Ku lihat rona bahagia diwajah suamiku, begitu juga dengan khasanah. Wanita itu tampak ramah saat berbicara dengan para tamu. Ibu mertua terlihat sedih saat melihatku menatap kebahagiaan suamiku dengan wanita lain.
"Kinan, sabar ya," ucap ibu mertua. "Kita doakan Arfan menepati janjinya." Aku sendiri tidak yakin jika Mas Arfan bisa menepati janjinya.Banyak orang yang menggunjingkan aku karena terlalu bodoh dengan mau dimadu. Namun, aku sendiri tak tahu sampai kapan aku kuat dengan penderitaan ini.Malam pengantin Ana dan Mas Arfan membuatku berderai air mata. Siapa yang ikhlas berbagi suami. Padahal hati ini sakit dengan keadaan ini.Pagi itu ku lihat rambut basah Mas Arfan. Aku tahu dia dan Ana pasti sudah melakukan hubungan suami istri."Kinan, kamu kenapa?" tanya Mas Arfan."Tidak, Mas. Akh baik-baik saja," jawabku.Ku lihat Ana melayani Mas Arfan dia mengambilkan makanan untuk Mas Arfan. Ada rasa perih di hati yang aku tahan.Aku berangkat kerja sekaligus mengantar anakku sekolah. Di dalam mobil Kiara terlihat murung."Ma, apa Kiara akan kehilangan papa? Sama seperti mama?" tanya Kiara."Anak manis, kamu tenang saja. Kita gak akan kehilangan papa meskipun papa menikah lagi," jawabku."Mama pasti sakit hati melihat kemesraan papa dan Tante Ana," kata Kiara."Sayang, panggil dia Mama Ana, dia mama kamu juga," kataku.Sudah sampai di sekolah Kiara, dia segera turun dan melambaikan tangan padaku. Aku tersenyum padanya, meskipun hatiku sakit aku harus terlihat tegar di mata anakku.Sampai di kantor banyak sekali yang menggunjingkan aku. Terlebih masalah poligami yang suamiku lakukan saat ini."Tuh Kinan, masih aja dia berusaha tegar padahal aku yakin dia sakit hati," bisik salah seorang perempuan.Aku hanya bisa berjalan melewati mereka dan berusaha untuk tidak menghiraukan apa yang mereka katakan.Selama bekerja, aku tidak konsentrasi. Pasalnya hari ini Mas Arfan cuti dan dia berada di rumah berdua dengan Ana."Mbak Kinan, Kiara biar kami yang jemput ya. Kami ingin mengajak Kiara jalan-jalan," pesan dari Ana di ponselku."Iya, hati-hati kalau jalan-jalan," balasku.Ada rasa sesak di dada mendengar anak dan suamiku akan jalan bersama dengan Ana. Aku tidak fokus bekerja, hingga berkali-kali aku melihat jam di tangan berharap segera sore dan aku ingin segera pulang.Erina masuk ke ruanganku, dia membawakan aku makanan. Saat makan siang tadi aku tidak ke kantin demi menghindari gunjingan orang lain."Jangan lupa makan! Kamu udah ambil keputusan mau di poligami. Jadi ya kamu harus siap dengan segala resikonya," kata Erina."Kamu benar tapi semua butuh proses," kataku.Aku makan makanan yang Erina bawa untukku. Aku makan sambil memainkan ponselku. Ku lihat story Mas Arfan sedang pose foto dengan Khasanan dan Kiara.Tiba-tiba nafsu makanku hilang. Aku gak nyangka Mas Arfan dengan mudah mengumbar hubungannya dengan Ana meskipun mereka pasangan sah."Kok gak di makan," kata Erina. Aku memperlihatkan story Mas Arfan pada Erina."pantas kamu gak nafsu makan lagi," komentar Erina.Sore itu aku segera pulang, sampai di rumah ku lihat Ana, Kiara dan Mas Arfan bercengkrama di ruang keluarga. Melihat kebersamaan mereka hatiku sakit. Aku merasa Ana telah mengambil anak dan suamiku.Aku masuk ke dalam kamar, mengunci dan menangis sendiri. Sementara Mas Arfan terdengar tertawa bahagia di ruang keluarga bersama Ana.Aku segera mandi, ku dengar pintu di ketuk. Aku yang baru selesai ganti baju membuka pintu."Sayang, kamu kenapa?" tanya Mas Arfan."Harusnya kami tahu apa yang aku rasakan, Mas. Tidak mudah menerima apa yang kamu lakukan