3 tahun berlalu..
Seorang gadis berusia 7 tahun berdiri di hadapan tiga buah batu nisan bertuliskan nama-nama yang ia kenal akrab.
Damar Dalla Dana Dyaksa (Damar). Lelaki berumur 34 tahun. Sangat senang makan es krim rasa vanila bersama dengan kedua putrinya.
Tapi mungkin sekarang Kyla tidak akan bisa melakukan hal seperti itu bersama dengan Ayah dan kakaknya sekarang.
Sheeva Bani Nazaputri (Sheeva). Wanita berusia 32 tahun yang sangat bawel dan cerewet. Padahal ia mantan perwira polisi yang di kenal tegas dan bijaksana. Namun entah mengapa ia menjadi ibu rumah tangga yang sangat cerewet ketika ia sudah memegang kemoceng ataupun sapu.
Jika mengingat bagaimana ekspresi ibunya yang sedang memarahi dirinya, Ayah dan Kakaknya setelah pulang dari memancing dengan keadaan yang kotor oleh lumpur, Kyla menjadi tertawa sendiri.
Ah.. sepertinya aku mulai merindukan Ayah dan Ibuku.
Dan ada satu lagi seorang perempuan yang ada di dalam keluarga kecilnya yang bahagia itu.
Gadis cilik yang sangat cantik dan juga cerdas. Aleysa Naira Putri (Putri). Kakak perempuan yang sangat menyayangi dirinya sampai 6 tahun terakhir di masa hidupnya.
Melihat nama gadis itu tergores di batu nisan yang terbuat dari keramik berwarna hitam itu, membuat hati Kyla menjadi pedih.
Di antara ketiga keluarganya, Kyla memang paling menyayangi kakaknya. Waktu yang mereka habiskan selama 4 tahun itu sanggatlah berharga bagi dirinya.
Berjongkok. Kyla sengaja merendahkan dirinya agar ia bisa menyentuh nisan gadis cilik itu dengan sebelah tangannya.
Mengulas sebuah senyuman tipis. Kyla hati mulai terasa berat. Benar jika ia sudah mengikhlaskan kepergian mereka bertiga. Namun rasa rindu ini tetap memberatkan hati dan membuat air matanya berlinang sesekali.
Membawa sebuah buket bunga besar, Kyla berpindah tempat menjadi di tengah-tengah makan ketiga keluarganya. Berjongkok di hadapan ketiga buah batu nisan tersebut dengan perasaan damai, Kyla mulai membuka ikatan buket bunganya.
Tidak ada penyesalan atau rasa sedih. Namun hanya rasa rindu yang mendalam. Sudah 3 tahun ia berusaha mengikhlaskan kepergian keluarganya. Dan ia berhasil melakukannya dengan baik.
Membagi buket bunga itu menjadi tiga. Kyla meletakan segenggam bunga yang telah ia bagi ke atas kuburan mereka bertiga.
Menyatukan tangannya. Kyla mulai memanjatkan doa agar ketiga orang tersebut tenang dan damai di alam sana.
Sruk.. sruk..
Mengusap-usap puncak kepala Kyla lembut. Seorang anak lelaki berusia 14 tahun berdiri di belakangnya dengan memandang tiga buah nisan yang ada di hadapan adik perempuannya.
Sedari tadi, lelaki itu setia menemani Kyla yang sedang mengunjungi keluarganya yang telah berpulang tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Takut jika ia bisa mengganggu adik perempuannya itu berdoa.
Lelaki ini adalah Afkar Reymon Fidelyo (Afkar). Lelaki yang menjabat sebagai kakak angkat Kyla selama 1 tahun terakhir ini.
Di usia ke 6 tahun. Seorang keluarga kaya raya mengunjungi rumah Bibi Rini dan menyampaikan niatnya untuk mengadopsi Kyla karena mereka berdua ingin memiliki seorang putri.
Sebenarnya Kyla mengenal siapa mereka. Bahkan Bibi Rini pun mengenal baik keluarga orang yang ingin mengadopsi Kyla secara tiba-tiba itu.
Mereka adalah keluarga pemilik Perusahaan GRA. Perusahaan terbesar yang ada di kotanya ini. Dan mereka adalah mantan bos dari kakak lelaki pertamanya, Damar.
