Mengerjapkan matanya perlahan-lahan. Gadis bersurai hitam dengan manik mata coklat gelap itu pun mulai sadarkan diri setelah sekian lama.
Menatap lampu ruangan yang bersinar menerangi ruangan tempatnya berbaring, manik mata coklat gelap milik Kyla yang masih terasa buram, tiba-tiba menjadi sakit.
"Ugh.."
Kyla merintih. Ia langsung mengarahkan punggung tangannya ke arah atas wajahnya. Menutupi kedua bola matanya dari sengatan cahaya lampu yang membuatnya silau.
Clek..
Suara daun pintu terbuka. Ia menolehkan kepalanya dan menatap wajah seorang gadis berambut panjang dengan senyuman manis yang bertengger di bibirnya.
Buram. Saat itu Kyla hanya bisa mengenali perawakan kakak perempuannya dengan senyum gembira.
Ternyata kakak sudah pulang. Ibu dan Ayah pasti ada di luar menungguku, batin Kyla, merasa senang sendiri.
Namun saat Kyla mengerjapkan matanya dan penglihatannya mulai jelas. Yang ia lihat bukanlah lagi perawakan kakaknya. Namun hanya seorang suster yang berusia paruh baya, tengah berjalan menghampiri dirinya.
"Kamu sudah bangun nak. Apakah ada yang sakit?!" tanya suster wanita itu, mengecek semua benda-benda yang melekat di tubuh Kyla.
Mengerjapkan matanya polos. Beberapa saat Kyla hanya termenung. Diam dengan menatap wajah suster perempuan yang tengah berdiri di samping ranjangnya.
"Suster. Diaman Bibi Nasra?!" tanya Kyla, langsung membuat perawat wanita itu terdiam.
"Em.. Bibi Nasra sedang tidur. Nanti kalau nona Kyla sudah sembuh dan baikkan. Suster akan mengantar nona Kyla ke sana," ucap wanita itu, dengan mengulas sebuah senyuman manis.
Terdiam beberapa saat. Perawat perempuan itu menjadi sedikit tidak enak hati karena telah membohongi seorang gadis kecil yang bahkan tidak sampai setinggi pinggangnya.
Namun Kyla kecil hanya bisa tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya antusias.
Kata ibu, kita harus menurut dengan dokter dan suster ketika kita sedang sakit. Karena mereka berdua pasti melakukan sesuatu hal baik agar kita cepat sembuh.
Jadi Kyla kecil hanya bisa tersenyum dan menuruti kemauan suster perempuan yang sedang berusaha menghibur dirinya ini.
"Baiklah. Kalau begitu nona Kyla tidur dulu ya. Nanti jam 12.00 siang suster Rini akan mengunjungi nona. Nona makan dengan suster Rini ya?!" tanya suster itu, tersenyum sambil mengangguk-angguk kepalanya. Membujuk Kyla kecil yang sedang memandangnya dengan ekspresi wajah polos.
"Baik. Em.. kalau nama suster siapa?!" tanya Kyla, bangkit dari tidurnya dan duduk dengan mendongakkan kepalanya memandang wajah perawat itu.
"Nama saya? Nama saya Ratih nona. Nona bisa memanggil saya suster Ratih," ucap wanita berusia 45 tahun itu, mengelus-elus puncak kepala Kyla sayang.
Miris. Dada Ratih terasa sangat sesak ketika ia harus berbohong dan menyembunyikan sebuah fakta yang sangat besar mengenai keluarga gadis kecil di hadapannya.
Dan Kyla yang mendapatkan perlakukan lembut seperti itu hanya bisa tersenyum manis sambil menikmati sensasi belaian lembut di puncak kepalanya.
"Kalau begitu, suster Ratih pergi dulu. Dan ini. Ada boneka beruang nona Kyla yang di titipkan oleh Suster Rini. Jika Anda bangun, beliau berpesan agar saya memberikannya kepada nona," ucap Suster Ratih, mengambil sebuah Paper Bag yang ada di samping nakas sebelah ranjang Kyla. Dan mengeluarkan sebuah boneka beruang berwarna coklat.
