Setiap orang memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Baik itu warga baru di sebuah desa, karyawan baru di sebuah perusahaan, juga siswa baru di sekolah. Seperti yang saat ini tengah berlangsung di SMAN Merah Putih.
Ini adalah hari ke tiga MOS berjalan. Semua siswa sudah berbaris rapi di lapangan lengkap dengan semua barang bawaan. Tanpa menunggu lama, terdengar seseorang menghidupkan microfon. Lagi-lagi senior galak itu.
"Selamat pagi semuanya." Sebuah kalimat basa-basi yang keluar dari mulut seorang Dev.
Apa ada yang melakukan kesalahan di awal kegiatan? Mengapa dia berhenti berbicara? Dia menatap para juniornya dari ujung kanan hingga kiri barisan.
"Saya akan mengatakan beberapa hal."
Suasana seketika sangat hening. Semua menatap Dev dan bergeming.
"Ini adalah hari terakhir kalian melakukan MOS."
"Wah, syukur deh. Ya ampun gue seneng banget. Akhirnya berakhir juga." Suasana menjadi ramai akibat dari sebuah kalimat yang terlontarkan dari Dev. Kalimat yang bisa dianggap sebagai kabar gembira bagi para junior. Mereka seperti akan keluar dari sebuah penjara dan terbebas dari tugas-tugas beratnya.
"Bisa diem dulu, nggak?! Kalian diajarin sopan santun, 'kan? Kalo ada yang lagi ngomong tolong diem dulu, ya!"
Sontak semua terdiam.
"Besok kalian sudah dapat masuk ke kelas kalian masing-masing. Awalnya kami selaku OSIS sudah memperkirakan bahwa waktu untuk melakukan MOS adalah lima hari. Tetapi Bapak Kepala Sekolah memerintahkan agar MOS ini hanya berlangsung selama tiga hari saja. Untuk pembagian kelas akan dilaksanakan nanti sepulang sekolah, kalian bisa melihatnya nanti di majalah dinding OSIS. Saya mewakili anggota OSIS SMAN Merah Putih mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada di antara kami selaku senior yang pernah melakukan kesalahan." Pada kalimat terakhirnya, Dev menatap sejenak ke arah Keina.
Deg! Nadia menunduk saat matanya tanpa sengaja bertatapan dengan tatapan tajam Dev. Sebenarnya Dev berniat meminta maaf atau tidak? Mengapa tanda-tanda itu tidak ada sama sekali? Bahkan saat mengucap kata maaf pun ekspresinya tetap dingin dan menyeramkan.
"Untuk kegiatan hari ini, silakan kalian tuliskan di selembar kertas sebuah pesan dan kesan untuk salah satu di antara kami. Setiap anak hanya boleh mengumpulkan satu saja. Jangan lupa diberi nama. Dari saya cukup sekian, selamat melanjutkan kegiatan. Terima kasih." Tampak ekspresi lega di wajahnya. Dev memang ketua OSIS yang terkenal dengan ketegasan yang dia punya. Maka tidak heran, jika Dev sangat ditakuti oleh semua anak SMAN Merah Putih.
Semua siswa antusias menuliskan pesan dan kesan tersebut, termasuk Rara. Sudah bisa diduga jika dia menuliskannya untuk sang idola.
Satu per satu lembaran kertas terkumpul hingga menjadi beberapa tumpukan. Setelah semua terkumpul, senior membubarkan semua juniornya. Semua siswa baru berlari menuju majalah dinding sesuai ucapan senior saat berceramah tadi. Semua saling berdesak, namun tidak dengan Alga, Talitha, dan Keina. Mereka bertiga lebih memilih duduk dan menunggu hingga semua anak telah menemukan namanya.
"Eh, udah tuh kayaknya. Gue berharap banget kita bisa satu kelas, kecuali sama Alga. Gue bosen banget dari SD satu kelas mulu sama dia," ucap Talitha sambil melirik malas ke arah Alga.
