Bimantara pun terkejut saat mendengar sebuah lonceng ditabuhkan berkali-kali di luar kediamannya. Dia menoleh pada prajurit penjaganya.“Lonceng pertanda apa yang dibunyikan itu?” tanya Bimantara penasaran.“Ampun, Tuanku. Itu pertanda ada yang hendak dihukum gantung. Itu lonceng panggilan untuk bersama-sama menyaksikan hukuman gantung itu,” jawab Prajurit Penjaganya.Bimantara pun bergegas keluar mengajak prajurit penjaganya menuju tempat eksekusi hukuman gantung itu. Dia terkejut saat tiba di lapangan luas di wilayah istana. Dia melihat Pendekar Tersembunyi sedang berada di tempat eksekusi. Tali yang hendak menggantungnya sudah telilit di lehernya. Penduduk istana tampak sudah berkerumun melihatnya.Raja Tala berdiri di dekatnya sambil berdiri.“Inilah hukumannya bagi siapapun yang berkhianat padaku!” tegas Sang Raja.Sang Raja pun menoleh pada para pejabat istana. Pejabat istana itu langsung menarik tali di tangannya. Kini Pendekar Tersembunyi tampak menggerak-gerakkan tubuhnya tak
Pangeran Padama sedang memperhatikan Gavin dan Gala yang sedang diajari ilmu bela diri oleh para Tetua. Merekalah harapan Pangeran Padama untuk bisa menyusup ke istana dan diam-diam merebut tongkat hitam milik Bimantara. Para Tetua itu telah mengajarkan ilmu pada mereka dari sebuah kitab yang bisa menundukkan benda-benda pusaka untuk beralih Tuan. Dengan menggunakan ilmu dari kitab itu, Gavin dan Gala suatu hari nanti akan mampu mendapatkan benda pusaka milik siapapun dan benda pusaka itu akan tunduk pada mereka. Sesaat kemudian, seorang pendekar datang membawa sebuah surat. Dia memberikannya pada Pangeran Padama. Pangeran itu tersenyum ketika melihat surat pengumuman dari Panglima Tertinggi di kerajaan yang sedang mencari calon prajurit baru dan membutuhkan 1000 prajurit tambahan untuk dilatih dan diangkat menjadi Prajurit setia istana. Pangeran Padama pun menatap Gavin dan Gala. “Inilah kesempatannya. Mereka berdua harus menjadi mata-mataku di istana. Mereka berdua harus menjadi p
“Bagaimana dengan pencarian 1000 prajurit terbarunya?” tanya Sang Raja kepada Bimantara yang sedang menunduk menghadapnya.“Saat ini 1000 prajurit terbaru sudah dipilih. Mereka sedang dikelompokkan untuk tugas masing-masing, Yang Mulia,” jawab Bimantara.Sang Raja tampak senang mendengarnya. Dia sangat berharap banyak padanya. Saat melihatnya bertarung melawan para pendekar terbaik miliknya, dia percaya bahwa Bimantara orang yang tepat untuk memimpin seluruh pasukan yang dia punya.“Bagus!” puji Sang Raja. “Pilih yang terbaik dari mereka agar bisa menemani Wakil Panglima, Pendekar Gunung Nun, Pendekar Pasir Putih, Pendekar Bunga Teratai dan Pendekar Burung Merpati. Kau harus menambah pasukan utamamu agar gerbang kepemimpinanmu semakin kuat dan tidak diragukan lagi.”“Baik, Yang Mulia,” jawab Bimantara.“Setelah itu, kau harus membawa prajurit terbaikmu untuk berkeliling ke negeri ini agar kau tahu seberapa luas wilayah kerajaanku dan bagaimana kehidupan para penduduk kerajaan ini. Mer
“Sekarang kalian silakan kembali ke para prajurit utamaku! Mulai hari ini kalian akan dilatih ilmu bela diri yang mumpuni,” pinta Bimantara pada Gavin dan Gala. “Jika kalian tak ingin menjadi prajurit biasa yang ditugaskan menjaga istana ini, kalian harus lulus dari ujian yang diberikan prajurit utamaku.”“Baik, Tuan Panglima.”Gavin dan Gala pun pergi meninggalkan Bimantara di sana. Seketika Bimantara teringat akan kuda putihnya.“Kata mereka aku memiliki kuda putih? Jika benar, kemana kuda putihku itu?” tanya Bimantara dalam hatinya.Seketika terdengar suara kuda putih dari kejauhan. Bimantara terbelalak menatap kuda putih yang sangat indah itu, lebih indah dari kuda-kuda yang ada di istana. Para prajurit yang berada di sekitar lapangan itu tampak heran. Mereka tidak berani mencegah larinya kuda itu ketika menyadari kuda itu menghampiri Bimantara.Kuda itu berhenti tepat di hadapan Bimantara. Bimantara mendekat ke kuda itu lalu mengelus kepalanya.“Apakah kau kuda milikku yang dimak