padaku," jawabku."Sayang, bukannya kita udah sepakat. Dan aku akan berusaha untuk adil," kata Mas Arfan."Adil? Kamu dan Ana jalan-jalan saat aku sibuk kerja apa itu adil? Bahkan kamu dengan mudah mengumbar kemesraan di media sosial," bantahku."Jadi kamu cemburu?" tanya Mas Arfan."Iya, aku cemburu. Apa itu tujuanmu memperlihatkan kemesraan kalian?" tanyaku. "Aku merasa Ana telah berhasil mengambil semua yang aku punya suami dan anakku," kataku.Mas Arfan memelukku, ku tumpahkan tangisku dalam pelukan Mas Arfan. Aku benar-benar takut kehilangan keluargaku."Percayalah, kamu akan tetap wanita nomor satu di hatiku sampai kapanpun itu," kata Mas Arfan.Kami lalu keluar dari kamar, Kiara langsung memelukku. Dia menceritakan saat jalan-jalan tadi."Kiara suka jalan-jalan, Ma. Nanti kita pergi lagi sama mama juga," kata Kiara."Iya, sayang," ucapku tersenyum.Ku lihat Ana ikut tersenyum, kami berempat duduk santai sambil menunggu waktu magrib tiba. Setelah itu kami salat berjamaah di imami Mas Arfan. Setelah salat Ana mengajak kami mengaji. Saat Ana membaca ayat suci Al-qur'an aku melihat Mas Arfan menatapnya dan tersenyum.Perbedaan antara aku dan Ana hanya dalam urusan agama saja. Ana memang sangat fasih membaca al qur'an. Namun soal mengurus anak dan suami aku juga bisa."Wah suara kamu bagus sekali Ana," puji Mas Arfan."Terima kasih, Mas," kata Ana.Selama satu jam kami mengaji, Ana beberapa kali membenarkan bacaanku dan Mas Arfan. Aku sadar Ana memang tidak terkalahkan soal agama. Hanya saja aku merasa tidak suka jika Mas Arfan memuji dia di depanku.Selesai salat isyak aku membatu Bibik menyiapkan makan malam. Ku lihat Ana menyusul kami di dapur."Makasih, Na. Kamu udah ajari aku dan Mas Fahri mengaji. Terlebih lagi pada Kiara," kataku."Sama-sama, Mbak. Kan tujuan Mas Fahri memang itu saat menikahiku," ucap Ana.Kamu makan malam bersama, hanya bunyi sendok yang terdengar. Aku melihat Ana menawarkan makanan lagi untuk Mas Arfan tetapi di tolak.Aku langsung masuk ke kamar Kiara, aku membantu dia untuk mengerjakan tugas sekolah. Tadi ku lihat Ana dan Mas Fahri duduk di ruang keluarga berdua."Mama, kalau nanti mama Ana hamil. Apa mama Ana masih sayang sama Kiara seperti saat ini?" tanya Kiara."Loh kok tanya kayak gitu ke mama, harusnya Kiara tanya ke mama Ana. Kalau mama yang hamil lagi sih mama gak akan lupakan Kiara, kan Kiara anak mama juga," jawabku.Selesai membantu Kiara belajar, aku menidurkan Kiara. Setelah Kiara tidur aku masuk ke dalam kamarku. Berharap malam ini Mas Arfan tidur bersamaku.Namun, sudah dua jam aku menunggu Mas Arfan dan tidak kunjung datang. Aku memutuskan untuk tidur saja. Aku kira setelah semalam jatah bersama Ana malam ini bersamaku. Namun, aku salah.Pagi itu, Mas Arfan masuk ke kamarku."Kinan, maaf Mas semalam ketiduran di kamar Ana," kata Mas Arfan. "Semalam aku dipijit Ana, malah aku ketiduran," kata Mas Arfan."Iya, Mas. Aku gak apa-apa," kataku.Aku keluar dari kamar dan menyiapkan sarapan. Tidak berapa lama aku lihat Ana keluar dari kamar."Maaf ya baru bisa bantuin," kata Ana.Aku hanya tersenyum, ku lirik rambut panjang Ana di balik jilbabnya. Ternyata rambutnya basah. Begitu juga dengan Mas Arfan rambutnya juga basah.Sakit, sungguh sakit tiap hari melihat rambut mereka basah.Aku sedih melihat nasibku sendiri. Bagaimana tidak setiap hari aku melihat suamiku bersama maduku."Mbak Kinan kenapa?" tanya Ana. Mungkin sejak tadi aku melamun sehingga Ana meras heran atas sikapku ini."Tidak apa-apa," jawabku. "Aku ingin segera berangkat kerja," kataku."Mbak, biar aku yang antar jemput Kiara sekolah