Drkk..
Kyla menarik sedikit salah satu kursi yang ada di meja makan ke belakang. Duduk di sana dengan memanjatnya pelan dan tiba-tiba dua tangan kekar memegang pinggangnya. Mengangkat tubuh mungilnya perlahan dan mendudukkannya di kursi tersebut menghadap ke arah meja makan. Kyla menoleh ke samping. Melihat seorang lelaki berusia 41 tahun yang memakai kacamata berbentuk persegi panjang dengan bingkai berwarna coklat tua, duduk di sampingnya dengan nyaman. Tak lupa dengan beberapa lembar koran yang selalu dibaca setiap pagi. Merasa di pandangi oleh putri kecilnya, Rian pun menolehkan kepalanya ke samping dan menatap Kyla kecil yang tengah memandangnya dengan tatapan polos. "Ada apa sayang?!" tanya Rian, menyunggingkan senyuman tipis sambil membelai pelan puncak kepala Kyla sayang. "Tidak ada Ayah. Terima kasih sudah membantuku duduk!" ucap Kyla, dengan menolehkan kepalanya ke arah depan. Menatap Ibunya yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. "Di mana kakakmu, Ky? Belum bangun?!" tanya Mama Rava, menatap Kyla yang tidak duduk bersebelahan dengan putra sulungnya seperti biasa, namun duduk bersama dengan suaminya. "Kakak masih mandi Ma. Sebentar lagi pasti turun!" sahut Kyla, dengan suara lucunya. Rava hanya tersenyum dengan mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Lalu ia kembali sibuk dengan piring dan lauk pauk di depan sana. "Kakak!" seru seorang lelaki kecil yang tingginya hanya se-telinga Kyla, tengah berlari dan hinggap di paha Kyla. Menidurkan kepalanya di atas paha kakak perempuannya sambil menjulurkan kedua tangannya di atas paha Kyla. Menatap tingkah adik kecilnya. Kyla hanya bisa tersenyum kecil dan mengelus-elus rambut hitam lebat yang dipotong seperti mangkuk itu, dengan gerakan pelan. Srak.. Bintang Nugraha Putra (Arga). Lelaki berusia 6 tahun yang sekarang ini telah menjadi adik angkat Kyla. Bagi Kyla, Arga adalah anak yang manja dan cengeng. Karena yang Kyla tahu, lelaki kecil ini sangat senang sekali bergelayutan pada Kyla. Entah peluk atau bersandar. Tapi Arga memang sangat suka berdekat-dekatan dengan Kyla dari pada Afkar. Kata Ayah, Arga memang sangat menyuai kakak perempuan. Oleh karena itu, sekarang Kyla menjadi kakak perempuan Arga yang paling ia sayangi selama satu tahun ini. Bahkan sikap manja dan sayang Arga tidak pernah berubah sedikit pun kepada Kyla. "Ayo sarapan. Adek kan juga mau sekolah!" ucap Ravi, sambil menghela napasnya pelan ketika melihat kelakuan putra bungsunya itu. Menolehkan kepalanya ke arah Ayahnya. Arga memandang wajah Ravi dengan tatapan polos tapi terkesan mengintimidasi. "Ayah pergi!" ucap Arga, membuat Ravi mengerjapkan matanya polos. Tidak mengerti maksud putra bungnya. Melihat Ravi yang tidak bergerak sedikit pun dari posisinya. Arga langsung bangkit dari posisinya. Mendekati Ayahnya. Lalu mendorong lelaki itu dengan susah payah walaupun tubuh besar Ravi tidak akan bergeser satu inci pun walaupun Arga mendorongnya dengan berbagai macam cara. "Ayah pergi. Aku mau duduk di sebelah kakak, ugh!" keluhnya, masih bersikeras untuk membuat posisi Ravi tergeser. "Ayah.. coba ngalah sama anaknya!" ucap Rava, mendenguskan napas kesal saat melihat kelakuan suaminya yang malah diam seperti patung padahal ia sudah melihat bagaimana usaha keras anaknya untuk membuatnya