. Membuatnya makin tidak ragu untuk pindah ke tempat itu. Menyepi di sudut kota, serasa jadi pelarian baginya. Sedikit banyak adalah upaya untuk mengobati luka hati, semenjak Mas Hendra memilih untuk kawin lagi dan menceraikannya. Lolita, nama pelakor itu, dan dia masih SMA! "Oh, Tuhan!" Dena terisak, air matanya menetes deras mengenang kisah pilu rumah tangganya. Pernikahan selama 8 tahun, seakan hanya meninggalkan kenangan duka dan anak dua yang tak berdosa. Dena malas ribut soal harta gono-gini, dia hanya ingin tenang. "Hoom..." Dena menoleh. Dia seakan mendengar bisikan suara lembut anak kecil, lalu disusul suara langkah kaki yang begitu ramai di tangga. Tetapi tidak ada orang! Dena merinding, tubuhnya bergetar ketakutan."Ah, halusinasi!"Dena memegangi kepalanya yang sakit, lalu jatuh terduduk di lantai. Sejak gejolak rumah tangganya, dia mulai selalu merasa mudah pusing. Terkadang dia sulit membedakan tentang segala sesuatu, apakah itu nyata atau cuma mimpinya. Dia pernah sempat bekerja sebagai salah satu staf administrasi pada sebuah kantor notaris pasca sebulan bercerai, tetapi tak lama malah diberhentikan. Rekan sekantornya menganggap dia sedikit tidak normal, dia dituduh kerap berhalusinasi dan sering tiba-tiba seperti kebingungan sendiri."Kau mestinya harus cepat ke Psikiater. Sesuatu terjadi padamu, Dena. Kau seperti tidak normal," kata mantan bosnya, saat melihat perilaku aneh Dena.Dena menatap bosnya itu dengan lesu. Hatinya remuk. Dia seperti orang gila setelah diselingkuhi Hendra. Rasa sakit hati itu, seakan sulit untuk dilupakan begitu saja."Kalau sudah tak cinta, ngomong Mas! Kalau sudah tak mau setia, mohon bicara! Bukan malah mengajak pelacur itu tidur di ranjangku," teriak Dena."
Tiga mangkuk mie instan rebus tersaji di meja makan, juga saos dan kecap. Aurora dan Axio lalu makan dengan lahap, sementara Dena hanya menyuap pelan-pelan. Dia kurang tidur semalam, sibuk menjaga kedua anaknya. Kejadian jelang maghrib kemarin, betul-betul sangat membuatnya ketakutan. Dena bersyukur, pemilik rumah sudah menyiapkan kompor minyak tanah. Sementara perabotan masak yang berdebu telah dicuci bersih. Sehingga Dena bisa masak dengan mudah. Dia membawa beberapa bungkus mie instan, inilah yang menjadi bahan makanan sarapan pagi mereka. "Selamat pagi!" Tiba-tiba terdengar salam, juga ketukan pintu yang begitu lembut. Dena berlari ke ruang tamu, menyibak tirai jendela dan menyaksikan tetangga sebelahnya sedang berdiri sambil membawa keranjang berisi roti. "Silakan masuk, Bu..." kata Dena, usai membukakan pintu. Wanita tua itu tersenyum, sambil menyerahkan keranjangnya. "Ini ada roti, mungkin anakmu suka. Oh, kenalkan. Nama saya Mariam, tetapi dipanggil Maria, dan di r
Pasar pagi itu begitu ramai. Dena menggandeng tangan kedua anaknya sambil menawar harga sayur dan membeli sembako. Saat semua sudah terbeli, giliran Aurora yang sibuk menggandeng adiknya, karena ibu mereka sedang kesulitan membawa dua kantong besar belanjaan. "Kita naik taksi, Bu?" Tanya Aurora dengan ceria. "Tidak, kita jalan saja." "Jauh!" Aurora mulai cemberut, tetapi Dena terus melangkah. Dia merasa wajib untuk sangat ketat berhemat. Keuangan mulai menipis, dan dia belum selesai merajut syal pesanan teman sekampusnya dulu, jadi pemasukan memang belum ada. Pernikahan dengan Hendra selama 8 tahun memang tidak menghasilkan harta gono gini. Rumah yang mereka tempati baru dicicil belum genap setahun, dan kini dikuasai Hendra. Perabot rumah juga tak ada yang mewah. Mobil yang dipakai Hendra juga milik kantor. Apa yang harus diperebutkan? Soal anak saja, Hendra menyerahkan pada Dena. Sebab Lolita katanya juga sedang bunting, jadi khawatir keguguran jika dipaksa mengurus anak tiri
"Ayo, makan!" Dena melambaikan tangan pada Aurora dan Axio yang ternyata malah sedang menikmati es krim di teras rumah Maria bersama Darren. "Keburu makan ini," sahut Maria, sambil mengangkat es krim coklatnya. "Waduh, tapi nanti tetap makan nasi ya? Awas!" Dena memandangi anaknya satu persatu dari jauh. Keduanya mengangguk, lalu mengikuti Darren menuju pohon di depan rumah. Mereka duduk bertiga di sana, sibuk tertawa dengan mulut penuh sisa es krim coklat yang juga menodai baju. "Jangan terlalu keras mendidik anak. Mereka masih kecil," nasehat Maria, saat Dena datang mendekat. Dena tersenyum," Tidak keras, bu. cuma menerapkan disiplin." "Oh, kalau itu bagus." "Bu, saya jadi penasaran dengan pemilik rumah terakhir. Cerita dong sedikit," Dena kemudian duduk di seberang Maria. "Oh, orang Belanda itu?" "Iya." "Apa mereka pelukis? Atau tipe orang yang suka lukisan?" Maria menggeleng, sambil menjilat es krimnya dengan nikmat, persis seperti anak kecil. "Suaminya dulu