"Pimi.." seru Kyla, merentangkan kedua tangan kecilnya untuk menyambut kedatangan boneka beruang berwarna coklat kesayangannya.
Suster Ratih pun memberikan boneka itu kepada Kyla dan ikut tersenyum senang. "Oke, kalau begitu suster keluar dulu ya. Nona Kyla jangan main jauh-jauh ya?!"
Menganggukkan kepalanya antusias. Kyla kecil pun melambaikan tangannya ketika melihat kepergian suster Ratih.
Dan setelah itu, Kyla hanya berdiam diri di kamar sambil menunggu jam makan siang datang. Dan ia pasti akan segera bertemu dengan bibinya, Bibi Rini. Bibi yang jarang sekali bermain ke rumah Kyla karena jadwal pekerjaannya yang padat.
Jam makan siang..
Matahari sudah terlihat sangat terik. Lampu kamar Kyla yang tadi menyilaukan sudah di matikan oleh seorang dokter dan sebagai gantinya, jendela kamarnya dibuka agar cahaya matahari bisa masuk ke dalam ruangannya yang sedikit gelap.
Duduk di sebuah sofa yang ada di samping bingkai jendela, Kyla kecil memandang ke arah luar jendela dan hanya diam memperhatikan langit biru dengan gumpalan-gumpalan awan putih yang tampak bergerak secara perlahan-lahan di sana.
Mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang tidak sampai menyentuh lantai. Kyla kecil hanya bisa termenung merindukan keluarga kecilnya yang entah berada di mana mereka sekarang.
Padahal Kyla sangat merindukan kedua orang tua dan kakak perempuannya. Sudah 2 bulan mereka tidak bersua dan sekarang malah ada kejadian seperti ini. Itu membuat hati Kyla benar-benar merasa sedih.
Tik.. tik.. tik..
Suara jarum jam yang berdenting, memenuhi ruangan kamar Kyla yang terlihat sunyi.
Clek..
Seorang wanita muda, yang sekiranya berumur 24 tahun mencelingukkan kepalanya ke dalam kamar keponakan kecilnya.
"Key!" panggil wanita itu, membuat kedua manik mata Kyla menatap wajahnya dengan mata yang berbinar-binar.
Sebelum melihat wajah manisnya, Kyla bahkan sudah mengetahui siapa wanita itu.
Tentu saja itu Bibinya. Bibi Rini. Wanita muda berusia 24 tahun yang selalu sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai lupa jika dirinya akan menikah 3 bulan ke depan.Tidak bisa bergerak dengan sembarangan karena tubuhnya sedang di infus. Gadis kecil itu hanya bisa merentangkan tangannya dan menyambut pelukan Bibi Rini yang langsung menghampirinya dan memeluknya erat.
"Sayang.." ucap Bibi Rini, membelai-belai bagian belakang Kyla dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Memang benar jika Bibinya yang satu ini jarang berkunjung ke rumah. Namun bukan berarti ikatan persaudaraan mereka buruk.
Bahkan, walaupun Bibi Rini selalu sibuk bekerja. Kadang-kadang jika ia ada waktu, ia selalu menyempatkan diri untuk menengok kedua keponakannya dengan membawa oleh-oleh yang mereka berdua sukai.
Dan setelah 1½ bulan tidak bertemu. Akhirnya mereka berdua bisa bertemu walaupun dengan keadaan seperti ini.
Menangis. Bibi Rini tiba-tiba terisak pelan. Dan itu membuat gadis kecil seperti Kyla hanya bisa terdiam dan kebingungan.
"Mulai sekarang Kyla tinggal sama Bibi ya?!" ucap Bibi Rini, dengan menatap Kyla kecil yang memandangnya dengan tatapan polos dan tidak mengerti apa-apa mengenai keadaannya.
"Kenapa Bi? Memangnya Mama sama Ayah pergi keluar kota lagi untuk bekerja? Lalu kakak bagaimana? Aku juga belum melihat Bibi Nasra. Tadi aku akan datang dengan Bibi Nasra untuk menjemput Ayah, Mama dan Kakak?!" ucap Kyla, dengan memandang wajah Bibi Rini yang sudah memerah karena terlalu lama menangis.