Dan jauh sebelum Damar tiada, keluarga pemilik perusahaan GRA ini memang sangat sayang dengan Kyla. Apalagi istrinya itu. Ia benar-benar memperhatikan kondisi Kyla layaknya ia adalah ibu kedua bagi keponakannya.
Mariano Daniel (Rian). Adalah seorang Presiden Direktur di PT. GRA yang menjadi tempat bekerja kakaknya selama ini. Di sana, Damar menjabat sebagai seorang CEO.
Dan itu semua berkat kemurahan hati Rian yang sangat menjunjung tinggi rasa disiplin dan bertanggung jawab.
Mulai dari seorang pegawai kebersihan yang giat. Suatu hari Rian bertemu dengan si Jenius Damar yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak karena ia tidak melanjutkan sekolahnya sampai ke perguruan tinggi.
Tapi jangan salah. Damar adalah lelaki cerdas. Bahkan tanpa bersekolah di perguruan tinggi. Ia bisa menguasai 6 bahasa asing. Dan itu masih belum termasuk bahasa Inggris dan Indonesianya.
Melalui pertemuan itu, Damar dan Rian pun berteman. Lambat laun Rian juga bisa melihat potensi besar yang ada di dalam diri Damar.
Dan berakhirlah hubungan mereka menjadi seorang sahabat dan Damar yang mendapatkan sebuah jabatan besar atas kegeniusannya.
Itu pun membuat kedua keluarga mereka menjadi dekat secara alami. Baik keluarga Damar yang menghormati kebaikan Rian! Ataupun keluarga Rian yang menganggap keluarga Damar sebagai seseorang yang spesial.
Dan saat mereka mendengar kematian Damar dan keluarganya. Lalu hanya menyisakan Kyla kecil kesayangan mereka yang di rawat dengan bibinya, Sang istri (Rava) langsung meminta kepada Rian untuk mengambil hak asuh Kyla dari tangan Rini.
Butuh waktu 2 tahun untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bukan karena Rini tidak ingin memberikan Kyla. Malah dia sangat senang jika Kyla hidup di keluarga baik-baik seperti keluarga mereka.
Namun yang membuat masalah itu menjadi lama adalah karena Kyla masih belum bisa melupakan keluarga aslinya.
Dan sangat tidak sopan bagi mereka, jika mereka memaksa seorang gadis kecil seperti Kyla untuk menggantikan posisi keluarga kecilnya menjadi mereka.
Dan akhirnya setelah 2 tahun menunggu, Kyla yang bisa mengikhlaskan kepergian keluarganya pun menerima kehadiran keluarga barunya dengan lebih lapang dada.
Kyla juga sangat tahu jika Rava sangat sulit untuk menghasilkan seorang anak perempuan yang sehat.
Entah ada apa di dalam keluarga itu, namun setiap Rava mengandung seorang anak perempuan ia akan langsung keguguran.
Entah kesialan apa yang menimpa keluarga sebaik mereka. Oleh karena itu, Rava dan Rian sepakat untuk mengadopsi anak perempuan.
Dan seperti sudah di takdirkan oleh Tuhan jika Kyla kecil yang sangat mereka sayangi itulah yang menjadi putri angkat mereka.
Dan saat ini, anak lelaki pertama dari Rava dan Rian sedang berdiri di belakang Kyla yang sedang berdoa dengan sangat khusyuk.
Beberapa saat Kyla terdiam. Dan beberapa saat setelahnya ia bangkit dari posisinya.
"Sudah?!" tanya Afkar, memandang wajah adiknya yang sedang memandangi dirinya.
Menganggukkan kepalanya pelan. Kyla pun memeluk tubuh Afkar yang jauh lebih tinggi dari dirinya.
Menghela napasnya panjang. Afkar pun balas memeluk tubuh mungil adiknya dengan setia membelai rambut bagian belakangnya.
"Kalau sudah ayo pulang."
"Aku mau pergi ke rumah Bibi Rini dulu. Boleh?" tanya Kyla, menatap kakak lelakinya dengan pandangan mata memohon.
Mencubit pipi Kyla yang cubby gemas. Afkar pun menganggukkan kepalanya pelan. "Boleh. Tapi tidak untuk menginap. Besok kamu sudah harus daftar sekolah!" tutur lelaki berusia 14 tahun itu, tidak menerima penolakan.
