“Di mana tempat itu berada?” tanya Pendekar Burung Merpati dengan penasarannya pada Bimantara. Jika memang benar apa yang dilihat Bimantara dalam penerawangannya, sungguh itu menjadi sebuah pukulan baginya. Dialah yang bertugas mengawasi daratan Manggala dari langit. Sang Raja pasti akan sangat marah padanya jika pendekar itu luput akan hal itu.“Salah satu perguruan itu ada di dekat sini,” jawab Bimantara.Pendekar Burung Merpati terkejut mendengarnya.“Kalau begitu, coba kamu cek ke sana dengan kekuatanmu,” pinta Pendekar Gunung Nun. “Bagaimana jika perguruan itu dibentuk oleh para pengkhianat di kerajaan ini, yang sewaktu-waktu mereka dapat menyerang kita. Atau bagaimana jika mereka ternyata pengikut Bubungkala? Saat Bubungkala keluar dari kurungannya, merekalah yang akan menjadi tentaranya?”Mendengar itu Pendekar Burung Merpati tampak khawatir.“Baiklah, aku akan mencoba mengeceknya,” jawab Pendekar Burung Merpati.“Pergilah,” pinta Bimantara.“Siap, Tuan Panglima!” Pendekar Buru
Pangeran Padama tampak bingung. Dia mengumpulkan para Tetua di dalam gua itu. Dia ingin berdiskusi dengan mereka atas masalah yang kini sedang terjadi. Bagaimana pun dia sudah merahasiakan perguruan-perguruan yang sudah dibentuknya selama ini. Dia pun telah menggunakan mantra agar tidak ada siapapun di negeri itu yang dapat melihat bangunan dan para murid-murid yang belajar di perguruan itu. Rupanya Bimantara mampu melihatnya dan mampu menyingkap tirai mantra itu hingga kini diketahui para pendekar terbaik istana.“Aku tidak ingin mereka menghancurkan perguruan kita sebelum Bubungkala berhasil kita keluarkan dari dalam kurungannya,” ucap Pangeran Padama. “Aku ingin mendengar pendapat kalian semua. Apa yang sebaiknya aku lakukan sekarang ini?”Para Tetua itu tampak bingung. Karena baru saja mereka telah berhasil menjadikan Wakil Panglima Indra sebagai mata-mata, kini malah masalah besar menghalangi misi mereka selanjutnya.Satu Tetua berdiri. Dia menatap Pangeran Padama dengan penuh ho
“Jangan mengada-ngada!” teriak Bimantara sekali lagi.Seketika para murid berdatangan mengelilingi mereka lalu berlutut di hadpaan Bimantara.“Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada semuanya, Guru Besarku,” ucap Kepala Perguruan itu.Bimantara pun melihat ke sekitar. Dia melihat murid-murid di perguruan itu tampak berlutut di hadapannya.“Aku tidak kenal kalian semuanya!” teriak Bimantara.“Ampun, Maha Guru. Kami adalah murid-muridmu. Kami kira Maha Guru masih mengenal kami saat Maha Guru terpaksa harus hilang ingatan karena menyelamatkan kami,” ucap salah satu murid di perguruan itu.Mendengar itu, Bimantara semakin terbelalak. Seketika Pendekar Burung Merpati langsung mencabut pedangnya dan mengarahkannya pada Bimantara.“Rupanya kau selama ini adalah pengkhianat di kerajaan ini!” teriak Pendekar Burung Merpati dengan geramnya.“Aku tidak kenal siapa mereka dan aku yakin ini mengada-ada!” tegas Bimantara.“Pantas saja Yang Mulia Raja memintaku untuk mengawasimu dan melihat siapa di
Putra Mahkota mendatangi kediaman Putri Kidung Putih dengan wajah cemasnya. Putri tampak heran melihatnya. “Ada apa, Kakakku?” tanya Putri Kidung Putih dengan heran. “Pendekar Gunung Nun dan Pendekar Burung Merpati mengatakan bahwa Bimantara selama ini telah membentuk perguruan secara diam-diam di setiap penjuru wilayah kerajaan,” jawab Putra Mahkota. Putri Kidung Putih terkejut mendengarnya. “Itu tidak mungkin,” ucap Putri tak percaya. “Aku juga tidak yakin. Ini pasti ada sesuatu di balik ini semua. Ini pasti ulah pengkhianat kerajaan yang tidak terima melihat Bimantara diterima di kerajaan ini,” ucap Putra Mahkota. Putri semakin cemas mendengar itu. “Lalu di mana sekarang Bimantara?” “Aku tidak tahu. Yang Kudengar dia ditinggalkan di tempat perguruan itu oleh Pendekar Gunung Nun dan Pendekar Burung Merpati. Sekarang Ayah tengah menjaga ketat istana ini dan mengangkat Indra menjadi Panglima Tertinggi kembali,” jawab Putra Mahkota. Putri terbelalak mendengarnya. “Berarti Bima