saja. Mbak Kinan bisa fokus kerja," kata Ana.Hah? Dia mau antar jemput Kiara sekolah? Aku takut dia akan mengambil Kiara lama kelamaan."Bagaimana, Ma? Tidak apa-apa, kan?" tanya Mas Arfan.Aku hanya mengangguk saja, karena aku tidak mau memperkeruh suasana hatiku. Mas Arfan berangkat kerja lebih dulu. Seperti biasa sebelum berangkat kerja Mas Arfan mencium keningku dan pipi Kiara. Namun, aku merasa cemburu saat hal itu juga dia lakukan pada Ana.Aku ingin protes tapi ku urungkan karena aku yakin Mas Arfan ingin memperlakukan kami sama."Kiara, papa udah berangkat. Sekarang mama juga berangkat. Kiara sekolah sama mama Ana, ya," kataku mencium pipi Kiara."Iya, Ma. Ma
Hari itu aku benar-benar kecewa pada Mas Arfan. Dia berani membohongiku, jika dia sudah tidak mencintaiku lebih baik pisah saja. Aku punya hati yang bisa merasakan sakit dan kecewa.Berkali-kali Mas Arfan menelfon namun ponsel sengaja aku silent. Aku ingin fokus bekerja karena jika nanti aku bercerai aku masih bisa menafkahi Kiara.Satu jam kemudian Ana malah datang ke kantorku. Entah apa maksudnya datang ke kantor."Mbak Kinan, maafkan saya lancang kemari," kata Ana."Maaf Ana, jika ini masalah Mas Arfan lebih baik kamu bicarakan di rumah saja. Kedatangan kamu ke sini hanya mempermalukanku saja. Apa kamu senang karyawan lain menggunjingkan kita?" tanyaku."Maaf, Mbak. Saya hanya mengantar makan siang ini sesuai perintah Mas Arfan," jawab Ana menaruh kotak makan di mejaku.Setelah itu Ana pergi, aku benar-benar kesal dengan sikap Ana dan Mas Arfan. Mereka tidak pernah mengerti aku. Mereka hanya terlalu egois.Sore itu aku pulang tak ku lihat Ana dan Mas Arfan juga Kiara."Bik, di mana
Kekecewaan yang aku rasakan membuatku mengacuhkan Mas Arfan. Aku benci hal seperti ini. Bukannya aku tak boleh dia tidur dengan Ana tapi mengapa di saat dia jadwal denganku malah meminta kepuasan pada Ana."Kinan, bisa kita bicara," kata Mas Arfan malam itu."Bicara saja, aku akan mendengarnya," ucapku sinis."Maafkan aku. Aku tak bermaksud membuat kamu kecewa," kata Mas Arfan."Apa kamu terlalu bernafsu semalam? Sampai tak kuat menahannya?" tanyaku tanpa rasa malu.Di kamar ini tidak ada Kiara jadi aku bebas membicarakan hal pribadi dengan Mas Arfan termasuk urusan ranjang."Aku khilaf," kilahnya."Khilaf? Akh tak yakin jika kamu khilaf, Mas. Apa tujuanmu pilogami hanya biar bisa dapat jatah ranjang tiap malam? Jika aku halangan kamu meminta Ana, tapi apa jika Ana halangan kamu juga akan memintaku? Egois kamu," ucapku sarkas. "Mentang-mentang punya istri dua jadi seenaknya saja," kataku. "Apa itu yag dinamakan adil?" tanyaku."Aku sudah meminta maaf kenapa kamu masih menyalahkan aku
Aku pergi mengendarai mobilku ke luar rumah. Ku dengar Mas Arfan memanggil tapi tak ku hiraukan.Ku banting setir secepat mungkin, aku tak bisa menahan sakit hati ini. Mas Arfan sudah berubah, dia memperlakukan aku dengan tak adil.Aku tak tahu harus kemana jadi aku memilih ke rumah Erina."Kinan, kamu kenapa?" tanya Erina ketika melihatku datang dengan berderai air mata."Mas Arfan...dia sudah menamparku. Hanya karena aku protes atas perubahannya. Dia menyalahkan aku, dia membandingkan aku dengan Ana," jawabku.Erina memelukku, hanya dia tempat aku mencurahkan isi hatiku. Mau ke rumah papa juga yak mungkin. Mereka pasti akan menyalahkan aku."Kalau kamu ada masalah jangan sekali-kali pergi dari rumah. Kasihan Kiara, Arfan juga pasti akan semakin marah," nasehat Erina."Aku hanya ingin menenangkan pikiranku," kataku.Setelah hampir dua jam aku di rumah Erina. Ku putuskan pulang, aku masuk dengan perlahan.
