SMAN Merah Putih. Bangunan yang megah dan berdiri gagah ini terpampang jelas oleh mata belo Keina. Riuh suara para siswa pun sudah terdengar. Hijaunya pepohonan yang menghias taman sekolah membuat udara yang terhirup menjadi lebih segar. Keina tersenyum dan menghela napas.
"Bismillahirrohmanirrohim. Sekolah baru, temen baru, semangat baru," monolog Keina sembari melangkahkan kaki pertamanya, memasuki lingkungan sekolah dengan penuh semangat.
Baru saja Keina sampai, terdengar seseorang berteriak dari arah lapangan sekolah.
"Ayok adik-adik semuanya berkumpul di lapangan! Jangan lupa untuk mengenakan atribut sesuai yang telah ditentukan oleh kakak-kakak senior!" pekik seorang senior bersama beberapa senior lainnya yang berdiri di pinggir lapangan.
Dengan napas yang masih terengah-engah, Keina dan semua anak baru lainnya berlari menuju sumber suara itu.
Setelah semuanya berbaris dengan rapi, para senior mulai membagi kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari lima siswa.
Keina sama sekali tidak keberatan, karena menurutnya inilah saat yang tepat untuk mendapatkan teman baru.
Semua anak telah mendapatkan kelompok, termasuk juga Keina. Lima anak dengan satu anak laki-laki.
"Eh, kenalan dong, nama lo siapa? Nama gue Talitha." Talitha mengulurkan tangannya kepada Keina.
"Namaku Keina," ucap Keina sambil tersenyum ramah dan membalas uluran tangan Talitha.
"Eh, iya! Ini temen gue, namanya Alga." Talitha menenteng lengan baju Alga hingga tangannya sedikit terangkat. "Katanya dia pengen kenalan sama lo." Talitha melirik Alga dengan cengengesan.
"Apaan sih, Talitha?! Dasar nggak sopan." Alga mengibaskan tangan Talitha dan merapikan kembali bajunya. "Maaf ya, Talitha emang suka gitu." Alga tersenyum sungkan dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menyembunyikan rasa malunya karena tingkah jail Talitha.
"Oh iya, nama gue Algantara Bumi Pratama." Alga mengulurkan tangannya kepada Keina.
Nggak heran sih namanya sebagus itu, anaknya juga ....
"Are you okay?" tanya Alga sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Keina.
Keina terkesiap melihat Alga yang sudah berada tepat di depannya. "Eh iya, maaf. Na-namaku Keina Ayu Pratibha." Keina tersenyum simpul.
"Kalo nama kalian siapa? Dari tadi diem aja," tanya Keina kepada dua anak yang tampaknya tidak bersemangat menjalani hidup.
"Lo nggak bisa baca?" Gadis judes ini menunjuk sebuah kertas berwarna biru yang dikalungkan di lehernya. Tertulis sebuah nama, Rara.
"Oh, Rara. Salam kenal Ra." Keina mengulurkan tangannya ke Rara. Rara hanya memalingkan wajah, berpura-pura tidak melihat. Membuat Alga dan Talitha menggelengkan kepala, sudah tidak heran dengan sikap gadis itu.
"Halo, nama gue Jeje." Jeje tersenyum ramah dengan melambaikan tangannya---say hallo.
"Lo ngapain sih, harus kenalan sama mereka, Je?!" bentak Rara, membuat Jeje terkejut.
"Ih, apaan sih, Ra? Biarin kali. Jeje kan juga pengen kenalan. Lo nggak berhak ngelarang dia, emang lo emaknya? Lagian kalo lo nggak mau ikut kenalan ya udah. Kita nggak butuh juga," cecar Talitha yang geram karena ucapan Rara.
"Nggak penting banget kenalan sama kalian! Dan lo, nggak usah ikut campur." Rara menunjuk kasar tepat ke wajah Talitha, membuat gadis bernama lengkap Talitha Ratna Kumala itu naik pitam.
Kegaduhan di kelompok ini membuat seorang senior menghampiri mereka.
"Ada apa ribut-ribut?! Kalian tuh sama-sama anak baru. Jadi nggak usah ada yang belagu!" bentak seorang senior wanita dengan mata yang memelotot, mengerikan. Membuat lima anak ini terdiam seketika.
