Bab 74
"Tidak, Brandy! Aku tidak pernah menyembunyikan apapun darimu." Abraham menjawab cepat."Apa Kakak tidak berbohong?" Brandy seperti tidak percaya. Abraham yang tadi berdiri, sekarang kembali duduk. Mencoba menatap kedua netra sang adik dan menunjukkan kesungguhan, meskipun tak menampik kalau sebenarnya hati Abraham berkata lain."Apa kau meragukanku, Brandy?" ujar Abraham kemudian."Bukan meragukan kakak. Aku tahu Kakak orang yang jujur. Akan tetapi lebih tepatnya aku merasa khawatir." tanggap Brandy.Abraham bisa menebak jikalau Brandy memang berkata benar. Dari dulu adiknya tersebut selalu menyayangi dan kerap menghawatirkan keselamatan dan masalah hidup yang kemungkinan diderita oleh Abraham. Kasih dan sayang dari Brandy memang tak bisa Abraham ragukan."Kau tak perlu mengkhawatirkan aku. Selama aku mampu bertahan, maka aku akan selalu baik-baik saja." jawab Abraham kemudian."Bab 75"Aku harus kembali ke rumah Ibu, Brandy. Lagipula untuk apa aku disini? Bukankah di rumah ini nantinya hanya ada Mera? Aku tak enak denganmu." Abraham berkata serba salah. "Mengapa harus merasa tak enak?" Brandy bertanya. Seolah tak tahu apa yang dimaksudkan oleh Abraham. "Brandy, seharusnya kamu mengerti. Tidak sepatutnya aku seatap dengan istrimu sedangkan kau tidak berada rumah. Sepertinya kurang etis." dengan terpaksa Abraham menyebutkan alasan yang menjalani keberatannya."Astaga Kak ternyata itu alasan Kakak. Apa masalahnya dengan Mera? Bukankah dia adalah Adik Kakak juga? Sama seperti aku."Abraham tidak menyalahkan, apa yang diucapkan oleh Brandy memang tidak ada salahnya. Bagaimanapun Mera adalah seorang adik untuk Abraham. Namun menurut Abraham, itu hanyalah sebatas sebuah status. Karena pada hakikatnyanya, berada berdekatan dalam kurun waktu terlalu lama bersama seseorang yang bukan darah daging maka berpote
Bab 76Senja menjelang, matahari menyemburatkan cahaya kekuning-kuningan. Brandy telah berangkat ke Medan kerja. malam ini, Abraham terpaksa bermalam di kediaman Brandy. Tak di pungkiri hati Abraham serba salah, sebab di rumah itu juga terdapat keberadaan wanita yang paling ia puja. Abraham berusaha tenang dan rileks. Sesuai pesan Brandy, Abraham di sana hanya untuk membantu menjaga, bukan memperkeruh suasana. "Mau dimasakin apa buat menu makan malam nanti, Tuan?" Bi Sumi bertanya sembari sedikit membungkukkan tubuh di hadapan Abraham. "Bi, Bibi tidak perlu repot. Aku ingin masak sendiri sore ini. Jadi, Bi Sumi tidak usah bersusah susah payah memasak dan memikirkan menu. Hitung-hitung sore ini adalah waktu istirahat buat Bi Sumi. Soal masak-memasak serahkan padaku. Oke, Bi?" Abraham melayangkan senyuman. Bi Sumi tampak heran. "Tuan Abraham bisa memasak?"Mendengar pertanyaan terseb
Bab 77"Begini, Tuan. Aku tidak sengaja mendengar Nyonya Mera bergumam di kamarnya. Dan itu bisa kupastikan bahwa Bibi tidak sedang salah dengar." jawab Bi Sumi. "Bibi tidak bohong?" Bi Sumi terlihat agak gugup. "Aku berkata benar Tuan. Tidak mungkin aku mengatakan sesuatu yang yang tidak sesuai dengan kenyataan. Lagipula aku sudah lama mengabdi untuk keluarga Jonathan. Jadi tidak mungkin aku melakukan sesuatu untuk mencemari seorang menantu yang baru saja masuk ke dalam lingkungan keluarga mereka, kecuali jika orang itu benar-benar berbahaya. Karena aku tak rela apabila ada seseorang yang mengganggu keluarga ini yang sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri." Bi Sumi menjawab. "Kuharap Tuan Abraham percaya dengankata-kataku. Sungguh aku tidak mempunyai niat lain dibalik kata-kata yang kuucapkan, Tuan. Tapi dengan kesungguhan Aku akui aku mengatakan ini semuanya demi kebaikan keluarga Jonathan sendiri. Sebagaimana
Bab 78 Abraham menelan saliva. Getir teramat getir mendengar jawaban Mera. Demi untuk mengurangi rasa getirnya, Abraham memarkirkan mobil dengan lebih cepat di depan toko yang akan ia masuki. "Sungguh kau tak ingin dibelikan apa-apa?" tanya Abraham dengan nada kecut. "Bukan maksud menolak, akan tetapi di dapur Bi Sumi sedang memasakkan makanan kesukaanku." Dugh! Jantung Abraham berdetak. "Mera, berhati-hatilah dengan Bi Sumi!" spontan Abraham berucap. "Apa maksudnya?" Mera terdengar heran. "Kau dengar, aku menyarankan kau untuk lebih berhati-hati dengannya." "Kenapa memangnya?" "Sebaiknya jangan terlalu banyak bertanya Mera! Untuk saat ini aku minta cukup turuti saja apa yang kusarankan." Mendadak hati Abraham tak tenang dengan adanya Bi Sumi di rumah adiknya. Ada firasat buruk melintas.