pergi. Mendengar teguran istrinya. Ravi langsung terkekeh geli dan mengangkat tubuh Arga, lalu meletakan tubuh mungilnya di atas pangkuannya. Namun Arga langsung merapatkan bibirnya. Membuatnya sedikit mengerucut dan mengerutkan keningnya dalam. "Mama, Arga mau duduk sendiri!" adu Arga, membuat Rava memelototkan matanya ke arah suaminya. Melihat itu, Ravi hanya bisa menghela napas panjang dan merubah posisi mereka. Mendudukkan Arha di atas kursi itu sendirian. Dan kemudian Ravi duduk di tempat biasanya ia melakukan ritual makan bersama keluarganya. Duduk di tengah-tengah dan menghadap keempat keluarganya yang duduk berjajar di sisi kiri dan kanannya. Karena meja makan mereka berbentuk bundar. Tidak mungkin mereka duduk berbaris seperti makan di meja yang berbentuk persegi panjang bukan?! Tersenyum penuh kemenangan. Arga pun menjulurkan lidahnya ke arah Ayahnya, mengejek. Namun Ravi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan mengingatkan dirinya untuk tetap sabar menghadapi sikap putra bungsunya itu. Karena sikap tengil dan bawel Arga adalah murni seperti sikapnya waktu kecil. Ibunya sendiri yang mengatakan hal itu. Mengatakan jika Arga adalah jiplakan Ravi saat masih kecil. "Selamat pagi," sapa seorang anak lelaki berusia 14 tahun, berjalan ke arah mereka dengan menenteng tas ransel sekolahnya di bahu kanan. "Selamat pagi kakak," seru Kyla dan Arga, bersamaan. Afkar yang melihatnya langsung mengulas senyuman manis dan beranjak duduk di sebelah Kyla. Namun saat ia melihat Mamanya sedang sibuk menyiapkan makanan, tiba-tiba Afkar kembali berdiri dan membantunya bersiap. "Gak usah ikut-ikutan kak! Nanti seragam sekolahnya belepotan terkena minyak!" tegur Mama Rava, memperingatkan Afkar yang sudah menyentuh sebuah piring lauk berisikan ayam goreng dan sosis. "Enggak Ma. Afkar bantu siapkan ini aja ya! Habis itu, Afkar duduk lagi." Menghela napas panjang. Rava pun menganggukkan kepalanya pelan dan membiarkan Afkar untuk membantunya. Setelah beberapa saat kemudian, piring-piring berisikan nasi beserta lauk-pauknya sudah berada di hadapan Ravi, Kyla, Arga, Afkar dan Rava. "Selamat makan!" ucap Arga, bersemangat. Dan mulailah acara makan mereka di awali dengan salam dari anggota terkecil dalam keluarga mereka tersebut. *** Ckit.. Ravi menghentikan mobilnya di depan sebuah sekolah dasar bertuliskan Primary School Dinh Hoa. Nama yang unik untuk sebuah sekolah dasar bukan?! Kata Ayah, ini adalah sekolah swasta terbaik di kota Roswald. Dan mengapa sekolah ini memiliki nama yang unik? Katanya, di belakang sekolah ini ada sebuah bukit yang ditumbuhi oleh beberapa pohon sakura yang selalu mekar di setiap musim. Aneh bukan? Padahal bunga sakura hanya bisa bermekaran paling cantik di bulan April. Tapi di kota Roswald, bunga-bunga yang ada di puncak bukit Dinh Hoa bisa bermekaran sepanjang bulan dalam satu tahun. Kyla jadi ingin melihat langsung bagaimana pemandangan bunga-bunga sakura yang ada di belakang bukit sekolahnya itu. Turun dari dalam mobil. Kyla langsung disambut oleh seorang anak lelaki yang tidak ia kenali. Namun sepertinya Ayahnya mengenal anak lelaki itu dengan baik. Buktinya, lelaki kecil itu langsung menyalami tangan Ayahnya dengan akrab dan mulai berbincang-bincang mengenai siapa Kyla ini. "Jadi ini anak angkat