Kekecewaan yang aku rasakan membuatku mengacuhkan Mas Arfan. Aku benci hal seperti ini. Bukannya aku tak boleh dia tidur dengan Ana tapi mengapa di saat dia jadwal denganku malah meminta kepuasan pada Ana.
"Kinan, bisa kita bicara," kata Mas Arfan malam itu."Bicara saja, aku akan mendengarnya," ucapku sinis."Maafkan aku. Aku tak bermaksud membuat kamu kecewa," kata Mas Arfan."Apa kamu terlalu bernafsu semalam? Sampai tak kuat menahannya?" tanyaku tanpa rasa malu.Di kamar ini tidak ada Kiara jadi aku bebas membicarakan hal pribadi dengan Mas Arfan termasuk urusan ranjang."Aku khilaf," kilahnya."Khilaf? Akh tak yakin jika kamu khilaf, Mas. Apa tujuanmu pilogami hanya biar bisa dapat jatah ranjang tiap malam? Jika aku halangan kamu meminta Ana, tapi apa jika Ana halangan kamu juga akan memintaku? Egois kamu," ucapku sarkas. "Mentang-mentang punya istri dua jadi seenaknya saja," kataku. "Apa itu yag dinamakan adil?" tanyaku."Aku sudah meminta maaf kenapa kamu masih menyalahkan aku?" tanya Arfan."Bukan menyalahkan tapi kamu emang salah. Ternyata alasan kamu saja poligami agar bisa belajar agama," bantahku.Aku benar-benar sudah emosi padahal belum genap sebulan Mas Arfan berpoligami. Tapi dia sudah tidak bisa adil padaku."Jangan salahku aku, Mas. Jika nanti aku pergi," kataku keluar dari kamar.Aku masuk ke kamar Kiara menemui gadis kecilku yang tertidur pulas.Ku dengar suara Ana dan Mas Arfan di ruang keluarga mereka menonton terlevisi. Aku melewati mereka jadi aku melihat kedekatan mereka."Berhubung aku lagi halangan aku halalkan kamu tidur di kamar Ana, Mas. Aku bukan wanita egois," kataku.Ku kunci pintu kamarku agar Mas Arfan tak bisa masuk. Dari pada dia diam-diam memasuki kamar Ana lagi jadi aku bebaskan dia untuk tidur di kamar Ana selama aku halangan.***Seminggu kemudianHalanganku sudah selesai jadi aku siap jika Mas Arfan meminta jatahnya. Hanya saja aku masih acuh tak acuh pada Mas Arfan. Rasa kecewaku belum juga sembuh.Sore itu aku menemani Kiara bermain di taman belakang. Sementara Ana terlihat sedang menyiram bunga. Mas Arfan yang baru pulang menghampiri kami."Sayang, aku harus ke luar kota. Tidak apa kan kalian aku tinggal," kata Mas Arfan."Kapan kamu berangkat?" tanyaku."Malam ini, sayang," jawab Mas Arfan.Ya malam itu di saat aku sudah siap memberi nafkah batin pada Mas Arfan justru dia berangkat ke luar kota."Jangan lupa hubungi aku ya, Mas," ucapku.Meskipun aku acuh padanya tapi melihat dia pergi aku merasa sedih. Malam ini lagi-lagi aku sendiri. Karena itu aku mengajak Aira tidur di kamarku.Pagi itu aku khawatir karena Mas Arfan belum memberiku kabar. Ku lihat ponsel juga tak ada panggilan darinya. Aku keluar kamar saat melewati kamar Ana aku berhenti."Mas Arfan udah nelfon Mbak Kinan?" tanya Ana yang ternyata sedang menerima telfon dari Mas Arfan.Entah apa jawaban Mas Arfan tapi aku dengan Ana marah pada Mas Arfan."Kamu kok gitu, Mas. Mbak Kinan itu istri pertama kamu dia pasti lebih mengkhawatirkan kamu. Kalau gak mau nelfon setidaknya kirim pesan," tegur Ana."