Menganggukkan kepalanya pelan. Kyla pun menyetujuinya. "Kalau begitu, ayo kita pergi ke sana. Apakah kita harus membeli beberapa buah untuk adik kecil?!"
"Terserah kamu Kyla. Kakak bawa uang lebih tadi. Jadi mau beli camilan yang banyak pun akan kakak belikan!"
"Hehehe.. terima kasih kakak!"
Wosh..
Secarik kertas yang di tinggalkan Kyla di atas makam ketiga keluarganya terbuka oleh helaian angin. Di sana bertuliskan harapannya.
14 Januari. Selamat ulang tahun Kyla. Semoga aku bisa panjang umur agar kalian bisa melihat diriku yang hidup dengan baik walaupun kalian tidak ada.
14 Januari. Aku berumur 7 tahun. Dan besok aku akan mulai masuk ke sekolah dasar, Ayah dan Mama. Jadi berbanggalah kalian.
14 Januari. Happy Britday untuk diriku. Dan selamat tinggal untuk Ayah, Mama dan Kakak yang ketiga tahun. Terima kasih 4 tahunnya. Kue yang selalu Mama bawakan ketika aku ulang tahun selalu di buatkan oleh Mama Rava agar aku tidak melupakan Mama.
Tenanglah. Aku akan hidup dengan baik. Karena keluargaku yang sekarang juga sangat baik seperti kalian. Aku bukan bermaksud membandingkan. Tapi aku mengatakannya agar kalian bisa beristirahat dengan damai di sana.
Terima kasih untuk 4 tahunnya My Family..
Drkk..Kyla menarik sedikit salah satu kursi yang ada di meja makan ke belakang. Duduk di sana dengan memanjatnya pelan dan tiba-tiba dua tangan kekar memegang pinggangnya. Mengangkat tubuh mungilnya perlahan dan mendudukkannya di kursi tersebut menghadap ke arah meja makan.Kyla menoleh ke samping. Melihat seorang lelaki berusia 41 tahun yang memakai kacamata berbentuk persegi panjang dengan bingkai berwarna coklat tua, duduk di sampingnya dengan nyaman. Tak lupa dengan beberapa lembar koran yang selalu dibaca setiap pagi.Merasa di pandangi oleh putri kecilnya, Rian pun menolehkan kepalanya ke samping dan menatap Kyla kecil yang tengah memandangnya dengan tatapan polos."Ada apa sayang?!" tanya Rian, menyunggingkan senyuman tipis sambil membelai pelan puncak kepala Kyla sayang."Tidak ada Ayah. Terima kasih sudah membantuku duduk!" ucap Kyla, dengan menolehkan kepalanya ke arah depan. Menatap Ibunya yang tengah menyi
Ravi berlari menghampiri putrinya. Ia langsung mengusap keningnya dan merasakan suhu tubuh Kyla yang sedikit tinggi."Ky, kamu kenapa? Wajah kamu sangat merah?! Kamu demam?!" seru Ravi, benar-benar cemas. Kyla langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dan memalingkan wajahnya dari Ayahnya. Menghindari telapak tangan besar milik Ayahnya yang berusaha mencapai permukaan keningnya. "Tidak. Aku baik saja Ayah!" sahut Kyla, menutupi wajahnya dengan menggunakan kedua telapak tangannya. "Tapi wajahmu merah. Coba Ayah lihat dulu, sayang!!" ucap Ravi, bersikeras. Bahan lelaki itu ikut berputar-putar saat Kyla terus berusaha menghindari dirinya. "Tidak mau.." elak Kyla, keras kepala. "Kyla!!" seru Ravi, penuh kesabaran. Ia tetap berusaha menghentikan aksi putrinya yang terus berputar-putar untuk menghindari tangannya dengan mencengkeram kedua pundaknya pelan.