paman?! Cantik sekali seperti boneka," puji lelaki itu, langsung membuat pipi Kyla bersemu merah saat mendengar pujian dadakan itu. Pshh... Kyla memegang kedua pipinya yang memanas. Wajahnya mulai berwarna merah karena malu mendengar pujian anak lelaki tersebut. Melihat itu, Ravi langsung gelagapan dan memegang kening putrinya, panik. "Ky, kamu kenapa? Wajah kamu sangat merah?! Kamu demam?!" seru Ravi, benar-benar cemas. Kyla langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dan memalingkan wajahnya dari Ayahnya. "Tidak. Aku baik saja Ayah!" "Tapi wajahmu merah. Coba Ayah lihat dulu, sayang!!" "Tidak mau.." "Kyla!!" "Aku baik-baik saja..." jerit Kyla, malu sendiri.Ravi berlari menghampiri putrinya. Ia langsung mengusap keningnya dan merasakan suhu tubuh Kyla yang sedikit tinggi."Ky, kamu kenapa? Wajah kamu sangat merah?! Kamu demam?!" seru Ravi, benar-benar cemas. Kyla langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dan memalingkan wajahnya dari Ayahnya. Menghindari telapak tangan besar milik Ayahnya yang berusaha mencapai permukaan keningnya. "Tidak. Aku baik saja Ayah!" sahut Kyla, menutupi wajahnya dengan menggunakan kedua telapak tangannya. "Tapi wajahmu merah. Coba Ayah lihat dulu, sayang!!" ucap Ravi, bersikeras. Bahan lelaki itu ikut berputar-putar saat Kyla terus berusaha menghindari dirinya. "Tidak mau.." elak Kyla, keras kepala. "Kyla!!" seru Ravi, penuh kesabaran. Ia tetap berusaha menghentikan aksi putrinya yang terus berputar-putar untuk menghindari tangannya dengan mencengkeram kedua pundaknya pelan.
Tap ... tap ... tap ...Kedua anak berusia 7 tahun itu saling berjalan beriringan. Walaupun Kyla sedikit kepayahan karena langkah lebar Raka, tapi gadis itu berhasil mengejar langkahnya dengan baik.Set..Kyla menatap tangan Raka yang tiba-tiba menggandengnya. Mereka berdua sudah berhenti di depan salah satu pintu sebuah ruangan sambil memantapkan hati. Tidak! Lebih tepatnya Raka yang memantapkan hati. Karena Kyla sedikit pun tidak merasa gugup ketika ingin memasuki kelas."Tersenyumlah jika nanti kita berdua masuk! Kamu tahu? Kita harus membuat kesan pertama yang baik untuk kehidupan sekolah yang damai ke depannya," ucap Raka, dengan menatap Kyla yang hanya bisa diam memandangnya.Aku sedikit tidak mengerti? Memangnya kenapa kalau aku sudah ketus dari awal? Apakah di Dinh Hoa banyak sekali pembullyan sampai-sampai aku harus membuat kesan pertama yang baik agar terhindar dari masalah?! pikir Kyla, yang sedari tadi hanya diam melihat wajah tegang dari Raka."H
Srrr ...Angin berembus lembut menyapu kulit wajah Kyla. Helaian rambutnya yang tergerai bebas mulai bergoyang pelan karena hembusan angin.Kedua kelopak matanya tertutup rapat. Tubuhnya terbaring lemas di atas sebuah ranjang rumah sakit.13 tahun sudah berlalu. Sejak saat itu Raka selalu ada di samping gadis ini. Pahit, manis, asam masalah kehidupan selalu kita bagi bersama.Tapi hal yang Raka lihat saat ini berkali-kali lipat lebih sakit saat diputuskan oleh mantan kesayangannya ataupun lebih sakit dari sakit gigi.Menatap wajah Kyla yang tertidur dengan damai. Dada Raka semakin terasa sesak setiap menitnya.Rasanya kemang tersiksa melihatnya seperti ini, tapi aku ingin selalu di sisinya. Dan menjadi satu-satunya orang yang bisa dilihat saat pertama kali terbangun.Seperti itulah pikir Raka. Tapi siapa sangka jika ruangan rumah sakit yang seharusnya tenang dan damai karena menjad