Menatap Kyla yang polos dan ringkih. Bagaimana aku i bisa mengatakan jika kedua orang tua dan kakaknya sudah tiada karena kecelakaan pesawat yang menimpa mereka?!
Dan bagaimana bisa aku mengatakan jika keadaan Bibi Nasra sekarang ini sudah sangat memperhatikan. Bahkan harapannya untuk bertahan hidup sanggatlah tipis.
Menatap Kyla kecil dengan ekspresi pedih. Lihat Rini terasa kelu untuk menyampaikan kabar duka tersebut. Yang mampu ia katakan hanya sebuah permintaan maaf, di sela-sela tangisnya.
"Maafkan Bibi. Sungguh... maaf Bibi bersalah, Kyla!"
3 tahun berlalu.. Seorang gadis berusia 7 tahun berdiri di hadapan tiga buah batu nisan bertuliskan nama-nama yang ia kenal akrab. Damar Dalla Dana Dyaksa (Damar). Lelaki berumur 34 tahun. Sangat senang makan es krim rasa vanila bersama dengan kedua putrinya. Tapi mungkin sekarang Kyla tidak akan bisa melakukan hal seperti itu bersama dengan Ayah dan kakaknya sekarang. Sheeva Bani Nazaputri (Sheeva). Wanita berusia 32 tahun yang sangat bawel dan cerewet. Padahal ia mantan perwira polisi yang di kenal tegas dan bijaksana. Namun entah mengapa ia menjadi ibu rumah tangga yang sangat cerewet ketika ia sudah memegang kemoceng ataupun sapu. Jika mengingat bagaimana ekspresi ibunya yang sedang memarahi dirinya, Ayah dan Kakaknya setelah pulang dari memancing dengan keadaan yang kotor oleh lumpur, Kyla menjadi tertawa sendiri. Ah.. sepertinya aku mu
Drkk..Kyla menarik sedikit salah satu kursi yang ada di meja makan ke belakang. Duduk di sana dengan memanjatnya pelan dan tiba-tiba dua tangan kekar memegang pinggangnya. Mengangkat tubuh mungilnya perlahan dan mendudukkannya di kursi tersebut menghadap ke arah meja makan.Kyla menoleh ke samping. Melihat seorang lelaki berusia 41 tahun yang memakai kacamata berbentuk persegi panjang dengan bingkai berwarna coklat tua, duduk di sampingnya dengan nyaman. Tak lupa dengan beberapa lembar koran yang selalu dibaca setiap pagi.Merasa di pandangi oleh putri kecilnya, Rian pun menolehkan kepalanya ke samping dan menatap Kyla kecil yang tengah memandangnya dengan tatapan polos."Ada apa sayang?!" tanya Rian, menyunggingkan senyuman tipis sambil membelai pelan puncak kepala Kyla sayang."Tidak ada Ayah. Terima kasih sudah membantuku duduk!" ucap Kyla, dengan menolehkan kepalanya ke arah depan. Menatap Ibunya yang tengah menyi
Ravi berlari menghampiri putrinya. Ia langsung mengusap keningnya dan merasakan suhu tubuh Kyla yang sedikit tinggi."Ky, kamu kenapa? Wajah kamu sangat merah?! Kamu demam?!" seru Ravi, benar-benar cemas. Kyla langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dan memalingkan wajahnya dari Ayahnya. Menghindari telapak tangan besar milik Ayahnya yang berusaha mencapai permukaan keningnya. "Tidak. Aku baik saja Ayah!" sahut Kyla, menutupi wajahnya dengan menggunakan kedua telapak tangannya. "Tapi wajahmu merah. Coba Ayah lihat dulu, sayang!!" ucap Ravi, bersikeras. Bahan lelaki itu ikut berputar-putar saat Kyla terus berusaha menghindari dirinya. "Tidak mau.." elak Kyla, keras kepala. "Kyla!!" seru Ravi, penuh kesabaran. Ia tetap berusaha menghentikan aksi putrinya yang terus berputar-putar untuk menghindari tangannya dengan mencengkeram kedua pundaknya pelan.