...""Aku gak suka kalau kamu bedain aku sama Mbak Kinan, Mas," kata Ana lalu mematikan panggilannya.Aku segera ke dapur membantu Bibik menyiapkan sarapan. Ku lihat Ana menyusul."Kenapa An, kok kayak lagi kesel?" tanyaku."Oh gak, Mbak," jawab Ana."Mas Arfan udah hubungi kamu belum? Soalnya gak ada hubungi aku," tanyaku."I-iya, Mbak," jawab Ana sedikit takut."Ternyata Mas Arfan lebih peduli sama kamu ya," kataku. "Ya udah ayo kita makan! Ngapain aku mikir Mas Arfan kalau yang dipikirkan Mas Arfan itu kamu," sindirku.Aku berusaha membuat Ana tidak betah di rumah ini. Agar dia meminta pindah, syukur-syukur dia malah minta cetai sama Mas Arfan.Ana hanya makan dalam diam sejak mendengar jawabanku tadi. Aku yakin dia pasti merasa bersalah."Kalah gitu titip Mas Arfan, Na. Ternyata kamu lebih pandai menjaga suamiku dari pada aku," kataku pada Ana lalu mengajak Kiara berangkat.Sampai di kantor aku mengecek ponselku, ada pesan dari Mas Arfan memberitahukan bahwa sudah sampai dan bersiap untuk kerja. Aku enggan membalasnya.***Dua hari kemudian Mas Arfan pulang dari dinasnya di luar kota. Ku lihat Ana tersenyum menyambut Mas Arfan. Berbeda denganku yanv masih acuh dan jutek."Suami pulang kok malah acuh gitu, Nan," tegur Mas Arfan."Bagaimana gak acuh, istri kedua di telfon terus tapi istri pertama hanya di kirim pesan," ucapku sinis lalu masuk ke dalam kamar.Mas Arfan menyusulku ke kamar," Kamu berubah, Nan. Kamu gak seperti Kinan yang dulu," kata Mas Arfan."Apa kamu gak sadar yang buat aku kayak gini itu kamu, Mas. Kamu gak pernah adil sama aku dan Ana," bantahku. "Kalau kamu emang lebih butuh Ana dari pada aku mendingan aku pergi, Mas," sambungku."Pergi...mau pergi kemana? Kamu makin lama makin berani membantah Kinan." Mas Arfan justru marah padaku."Kamu sendiri gak sadar kan kalau kamu juga berubah sejak ku izinkan poligami," kataku."Kinan..tolong jangan bikin aku pusing!" pinta Mas Arfan mencoba menahan amarahnya. Ku tatap wajah Mas Arfan, dia tak berani menatapku."Jika kamu ingin poligami ini berjalan baik, kamu harus perbaiki diri," kataku.Aku hendak melangkah keluar kamar. Namun, tangan kekar Mas Arfan menarikku dengan kasar."Kamu yang harus memperbaiki diri, contoh Ana dia lebih menurut pada suami. Selalu ada waktu buat suaminya bukan seperti kamu yang kerja dan kerja," bantah Mas Arfan."Bukan itu sebenarnya masalahnya. Toh aku kerja juga tidak pernah meninggalkan kewajibanku sebagai seorang istri dan ibu. Masalahnya ada pada kamu, Mas. Hanya saja kamu egois untuk mengakuinya," ucapku.PlakTangan itu tiba-tiba menampar pipi mulusku hingga terasa panas. Ku palingkan wajahku. Ini pertama kali Mas Arfan melakukanku dengan kasar. Aku keluar dari kamar dan meninggalkan rumah."Kinan...mau kemana kamu!" teriakan Mas Arfan tak lagi aku dengarkan. Hatiku sudah terlanjur sakit.Aku pergi mengendarai mobilku ke luar rumah. Ku dengar Mas Arfan memanggil tapi tak ku hiraukan.Ku banting setir secepat mungkin, aku tak bisa menahan sakit hati ini. Mas Arfan sudah berubah, dia memperlakukan aku dengan tak adil.Aku tak tahu harus kemana jadi aku memilih ke rumah Erina."Kinan, kamu kenapa?" tanya Erina ketika melihatku datang dengan berderai air mata."Mas Arfan...dia sudah menamparku. Hanya karena aku protes atas perubahannya. Dia menyalahkan aku, dia membandingkan aku dengan Ana," jawabku.Erina memelukku, hanya dia tempat aku mencurahkan isi hatiku. Mau ke rumah papa juga yak mungkin. Mereka pasti akan menyalahkan aku."Kalau kamu ada masalah jangan sekali-kali pergi dari rumah. Kasihan Kiara, Arfan juga pasti akan semakin marah," nasehat Erina."Aku hanya ingin menenangkan pikiranku," kataku.Setelah hampir dua jam aku di rumah Erina. Ku putuskan pulang, aku masuk dengan perlahan.