Dan keesokan paginya, Bimantara keluar dari kediamannya dihantar Putri Kidung Putih. Bimantara terbelalak karena baru ingat telah meminta Pendekar Gunung Nun dan Pendekar Burung Merpati menunggu di sana bersama pasukan yang akan mengantarnya mengembara.“Maafkan aku,” ucap Bimantara merasa bersalah.Pendekar Gunung Nun dan Pendekar Burung Merpati yang menggigil kedingingan tampak menahan kesalnya.“Tidak apa-apa, Tuan Panglima. Apakah sekarang kita siap melakukan perjalanan?” tanya Pendekar Gunung Nun yang tampak menahan emosinya.“Tapi kalau kalian lelah karena menungguku dan belum tidur semalaman ini, kalian bisa istirahat dulu,” pinta Bimantara.“Kita langsung pergi saja, Tuan Panglima. Lagi pula kami semalam sudah tidur nyenyak sambil menunggu Tuan,” sahut Pendekar Burung Merpati.“Ya sudah,” ucap Bimantara.Putri Kidung Putih tampak terkejut mendengar itu.“jadi kau menyuruh mereka menunggu di sini? Kenapa kau tidak bilang padaku?” tanya Putri Kidung Putih merasa bersalah.“Habis
Pasukan Bimantara tengah mendaki gunung Nun yang curam dan tajam itu. Peluh membasahi tubuh Bimantara, padahal hawa dingin sangat menusuk tulangnya. Pendekar Gunung Nun yang menguasai wilayah itu tampak memacukan kuda paling depan, sementara Pendekar Burung Merpati berada di belakangnya. Di tengah-tengah, Bimantara mengikuti pacuan kuda dua prajurit utamanya itu. Sementara para prajurit yang mengiringi pengembaraan mereka berada paling belakang.Jalanan terjal dan lembab itu sedikit membuat kuda-kuda yang ditunggangi mereka kesusahan mendakinya. Di kiri kanan jalanan terjal itu tampak pepohonan purba yang sudah lama hidup di sana. Bimantara belum merasakan keanehan apapun di sana. Nalurinya untuk mendengar suara Bubungkala dan melihat wujudnya dalam bayangannya belum datang.Puncak masihlah sangat jauh. Seketika Kuda yang ditunggangi Pendekar Gunung Nun berhenti. Pendekar itu heran.“Ayo, perjalanan kita masih jauh,” ucap Pendekar Gunung Nun pada kudanya.Kuda itu masih diam, seolah a
“Negeri ini sedang menunggu utusan para dewa itu,” ucap Pendekar Gunung Nun kemudian.Bimantara dan Pendekar Burung Merpati terdiam mendengar itu. Seketika cahaya yang semula merasuki Pendekar Gunung Nun keluar lalu menghilang seperti asap. Bimantara dan Pendekar Burung Merpati tidak menyadari itu.“Dari mana kau tahu asal usul Bubungkala itu?” tanya Pendekar Burung Merpati heran.Pendekar Gunung Nun pun tampak bingung.“Aku tidak tahu, tiba-tiba saja terlintas di benakku,” jawab Pendekar Gunung Nun dengan herannya.Bimantara berdiri.“Sekarang kita harus lanjutkan perjalanan ini hingga ke puncak,” pinta Bimantara. Dia sudah sangat penasaran ingin menggunakan naluri ilmunya di atas puncak sana. Dia sangat penasaran dengan Bubungkala.“Para prajurit sedang menyiapkan makanan untuk kita. Mungkin setelah kita makan nanti baru kita pergi dari sini,” pinta Pendekar Burung Merpati.Seketika kabut datang menutupi pandangan mereka. Melihat itu Pendekar Gunung Nun bergegas membuat api unggun.
Salah satu prajurit yang berada paling belakang tampak rubuh dari kudanya. Bimantara yang melihatnya tampak terkejut. “Berhenti!” teriak Bimantara. Semuanya pun berhenti. Bimantara bergegas turun dari kuda lalu menarik prajurit yang hendak memasuki hutan itu. Dia telah terhipnotis oleh nyanyian para peri itu. Setelah Bimantara berhasil menariknya, prajurit itu tampak sadar kembali. “Kenapa aku?” tanya prajurit itu. “Kembali lah ke kudamu,” pinta Bimantara. Prajurit itu mengangguk. Tak lama kemudian Pendekar Gunung Nun dan Pendekar Burung Merpati turun dari kuda masing-masing lalu menghampiri Bimantara. “Sebaiknya kita kembali turun saja,” pinta Pendekar Burung Merpati. “Bukankah yang mulia Raja meminta kita untuk berkeliling dan mengenal wilayah Warih saja? Mendaki puncak bukan seharusnya yang kita lakukan.” “Benar, Tuan Panglima,” tambah Pendekar Gunung Nun. “Di atas sana, semakin banyak lagi ancaman untuk kita. Gunung ini bukan tempat dikurungnya Bubungkala saja, tapi tempat k