Tap ... tap ... tap ...Kedua anak berusia 7 tahun itu saling berjalan beriringan. Walaupun Kyla sedikit kepayahan karena langkah lebar Raka, tapi gadis itu berhasil mengejar langkahnya dengan baik.Set..Kyla menatap tangan Raka yang tiba-tiba menggandengnya. Mereka berdua sudah berhenti di depan salah satu pintu sebuah ruangan sambil memantapkan hati. Tidak! Lebih tepatnya Raka yang memantapkan hati. Karena Kyla sedikit pun tidak merasa gugup ketika ingin memasuki kelas."Tersenyumlah jika nanti kita berdua masuk! Kamu tahu? Kita harus membuat kesan pertama yang baik untuk kehidupan sekolah yang damai ke depannya," ucap Raka, dengan menatap Kyla yang hanya bisa diam memandangnya.Aku sedikit tidak mengerti? Memangnya kenapa kalau aku sudah ketus dari awal? Apakah di Dinh Hoa banyak sekali pembullyan sampai-sampai aku harus membuat kesan pertama yang baik agar terhindar dari masalah?! pikir Kyla, yang sedari tadi hanya diam melihat wajah tegang dari Raka."H
Srrr ...Angin berembus lembut menyapu kulit wajah Kyla. Helaian rambutnya yang tergerai bebas mulai bergoyang pelan karena hembusan angin.Kedua kelopak matanya tertutup rapat. Tubuhnya terbaring lemas di atas sebuah ranjang rumah sakit.13 tahun sudah berlalu. Sejak saat itu Raka selalu ada di samping gadis ini. Pahit, manis, asam masalah kehidupan selalu kita bagi bersama.Tapi hal yang Raka lihat saat ini berkali-kali lipat lebih sakit saat diputuskan oleh mantan kesayangannya ataupun lebih sakit dari sakit gigi.Menatap wajah Kyla yang tertidur dengan damai. Dada Raka semakin terasa sesak setiap menitnya.Rasanya kemang tersiksa melihatnya seperti ini, tapi aku ingin selalu di sisinya. Dan menjadi satu-satunya orang yang bisa dilihat saat pertama kali terbangun.Seperti itulah pikir Raka. Tapi siapa sangka jika ruangan rumah sakit yang seharusnya tenang dan damai karena menjad
Putra duduk di samping ranjang Kyla dengan tatapan lelah dan wajah yang masih sedikit pucat. "Semuanya akan baik-baik saja. Kakakmu sudah berhasil melewati masa kritisnya. Jadi jangan terlalu bersedih seperti ia sudah mati begitu. Wajahmu benar-benar jelek, Put." Putra menghela napasnya kasar dan menatap wajah Raka dengan tatapan malas beberapa saat sebelum akhirnya kembali menatap wajah Kyla yang tertidur dengan damai. "Aku akan cari angin dulu. Tidak baik memiliki ekspresi wajah buruk seperti ini saat ia bangun nanti. Aku nitip kakak dulu." Putra bangun dari tempatnya dan berjalan pergi meninggalkan ruangan itu. Raka menghela napasnya kasar dan menatap punggung Putra dengan pandangan sendu sampai Putra benar-benar meninggalkan tempat itu. "Kamu bisa bangun sekarang. Kenapa pula pura-pura tidur jika kamu sudah bangun. Sengaja membuat adikmu sedih?" pekik Raka, duduk di bangku yang sempat di tempati Putra. Kyla membuk