"Kalian bawa semua kebutuhan hari ini, 'kan?" senior wanita itu kembali bertanya.
"Bawa, Kak," jawab Keina dengan menundukkan kepala.
"Bagus. Karena nanti akan dicek satu per satu di lapangan." Senior wanita itu kemudian melangkah pergi usai mengingatkan juniornya.
š
"Jeruk, air mineral, nasi bungkus pake karet gelang warna merah, rotinya dua. Mmm lengkap." Talitha selesai mengecek barang bawaannya. Tetapi tiba-tiba perhatiannya teralihkan kepada Keina yang terlihat begitu sibuk. Membuat Talitha menaikkan satu alisnya.
"Keina, lo kenapa? Kok mukanya gelisah gitu?" selidik Talitha sambil mengerutkan dahi.
"Anu, aku lupa nggak bawa jeruk, Tha. Tadi pagi aku bangunnya kesiangan," ucap Keina dengan wajah yang terlihat cemas, mungkin sudah terbayang hukuman yang akan dia dapat dari para seniornya.
"Yah, terus gimana dong? Nanti lo bisa kena hukuman. Tha, lo bawa jeruk berapa?" tanya Alga dengan tatapan penuh harap.
"Oh, gue Al? Gue bawa tiga. He he he." Dengan senyuman lebar, Talitha menyodorkan tiga buah jeruk berukuran besar.
"Dasar perut gentong." Alga mengambil sebuah jeruk dari tangan Talitha.
"Tapi ada faedahnya, 'kan?" Talitha melipat kedua tangannya di depan dada.
Alga memutar bola matanya malas, enggan berdebat dengan Talitha. Karena bagaimapun, ucapan Talitha ada benarnya. Berkat sebuah jeruknya, Keina terbebas dari berbagai bayangan mengenai hukuman.
"Ini, Na. Buruan lo simpen mumpung Rara sama Jeje masih di toilet. Gue takut mereka bakal ngadu, kelihatannya mereka nggak suka gitu sama lo." Alga memberikan sebuah jeruk yang dia rampas dari tangan Talitha kepada Keina.
"Ya ampun, makasih banget, ya. Kalian udah mau bantuin aku. Aku takut banget kena hukuman dari kakak-kakak senior," tutur Keina terharu pada kebaikan teman yang setengah jam lalu baru saja memperkenalkan diri.
"Iya, kita kan satu kelompok. Jadi kayak keluarga, dong. Kita harus saling ngebantu." Talitha tersenyum ramah.
Beberapa menit kemudian Rara dan Jeje kembali. Datar, cuek, dan judes. Itu adalah pemandangan yang selalu terlihat di wajah Rara.
Dari arah lapangan, terdengar seorang senior kembali berbicara. Kali ini memanggil seluruh junior agar kembali berbaris di lapangan bersama masing-masing kelompoknya.
"Setelah kalian saling mengenal satu sama lain dalam kelompok kalian, sekarang saatnya kami memeriksa barang bawaan kalian. Jika ada yang lupa atau sengaja tidak membawa satu barang saja yang kami minta, maka akan kami beri hukuman!" Seorang senior berbicara dengan suara yang keras, nada yang tegas, dan dilengkapi dengan tatapan tajam.
"Oke langsung saja saya akan memastikan bahwa kalian semua membawa barang bawaan dengan lengkap. Saya akan mengucapkan satu per satu dari barang bawaan tersebut dan kalian harus langsung mengangkatnya!" ucap senior lagi.
"Yang pertama jeruk! ... nasi bungkus dengan karet gelang berwarna merah! ... roti! ... air mineral! ...." Senior ini berhenti berbicara dan menatap tajam ke arah seorang gadis yang tengah mengeluarkan semua isi tasnya."Hei, kamu!" Telunjuknya menghadap tepat pada seorang gadis yang kini sangat terkejut dan menatap senior itu dengan ekspresi penuh ketegangan.
"Iya kamu! Mana air mineralmu?!" matanya melotot seperti akan keluar, "nggak bawa?! Ngomong jangan diem aja!" Bukan hanya seorang gadis, namun semua anak pun dapat merasakan sensasi ketegangan tersebut. Senior itu benar-benar menghayati peran antagonisnya.