Aku memang sakit hati pada Mas Arfan tapi aku masih ingat dengan kewajibanku sebagai seorang istri."Bisa, Mas," jawabku.Mas Arfan mendekatkan bibirnya di bibirku. Kami saling berciuman."Mama...Papa...," Panggil Kiara.Ku dengar Kiara menangis di depan pintu kamarku. Sebagai seorang ibu aku beranjak namun Mas Arfan mencegahku."Biar diurus Ana," kata Mas Arfan. "kita lanjutkan saja!" ajak Mas Arfan.Hah!!! Dilanjutkan? Mana aku bisa fokus kalau dengar Kiara menangis."Mama...bukain pintunya! Kiara jatuh," tangis Kiara.Mendengar Kiara jatuh aku tak menghiraukan Mas Arfan. Toh aku tak mendengar ada Ana bangun.Ku buka pintu, Kiara langsung memelukku."Kenapa sayang?" tanyaku melepaskan pelukan Kiara.Ku lihat jidat Kiara benjol jadi aku segera untuk mengobatinya. Ku tinggalkan Mas Arfan di dalam kamar.Kiara memintaku untuk menemani dia tidur. Dan aku pun tertidur di kamar Ki
Ternyata Ana masih mendiami Mas Arfan. Aku tahu saat Mas Arfan mengajak Ana jalan namun di tolak mentah-mentah."Kalau ngajak jalan-jalan Mbak Kinan harus ikut," kata Ana.Nyatanya Mas Arfan malah tak jadi mengajak Ana jalan hanya karena tak mau mengajakku juga.Benar-benar pria egois, padahal dulu Mas Arfan tak seperti itu padaku. Kemana saja dia pergi aku dan Kiara selalu diajaknya."Mas Arfan tak mau aku ikut, kalau kalian mau jalan-jalan aja. Aku sama Kiara di rumah saja," ucapku."Gak, Mbak. Aku gak mau pergi tanpa Mbak Kinan," tolak Ana.Mas Arfan memilih masuk ke kamar Ana. Sejak kami bertengkar Mas Arfan selalu tidur di kamar Ana.***Hidup memang tak ada yang tahu. Dulu aku dan Mas Arfan sangat bahagia. Tapi kini kehidupan kami berubah sejak Mas Arfan memutuskan menikah lagi."Ana, jangan marah sama aku," bujuk Mas Arfan.Aku mendengar karena mereka berada di ruang keluarga. Suara Mas Arfan juga sangat keras."Mas Arfan harusnya minta maaf sama Mbak Kinan. Mas sudah memperlak
Aku tak habis pikir dengan sikap Mas Arfan. Di sini akulah korbannya, tapi kenapa aku yang dituduh mengadu? Jika aku niat mengadu sudah aku buka tadi di depan mama mertua.nyatanya aku lebih memilih menyembunyikannya."Sabar ya, Mbak. Semoga Mas Arfan nanti sadar akan kesalahannya," kata Ana menepuk pundakku. Ana masuk ke kamarnya, aku ke kamar Kiara dan menangis di samping Kiara yang tertidur pulas."Kenapa kamu berubah, Mas? Kamu bukan lagi suamiku yang dulu," kataku.Aku menangis sampai akhirnya ketiduran di kamar Kiara.Pagi itu Mama mertua aku kira pulang, ternyata dia masih ingin menginap. Aku dan Ana tidak keberatan tapi Mas Arfan tampak keberatan."Aku akan menginap lagi. Apa ada yang keberatan mama di sini?" tanya Mama mertua."Tidak, Ma. Kinan senang mama di sini," jawabku."Iya, Ma. Kami minta maaf karena belum sempat berkunjung ke rumah mama," sahut Ana."Bagaimana dengan kamu Arfan?" tanya Mama mertua."Kalau aku sih terserah mama aja mau nginep sampai kapan. Hanya saja k