Putra duduk di samping ranjang Kyla dengan tatapan lelah dan wajah yang masih sedikit pucat. "Semuanya akan baik-baik saja. Kakakmu sudah berhasil melewati masa kritisnya. Jadi jangan terlalu bersedih seperti ia sudah mati begitu. Wajahmu benar-benar jelek, Put." Putra menghela napasnya kasar dan menatap wajah Raka dengan tatapan malas beberapa saat sebelum akhirnya kembali menatap wajah Kyla yang tertidur dengan damai. "Aku akan cari angin dulu. Tidak baik memiliki ekspresi wajah buruk seperti ini saat ia bangun nanti. Aku nitip kakak dulu." Putra bangun dari tempatnya dan berjalan pergi meninggalkan ruangan itu. Raka menghela napasnya kasar dan menatap punggung Putra dengan pandangan sendu sampai Putra benar-benar meninggalkan tempat itu. "Kamu bisa bangun sekarang. Kenapa pula pura-pura tidur jika kamu sudah bangun. Sengaja membuat adikmu sedih?" pekik Raka, duduk di bangku yang sempat di tempati Putra. Kyla membuk
Devi berjalan dengan lesu memasuki kelasnya. Dengan punggung yang sedikit membungkuk dia berjalan menuju bangkunya dan malah melihat Raka yang duduk di sana. "Minggir. Aku sudah terlalu lemas untuk berdebat denganmu," usir Devi, dengan menatapnya dengan tatapan lelah. Raka yang tengah membaca sebuah buku sambil menunggunya pun akhirnya menoleh dan menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya. "Kenapa dengan wajahmu? Bukannya kamu sudah bertemu dengan Kyla?" tanya Raka, sambil menyingkir dari bangkunya. "Ya. Aku sudah menemuinya. Hah ... dan ia bilang akan menikah dengan seorang pria asing. Alih-alih bukan denganmu yang sudah tahu semua tentangnya, ia malah memilih lelaki asing untuk menemaninya," ucap Devi, dengan wajah murung. Raka diam dan menepuk-nepuk punggungnya. "Jangan salahkan Kyla. Dia melakukannya karena aku dan kamu. Hargai saja keputusannya." "Kamu bicara apa? Kenapa kita yang jadi alasannya?" Raka mengang
Zafar berdiri di depan pintu lift dan menunggu Kyla keluar dari sana. Namun ia sudah berdiri lebih dari 10 menit dan tidak melihat kehadiran Kyla di sana. "Di mana ia pergi? Apa mungkin ia terjatuh atau–" "Jangan berandai-andai. Ayo pergi. Barang bawaanku sudah cukup berat!" celetuk Kyla, berjalan melewatinya dari belakang. Zafar langsung menoleh ke arahnya dan menatap wajah Kyla yang terlihat buruk. Belum lagi ia berjalan sangat cepat untuk meninggalkan Zafar di belakang. "Ia marah. Tentu saja. Itu terlihat sangat jelas," gumam Zafar, lekas mengejarnya. "Biar aku bawakan." Zafar berusaha meraih barang-barang bawaan Kyla tapi tampaknya Kyla terlihat semakin kesal karena hal tersebut. "Jangan tidak sopan. Acuhkan saja seperti tadi. Aku akan baik-baik saja. Aku bisa membawanya!" ucap Kyla, dengan ekspresi dingin. Zafar menelan ludahnya susah dan menatap wajah Kyla dengan tatapan ragu. Alhasil ia hanya bisa diam deng