"Lo bakalan kesepian kalo nggak ada gue. Lagian dari dulu kan lo nggak punya temen. Baru kali ini ada yang mau temenan sama lo." Alga melangkah ke arah mading, mendahului Talitha dan Keina.
Dengan menyipitkan kedua matanya, Alga mencoba mencari namanya dengan jari telunjuknya.
"Nah, ketemu! Kelas Sepuluh A!" suara Alga mengejutkan Keina dan Talitha.
"Wah, kita satu kelas," ucap Alga semangat.
"Kita?" tanya Keina kebingungan.
"Iya. Gue, lo, sama Talitha," jawab Alga, "eh sebentar." Alga kembali mengamati kertas yang terpajang di majalah dinding tersebut.
"Ternyata kita juga satu kelas sama anak judes itu," sambung Alga.
"Rara sama Jeje?" tanya Talitha.
"Siapa lagi dua anak judes yang kita kenal?" Alga melipat kedua tangannya di depan dada. Mendekati Talitha dan Keina.
"Nggak papa, lah. Kita kan belum tau gimana mereka sebenernya. Kita juga nggak boleh menilai orang dari luarnya aja," kata Keina.
"Ya udah yuk, pulang!" ajak Talitha sambil melangkahkan kakinya ke arah gerbang yang diikuti oleh Keina dan Alga.
Belum sampai di depan gerbang, terdengar suara angkot yang sepertinya akan melintasi gerbang tersebut. Tidak ingin menunggu lama untuk angkot berikutnya, mereka bertiga berlari agar tidak tertinggal oleh angkot tersebut.
Nyekkk!!!
"Ya ampun sepatu gue nginjek tai ayam!" teriak Talitha sambil menunduk dan mengamati sepatunya yang sudah beralaskan kotoran ayam dengan warna hitam pekat.
Teriakan Talitha membuat Keina dan Alga berhenti berlari, lalu mendekati Talitha yang masih merengek.
"Yaelah Tha, lo sih, nggak liat-liat. Udah ayok buruan naik angkot nanti kita ditinggal, loh!" ucap Alga sambil melangkah menuju angkot itu berhenti.
Dengan sedikit kesal, Talitha akhirnya masuk ke dalam angkot.
"Tha, serius sepatu lo bau banget." Alga menutup hidungnya.
Talitha terlihat tidak nyaman dengan kondisi ini, dia hanya diam tanpa membalas perkataan Alga.
Keina kemudian membuka kaca angkot tersebut agar angin dapat masuk dan membawa aroma tidak sedap dari bawah sepatu Talitha.
"Udah dong Al, jangan gitu. Kasian Talithanya," ucap Keina sambil merangkul pundak Talitha.
"Loh, loh ini kenapa? Kok angkotnya cegukan gini?"
Tiba-tiba saja angkot berhenti. Padahal ini bukan tempat biasa mereka turun dari angkot.
"Loh, kok angkotnya berhenti, Pak? Kan belum sampe di tempat biasa kita turun?" tanya Keina kepada sopir angkot yang berulang kali berusaha menghidupkan kembali angkotnya. Alga dan Talitha hanya terdiam pasrah. Keduanya hafal betul, jika yang terjadi saat ini adalah angkotnya mogok.