Tap ... tap ... tap ...Kedua anak berusia 7 tahun itu saling berjalan beriringan. Walaupun Kyla sedikit kepayahan karena langkah lebar Raka, tapi gadis itu berhasil mengejar langkahnya dengan baik.Set..Kyla menatap tangan Raka yang tiba-tiba menggandengnya. Mereka berdua sudah berhenti di depan salah satu pintu sebuah ruangan sambil memantapkan hati. Tidak! Lebih tepatnya Raka yang memantapkan hati. Karena Kyla sedikit pun tidak merasa gugup ketika ingin memasuki kelas."Tersenyumlah jika nanti kita berdua masuk! Kamu tahu? Kita harus membuat kesan pertama yang baik untuk kehidupan sekolah yang damai ke depannya," ucap Raka, dengan menatap Kyla yang hanya bisa diam memandangnya.Aku sedikit tidak mengerti? Memangnya kenapa kalau aku sudah ketus dari awal? Apakah di Dinh Hoa banyak sekali pembullyan sampai-sampai aku harus membuat kesan pertama yang baik agar terhindar dari masalah?! pikir Kyla, yang sedari tadi hanya diam melihat wajah tegang dari Raka."H
Srrr ...Angin berembus lembut menyapu kulit wajah Kyla. Helaian rambutnya yang tergerai bebas mulai bergoyang pelan karena hembusan angin.Kedua kelopak matanya tertutup rapat. Tubuhnya terbaring lemas di atas sebuah ranjang rumah sakit.13 tahun sudah berlalu. Sejak saat itu Raka selalu ada di samping gadis ini. Pahit, manis, asam masalah kehidupan selalu kita bagi bersama.Tapi hal yang Raka lihat saat ini berkali-kali lipat lebih sakit saat diputuskan oleh mantan kesayangannya ataupun lebih sakit dari sakit gigi.Menatap wajah Kyla yang tertidur dengan damai. Dada Raka semakin terasa sesak setiap menitnya.Rasanya kemang tersiksa melihatnya seperti ini, tapi aku ingin selalu di sisinya. Dan menjadi satu-satunya orang yang bisa dilihat saat pertama kali terbangun.Seperti itulah pikir Raka. Tapi siapa sangka jika ruangan rumah sakit yang seharusnya tenang dan damai karena menjad
Putra duduk di samping ranjang Kyla dengan tatapan lelah dan wajah yang masih sedikit pucat. "Semuanya akan baik-baik saja. Kakakmu sudah berhasil melewati masa kritisnya. Jadi jangan terlalu bersedih seperti ia sudah mati begitu. Wajahmu benar-benar jelek, Put." Putra menghela napasnya kasar dan menatap wajah Raka dengan tatapan malas beberapa saat sebelum akhirnya kembali menatap wajah Kyla yang tertidur dengan damai. "Aku akan cari angin dulu. Tidak baik memiliki ekspresi wajah buruk seperti ini saat ia bangun nanti. Aku nitip kakak dulu." Putra bangun dari tempatnya dan berjalan pergi meninggalkan ruangan itu. Raka menghela napasnya kasar dan menatap punggung Putra dengan pandangan sendu sampai Putra benar-benar meninggalkan tempat itu. "Kamu bisa bangun sekarang. Kenapa pula pura-pura tidur jika kamu sudah bangun. Sengaja membuat adikmu sedih?" pekik Raka, duduk di bangku yang sempat di tempati Putra. Kyla membuk
Devi berjalan dengan lesu memasuki kelasnya. Dengan punggung yang sedikit membungkuk dia berjalan menuju bangkunya dan malah melihat Raka yang duduk di sana. "Minggir. Aku sudah terlalu lemas untuk berdebat denganmu," usir Devi, dengan menatapnya dengan tatapan lelah. Raka yang tengah membaca sebuah buku sambil menunggunya pun akhirnya menoleh dan menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya. "Kenapa dengan wajahmu? Bukannya kamu sudah bertemu dengan Kyla?" tanya Raka, sambil menyingkir dari bangkunya. "Ya. Aku sudah menemuinya. Hah ... dan ia bilang akan menikah dengan seorang pria asing. Alih-alih bukan denganmu yang sudah tahu semua tentangnya, ia malah memilih lelaki asing untuk menemaninya," ucap Devi, dengan wajah murung. Raka diam dan menepuk-nepuk punggungnya. "Jangan salahkan Kyla. Dia melakukannya karena aku dan kamu. Hargai saja keputusannya." "Kamu bicara apa? Kenapa kita yang jadi alasannya?" Raka mengang