Zafar menghentikan mobilnya di depan rumahnya. Tanpa membunyikan klakson agar satpam membukakan pintu gerbangnya, satpam yang bertugas langsung membuka pintu gerbangnya dan membiarkan mobil Zafar memasuki rumah. "Sudah pulang, Mas?!" tanya Pak Verdi, menatap Zafar yang berjalan keluar mobil dan malah menyuruhnya diam. "Bukakan saya pintu, Pak." Zafar meminta tolong selagi ia memindahkan Kyla ke dalam gendongannya. Pak Verdi hanya mengangguk dan melakukan apa yang di minta oleh majikannya dengan tersenyum tipis sambil menatap Zafar yang membawa masuk Kyla ke dalam rumahnya. Zafar tidak memedulikannya dan langsung membaringkan Kyla di sofa ruang tengah. Mengambilkannya selimut dan menatap kedua mata Kyla yang sembab. Zafar mengembuskan napas panjang dan kembali mengingat saat Kyla mengatakan hal-hal yang membuatnya iri dan tertidur dengan menangis dalam diam. Zafar mengambil selimut di dalam kamarnya dan menyelimutkannya pada
"Sebenarnya apa yang mau kamu katakan sampai berlaku seperti itu?" Hening. Kyla tidak langsung menjawabnya. Ia hanya diam dan menatap punggung bidang Zafar dengan embusan napas berat beberapa kali. "Mari batalkan pernikahannya. Aku tidak mau menikah denganmu." ***** Kyla menatap wajah Zafar yang terlihat terkejut karena keputusannya. Sebenarnya Zafar sudah ingin mengatakan hal tersebut sebelumnya, tapi sekarang malah Kyla yang mengatakan hal tersebut lebih dulu kepadanya. Saking syoknya, Zafar sampai lupa berkedip dan terus menatap wajah Kyla dengan tatapan lekat. "Seharusnya aku yang mengatakan hal itu setelah makan malam hari ini. Tapi berhubung kamu mengatakannya sebelum kita makan, apa sekarang aku tidak perlu meneruskan hal ini? Memasak dan memperlakukanmu dengan baik?!" Kyla tersenyum simpul dan menganggukkan kepalanya pelan. "Iya. Kamu tidak perlu melakukan hal ini. Aku akan pergi sekarang. Sebelum itu, bol
"Hahh ... aku lelah tersenyum," gumam Fajar, meneguk air sirop yang baru saja di berikan oleh Bintang ke padanya. "Kenapa kamu sangat terlambat tadi? Menjemput kekasihmu? Padahal rumahnya sangat jauh dari rumahmu," ucap Bintang, duduk di sampingnya sambil memakan sepotong kue ulang tahunnya. "Tidak, Mama sedang sakit jadi aku baru tidur saat pagi dan bangun kesiangan. Terlebih menjemput Nabila membutuhkan waktu yang cukup lama karena aku terkena tilang oleh Kakaknya," keluh Fajar, mengembuskan napasnya kasar. Bintang yang mendengar itu hanya terkekeh menertawakannya. "Kakaknya yang siapa? Aku kenal salah satunya, apakah kamu tidak izin jika akan datang ke partyku?" Fajar menggeleng dan menatap wajah Nabila yang berada di tengah-tengah ke ramaian yang ada. "Aku tidak tahu, jadi aku hanya mengatakan seadanya. Datang ke party sebelah! Namun siapa sangka jika tempatnya berubah sangat jauh seperti ini," celatuk Fajar, melirik ta
"Mana kado untukku?" Nabila pun segera mengeluarkan kotak kecil dengan pita besar di atas kotanya, dari dalam tas dan memberikan itu kepada Lintang. "Aku yang membuat desainnya. Semoga kamu suka." "Eh?" Lintang segera membuka kadonya dan menatap sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang yang memiliki batu ruby kecil yang bersinar di dalamnya. "Indah sekali, pasti sangat mahal. Bagaimana kamu bisa menghadiahkan benda seperti ini kepada kawanmu?" ucap Lintang, terharu. Nabila hanya tersenyum dan memberikannya sebuah strawberry yang baru saja ia putik dari kebun Putra. "Makanlah, aku bukan mencurinya. Ini barang halal karena pemilik rumahnya adalah Kakakku, hehe ...." Lintang yang mendengar itu hanya mengembuskan napasnya panjang dan menatap wajah Nabila yang terlihat senang. "Dasar, terima kasih." Lintang memakan buah itu dengan sekali suap dan menatap ke mana Nabila menatap. "Hem ... bagaimana hubunganmu dengan Fajar? Ada perkembangan?" ucap Lintang, menyiku tangan Nabil