“Loh, kok angkotnya berhenti, Pak? Kan belum sampe di tempat biasa kita turun?” tanya Keina kepada sopir angkot yang berulang kali berusaha menghidupkan kembali angkotnya. Alga dan Talitha hanya terdiam pasrah. Keduanya hafal betul, jika yang terjadi saat ini adalah angkotnya mogok.“Waduh maaf Dek, angkotnya mogok,” ucap sopir angkot sambil menggaruk kepalanya.“Yah, terus gimana dong, Pak?” tanya Keina dengan mata terbelalak.“Ya gimana, Dek? Namanya juga mogok. Saya nggak bisa anterin sampe tempat tujuan. Kalian nggak usah bayar nggak papa, Dek.” Pak sopir membalikkan badannya menatap mereka bertiga.“Ya udah, Na. Yuk kita turun!” Talitha beranjak dari tempat duduk penumpang dengan mengenakan tasnya dan turun dari angkot. Diikuti oleh Alga dan Keina dengan wajah yang masih kebingungan.“Terus kita sekarang gimana? Kayaknya udah nggak ada angkot lagi, deh. Sepi banget soalnya.&rdqu
Belajar adalah hal yang sangat dinantikan oleh mereka yang memiliki berbagai mimpi, disertai dengan semangat dan tekad yang kuat untuk mewujudkannya. Namun sayang, tidak semua anak begitu. Parahnya, ada juga beberapa anak yang baru saja akan memulai pembelajaran namun sudah mengharapkan jam kosong. Benar-benar payah!Jika saja anak-anak di zaman globalisasi dengan berbagai modernisasi ini dapat melihat bagaimana perjuangan anak-anak zaman dulu agar dapat mengenyam pendidikan, mungkin saat ini mereka tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat."Semoga aja hari pertama pembelajaran berjalan lancar, ya. Aku udah nggak sabar." Keina tampak begitu bersemangat hari ini.Talitha yang duduk di samping Keina mengangguk setuju dengan perkataan Keina."Aamiin. Gue juga berharap gitu," ucap Alga yang duduk tepat di belakang Talitha."Yaelah, sok banget sih. Biar dikatain murid teladan? Ha ha ha, kuno!" Rara
Di tempat parkir, Rara dan Jeje masih terlihat sangat bangga dan puas karena kejadian di kantin tadi. Mereka berdua tertawa lepas dengan penuh kesombongan. Tetapi seketika bola matanya terbelalak, tawa yang seakan tiada hentinya itu berubah menjadi jeritan."Sial! Siapa yang berani ngegembesin ban mobil gue, woy?!" Dengan penuh emosi Rara terus berteriak. Rara tidak peduli bahwa saat ini dirinya tengah menjadi pusat perhatian semua anak di tempat parkir tersebut.Di balik dinding, Talitha dan Alga tertawa puas melihat wajah Rara yang kini sangat emosi. Sebuah tos kemenangan untuk mereka berdua."Eh, ayok buruan! Keina pasti udah nungguin kita di depan gerbang. Tadi kita izinnya kan mau minjem buku di perpustakaan.""Oh iya, yok! Ha, ha, ha." Alga masih belum berhenti terbahak.Di depan gerbang, Keina menunggu Alga dan Talitha."Udah pinjem bukunya?""Udah, kok," jawab Alga dengan sumringah.&nb
"Na, lo nggak papa, 'kan?""Aku nggak papa, Al. Cuma pusing sedikit kok." Keina berusaha duduk meski kepalanya masih terasa pusing."Huh, orang sakit makan roti kan, ya?" Tiba-tiba Dev berhenti di depan pintu UKS. Raut wajahnya berubah datar, dan sesegera mungkin berbalik arah. Berharap tidak ada seorang pun yang melihat kedatangannya."Dasar Ceroboh!" umpat Dev sambil susah payah membawa Keina ke ruang UKS."Hah, itu Kak Dev, 'kan? Senior yang dingin itu? Dia punya pacar? Nggak nyangka, sih.""Ya ampun pangeran gue. Ah, potek nih.""Itu bukannya ketua OSIS sekaligus ketua tim basket yang terkenal sama mata elangnya, ya? Hah, punya pacar rupanya.""Na, lo nggak papa, 'kan?""Aku nggak papa, Al. Cuma pusing sedikit kok." Keina berusaha duduk meski kepalanya masih terasa pusing."Huh, orang sakit makan roti kan, ya?" Tiba-tiba Dev berhenti di depan pintu UKS. Raut wajahnya berubah datar, dan sesegera mungkin berbalik