Zafar berdiri di depan pintu lift dan menunggu Kyla keluar dari sana. Namun ia sudah berdiri lebih dari 10 menit dan tidak melihat kehadiran Kyla di sana. "Di mana ia pergi? Apa mungkin ia terjatuh atau–" "Jangan berandai-andai. Ayo pergi. Barang bawaanku sudah cukup berat!" celetuk Kyla, berjalan melewatinya dari belakang. Zafar langsung menoleh ke arahnya dan menatap wajah Kyla yang terlihat buruk. Belum lagi ia berjalan sangat cepat untuk meninggalkan Zafar di belakang. "Ia marah. Tentu saja. Itu terlihat sangat jelas," gumam Zafar, lekas mengejarnya. "Biar aku bawakan." Zafar berusaha meraih barang-barang bawaan Kyla tapi tampaknya Kyla terlihat semakin kesal karena hal tersebut. "Jangan tidak sopan. Acuhkan saja seperti tadi. Aku akan baik-baik saja. Aku bisa membawanya!" ucap Kyla, dengan ekspresi dingin. Zafar menelan ludahnya susah dan menatap wajah Kyla dengan tatapan ragu. Alhasil ia hanya bisa diam deng
Zafar menghentikan mobilnya di depan rumahnya. Tanpa membunyikan klakson agar satpam membukakan pintu gerbangnya, satpam yang bertugas langsung membuka pintu gerbangnya dan membiarkan mobil Zafar memasuki rumah. "Sudah pulang, Mas?!" tanya Pak Verdi, menatap Zafar yang berjalan keluar mobil dan malah menyuruhnya diam. "Bukakan saya pintu, Pak." Zafar meminta tolong selagi ia memindahkan Kyla ke dalam gendongannya. Pak Verdi hanya mengangguk dan melakukan apa yang di minta oleh majikannya dengan tersenyum tipis sambil menatap Zafar yang membawa masuk Kyla ke dalam rumahnya. Zafar tidak memedulikannya dan langsung membaringkan Kyla di sofa ruang tengah. Mengambilkannya selimut dan menatap kedua mata Kyla yang sembab. Zafar mengembuskan napas panjang dan kembali mengingat saat Kyla mengatakan hal-hal yang membuatnya iri dan tertidur dengan menangis dalam diam. Zafar mengambil selimut di dalam kamarnya dan menyelimutkannya pada
"Hahh ... aku lelah tersenyum," gumam Fajar, meneguk air sirop yang baru saja di berikan oleh Bintang ke padanya. "Kenapa kamu sangat terlambat tadi? Menjemput kekasihmu? Padahal rumahnya sangat jauh dari rumahmu," ucap Bintang, duduk di sampingnya sambil memakan sepotong kue ulang tahunnya. "Tidak, Mama sedang sakit jadi aku baru tidur saat pagi dan bangun kesiangan. Terlebih menjemput Nabila membutuhkan waktu yang cukup lama karena aku terkena tilang oleh Kakaknya," keluh Fajar, mengembuskan napasnya kasar. Bintang yang mendengar itu hanya terkekeh menertawakannya. "Kakaknya yang siapa? Aku kenal salah satunya, apakah kamu tidak izin jika akan datang ke partyku?" Fajar menggeleng dan menatap wajah Nabila yang berada di tengah-tengah ke ramaian yang ada. "Aku tidak tahu, jadi aku hanya mengatakan seadanya. Datang ke party sebelah! Namun siapa sangka jika tempatnya berubah sangat jauh seperti ini," celatuk Fajar, melirik ta