Bimantara tiba di hadapan gerbang istana dengan kuda putihnya. Dia menghentikan kudanya saat melihat di hadapan gerbang istana itu sudah berdiri Panglima Indra, Pendekar Gunung Nun, Pendekar Burung Merpati, Pendekar Bunga Teratai dan Pendekar Pasir Putih yang sudah siap dengan senjata masing-masing untuk menangkapnya. Di belakang kelima manusia tersakti di istana itu berdiri berbaris-baris prajurit.Di atas gerbang istana itu tampak berdiri Sang Raja yang sedang duduk menunggunya. Di kanannya tampak Pangeran Kedua berdiri menatapnya dengan geram.Bimantara turun dari kudanya lalu berlutut menghadap Sang Raja.“Ampun, Yang Mulia! Semua ini hanyalah fitnah. Perguruan-perguruan itu bukan hamba yang membentuknya. Hamba tidak tahu siapa mereka!” ucap Bimantara menjelaskan pada Sang Raja.Sang Raja geram mendengarnya.“Aku sudah tidak percaya lagi padamu!” tegas Sang Raja. “Pantas saja banyak misteri yang meliputimu! Sekarang aku mengharamkanmu untuk menginjak istana ini kembali dan menyent
Bimantara masih tengah bertarung dengan kelima pendekar terbaik istana itu. Kaki cahaya naganya menyala. Dia dapat melihat dengan jelas pergerakan Panglima Indra yang tengah menggunakan jurus menghilangkan tubuhnya. Dia terus saja bertahan dari segala serangan. Seketika dia berputar lalu terbang rendah. Naluri jurus tendangan seribunya datang. Dengan cepat Bimantara menghilang dari hadapan kelima pendekar itu lalu satu persatu terpelanting jauh hingga tersungkur ke atas tanah.“Siapkan anak panah!” teriak Sang Raja.Para prajurit yang berbaris di depan gerbang istana itu pun mulai mengangkat anak panah dan bersiap mengarahkannya ke Bimantara. Bimantara menoleh pada para prajurit itu. Dia bersiap jika anak panah itu meluncur ke arahnya.Panglima Indra berdiri sambil menahan sakit di dadanya. Begitupun keempat pendekar lainnya. Mereka tampak sangat kewalahan menghadapi Bimantara yang sendirian itu.“Menyerahlah!” teriak Panglima Indra pada Bimantara.Bimantara pun menoleh ke arah pangli
Dewa Angin datang membuat gelombang laut di bawahnya kian membesar. Tak lama kemudian Dewa Air keluar dari persemayamannya dengan heran.“Ada apa lagi?” tanya Dewa Air dengan heran.“Segera kau kembalikan ingatan Bimantara!” tegas Dewa Angin.Dewa Air tertawa.“Sudah kubilang, jangan ikut campur dengan urusanku! Anak pincang itu sedang berada di dalam pengawasanku. Masamu bersama dia telah selesai. Sekarang Maha Dewa tengah menugaskan aku untuk membimbingnya,” tegas Dewa Air.“Tidakkah kau melihat, ulahmu ini telah memperlambat tugasnya sebagai Chandaka Uddhiharta. Seharusnya Bubungkala sudah lama mati di tangannya, sekarang kau malah mengulur waktunya dan membuat penghuni kerajaan itu menciptakan makar padanya!” ucap Dewa Angin dengan amarah.“Aku memiliki perhitungan atas ini! Kau tenang saja!”“Sampai kapan? Sampai kelima anak raja iblis lainnya keluar bersamaan dari kurungannya?!”Dewa Air tertawa.“Bersabarlah dan percayakan saja padaku!”Dewa Air langsung menghilang dari hadapan
Bimantara keluar dari rumah Tabib itu. Kedua tangannya mengepal kuat. Dia membenci semuanya. Dia benci telah dibohongi Sang Putri hingga menikah dengannya. Dia benci pada semua keadaan yang telah memanfaatkan dirinya hingga memfitnahnya.“Bimantara! Bimantara!” Suara teriakan dari Sang Putri di dalam sana masih terus terdengar.Bimantara kembali melangkah. Seketika angin puting beliung datang. Dia ternganga melihat puing-puing pepohonan berputar di atas langit. Tak lama kemudian kepalanya terasa sakit. Bimantara terduduk lemah sambil menahan sakit di kepalanya.Seketika semua ingatannya kembali. Ingatan saat pertama kali memasuki Perguruan Matahari, Ingatan bagaimana dia terdampar di pulau itu. Ingatan akan Dahayu. Ingatan akan Para Dewa yang telah memilihnya menjadi Chandaka Uddhiharta. Dan Ingatan saat dia hendak pergi dari daratan itu lalu dihalangi oleh Dewa Air. Seketika Bimantara mengerti, Dewa Air lah yang menghilangkan ingatannya agar Bimantara kembali pada pendiriannya dan ke