"Kenapa aku harus berada di situasi ini?"°Keina°***"Tidak ada yang bisa lolos dari seorang Devanial."°Dev°***"Ma-maaf Kak, air mineralnya ketinggalan." Gadis ini tertunduk dengan tangan yang bergemetar hebat. Setelah dia pikir hidupnya sudah aman karena sebuah jeruk dari Talitha, rupanya dia salah besar. Masih ada ekor masalah yang masih membuntutinya.Dari arah kanan barisan, Alga hanya bisa terdiam dengan diselimuti rasa khawatir. Apa yang akan senior galak itu lakukan? Kali ini Alga tidak dapat membantu Keina."Maju kamu!" teri
"Terima kasih, kalian sudah hadir dalam hidupku."°Keina°***"Lo lagi nungguin angkot?" tanya Alga sambil melangkah mendekati Keina dengan gaya andalannya. Memasukkan tangan ke dalam saku celana. Tampak keren."Iya, kalian juga?""Iya. Kita biasa naik angkot. Soalnya mobilnya Alga nggak guna, cuma buat pajangan doang.""Gue belum punya SIM, bodoh," sewot Alga dengan memelototi Talitha."Yaelah, timbang ke sekolah doang ribet amat mikirin SIM.""Sebagai warga negara yang baik, gue harus patuh sama aturan." Keduanya sama-sama memalingkan wajah.Keina tersenyum melihat tingkah Alga dan Talitha. Keina mulai berpikir bahwa mereka telah saling mengenal sejak lama."Eh, tapi kalo lo juga biasa naik angkot kok gue nggak pernah liat lo?" Talitha kembali berbicara."Aku baru pindah dari Semarang. Waktu SD sama SMP ayah sama bundaku sering ke luar kota buat urusan kerja, jadi aku harus tinggal sama bibi biar
"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam, Bunda dari mana?""Bunda habis dari pasar. Kamu udah lama, pulangnya?" tanya Winda sambil meletakkan berbagai belanjaannya di meja dapur."Lima belas menit yang lalu, Bun. Bunda kok ke pasar sendirian? Harusnya nungguin Keina aja, jadinya kan Keina temenin." Keina mengurangi volume suara televisinya."Nggak papa, Na. Lagian kasian kamu kan pasti udah capek. Jadi Bunda ke pasar sendiri aja." Winda tersenyum ke arah Keina.Keina beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Winda."Keina buatin es jeruk ya, Bun." Keina meraih sebuah gelas berukuran panjang."Wah boleh banget. Bunda haus soalnya," Winda tertawa kecil."Oh iya, Bun. Besok Talitha sama Alga mau main ke sini. Boleh, 'kan?" Keina memeras sebutir jeruk berukuran besar."Loh, ya boleh dong Na. Suruh ke sini aja. Bunda seneng kalo mereka mau main ke sini," ucap Winda."Makasih, Bun. Nanti Keina bilang ke mereka,
Membaca novel hingga larut malam adalah salah satu kebiasaan buruk Keina. Dia akan sulit tidur jika belum mengetahui akhir dari cerita dalam novel yang dia baca. Karena inilah Keina sering lari pagi karena bangun kesiangan."Suatu saat aku pasti bisa nulis novel. Aku yakin banget," ucap Keina sambil membuka halaman baru dari novel yang tengah dia baca."Aku jadi inget kata Alga, dia bilang kalo suatu saat aku pasti bisa nulis novel." Tanpa sadar Keina tersenyum simpul.Dear diary,Besok Talitha sama Alga mau ke sini. Kira-kira seru nggak ya main sama mereka? Kayaknya sih seru. Soalnya mereka anaknya asik. Aku jadi nggak sabar buat besok.Tapi aku juga sedih. Soalnya besok ayah mau keluar kota lagi.Ngomong-ngomong aku kok tiba-tiba kangen sama Kak Zein, ya. Semoga aja suatu hari nanti aku bener-bener bisa keliling dunia. Bisa ke luar negeri kayak Kak Zein.Kak Zeinkha Ashof video call."Wah, panjang umur." Dengan berseman