"Mana kado untukku?" Nabila pun segera mengeluarkan kotak kecil dengan pita besar di atas kotanya, dari dalam tas dan memberikan itu kepada Lintang. "Aku yang membuat desainnya. Semoga kamu suka." "Eh?" Lintang segera membuka kadonya dan menatap sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang yang memiliki batu ruby kecil yang bersinar di dalamnya. "Indah sekali, pasti sangat mahal. Bagaimana kamu bisa menghadiahkan benda seperti ini kepada kawanmu?" ucap Lintang, terharu. Nabila hanya tersenyum dan memberikannya sebuah strawberry yang baru saja ia putik dari kebun Putra. "Makanlah, aku bukan mencurinya. Ini barang halal karena pemilik rumahnya adalah Kakakku, hehe ...." Lintang yang mendengar itu hanya mengembuskan napasnya panjang dan menatap wajah Nabila yang terlihat senang. "Dasar, terima kasih." Lintang memakan buah itu dengan sekali suap dan menatap ke mana Nabila menatap. "Hem ... bagaimana hubunganmu dengan Fajar? Ada perkembangan?" ucap Lintang, menyiku tangan Nabil
"Jar, katanya di kompleks sebelah? Ini jauh banget sih kita jalannya. Mau ke mana?" tanya Nabila, dari sisi samping kanan bahu Fajar. "Acaranya berubah tempat, Nab. Sorry, kamu kabari saja Kakak kamu dulu. Tapi nanti aku bakalan anterin kamu tepat waktu kok," ucap Fajar, menoleh ke arah Nabila sejenak. Nabila pun mengangguk pelan dan menghubungi Jaya lewat pesan teks. Namun seperti yang ia duga, Kakak lelakinya itu sangat marah hingga memintanya kembali sekarang ini juga. Tapi Nabila tidak mengatakannya kepada Fajar dan membiarkan ojek pribadinya ini membawa ia sampai ke tempat tujuan. "Sampai juga!" ucap Fajar, menghentikan motornya di tanah lapang yang hanya memiliki dua rumah yang cukup besar di depan sana. Nabila langsung turun dan menatap lingkungan itu dengan pandangan bingung. "Kayaknya aku pernah ke sini. Hem ... tapi aku lupa karena terakhir kali ke sini saat usia 5 tahun," gumam Nabila, bisa di dengar
Klap .... Astra menatap wajah Kyla dan Jaya yang terlihat begitu sengit saat memandang dirinya. "Kamu tahu Nabila pergi dengan siapa?" tanya Jaya, mulai posesif. Astra mengangguk pelan dan meninggalkan tempat seraya mengambil segelas air untuk ia minum. "Dengan ketua kelasnya. Tidak perlu khawatir, aku sudah memintanya mengantar pulang sebelum jam acara di mulai dan aku juga sudah meminta nomor ponselnya. Jadi aku bisa menghubunginya saat mereka telat dan memarahinya jika perlu," jelas Astra, mencoba meyakinkan Jaya yang terlihat sangat marah akan tindakannya. "Jika sampai terjadi sesuatu padanya, kamu akan bertanggung jawab sendiri pada Om Ishad dan Tante Cindy. Aku tidak mau membantumu," ucap Jaya, berlalu pergi meninggalkan tempat tersebut. Astra yang mendengar itu hanya diam dan mengembuskan napasnya lelah seraya menatap penampilan Kyla yang sudah rapi dan cantik. "Kakak mau ke mana?" tanya
Klap .... Arjun menutup pintu rumah Kyla dan bersandar di sana. Ia mengembuskan napas kasar dengan memandang undangan yang ia genggam. Hatinya terasa berat sekaligus senang. Ia cukup terhibur dengan perkataan Kyla terakhir kali. Namun di sisi lain ia terlihat sangat sedih melihat gadis yang ia sukai menikah dengan musuh bebuyutannya. "Padahal aku juga cukup baik untuk melindunginya. Tapi mengapa harus dengan lelaki itu? Yang wajahnya saja tidak ingin aku lihat, apa lagi kunjungi untuk mengucapkan kata selamat." Arjun tersenyum getir dan berjalan meninggalkan Apartemen tersebut dengan ekspresi sedih. "Kalau bukan jodoh, ya memang begitulah adanya," gumamnya, berjalan meninggalkan rumah tersebut. *** Hosh ... hosh ... hosh .... Dengan kaki lemas, Astra berjalan keluar dari ruangan olahraga berdama dengan kedua saudaranya. Dengan langkah pelan, mereka berjalan mendekati lemari es dan mengambil seb