Aku memang sakit hati pada Mas Arfan tapi aku masih ingat dengan kewajibanku sebagai seorang istri."Bisa, Mas," jawabku.Mas Arfan mendekatkan bibirnya di bibirku. Kami saling berciuman."Mama...Papa...," Panggil Kiara.Ku dengar Kiara menangis di depan pintu kamarku. Sebagai seorang ibu aku beranjak namun Mas Arfan mencegahku."Biar diurus Ana," kata Mas Arfan. "kita lanjutkan saja!" ajak Mas Arfan.Hah!!! Dilanjutkan? Mana aku bisa fokus kalau dengar Kiara menangis."Mama...bukain pintunya! Kiara jatuh," tangis Kiara.Mendengar Kiara jatuh aku tak menghiraukan Mas Arfan. Toh aku tak mendengar ada Ana bangun.Ku buka pintu, Kiara langsung memelukku."Kenapa sayang?" tanyaku melepaskan pelukan Kiara.Ku lihat jidat Kiara benjol jadi aku segera untuk mengobatinya. Ku tinggalkan Mas Arfan di dalam kamar.Kiara memintaku untuk menemani dia tidur. Dan aku pun tertidur di kamar Ki
Ternyata Ana masih mendiami Mas Arfan. Aku tahu saat Mas Arfan mengajak Ana jalan namun di tolak mentah-mentah."Kalau ngajak jalan-jalan Mbak Kinan harus ikut," kata Ana.Nyatanya Mas Arfan malah tak jadi mengajak Ana jalan hanya karena tak mau mengajakku juga.Benar-benar pria egois, padahal dulu Mas Arfan tak seperti itu padaku. Kemana saja dia pergi aku dan Kiara selalu diajaknya."Mas Arfan tak mau aku ikut, kalau kalian mau jalan-jalan aja. Aku sama Kiara di rumah saja," ucapku."Gak, Mbak. Aku gak mau pergi tanpa Mbak Kinan," tolak Ana.Mas Arfan memilih masuk ke kamar Ana. Sejak kami bertengkar Mas Arfan selalu tidur di kamar Ana.***Hidup memang tak ada yang tahu. Dulu aku dan Mas Arfan sangat bahagia. Tapi kini kehidupan kami berubah sejak Mas Arfan memutuskan menikah lagi."Ana, jangan marah sama aku," bujuk Mas Arfan.Aku mendengar karena mereka berada di ruang keluarga. Suara Mas Arfan juga sangat keras."Mas Arfan harusnya minta maaf sama Mbak Kinan. Mas sudah memperlak
Aku tak habis pikir dengan sikap Mas Arfan. Di sini akulah korbannya, tapi kenapa aku yang dituduh mengadu? Jika aku niat mengadu sudah aku buka tadi di depan mama mertua.nyatanya aku lebih memilih menyembunyikannya."Sabar ya, Mbak. Semoga Mas Arfan nanti sadar akan kesalahannya," kata Ana menepuk pundakku. Ana masuk ke kamarnya, aku ke kamar Kiara dan menangis di samping Kiara yang tertidur pulas."Kenapa kamu berubah, Mas? Kamu bukan lagi suamiku yang dulu," kataku.Aku menangis sampai akhirnya ketiduran di kamar Kiara.Pagi itu Mama mertua aku kira pulang, ternyata dia masih ingin menginap. Aku dan Ana tidak keberatan tapi Mas Arfan tampak keberatan."Aku akan menginap lagi. Apa ada yang keberatan mama di sini?" tanya Mama mertua."Tidak, Ma. Kinan senang mama di sini," jawabku."Iya, Ma. Kami minta maaf karena belum sempat berkunjung ke rumah mama," sahut Ana."Bagaimana dengan kamu Arfan?" tanya Mama mertua."Kalau aku sih terserah mama aja mau nginep sampai kapan. Hanya saja k