"Tempat apa ini?!" Jerit Dena, saat Maria terus menarik kertas penutup dinding dengan ganas, sehingga makin terlihat gambar-gambar tak senonoh. Lampu di tangan Dena bergoyang-goyang, sesuai suasana hatinya yang tak karuan. "Dulu dia dikurung di ruang bawah ini, karena otaknya kotor. Setiap hari yang dia pikirkan hanya masalah seksual. Anak itu kecanduan untuk terus berhubungan intim dengan banyak perempuan," kata Maria, usai kelelahan mencabik kertas dinding."Siapa Bu?""Moksa kecil.""Pemilik rumah ini dulu?""Begitulah. Sebetulnya aku tak mengenalnya, cuma cerita dari Bibi Marce. Beliau juga tak tahu banyak, karena keluarganya Moksa sangat tertutup dulu. Setahuku, mereka datang ke rumah ini dengan membawa banyak rahasia. Salah satunya adalah tentang seorang anak lelaki yang kecanduan perempuan. Setiap malam Ayahnya memasukkan pelacur ke ruangan bawah tanah ini. Biar anaknya tidak mengamuk."Dena merinding,"Ih, ngerinya. Jadi, penunggu pertama rumah ini bukan Pak Moksa? Tetapi oran
"Sayuuuur.... sayuuuur...." Dena setengah mati berteriak menghentikan tukang sayur bersepeda itu. Tetapi pria itu malah terus menggenjot sepedanya seperti kesurupan. Malang, sepedanya malah hilang kendali dan dia jatuh terjungkal. Sayur mayur tampak berserakan keluar dari dua keranjang bambu. "Ya, Allah! Lagian kenapa ngebut sih, Pak? Saya kan mau beli sayur" kata Dena, sambil membantu tukang sayur itu mengumpulkan sayur mayur yang berserakan di jalan. "Maaf, bu. Saya pikir tadi ibu setan..." "Hah, setan?!" "Maaf, bu. Maaf..." Tukang sayur itu bangkit, lalu memperkenalkan diri. "Nama saya Pak Sanusi. Kawasan ini memang terkenal angker. Tak berpenghuni. Saya terpaksa lewat di sini, karena jalur ini paling cepat menuju ke rumah saya. Biar tidak terlambat untuk sholat maghrib di masjid." "Tuh, Bapak tiap hari lewat sini. Kan tidak ada apa-apa. Saya penghuni baru di sini, baru menyewa rumah itu!" Dena menunjuk tempat tinggalnya, di mana Aurora dan Axio tampak baru keluar rumah d
Malam itu, semua aman. Dena mengunci rapat pintu, sementara tirai menutup pemandangan kaca jendela. Aurora dan Axio mulai mengantuk usai makan malam, lalu Dena membawa mereka ke lantai atas untuk tidur di kamar masing-masing. Barulah dia bisa beristirahat sambil memperhatikan buku-buku yang berderet di ruang perpustakaan. Ruang itu, tidak terlalu besar. Namun begitu banyak buku-buku lama. Sebagian buku ternyata tentang sejarah-sejarah kuno atau peradaban silam. Dena bukan orang yang suka membaca, jadi dia malas untuk memeriksa buku-buku itu lebih jauh. Tetapi, Dena lebih tertarik dengan lukisan Dewa dan Dewi Hindu yang tergantung di dinding ruangan itu. Dena tak memahami tentang Hindu, maka dia cuma memandang lurus kedua lukisan itu. Apa Moksa dulu penganut Hindu? Pikirnya. Sebab keluarga Van der Mosch kata Pak Samiran adalah keluarga Nasrani. Dena menghela nafas, lalu duduk di kursi ruang perpustakaan itu. Sementara tangannya menempel di meja. Lampu minyak yang dibawanya diletak
Dena menghela nafas, kepalanya masih pusing. Terbangun pagi buta, dengan tubuh nyaris beku tergeletak di atas rumput penuh embun, tepat di depan pintu belakang rumah. Tak ada siapapun di sana, namun suara adzan lantang menggema. Dena bangkit kebingungan, lalu membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Lalu, dimana pria itu semalam? Lampu minyak masih ada di lantai, tetap menyala. Dia bergerak melangkah untuk melongok ke arah lantai dasar, tetap saja gelap disana. Dena kembali menuju pintu belakang, memandangi halaman belakang yang sunyi senyap. Tak ada api unggun, tadi penari yang menari dengan alunan gamelan. Apalagi anak-anak kecil menyeramkan. Tak terlihat seorangpun!. "Anakku! Oyaaa... Ciyooo...." Dena berlari sekuat tenaga memasuki rumah, lanjut bergegas naik tangga. Diperiksanya kamar kedua anaknya dengan cemas. Alhamdulilah, Aurora dan Axio ternyata masih tertidur lelap. Semua ternyata baik-baik saja. Baru setelah sedikit tenang, Dena bisa mandi dan berganti pakaian.