"Jar, katanya di kompleks sebelah? Ini jauh banget sih kita jalannya. Mau ke mana?" tanya Nabila, dari sisi samping kanan bahu Fajar. "Acaranya berubah tempat, Nab. Sorry, kamu kabari saja Kakak kamu dulu. Tapi nanti aku bakalan anterin kamu tepat waktu kok," ucap Fajar, menoleh ke arah Nabila sejenak. Nabila pun mengangguk pelan dan menghubungi Jaya lewat pesan teks. Namun seperti yang ia duga, Kakak lelakinya itu sangat marah hingga memintanya kembali sekarang ini juga. Tapi Nabila tidak mengatakannya kepada Fajar dan membiarkan ojek pribadinya ini membawa ia sampai ke tempat tujuan. "Sampai juga!" ucap Fajar, menghentikan motornya di tanah lapang yang hanya memiliki dua rumah yang cukup besar di depan sana. Nabila langsung turun dan menatap lingkungan itu dengan pandangan bingung. "Kayaknya aku pernah ke sini. Hem ... tapi aku lupa karena terakhir kali ke sini saat usia 5 tahun," gumam Nabila, bisa di dengar
Klap .... Astra menatap wajah Kyla dan Jaya yang terlihat begitu sengit saat memandang dirinya. "Kamu tahu Nabila pergi dengan siapa?" tanya Jaya, mulai posesif. Astra mengangguk pelan dan meninggalkan tempat seraya mengambil segelas air untuk ia minum. "Dengan ketua kelasnya. Tidak perlu khawatir, aku sudah memintanya mengantar pulang sebelum jam acara di mulai dan aku juga sudah meminta nomor ponselnya. Jadi aku bisa menghubunginya saat mereka telat dan memarahinya jika perlu," jelas Astra, mencoba meyakinkan Jaya yang terlihat sangat marah akan tindakannya. "Jika sampai terjadi sesuatu padanya, kamu akan bertanggung jawab sendiri pada Om Ishad dan Tante Cindy. Aku tidak mau membantumu," ucap Jaya, berlalu pergi meninggalkan tempat tersebut. Astra yang mendengar itu hanya diam dan mengembuskan napasnya lelah seraya menatap penampilan Kyla yang sudah rapi dan cantik. "Kakak mau ke mana?" tanya
Klap .... Arjun menutup pintu rumah Kyla dan bersandar di sana. Ia mengembuskan napas kasar dengan memandang undangan yang ia genggam. Hatinya terasa berat sekaligus senang. Ia cukup terhibur dengan perkataan Kyla terakhir kali. Namun di sisi lain ia terlihat sangat sedih melihat gadis yang ia sukai menikah dengan musuh bebuyutannya. "Padahal aku juga cukup baik untuk melindunginya. Tapi mengapa harus dengan lelaki itu? Yang wajahnya saja tidak ingin aku lihat, apa lagi kunjungi untuk mengucapkan kata selamat." Arjun tersenyum getir dan berjalan meninggalkan Apartemen tersebut dengan ekspresi sedih. "Kalau bukan jodoh, ya memang begitulah adanya," gumamnya, berjalan meninggalkan rumah tersebut. *** Hosh ... hosh ... hosh .... Dengan kaki lemas, Astra berjalan keluar dari ruangan olahraga berdama dengan kedua saudaranya. Dengan langkah pelan, mereka berjalan mendekati lemari es dan mengambil seb