Aku tak berani mengiyakan saran dari Bibik. Aku takut jika nanti malah akan memperkeruh suasana."Kalau gak yakin, jangan dilakukan!" kata bibik."Iya, Bik. Aku gak mau melakukan itu," ucapku.Setelah selesai makan malam aku ke kamar. Ku hubungi Mas Arfan dan Ana namun tak ada jawaban.Sedih tentu saja, apalagi dia membawa Kiara tanpa aku. Meskipun Ana menyayangi Kiara tapi aku tak rela mereka pergi tanpa aku."Jahat kamu, Mas," ucapku menangis.Malam ini terasa begitu lama. Bahkan aku tak sanggup untuk memejamkan mataku.Pagi telah tiba, aku segera bangun. Aku salat subuh seorang diri.Hingga aku sarapan, mereka belum pulang. Aku memutuskan segera berangkat kerja."Kenapa lagi? Sepertinya kamu ada masalah?" tanya Erina."Biasa, Mas Arfan ngajak Kiara dan Ana menginap tanpa mengajakku," jawabku."Fix suamimu udah gak bisa ditolerir," kata Erina. "Kamu harus protes," kata Erina."Tentu," kataku.Seharian aku tak konsentrasi bekerja. Aku memikirkan mereka, tentu aku marah sekaligus cemb
Ternyata Allah menjawab doa anak-anak selang dua bulan kemudian aku hamil lagi. Mereka bergembira saat tahu aku tengah mengandung adiknya."Hore... hore punya adik," seru Kiara diikuti dengan Marvel sambil lompat-lompat.Kehamilan aku dan Dina beriringan, tentu aku tak akan bisa menemani dia lahiran. Namun, keluarga Brian sudah siap menemani Sofia lahiran.Papa senang melihat aku bahagia bersama Mas Ilham. Rasa sakit hati yang dulu diciptakan Mas Arfan seketika hilang sudah. Digantikan dengan kebahagiaan yang diberikan Mas Ilham.Tak hanya diriku, Ana juga merasakan hal yang sama. Dia mencurahkan semuanya padaku. Bahkan dia sempat menangis saat kami bercerita dan ingat saat-saat masih bersama Mas Arfan."Semua hanya masa lalu," kataku. "Sekarang kebahagiaan kita sudah di depan mata, meskipun bukan dengan Mas Arfan," kataku."Iya, Mbak. Hanya saja aku masih merasa bersalah pernah masuk dalam rumah tangga Mbak Kinan," katanya."Semua sudah berlalu, dulu memang aku sempat membencimu. Nam
Ku lihat banyak orang berkerumun, bahkan orang yang berada di dalam gedung pernikahan Sofia ada yang ikut melihat.Ku dengar dari beberapa orang bahwa yang kecelakaan adalah orang yang tadi diusir di pesta pernikahan Sofia."Aduh dia pasti kena karma," kata seseorang.Aku kembali ke gedung, ku lihat Mas Ilham sedang bersama Brian."Ada apa, Mbak?" tanya Sofia."Wanita itu kecelakaan sepertinya," jawabku. "Ku lihat tadi mereka bertengkar," ucapku."Ya ampun!" ucap Sofia.Acara pernikahan Sofia telah selesai. Kini Sofia akan tinggal di rumah ibu. Rumahku kembali sepi, karena hanya kami sekeluarga yang tinggal di sana.Rumah kembali seperti semula, hanya ada aku, Mas Ilham dan anak-anak."Mas, sepi ya?" tanyaku."Ya memang begitu, kan mereka udah punya keluarga sendiri-sendiri," jawab Mas Ilham. "Bagaimana kalau kita liburan?" tanya Mas Ilham."Liburan kemana, Mas?" tanyaku."Ke tempat yang sederhana saja," jawab Mas Ilham. "Nanti aku akan siapkan semua," ucapnya.Kamu akhirnya pasrah de