Aku tak berani mengiyakan saran dari Bibik. Aku takut jika nanti malah akan memperkeruh suasana."Kalau gak yakin, jangan dilakukan!" kata bibik."Iya, Bik. Aku gak mau melakukan itu," ucapku.Setelah selesai makan malam aku ke kamar. Ku hubungi Mas Arfan dan Ana namun tak ada jawaban.Sedih tentu saja, apalagi dia membawa Kiara tanpa aku. Meskipun Ana menyayangi Kiara tapi aku tak rela mereka pergi tanpa aku."Jahat kamu, Mas," ucapku menangis.Malam ini terasa begitu lama. Bahkan aku tak sanggup untuk memejamkan mataku.Pagi telah tiba, aku segera bangun. Aku salat subuh seorang diri.Hingga aku sarapan, mereka belum pulang. Aku memutuskan segera berangkat kerja."Kenapa lagi? Sepertinya kamu ada masalah?" tanya Erina."Biasa, Mas Arfan ngajak Kiara dan Ana menginap tanpa mengajakku," jawabku."Fix suamimu udah gak bisa ditolerir," kata Erina. "Kamu harus protes," kata Erina."Tentu," kataku.Seharian aku tak konsentrasi bekerja. Aku memikirkan mereka, tentu aku marah sekaligus cemb
Kemesraan demi kemesraan mereka tunjukkan di depanku. Sekuat apapun hati ini bertahan pasti akan runtuh juga. Belum nanti jika Ana hamil, Mas Arfan pasti akan memprioritaskan Ana. Lalu bagaimana aku dan Kiara? Haruskah aku diam? Tidak aku manusia punya hati yang tak akan sanggup diam terus."Mama, Kiara sayang mama. Kalaupun papa udah gak sayang mama masih ada Kiara, Ma," kata Kiara."Anak pinter nih, anaknya mama pasti akan sayang mama dong," kataku."Kiara, udah malam. Kamu tidur sama mama Ana ya," kata Ana."Gak mau, Kiara mau sama mama Kinan aja," tolak Kiara."Ana, kalau dia gak mau gak apa-apa. Mendingan kita tidur saja. Lagian dia masih ada Kinan yang urus. Kalau Kinan kan gak bisa ngurus aku," kata Mas Arfan membuatku kesal."Iya, kamu urus aja Mas Arfan. Kan kamu istri kesayangan," sahutku.Mas Arfan menggandeng Ana, tapi Ana terlihat enggan untuk mengikuti Mas Arfan. Dia terus menatapku seakan merasa bersalah. Tapi aku malah memilih tak peduli."Kiara, kita tidur bersama," k
Sampai rumah aku ajak Kiara mandi setelah itu gantian aku. Aku merasa kesal dengan kelakuan Mas Arfan yang semakin hari makin keterlaluan. Ana juga gak bisa mengontrol Mas Arfan."Ana, kamu gak bantu bibik masak?" tanyaku."Kata Mas Arfan aku gak boleh ngapa-ngapain, Mbak," Jawab Ana."Wah enak ya jadi kamu di manja sama suami. Kamu kan istri Kesayangan Mas Arfan pantes nurut sama suami," sindirku."Gak gitu, Mbak," ucap Ana."Lalu apa, beda dong sama aku yang hanya istri gak dianggap. Kalaupun aku mau kerja keras kaya apapun gak akan dipeduliin," kataku."Mbak Kinan kok gitu," protes Ana."Kenapa? Gak suka? Emang kenyataannya kan," bantahku."Mas Arfan juga sayang Mbak Kinan kok," sanggah Ana."Mana ada orang sayang tapi dibedakan. Ana...Ana jadi wanita polos amat sih kamu," ucapku. "Pantas sih kalau Mas Arfan suka sama kamu biar mudah dikibulin," kataku lagi."Kinan, kamu bicara apa sih," tegur Mas Arfan yang baru muncul. "Mendingan kamu sana yang bantuin bibik masak," kata Mas Arfa