Gebrak .... Zafar terjatuh dari tempat tidurnya. Seketika ia terbangun dan merintih kesakitan sambil memegangi pundaknya dan punggungnya yang terasa sakit. "Awh ... kenapa pula bisa terjatuh," pekik Zafar, bangkit dari posisinya dan duduk bersandar dengan memegangi pundaknya. "Bagaimana dengan makanannya? Ayah sudah mempersiapkannya? Jika belum, temanku ada yang membuka katering dan makanannya tak kalah dengan restoran. Ia sangat pandai memasak, jadi jangan–" Klek .... Zafar keluar dari kamarnya dan menatap kedua Kakaknya yang sedang berdiskusi saat melewati kamarnya. "Kamu sudah bangun? Cuci muka dan turunlah untuk sarapan. Sebentar lagi kita akan pergi melihat baju yang akan kalian kenakan saat pertunangan," ucap Chika, kembali meneruskan perjalanannya. Zafar hanya mengangguk pelan dan menatap Kakak Iparnya yang masih berdiri di depannya dengan menatap dirinya. "Ada apa?" tanya Zafar, menggaruk kepalan
"Mampuslah kamu, Nab. Kakak akan segera memarahimu, haha ...," ucap Jaya, tampak riang. Ketiga anak itu menyeret Arjun naik sampai ke lantai 10 bangunan apartemen tersebut. Arjun yang seakan-akan tengah di belenggu oleh kedua anak lelaki itu hanya bisa diam pasrah dengan apa yang akan terjadi dengannya sebentar lagi. Jujur saja, Arjun sudah tidak punya tenaga untuk bertengkar atau pun melarikan diri dari anak-anak ini. Ia sudah cukup lelah dengan Kyla tadi dan ia harap mereka tidak akan berpapasan di jalan, karena gedung apartemen mereka berdua memang sama. Jaya berjalan mendahului langkah mereka. Berjalan mendekati sebuah pintu di sebuah lorong sisi kanan selepas mereka keluar dari lift dan menekan bel rumah tersebut. "Siapa?" tanya si pemilik rumah, menatap CCTV yang menampilkan wajah adiknya di luar sana. Klek .... Pintu terbuka. Seorang wanita keluar dengan piama bercorak kelinci dengan rambut di cepol ala kad
Brak .... Arjun keluar dari mobil Kyla begitu merek telah sampai di gedung apartemennya. Arjun menatap bangunan itu dengan saksama sebelum akhirnya ia menatap wajah Kyla yang menatapnya dengan pandangan aneh. "Ada apa? Kamu tampak terkejut saat melihat rumahku? Apa jangan-jangan kamu memiliki teman yang tinggal di gedung yang sama denganku?" tanya Kyla, menatap wajah Arjun yang terlihat terkejut. "Ini sih bukan lagi teman, tapi mungkin kita adalah tetangga. Aku baru pindah sekitar 2 bulan yang lalu ke apartemen ini begitu pulang dari luar negeri," jelas Arjun, memandangnya dengan tatapan senang. Namun Kyla yang mendengar hal tersebut malah memandangnya dalam diam dan tak terlihat bahagia. "Kamu kenapa? Sepertinya kamu tidak senang mendengar kita menjadi tetangga?" tanya Arjun, menatap wajah Kyla yang tampak masam. Kyla tersenyum masam dan menggidikkan bahunya acuh. "Entahlah, jika tempat tinggal kita dekat, berart
"Aku tahu, mangkanya aku harus menunjukkan muka sekarang, kan?!" Kyla menatap Gibran yang mencekal tangannya guna menahan langkahnya dengan tatapan lelah. "Jadi Anda sudah tahu akan hal itu?" Kyla mengangguk pelan dan melepaskan tangan Gibran dari lengannya. "Bagaimana aku tidak tahu jika mereka mengambil jarah sedekat itu denganku? Bahkan anak buahnya berkeliaran dengan pakaian medis, mangkanya biarkan asistenmu berjaga di sini bersamamu nanti. Di bandingkan diriku, mungkin sekarang kamu yang berada di dalam bahaya." Gibran menatapnya dengan tatapan cemas. "Tapi Nona, apakah Anda akan baik-baik saja jika pulang sendirian malam ini? Saya benar-benar cemas jika Anda harus pulang sendirian sekarang." Gibran kembali menahan tangan Kyla dan tidak membiarkan wanita itu beranjak dari posisinya. Kyla tampak lelah dengan sikapnya ini. "Huff ... aku–" "Biarkan aku mengantarnya, jika di perbolehkan," ucap Arjun, d