Kamu semua terkejut saat pria itu menyatakan niatnya untuk menikahi Sofia di atas panggung.Sofia mengangguk pelan," Ya aku menerima kamu," ucap Sofia.Ku lihat kedua mempelai merasa malu melihat Sofia mendapatkan jodohnya di depan mata mereka. Padahal baru satu menit yang lalu dia diejek."Nah, lihat kan kalau aku bisa dapat yang lebih baik," kata Sofia.Sofia lalu mengajak aku dan pria itu keluar dari acara tersebut. Aku terheran-heran, aku kira pasti Sofia tengah membuat drama."Akting kalian bagus," ucapku setelah sampai di tempat parkir."Akting, siapa yang akting Mbak?" tanya pria itu. "oh ya aku Brian, teman SMA nya Sofia," jawab Brian memperkenalkan diri."Jadi kamu beneran melamar Sofia?" tanyaku."Iya benar," jawab Brian."Sofia, Mbak gak mau kejadian kemarin ke ulang lagi. Lebih baik kamu pikirkan matang-matang, setidaknya sebelum menikah kalian memantapkan hati kalian dulu," kataku.
Sofia dan suaminya langsung pamit pulang. Kami tak bisa mencegahnya. Kamu hanya mendoakan kehadiran teman Sofia tidak membuat rumah tangga Sofia yang baru seumur jagung menjadi hancur."Aku jadi Sofia gak mau gantiin," kata Dina. "Sekarang dia kembali, bagaimana kalau sampai dia tidak terima dan merebut suami Sofia lagi?" tanya Dina."Kita berdoa saja semoga tidak seperti itu," jawab Mas Ilham.Aku merasa kasihan pada Sofia, dia harus menjalani asmara yang begitu rumit.Seharian Dina main di rumah, dia sedang libur. Dia bermain dengan anak-anak. Sorenya dia pulang di jemput Seno."Loh katanya Sofia ada di sini kok udah sepi," kata Seno."Udah pulang waktu aku datang," kata Dina."Mereka baik-baik saja, kan?" tanya Seno."Kamu tidak tahu, Sen," ucapku.Dina hendak pulang tapi dia melihat Sofia datang naik taksi."Loh katanya mau tinggal sama mertua kamu," kataku."Suamiku diminta sama t
Siang itu ku lihat Sofia pulang dengan wajah kusut. Dia terlihat memikirkan sesuatu."Ada apa, Dek? Temanmu sudah pulang?" tanyaku.Dia menggeleng, sepertinya masalahnya semakin rumit."Kak, aku mau nikah," kata Sofia."Hah," aku terkejut mendengar apa yang barusan dia katakan."Menikah dengan siapa?" tanyaku."Aku disuruh menggantikan pengantin perempuan besok, Mbak," jawabnya."Bukankah itu keinginan kamu, menikah dengan orang yang kamu cintai?" tanyaku heran melihat sikap dia yang justru lemas."Justru itu, aku merasa hanya sebagai tempat pelarian saja karena pengantin wanitanya kabur,' jawab Sofia. "Kak Ilham pasti kaget kalau aku akan menikah besok," kata Sofia."Itu sih tentu, nanti aku bantu bicara sama Mas Ilham," ucapku.Aku segera menelfon Mas Ilham, agar dia pulang lebih awal. Biar bagaimanapun, kami harus menemui keluarga calon mempelai putra."Mas, pulang sekarang! Ada hal
Dua hari setelah pernikahan Dina dan Seno, mereka akan pindah ke rumah baru Seno. Kami mengantar Dina ke sana dengan membawa barang-barang Dina."Aku pasti akan sering kangen kak Kinan," kata Dina."Kalau kangen ya datang kemari lah," ucapku."Insyaallah ya, Kak," ucap Dina.Sampai di rumah Seno, di sana sudah ada keluarga Seno. Pembantu Seno membantu membawakan barang milik Dina ke kamar.Aku ikut melihat kamar Dina, kamarnya sangat luas hampir sama dengan kamarku di rumah. Rumahnya juga bagus dan sangat modern."Wah bakal betah nih kalau rumahnya sebagus ini," pujiku.Dina hanya tersenyum, setelah itu kami ke ruang tamu menyusul yang lain. "Dina, sekarang kamu udah sah istrinya Seno. Jadi mama harap kamu harus saling jaga sama Seno," kata Mama Seno."Iya, Ma," kata Dina.Anak-anak bermain, mereka suka karena rumah Seno ada kolam renangnya. Mereka bermain air di sana."Seno,kamu udah