Devi berjalan dengan lesu memasuki kelasnya. Dengan punggung yang sedikit membungkuk dia berjalan menuju bangkunya dan malah melihat Raka yang duduk di sana. "Minggir. Aku sudah terlalu lemas untuk berdebat denganmu," usir Devi, dengan menatapnya dengan tatapan lelah. Raka yang tengah membaca sebuah buku sambil menunggunya pun akhirnya menoleh dan menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya. "Kenapa dengan wajahmu? Bukannya kamu sudah bertemu dengan Kyla?" tanya Raka, sambil menyingkir dari bangkunya. "Ya. Aku sudah menemuinya. Hah ... dan ia bilang akan menikah dengan seorang pria asing. Alih-alih bukan denganmu yang sudah tahu semua tentangnya, ia malah memilih lelaki asing untuk menemaninya," ucap Devi, dengan wajah murung. Raka diam dan menepuk-nepuk punggungnya. "Jangan salahkan Kyla. Dia melakukannya karena aku dan kamu. Hargai saja keputusannya." "Kamu bicara apa? Kenapa kita yang jadi alasannya?" Raka mengang
Zafar berdiri di depan pintu lift dan menunggu Kyla keluar dari sana. Namun ia sudah berdiri lebih dari 10 menit dan tidak melihat kehadiran Kyla di sana. "Di mana ia pergi? Apa mungkin ia terjatuh atau–" "Jangan berandai-andai. Ayo pergi. Barang bawaanku sudah cukup berat!" celetuk Kyla, berjalan melewatinya dari belakang. Zafar langsung menoleh ke arahnya dan menatap wajah Kyla yang terlihat buruk. Belum lagi ia berjalan sangat cepat untuk meninggalkan Zafar di belakang. "Ia marah. Tentu saja. Itu terlihat sangat jelas," gumam Zafar, lekas mengejarnya. "Biar aku bawakan." Zafar berusaha meraih barang-barang bawaan Kyla tapi tampaknya Kyla terlihat semakin kesal karena hal tersebut. "Jangan tidak sopan. Acuhkan saja seperti tadi. Aku akan baik-baik saja. Aku bisa membawanya!" ucap Kyla, dengan ekspresi dingin. Zafar menelan ludahnya susah dan menatap wajah Kyla dengan tatapan ragu. Alhasil ia hanya bisa diam deng
"Hahh ... aku lelah tersenyum," gumam Fajar, meneguk air sirop yang baru saja di berikan oleh Bintang ke padanya. "Kenapa kamu sangat terlambat tadi? Menjemput kekasihmu? Padahal rumahnya sangat jauh dari rumahmu," ucap Bintang, duduk di sampingnya sambil memakan sepotong kue ulang tahunnya. "Tidak, Mama sedang sakit jadi aku baru tidur saat pagi dan bangun kesiangan. Terlebih menjemput Nabila membutuhkan waktu yang cukup lama karena aku terkena tilang oleh Kakaknya," keluh Fajar, mengembuskan napasnya kasar. Bintang yang mendengar itu hanya terkekeh menertawakannya. "Kakaknya yang siapa? Aku kenal salah satunya, apakah kamu tidak izin jika akan datang ke partyku?" Fajar menggeleng dan menatap wajah Nabila yang berada di tengah-tengah ke ramaian yang ada. "Aku tidak tahu, jadi aku hanya mengatakan seadanya. Datang ke party sebelah! Namun siapa sangka jika tempatnya berubah sangat jauh seperti ini," celatuk Fajar, melirik ta
"Mana kado untukku?" Nabila pun segera mengeluarkan kotak kecil dengan pita besar di atas kotanya, dari dalam tas dan memberikan itu kepada Lintang. "Aku yang membuat desainnya. Semoga kamu suka." "Eh?" Lintang segera membuka kadonya dan menatap sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang yang memiliki batu ruby kecil yang bersinar di dalamnya. "Indah sekali, pasti sangat mahal. Bagaimana kamu bisa menghadiahkan benda seperti ini kepada kawanmu?" ucap Lintang, terharu. Nabila hanya tersenyum dan memberikannya sebuah strawberry yang baru saja ia putik dari kebun Putra. "Makanlah, aku bukan mencurinya. Ini barang halal karena pemilik rumahnya adalah Kakakku, hehe ...." Lintang yang mendengar itu hanya mengembuskan napasnya panjang dan menatap wajah Nabila yang terlihat senang. "Dasar, terima kasih." Lintang memakan buah itu dengan sekali suap dan menatap ke mana Nabila menatap. "Hem ... bagaimana hubunganmu dengan Fajar? Ada perkembangan?" ucap Lintang, menyiku tangan Nabil