Paginya ku buka kembali ponselku. Banyak pesan masuk dari Ana dan Mas Arfan namun aku tak hiraukan itu. Aku memungkinkan Kiara, setelah mandi kami sarapan bersama do restauran hotel.Rencana hari ini aku akan mengajak Kiara ke tempat bermain. Aku ingin Kiara bahagia."Ma, aku senang bisa jalan-jalan sama mama," ucap Kiara."Mama lebih senang lagi," ucapku.Kami chek out dari hotel, setelah itu menuju tempat wahana bermain.Hari ini aku tak mau di ganggu siapapun termasuk Mas Arfan.Kiara senang, dia mulai bermain. Ku dampingi dia, tak ku hiraukan ponselku yang bergetar di dalam tas."Mama, ayo main sini!" ajak Kiara.Aku menemani Kiara main setengah hari, setelah itu kami jamaah di masjid terdekat."Om Putra," panggil Kiara saat kami ke luar dari masjid.Aku kesal bertemu dengan pria itu, namun Kiara justru bahagia sekali."Halo Kiara, sedang apa di sini?" tanya Putra."Ini ha
Ternyata Allah menjawab doa anak-anak selang dua bulan kemudian aku hamil lagi. Mereka bergembira saat tahu aku tengah mengandung adiknya."Hore... hore punya adik," seru Kiara diikuti dengan Marvel sambil lompat-lompat.Kehamilan aku dan Dina beriringan, tentu aku tak akan bisa menemani dia lahiran. Namun, keluarga Brian sudah siap menemani Sofia lahiran.Papa senang melihat aku bahagia bersama Mas Ilham. Rasa sakit hati yang dulu diciptakan Mas Arfan seketika hilang sudah. Digantikan dengan kebahagiaan yang diberikan Mas Ilham.Tak hanya diriku, Ana juga merasakan hal yang sama. Dia mencurahkan semuanya padaku. Bahkan dia sempat menangis saat kami bercerita dan ingat saat-saat masih bersama Mas Arfan."Semua hanya masa lalu," kataku. "Sekarang kebahagiaan kita sudah di depan mata, meskipun bukan dengan Mas Arfan," kataku."Iya, Mbak. Hanya saja aku masih merasa bersalah pernah masuk dalam rumah tangga Mbak Kinan," katanya."Semua sudah berlalu, dulu memang aku sempat membencimu. Nam
Ku lihat banyak orang berkerumun, bahkan orang yang berada di dalam gedung pernikahan Sofia ada yang ikut melihat.Ku dengar dari beberapa orang bahwa yang kecelakaan adalah orang yang tadi diusir di pesta pernikahan Sofia."Aduh dia pasti kena karma," kata seseorang.Aku kembali ke gedung, ku lihat Mas Ilham sedang bersama Brian."Ada apa, Mbak?" tanya Sofia."Wanita itu kecelakaan sepertinya," jawabku. "Ku lihat tadi mereka bertengkar," ucapku."Ya ampun!" ucap Sofia.Acara pernikahan Sofia telah selesai. Kini Sofia akan tinggal di rumah ibu. Rumahku kembali sepi, karena hanya kami sekeluarga yang tinggal di sana.Rumah kembali seperti semula, hanya ada aku, Mas Ilham dan anak-anak."Mas, sepi ya?" tanyaku."Ya memang begitu, kan mereka udah punya keluarga sendiri-sendiri," jawab Mas Ilham. "Bagaimana kalau kita liburan?" tanya Mas Ilham."Liburan kemana, Mas?" tanyaku."Ke tempat yang sederhana saja," jawab Mas Ilham. "Nanti aku akan siapkan semua," ucapnya.Kamu akhirnya pasrah de
