“Sekarang kalian silakan kembali ke para prajurit utamaku! Mulai hari ini kalian akan dilatih ilmu bela diri yang mumpuni,” pinta Bimantara pada Gavin dan Gala. “Jika kalian tak ingin menjadi prajurit biasa yang ditugaskan menjaga istana ini, kalian harus lulus dari ujian yang diberikan prajurit utamaku.”“Baik, Tuan Panglima.”Gavin dan Gala pun pergi meninggalkan Bimantara di sana. Seketika Bimantara teringat akan kuda putihnya.“Kata mereka aku memiliki kuda putih? Jika benar, kemana kuda putihku itu?” tanya Bimantara dalam hatinya.Seketika terdengar suara kuda putih dari kejauhan. Bimantara terbelalak menatap kuda putih yang sangat indah itu, lebih indah dari kuda-kuda yang ada di istana. Para prajurit yang berada di sekitar lapangan itu tampak heran. Mereka tidak berani mencegah larinya kuda itu ketika menyadari kuda itu menghampiri Bimantara.Kuda itu berhenti tepat di hadapan Bimantara. Bimantara mendekat ke kuda itu lalu mengelus kepalanya.“Apakah kau kuda milikku yang dimak
Dan keesokan paginya, Bimantara keluar dari kediamannya dihantar Putri Kidung Putih. Bimantara terbelalak karena baru ingat telah meminta Pendekar Gunung Nun dan Pendekar Burung Merpati menunggu di sana bersama pasukan yang akan mengantarnya mengembara.“Maafkan aku,” ucap Bimantara merasa bersalah.Pendekar Gunung Nun dan Pendekar Burung Merpati yang menggigil kedingingan tampak menahan kesalnya.“Tidak apa-apa, Tuan Panglima. Apakah sekarang kita siap melakukan perjalanan?” tanya Pendekar Gunung Nun yang tampak menahan emosinya.“Tapi kalau kalian lelah karena menungguku dan belum tidur semalaman ini, kalian bisa istirahat dulu,” pinta Bimantara.“Kita langsung pergi saja, Tuan Panglima. Lagi pula kami semalam sudah tidur nyenyak sambil menunggu Tuan,” sahut Pendekar Burung Merpati.“Ya sudah,” ucap Bimantara.Putri Kidung Putih tampak terkejut mendengar itu.“jadi kau menyuruh mereka menunggu di sini? Kenapa kau tidak bilang padaku?” tanya Putri Kidung Putih merasa bersalah.“Habis
Pasukan Bimantara tengah mendaki gunung Nun yang curam dan tajam itu. Peluh membasahi tubuh Bimantara, padahal hawa dingin sangat menusuk tulangnya. Pendekar Gunung Nun yang menguasai wilayah itu tampak memacukan kuda paling depan, sementara Pendekar Burung Merpati berada di belakangnya. Di tengah-tengah, Bimantara mengikuti pacuan kuda dua prajurit utamanya itu. Sementara para prajurit yang mengiringi pengembaraan mereka berada paling belakang.Jalanan terjal dan lembab itu sedikit membuat kuda-kuda yang ditunggangi mereka kesusahan mendakinya. Di kiri kanan jalanan terjal itu tampak pepohonan purba yang sudah lama hidup di sana. Bimantara belum merasakan keanehan apapun di sana. Nalurinya untuk mendengar suara Bubungkala dan melihat wujudnya dalam bayangannya belum datang.Puncak masihlah sangat jauh. Seketika Kuda yang ditunggangi Pendekar Gunung Nun berhenti. Pendekar itu heran.“Ayo, perjalanan kita masih jauh,” ucap Pendekar Gunung Nun pada kudanya.Kuda itu masih diam, seolah a
“Negeri ini sedang menunggu utusan para dewa itu,” ucap Pendekar Gunung Nun kemudian.Bimantara dan Pendekar Burung Merpati terdiam mendengar itu. Seketika cahaya yang semula merasuki Pendekar Gunung Nun keluar lalu menghilang seperti asap. Bimantara dan Pendekar Burung Merpati tidak menyadari itu.“Dari mana kau tahu asal usul Bubungkala itu?” tanya Pendekar Burung Merpati heran.Pendekar Gunung Nun pun tampak bingung.“Aku tidak tahu, tiba-tiba saja terlintas di benakku,” jawab Pendekar Gunung Nun dengan herannya.Bimantara berdiri.“Sekarang kita harus lanjutkan perjalanan ini hingga ke puncak,” pinta Bimantara. Dia sudah sangat penasaran ingin menggunakan naluri ilmunya di atas puncak sana. Dia sangat penasaran dengan Bubungkala.“Para prajurit sedang menyiapkan makanan untuk kita. Mungkin setelah kita makan nanti baru kita pergi dari sini,” pinta Pendekar Burung Merpati.Seketika kabut datang menutupi pandangan mereka. Melihat itu Pendekar Gunung Nun bergegas membuat api unggun.