Gebrak .... Zafar terjatuh dari tempat tidurnya. Seketika ia terbangun dan merintih kesakitan sambil memegangi pundaknya dan punggungnya yang terasa sakit. "Awh ... kenapa pula bisa terjatuh," pekik Zafar, bangkit dari posisinya dan duduk bersandar dengan memegangi pundaknya. "Bagaimana dengan makanannya? Ayah sudah mempersiapkannya? Jika belum, temanku ada yang membuka katering dan makanannya tak kalah dengan restoran. Ia sangat pandai memasak, jadi jangan–" Klek .... Zafar keluar dari kamarnya dan menatap kedua Kakaknya yang sedang berdiskusi saat melewati kamarnya. "Kamu sudah bangun? Cuci muka dan turunlah untuk sarapan. Sebentar lagi kita akan pergi melihat baju yang akan kalian kenakan saat pertunangan," ucap Chika, kembali meneruskan perjalanannya. Zafar hanya mengangguk pelan dan menatap Kakak Iparnya yang masih berdiri di depannya dengan menatap dirinya. "Ada apa?" tanya Zafar, menggaruk kepalan
"Mampuslah kamu, Nab. Kakak akan segera memarahimu, haha ...," ucap Jaya, tampak riang. Ketiga anak itu menyeret Arjun naik sampai ke lantai 10 bangunan apartemen tersebut. Arjun yang seakan-akan tengah di belenggu oleh kedua anak lelaki itu hanya bisa diam pasrah dengan apa yang akan terjadi dengannya sebentar lagi. Jujur saja, Arjun sudah tidak punya tenaga untuk bertengkar atau pun melarikan diri dari anak-anak ini. Ia sudah cukup lelah dengan Kyla tadi dan ia harap mereka tidak akan berpapasan di jalan, karena gedung apartemen mereka berdua memang sama. Jaya berjalan mendahului langkah mereka. Berjalan mendekati sebuah pintu di sebuah lorong sisi kanan selepas mereka keluar dari lift dan menekan bel rumah tersebut. "Siapa?" tanya si pemilik rumah, menatap CCTV yang menampilkan wajah adiknya di luar sana. Klek .... Pintu terbuka. Seorang wanita keluar dengan piama bercorak kelinci dengan rambut di cepol ala kad
Brak .... Arjun keluar dari mobil Kyla begitu merek telah sampai di gedung apartemennya. Arjun menatap bangunan itu dengan saksama sebelum akhirnya ia menatap wajah Kyla yang menatapnya dengan pandangan aneh. "Ada apa? Kamu tampak terkejut saat melihat rumahku? Apa jangan-jangan kamu memiliki teman yang tinggal di gedung yang sama denganku?" tanya Kyla, menatap wajah Arjun yang terlihat terkejut. "Ini sih bukan lagi teman, tapi mungkin kita adalah tetangga. Aku baru pindah sekitar 2 bulan yang lalu ke apartemen ini begitu pulang dari luar negeri," jelas Arjun, memandangnya dengan tatapan senang. Namun Kyla yang mendengar hal tersebut malah memandangnya dalam diam dan tak terlihat bahagia. "Kamu kenapa? Sepertinya kamu tidak senang mendengar kita menjadi tetangga?" tanya Arjun, menatap wajah Kyla yang tampak masam. Kyla tersenyum masam dan menggidikkan bahunya acuh. "Entahlah, jika tempat tinggal kita dekat, berart
"Aku tahu, mangkanya aku harus menunjukkan muka sekarang, kan?!" Kyla menatap Gibran yang mencekal tangannya guna menahan langkahnya dengan tatapan lelah. "Jadi Anda sudah tahu akan hal itu?" Kyla mengangguk pelan dan melepaskan tangan Gibran dari lengannya. "Bagaimana aku tidak tahu jika mereka mengambil jarah sedekat itu denganku? Bahkan anak buahnya berkeliaran dengan pakaian medis, mangkanya biarkan asistenmu berjaga di sini bersamamu nanti. Di bandingkan diriku, mungkin sekarang kamu yang berada di dalam bahaya." Gibran menatapnya dengan tatapan cemas. "Tapi Nona, apakah Anda akan baik-baik saja jika pulang sendirian malam ini? Saya benar-benar cemas jika Anda harus pulang sendirian sekarang." Gibran kembali menahan tangan Kyla dan tidak membiarkan wanita itu beranjak dari posisinya. Kyla tampak lelah dengan sikapnya ini. "Huff ... aku–" "Biarkan aku mengantarnya, jika di perbolehkan," ucap Arjun, d