Bab 79 "Bi, jika Mera menolak, tolong tidak usah dipaksakan. Bukankah selera setiap orang berbeda-beda?" suara Abraham muncul di ambang pintu. "Eh Tuan sudah kembali rupanya. Maaf tuan saya tidak bermaksud memaksa. Tapi saya hanya khawatir dengan Nyonya Mera. Takutnya dia kelaparan." Bi Sumi beralasan. "Mera bukanlah anak kecil lagi, Bi. Jika dia lapar maka dia bisa ambil sendiri. Tak perlu di bujuk. Jika dia bilang tidak, maka itu artinya dia sedang tidak menginginkan makanan."Pembelaan Abraham semakin membuat hati Bi Sumi panas. "Maaf tuan." Bi Sumi berkata menundukkan kepala. "Sudahlah. Bi Sumi silakan kembali ke kamar Bibi sana." ucap Abraham. "Baik Tuan." Bi Sumi melenggang menuju ke lantai bawah masih dengan kepala tertunduk tak berani menatap Abraham. Setelah Bi Sumi berlalu, Abraham melangkah mendekati Mera yang masih duduk tertegun. "Mera, kau lapar?" ta
Bab 80"Tidak ada masalah, Nyonya. Aku cuma tak ingin Tuan Brandy selalu terbeban dengan gaya hidup Nyonya yang selalu berlagak seperti orang kelas atas." Darah Mera mendidih. "Lalu apa urusannya dengan Bibi? Apa bibi berkeberatan jika aku menggunakan uang suamiku?" tandas Mera. "Tuh kan kalau dibilangi malah ngeyel. Apa Nyonya merasa lebih berkuasa dari ku di rumah ini? Sekarang aku beritahu Nyonya ya, aku sudah bekerja bertahun-tahun dengan Tuan Jonathan. Aku sudah tahu bagaimana seluk-beluk keluarga ini secara keseluruhan. Aku senantiasa menjadi orang kepercayaan mereka yang ada di keluarga ini .Tapi aku tidak pernah muluk-muluk." Bi sumi berbicara. "Terus apa masalahnya denganku?""Masalahnya jelas. Kau terlalu muluk-muluk. Padahal baru saja kemarin kau menginjakan kaki di rumah tuanku."Mera semakin tak mengerti mengapa Bi Sumi bersikap seperti mempunyai kebencian yang besar padanya. Padahal selama
Bab 81 Bi Sumi terdiam. "Bagaimana bisa Tuan Abraham mengenali latar belakang wanita ini?" tanya Bi Sumi. Abraham mendekat. Sebelum menjawab, pandangan mata Abraham melirik ke arah bingkisan makanan yang tadi ia beli. Sebuah puring dengan isinya yang hampir kosong menyambut pandangan. Abraham tersenyum dalam hati, ternyata apa yang ia beli tadi sesuai dengan selera Mera. Ada kebahagiaan tersendiri terselip di dalam relung hatinya. Sedangkan Mera yang mendengar pertanyaan Bi Sumi menjadi khawatir. Jangan sampai masa lalu mereka terendus karena pertanyaan tersebut. "Bi, Apakah Bibi merasa amat penting untuk mengetahui dari mana aku bisa mengenal Meranti?" Abraham balik mempertanyakan. "Tidak terlalu penting, tapi ku kira ini sangat aneh. Bagaimana bisa Tuan percaya pada wanita seperti Nyonya Mera yang setiap harinya suka keluar berfoya-foya menghabiskan uang suami." lanjut Bi Sumi. Mendenga
Bab 82 Mera menelan saliva. Begitu dalam rasa yang terpendam di jiwanya. Meskipun hanya satu buket bunga saja, namun bunga-bunga tersebut nampak begitu sempurna. Akan tetapi, mengingat siapa dirinya saat ini, Mera berusaha untuk membenci. "Laki-laki konyol itu ternyata masih berani menghadiahkan bunga seperti ini. Apa dia tidak berpikir apabila seandainya Brandy mengetahuinya? Benar-benar tak mempunyai perasaan. Lagi pula apa sih fungsi bunga beserta catatan kecil ini? Tak berguna sama sekali." Mera bergumam. Tangan kanannya merobek-robek kertas kecil yang berisi tulisan dari Abraham. Apa yang ia lakukan justru sangat berbanding terbalik dengan apa yang ada di hati. Tapi itulah usaha Mera untuk belajar membenci. Ia harus belajar berusaha keras melakukan sesuatu tindakan yang berlawanan dengan kehendaknya. Setelah itu, tak lupa pula Mera mengacak-acakan buket-buket bunga yang terletak di atas meja tersebut, hingga ny