Pagi itu Dina tampak pergi dengan terburu-buru. Aku melihat ada wajah kecemasan pada dirinya."Kamu kenapa?" tanyaku."Tadi keluarga Mas Seno menelfon, katanya Mas Seno kecelakaan, Mbak," jawab Dina."Ya sudah kalau gitu aku ikut," ucapku.Aku dan Dina ke rumah sakit di mana Seno di rawat. Pernikahan mereka tinggal satu Minggu lagi tetapi Seno malah kecelakaan.Sampai di rumah sakit, kami bertemu dengan keluarga Seno."Dina, Seno belum sadar," kata Mama Seno.Dina langsung lemas, ku ajak dia duduk. Aku tahu Dina pasti terpukul."Din, sepertinya pernikahan kalian harus ditunda kalau Seno tidak sadar juga," kata Papa Seno.Dina Kembali lemas, harapannya segera menikah pupus. Dia harus menunggu Seno sembuh dulu.**Dina menunggui Seno di rumah sakit, selang satu jam kemudian Seno sadar. Lukanya tidak terlalu parah hanya saja dia perlu waktu untuk dirawat beberapa saat."Sayang, a
Pagi itu Mas Ilham membangunkan diriku, setelah pertempuran semalam aku sampai bangun kesiangan."Sayang, bangun!" Perintahnya.Di tak lupa mengecup keningku dengan penuh kasih sayang. Aku yang baru setengah sadar dari tidurku hanya tersenyum melihat perlakuan Mas Ilham."Hari ini aku antar kamu ke salon ya," ucap Mas Ilham."Ngapain ke salon?" tanyaku heran. Mas Ilham tak pernah mengantarku ke salon sama sekali. Tapi pagi ini dia ingin mengantarku ke salon."Cepat mandi!" Suruhnya.Aku segera mandi, setelah itu sarapan berdua saja dengan Mas Ilham. Ternyata yang lain sudah sibuk dengan urusan masing-masing."Mbak, nitip Marvel ya. Aku mau ajak mamanya ke salon," kata Mas Ilham saat melihat baby sitter Marvel."Baik, Pak," ucapnya lalu berlalu meninggalkan kami.Selesai makan kami berangkat ke salon, Mas Ilham memilihkan perawatan terlengkap untuk diriku."Mas, ini perlu waktu beberap
"Apa Pak Willi tersangka utamanya?" tanya Sofia saat mendengar jawabanku.Aku mengangguk, mereka sangat marah karena apa yang dilakukan Pak Willi sudah diluar batas."Dia harus dihukum," ucap Sofia."Mas Ilham tidak akan membiarkan dia hidup tenang," kataku.Pagi itu kami tengah sarapan, Mas Ilham belum pulang dari kantor polisi. Aku meminta Bi Sri pesan makanan untuk acara tahlilan nanti malam."Kinan...Kinan...keluar kamu!" Suara Vira terdengar.Setelah aku membuka pintu, Vira menyerang ku. Dia langsung saja menjambak rambutku."Aku sudah peringatkan kamu, kan. Kalau Mas Willi punya rencana kamu sih gak mau dengar. Sekarang aku mau kamu bujuk Ilham untuk mencabut laporannya," ucap Vira."Maaf gak bisa, yang salah harus tetap mendapat hukuman," balasku.Dina dan Sofia langsung menyusulku, melihat yang datang Vira, emosi mereka meluap."Masih gak punya malu kamu, udah jelas suami kamu salah mas