Kamu semua terkejut saat pria itu menyatakan niatnya untuk menikahi Sofia di atas panggung.Sofia mengangguk pelan," Ya aku menerima kamu," ucap Sofia.Ku lihat kedua mempelai merasa malu melihat Sofia mendapatkan jodohnya di depan mata mereka. Padahal baru satu menit yang lalu dia diejek."Nah, lihat kan kalau aku bisa dapat yang lebih baik," kata Sofia.Sofia lalu mengajak aku dan pria itu keluar dari acara tersebut. Aku terheran-heran, aku kira pasti Sofia tengah membuat drama."Akting kalian bagus," ucapku setelah sampai di tempat parkir."Akting, siapa yang akting Mbak?" tanya pria itu. "oh ya aku Brian, teman SMA nya Sofia," jawab Brian memperkenalkan diri."Jadi kamu beneran melamar Sofia?" tanyaku."Iya benar," jawab Brian."Sofia, Mbak gak mau kejadian kemarin ke ulang lagi. Lebih baik kamu pikirkan matang-matang, setidaknya sebelum menikah kalian memantapkan hati kalian dulu," kataku.
Sofia dan suaminya langsung pamit pulang. Kami tak bisa mencegahnya. Kamu hanya mendoakan kehadiran teman Sofia tidak membuat rumah tangga Sofia yang baru seumur jagung menjadi hancur."Aku jadi Sofia gak mau gantiin," kata Dina. "Sekarang dia kembali, bagaimana kalau sampai dia tidak terima dan merebut suami Sofia lagi?" tanya Dina."Kita berdoa saja semoga tidak seperti itu," jawab Mas Ilham.Aku merasa kasihan pada Sofia, dia harus menjalani asmara yang begitu rumit.Seharian Dina main di rumah, dia sedang libur. Dia bermain dengan anak-anak. Sorenya dia pulang di jemput Seno."Loh katanya Sofia ada di sini kok udah sepi," kata Seno."Udah pulang waktu aku datang," kata Dina."Mereka baik-baik saja, kan?" tanya Seno."Kamu tidak tahu, Sen," ucapku.Dina hendak pulang tapi dia melihat Sofia datang naik taksi."Loh katanya mau tinggal sama mertua kamu," kataku."Suamiku diminta sama t
Siang itu ku lihat Sofia pulang dengan wajah kusut. Dia terlihat memikirkan sesuatu."Ada apa, Dek? Temanmu sudah pulang?" tanyaku.Dia menggeleng, sepertinya masalahnya semakin rumit."Kak, aku mau nikah," kata Sofia."Hah," aku terkejut mendengar apa yang barusan dia katakan."Menikah dengan siapa?" tanyaku."Aku disuruh menggantikan pengantin perempuan besok, Mbak," jawabnya."Bukankah itu keinginan kamu, menikah dengan orang yang kamu cintai?" tanyaku heran melihat sikap dia yang justru lemas."Justru itu, aku merasa hanya sebagai tempat pelarian saja karena pengantin wanitanya kabur,' jawab Sofia. "Kak Ilham pasti kaget kalau aku akan menikah besok," kata Sofia."Itu sih tentu, nanti aku bantu bicara sama Mas Ilham," ucapku.Aku segera menelfon Mas Ilham, agar dia pulang lebih awal. Biar bagaimanapun, kami harus menemui keluarga calon mempelai putra."Mas, pulang sekarang! Ada hal
Dua hari setelah pernikahan Dina dan Seno, mereka akan pindah ke rumah baru Seno. Kami mengantar Dina ke sana dengan membawa barang-barang Dina."Aku pasti akan sering kangen kak Kinan," kata Dina."Kalau kangen ya datang kemari lah," ucapku."Insyaallah ya, Kak," ucap Dina.Sampai di rumah Seno, di sana sudah ada keluarga Seno. Pembantu Seno membantu membawakan barang milik Dina ke kamar.Aku ikut melihat kamar Dina, kamarnya sangat luas hampir sama dengan kamarku di rumah. Rumahnya juga bagus dan sangat modern."Wah bakal betah nih kalau rumahnya sebagus ini," pujiku.Dina hanya tersenyum, setelah itu kami ke ruang tamu menyusul yang lain. "Dina, sekarang kamu udah sah istrinya Seno. Jadi mama harap kamu harus saling jaga sama Seno," kata Mama Seno."Iya, Ma," kata Dina.Anak-anak bermain, mereka suka karena rumah Seno ada kolam renangnya. Mereka bermain air di sana."Seno,kamu udah