"Jar, katanya di kompleks sebelah? Ini jauh banget sih kita jalannya. Mau ke mana?" tanya Nabila, dari sisi samping kanan bahu Fajar. "Acaranya berubah tempat, Nab. Sorry, kamu kabari saja Kakak kamu dulu. Tapi nanti aku bakalan anterin kamu tepat waktu kok," ucap Fajar, menoleh ke arah Nabila sejenak. Nabila pun mengangguk pelan dan menghubungi Jaya lewat pesan teks. Namun seperti yang ia duga, Kakak lelakinya itu sangat marah hingga memintanya kembali sekarang ini juga. Tapi Nabila tidak mengatakannya kepada Fajar dan membiarkan ojek pribadinya ini membawa ia sampai ke tempat tujuan. "Sampai juga!" ucap Fajar, menghentikan motornya di tanah lapang yang hanya memiliki dua rumah yang cukup besar di depan sana. Nabila langsung turun dan menatap lingkungan itu dengan pandangan bingung. "Kayaknya aku pernah ke sini. Hem ... tapi aku lupa karena terakhir kali ke sini saat usia 5 tahun," gumam Nabila, bisa di dengar
Klap .... Astra menatap wajah Kyla dan Jaya yang terlihat begitu sengit saat memandang dirinya. "Kamu tahu Nabila pergi dengan siapa?" tanya Jaya, mulai posesif. Astra mengangguk pelan dan meninggalkan tempat seraya mengambil segelas air untuk ia minum. "Dengan ketua kelasnya. Tidak perlu khawatir, aku sudah memintanya mengantar pulang sebelum jam acara di mulai dan aku juga sudah meminta nomor ponselnya. Jadi aku bisa menghubunginya saat mereka telat dan memarahinya jika perlu," jelas Astra, mencoba meyakinkan Jaya yang terlihat sangat marah akan tindakannya. "Jika sampai terjadi sesuatu padanya, kamu akan bertanggung jawab sendiri pada Om Ishad dan Tante Cindy. Aku tidak mau membantumu," ucap Jaya, berlalu pergi meninggalkan tempat tersebut. Astra yang mendengar itu hanya diam dan mengembuskan napasnya lelah seraya menatap penampilan Kyla yang sudah rapi dan cantik. "Kakak mau ke mana?" tanya
Klap .... Arjun menutup pintu rumah Kyla dan bersandar di sana. Ia mengembuskan napas kasar dengan memandang undangan yang ia genggam. Hatinya terasa berat sekaligus senang. Ia cukup terhibur dengan perkataan Kyla terakhir kali. Namun di sisi lain ia terlihat sangat sedih melihat gadis yang ia sukai menikah dengan musuh bebuyutannya. "Padahal aku juga cukup baik untuk melindunginya. Tapi mengapa harus dengan lelaki itu? Yang wajahnya saja tidak ingin aku lihat, apa lagi kunjungi untuk mengucapkan kata selamat." Arjun tersenyum getir dan berjalan meninggalkan Apartemen tersebut dengan ekspresi sedih. "Kalau bukan jodoh, ya memang begitulah adanya," gumamnya, berjalan meninggalkan rumah tersebut. *** Hosh ... hosh ... hosh .... Dengan kaki lemas, Astra berjalan keluar dari ruangan olahraga berdama dengan kedua saudaranya. Dengan langkah pelan, mereka berjalan mendekati lemari es dan mengambil seb