Setiap orang memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Baik itu warga baru di sebuah desa, karyawan baru di sebuah perusahaan, juga siswa baru di sekolah. Seperti yang saat ini tengah berlangsung di SMAN Merah Putih.Ini adalah hari ke tiga MOS berjalan. Semua siswa sudah berbaris rapi di lapangan lengkap dengan semua barang bawaan. Tanpa menunggu lama, terdengar seseorang menghidupkan microfon. Lagi-lagi senior galak itu."Selamat pagi semuanya." Sebuah kalimat basa-basi yang keluar dari mulut seorang Dev.Apa ada yang melakukan kesalahan di awal kegiatan? Mengapa dia berhenti berbicara? Dia menatap para juniornya dari ujung kanan hingga kiri barisan."Saya akan mengatakan beberapa hal."Suasana seketika sangat hening. Semua menatap Dev dan bergeming."Ini adalah hari terakhir kalian melakukan MOS.""Wah,
“Loh, kok angkotnya berhenti, Pak? Kan belum sampe di tempat biasa kita turun?” tanya Keina kepada sopir angkot yang berulang kali berusaha menghidupkan kembali angkotnya. Alga dan Talitha hanya terdiam pasrah. Keduanya hafal betul, jika yang terjadi saat ini adalah angkotnya mogok.“Waduh maaf Dek, angkotnya mogok,” ucap sopir angkot sambil menggaruk kepalanya.“Yah, terus gimana dong, Pak?” tanya Keina dengan mata terbelalak.“Ya gimana, Dek? Namanya juga mogok. Saya nggak bisa anterin sampe tempat tujuan. Kalian nggak usah bayar nggak papa, Dek.” Pak sopir membalikkan badannya menatap mereka bertiga.“Ya udah, Na. Yuk kita turun!” Talitha beranjak dari tempat duduk penumpang dengan mengenakan tasnya dan turun dari angkot. Diikuti oleh Alga dan Keina dengan wajah yang masih kebingungan.“Terus kita sekarang gimana? Kayaknya udah nggak ada angkot lagi, deh. Sepi banget soalnya.&rdqu
Belajar adalah hal yang sangat dinantikan oleh mereka yang memiliki berbagai mimpi, disertai dengan semangat dan tekad yang kuat untuk mewujudkannya. Namun sayang, tidak semua anak begitu. Parahnya, ada juga beberapa anak yang baru saja akan memulai pembelajaran namun sudah mengharapkan jam kosong. Benar-benar payah!Jika saja anak-anak di zaman globalisasi dengan berbagai modernisasi ini dapat melihat bagaimana perjuangan anak-anak zaman dulu agar dapat mengenyam pendidikan, mungkin saat ini mereka tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat."Semoga aja hari pertama pembelajaran berjalan lancar, ya. Aku udah nggak sabar." Keina tampak begitu bersemangat hari ini.Talitha yang duduk di samping Keina mengangguk setuju dengan perkataan Keina."Aamiin. Gue juga berharap gitu," ucap Alga yang duduk tepat di belakang Talitha."Yaelah, sok banget sih. Biar dikatain murid teladan? Ha ha ha, kuno!" Rara
Di tempat parkir, Rara dan Jeje masih terlihat sangat bangga dan puas karena kejadian di kantin tadi. Mereka berdua tertawa lepas dengan penuh kesombongan. Tetapi seketika bola matanya terbelalak, tawa yang seakan tiada hentinya itu berubah menjadi jeritan."Sial! Siapa yang berani ngegembesin ban mobil gue, woy?!" Dengan penuh emosi Rara terus berteriak. Rara tidak peduli bahwa saat ini dirinya tengah menjadi pusat perhatian semua anak di tempat parkir tersebut.Di balik dinding, Talitha dan Alga tertawa puas melihat wajah Rara yang kini sangat emosi. Sebuah tos kemenangan untuk mereka berdua."Eh, ayok buruan! Keina pasti udah nungguin kita di depan gerbang. Tadi kita izinnya kan mau minjem buku di perpustakaan.""Oh iya, yok! Ha, ha, ha." Alga masih belum berhenti terbahak.Di depan gerbang, Keina menunggu Alga dan Talitha."Udah pinjem bukunya?""Udah, kok," jawab Alga dengan sumringah.&nb