Pagi itu Dina tampak pergi dengan terburu-buru. Aku melihat ada wajah kecemasan pada dirinya."Kamu kenapa?" tanyaku."Tadi keluarga Mas Seno menelfon, katanya Mas Seno kecelakaan, Mbak," jawab Dina."Ya sudah kalau gitu aku ikut," ucapku.Aku dan Dina ke rumah sakit di mana Seno di rawat. Pernikahan mereka tinggal satu Minggu lagi tetapi Seno malah kecelakaan.Sampai di rumah sakit, kami bertemu dengan keluarga Seno."Dina, Seno belum sadar," kata Mama Seno.Dina langsung lemas, ku ajak dia duduk. Aku tahu Dina pasti terpukul."Din, sepertinya pernikahan kalian harus ditunda kalau Seno tidak sadar juga," kata Papa Seno.Dina Kembali lemas, harapannya segera menikah pupus. Dia harus menunggu Seno sembuh dulu.**Dina menunggui Seno di rumah sakit, selang satu jam kemudian Seno sadar. Lukanya tidak terlalu parah hanya saja dia perlu waktu untuk dirawat beberapa saat."Sayang, a
Pagi itu Mas Ilham membangunkan diriku, setelah pertempuran semalam aku sampai bangun kesiangan."Sayang, bangun!" Perintahnya.Di tak lupa mengecup keningku dengan penuh kasih sayang. Aku yang baru setengah sadar dari tidurku hanya tersenyum melihat perlakuan Mas Ilham."Hari ini aku antar kamu ke salon ya," ucap Mas Ilham."Ngapain ke salon?" tanyaku heran. Mas Ilham tak pernah mengantarku ke salon sama sekali. Tapi pagi ini dia ingin mengantarku ke salon."Cepat mandi!" Suruhnya.Aku segera mandi, setelah itu sarapan berdua saja dengan Mas Ilham. Ternyata yang lain sudah sibuk dengan urusan masing-masing."Mbak, nitip Marvel ya. Aku mau ajak mamanya ke salon," kata Mas Ilham saat melihat baby sitter Marvel."Baik, Pak," ucapnya lalu berlalu meninggalkan kami.Selesai makan kami berangkat ke salon, Mas Ilham memilihkan perawatan terlengkap untuk diriku."Mas, ini perlu waktu beberap
"Apa Pak Willi tersangka utamanya?" tanya Sofia saat mendengar jawabanku.Aku mengangguk, mereka sangat marah karena apa yang dilakukan Pak Willi sudah diluar batas."Dia harus dihukum," ucap Sofia."Mas Ilham tidak akan membiarkan dia hidup tenang," kataku.Pagi itu kami tengah sarapan, Mas Ilham belum pulang dari kantor polisi. Aku meminta Bi Sri pesan makanan untuk acara tahlilan nanti malam."Kinan...Kinan...keluar kamu!" Suara Vira terdengar.Setelah aku membuka pintu, Vira menyerang ku. Dia langsung saja menjambak rambutku."Aku sudah peringatkan kamu, kan. Kalau Mas Willi punya rencana kamu sih gak mau dengar. Sekarang aku mau kamu bujuk Ilham untuk mencabut laporannya," ucap Vira."Maaf gak bisa, yang salah harus tetap mendapat hukuman," balasku.Dina dan Sofia langsung menyusulku, melihat yang datang Vira, emosi mereka meluap."Masih gak punya malu kamu, udah jelas suami kamu salah mas