Gebrak .... Zafar terjatuh dari tempat tidurnya. Seketika ia terbangun dan merintih kesakitan sambil memegangi pundaknya dan punggungnya yang terasa sakit. "Awh ... kenapa pula bisa terjatuh," pekik Zafar, bangkit dari posisinya dan duduk bersandar dengan memegangi pundaknya. "Bagaimana dengan makanannya? Ayah sudah mempersiapkannya? Jika belum, temanku ada yang membuka katering dan makanannya tak kalah dengan restoran. Ia sangat pandai memasak, jadi jangan–" Klek .... Zafar keluar dari kamarnya dan menatap kedua Kakaknya yang sedang berdiskusi saat melewati kamarnya. "Kamu sudah bangun? Cuci muka dan turunlah untuk sarapan. Sebentar lagi kita akan pergi melihat baju yang akan kalian kenakan saat pertunangan," ucap Chika, kembali meneruskan perjalanannya. Zafar hanya mengangguk pelan dan menatap Kakak Iparnya yang masih berdiri di depannya dengan menatap dirinya. "Ada apa?" tanya Zafar, menggaruk kepalan
"Mampuslah kamu, Nab. Kakak akan segera memarahimu, haha ...," ucap Jaya, tampak riang. Ketiga anak itu menyeret Arjun naik sampai ke lantai 10 bangunan apartemen tersebut. Arjun yang seakan-akan tengah di belenggu oleh kedua anak lelaki itu hanya bisa diam pasrah dengan apa yang akan terjadi dengannya sebentar lagi. Jujur saja, Arjun sudah tidak punya tenaga untuk bertengkar atau pun melarikan diri dari anak-anak ini. Ia sudah cukup lelah dengan Kyla tadi dan ia harap mereka tidak akan berpapasan di jalan, karena gedung apartemen mereka berdua memang sama. Jaya berjalan mendahului langkah mereka. Berjalan mendekati sebuah pintu di sebuah lorong sisi kanan selepas mereka keluar dari lift dan menekan bel rumah tersebut. "Siapa?" tanya si pemilik rumah, menatap CCTV yang menampilkan wajah adiknya di luar sana. Klek .... Pintu terbuka. Seorang wanita keluar dengan piama bercorak kelinci dengan rambut di cepol ala kad
Brak .... Arjun keluar dari mobil Kyla begitu merek telah sampai di gedung apartemennya. Arjun menatap bangunan itu dengan saksama sebelum akhirnya ia menatap wajah Kyla yang menatapnya dengan pandangan aneh. "Ada apa? Kamu tampak terkejut saat melihat rumahku? Apa jangan-jangan kamu memiliki teman yang tinggal di gedung yang sama denganku?" tanya Kyla, menatap wajah Arjun yang terlihat terkejut. "Ini sih bukan lagi teman, tapi mungkin kita adalah tetangga. Aku baru pindah sekitar 2 bulan yang lalu ke apartemen ini begitu pulang dari luar negeri," jelas Arjun, memandangnya dengan tatapan senang. Namun Kyla yang mendengar hal tersebut malah memandangnya dalam diam dan tak terlihat bahagia. "Kamu kenapa? Sepertinya kamu tidak senang mendengar kita menjadi tetangga?" tanya Arjun, menatap wajah Kyla yang tampak masam. Kyla tersenyum masam dan menggidikkan bahunya acuh. "Entahlah, jika tempat tinggal kita dekat, berart
"Aku tahu, mangkanya aku harus menunjukkan muka sekarang, kan?!" Kyla menatap Gibran yang mencekal tangannya guna menahan langkahnya dengan tatapan lelah. "Jadi Anda sudah tahu akan hal itu?" Kyla mengangguk pelan dan melepaskan tangan Gibran dari lengannya. "Bagaimana aku tidak tahu jika mereka mengambil jarah sedekat itu denganku? Bahkan anak buahnya berkeliaran dengan pakaian medis, mangkanya biarkan asistenmu berjaga di sini bersamamu nanti. Di bandingkan diriku, mungkin sekarang kamu yang berada di dalam bahaya." Gibran menatapnya dengan tatapan cemas. "Tapi Nona, apakah Anda akan baik-baik saja jika pulang sendirian malam ini? Saya benar-benar cemas jika Anda harus pulang sendirian sekarang." Gibran kembali menahan tangan Kyla dan tidak membiarkan wanita itu beranjak dari posisinya. Kyla tampak lelah dengan sikapnya ini. "Huff ... aku–" "Biarkan aku mengantarnya, jika di perbolehkan," ucap Arjun, d