Salah satu prajurit yang berada paling belakang tampak rubuh dari kudanya. Bimantara yang melihatnya tampak terkejut. “Berhenti!” teriak Bimantara. Semuanya pun berhenti. Bimantara bergegas turun dari kuda lalu menarik prajurit yang hendak memasuki hutan itu. Dia telah terhipnotis oleh nyanyian para peri itu. Setelah Bimantara berhasil menariknya, prajurit itu tampak sadar kembali. “Kenapa aku?” tanya prajurit itu. “Kembali lah ke kudamu,” pinta Bimantara. Prajurit itu mengangguk. Tak lama kemudian Pendekar Gunung Nun dan Pendekar Burung Merpati turun dari kuda masing-masing lalu menghampiri Bimantara. “Sebaiknya kita kembali turun saja,” pinta Pendekar Burung Merpati. “Bukankah yang mulia Raja meminta kita untuk berkeliling dan mengenal wilayah Warih saja? Mendaki puncak bukan seharusnya yang kita lakukan.” “Benar, Tuan Panglima,” tambah Pendekar Gunung Nun. “Di atas sana, semakin banyak lagi ancaman untuk kita. Gunung ini bukan tempat dikurungnya Bubungkala saja, tapi tempat k
Kabut kembali menyelimuti jalanan menajak menuju Puncak. Kuda yang dinaiki pasukan Bimantara tampak berjalan pelan. Sesaat kemudian Pendekar Gunung Nun menghentikan kudanya. Bimantara yang dibelakangnya bersama pasukan yang lain juga menghentikan kuda dengan heran.“Ada apa, Pendekar Gunung Nun?” tanya Bimantara.“Di depan ada lembah,” jawab Pendekar Gunung Nun. “Sepertinya kita harus melewati jalan lain.”“Tunggu,” ucap Bimantara.Bimantara lalu turun dari kudanya. Pendekar Burung Merpati tampak melihat Bimantara dengan heran. Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya lalu berhenti tepat di samping Pendekar Gunung Nun yang masih duduk di atas kudanya.Seketika Bimantara mengulurkan tongkat hitamnya. Tak lama kemudian kabut yang menyelimuti area itu perlahan terbuka hingga terlihat jelas lembah yang dalam nan curam di hadapan mereka. Jarak antara mereka dengan tebing lembah di hadapan terlihat sangat jauh. Bimantara menoleh pada Pendekar Gunung Nun.“Bukan kah kau bisa menggendalikan
Makhluk itu melolong seperti kesakitan. Bimantara hendak mendekat, namun bebatuan di langit-langit gua itu tampak runtuh. Dia kembali ke rongga gua agar tidak terkena bebatuan itu. Saat dia kembali mengintip ke arah Makhluk besar dan menyeramkan itu, dia melihat ada empat makhluk kecil yang menyeramkan tiba-tiba datang lalu berlutut di hadapannya.“Ada apa Yang Mulia memanggil kami semua,” ucap salah satu dari makhluk kecil itu. Bimantara terkejut saat menyadari makhluk kecil yang bicara itu berbadan seperti domba dan berkepala manusia. Sementara makhluk yang kedua adalah seorang perempuan cantik bergaun sutra dan bermahkota perak yang berkilau. Dia sepertinya golongan dari bangsa Peri Gunung. Makhluk yang ketiga adalah makhluk yang berbadan ular berwarna hitam dan berkepala manusia laki-laki. Makhluk yang keempat adalah makhluk berbadan kera dan berkepala manusia. Satu matanya tampak luka.“Siapa mereka semua?” tanya Bimantara dalam hatinya.Makhluk raksasa yang terikat di tiang besi
Pangeran Padama menatap gunung Nun dari atas bukit. Dia heran melihat sedikit asap yang keluar dari puncak gunung itu. Salah satu Tetua berdiri di dekatnya dengan heran.“Sepertinya Bubungkala tengah terbangun dari tidurnya,” ucap Pangeran Padama. “Dia sudah lama tidak mendapatkan makanan dari sejaji yang dahulu kerap dibawakan masyarakat Warih. Kalau dibiarkan terlalu lama, saya khawatir bencana akan terjadi kembali ke negeri ini.”“Sebentar lagi impianmu akan terwujud, Yang Mulia. Sepertinya Wakil Panglima Indra senang dengan Gavin dan Gala. Sepertinya dia akan lolos menjadi Prajurit utama untuk bergabung dengan mereka,” ucap Tetua padanya.Pangeran Padama tampak berpikir.“Apakah Gavin dan Gala benar-benar telah selesai mendapatkan semua ilmu dari kalian sebelum dia melamar menjadi prajurit di sana?” tanya Pangeran Padama.“Gavin dan Gala sudah selesai mendapatkan ilmu dari kita, Yang Mulia. Aku rasa jika dihadapkan dengan Panglima Indra, ilmu yang mereka dapatkan akan sepadan deng
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it