"Maksud lo apa, hah?!" Talitha memelototi Rara. Dia mendekat dan kemudian menjambak rambutnya. Rara yang tidak terima pun membalas perbuatan Talitha. Jeje hanya bisa melongo, tidak mengerti apa yang harus dia lakukan.Anak-anak yang melihat kejadian hanya terdiam, tanpa berniat untuk memisahkan keduanya. Bahkan kakak kelas sekali pun. Justru hal seperti ini sangat dinantikan oleh para siswa, di mana mereka dapat menonton film action secara langsung di depan mata.Meski hanya perkelahian biasa tetap saja itu membuat kegaduhan. Ibu kantin yang merasa terganggu karena kebisingan itu akhirnya menghampiri dan memisahkan mereka berdua.🍂Entah apa yang tengah Keina pikirkan, sedari tadi dia terus melamun di depan kaca sembari menikmati indahnya langit malam. Sesekali terdengar embusan kasar dari Keina. Apa seberat itu? Gadis periang yang selalu tersenyum tiba-tiba terlihat banyak pikiran. Bukannya berpura-pura bahagia, hanya saja Keina enggan berbagi kel
Dengan gugup Alga menjawab, "pe-perasaan gimana maksudnya?""Udah deh, Al. Lo nggak usah pura-pura sama gue. Kita tuh udah sahabatan dari kecil, jadi gue paham banget gimana perasaan lo ke Keina."Alga menunduk. "Ya gimana dong, Tha? Gue nggak berani ngomong ke Keina. Gue takut kalo gue jujur sama dia tentang perasaan gue dia bakal ngejauh dan persahabatan kita jadi hancur.""Tapi apa salahnya jujur, Al. Daripada nyakitin hati lo sendiri.""Nggak, Tha. Gue nggak mau kehilangan Keina. Pokonya lo jangan bilang ke Keina, ya. Suatu saat nanti gue pasti bisa jujur kok sama dia tentang perasaan gue sama dia."Talitha menyenderkan tubuhnya di kursi dan melipat kedua tangannya. Memiringkan kepala dan mengamati wajah Alga."Tha?Please....""Hmmm oke."Apa yang lebih sulit dari kalimat "Cinta dalam Diam?" Memendam perasaan bukan
Hari ini Jakarta terasa lebih panas. Sepertinya matahari telah memakan banyak energi, sehingga panasnya begitu menyengat. Seperti biasa, jalanan Jakarta cukup padat. Padahal mereka sengaja berangkat lebih awal, tapi tetap saja tidak dapat menghindar dari kemacetan tersebut.Kemacetan ini tidak membuat Alga, Talitha, dan Keina merasa bosan, mereka tetap santai. Diiringi alunan musik yang ringan membuat mereka tetap nyaman di dalam mobil.“Jakarta sepadat ini, ya?” Alga menghela napas.“Ya begitulah,” sahut Keina.“Weh, kalian makan apaan tuh?”“Udah, Al. Di depan tuh diem aja, deh.” Keina memasukkan sebuah camilan ke dalam mulutnya. Begitu pun dengan Talitha. Merasa tidak dianggap, Alga merampas sebungkus makanan ringan yang tengah Talitha genggam.“Dasar anak celamitan!” Talitha melipat kedua tangannya di depan dada dan mengedarkan pandangannya ke kaca mobil.“Bia
Pesona Indonesia tidak hanya terletak di berbagai spot wisata, keindahan budaya dan kreativitas masyarakat dalam menghasilkan karya pun patut diapresiasi. Seperti yang kini tengah Keina dan Talitha lakukan.Keina memerhatikan dengan detail kain batik yang sedang dia coba. Kain berukuran persegi panjang dengan warna cokelat muda bergaris hitam juga berhias bunga kecil-kecil tampak sangat indah dan sempurna dikenakan oleh gadis setinggi 163 cm itu.“Nah, gitu dong. Sebagai anak muda generasi bangsa, kita patut melestarikan budaya Indonesia. Salah satunya dengan pake kain batik ini.”“Kalo gitu beliin gue sama Keina kain ini, ya?” Talitha mengerjap-ngerjapkan mata, merengek kepada Alga tanpa rasa malu, meskipun ada banyak wisatawan yang berkunjung ke pusat perbelanjaan oleh-oleh tersebut.“Yah. Gue salah ngomong nggak, sih?” Alga menunduk dan menutup sebagian wajahnya dengan ekspresi penyesalan.“Ini nih, ribe