“Loh, kok angkotnya berhenti, Pak? Kan belum sampe di tempat biasa kita turun?” tanya Keina kepada sopir angkot yang berulang kali berusaha menghidupkan kembali angkotnya. Alga dan Talitha hanya terdiam pasrah. Keduanya hafal betul, jika yang terjadi saat ini adalah angkotnya mogok.
“Waduh maaf Dek, angkotnya mogok,” ucap sopir angkot sambil menggaruk kepalanya.
“Yah, terus gimana dong, Pak?” tanya Keina dengan mata terbelalak.
“Ya gimana, Dek? Namanya juga mogok. Saya nggak bisa anterin sampe tempat tujuan. Kalian nggak usah bayar nggak papa, Dek.” Pak sopir membalikkan badannya menatap mereka bertiga.
“Ya udah, Na. Yuk kita turun!” Talitha beranjak dari tempat duduk penumpang dengan mengenakan tasnya dan turun dari angkot. Diikuti oleh Alga dan Keina dengan wajah yang masih kebingungan.
“Terus kita sekarang gimana? Kayaknya udah nggak ada angkot lagi, deh. Sepi banget soalnya.&rdqu
Belajar adalah hal yang sangat dinantikan oleh mereka yang memiliki berbagai mimpi, disertai dengan semangat dan tekad yang kuat untuk mewujudkannya. Namun sayang, tidak semua anak begitu. Parahnya, ada juga beberapa anak yang baru saja akan memulai pembelajaran namun sudah mengharapkan jam kosong. Benar-benar payah!Jika saja anak-anak di zaman globalisasi dengan berbagai modernisasi ini dapat melihat bagaimana perjuangan anak-anak zaman dulu agar dapat mengenyam pendidikan, mungkin saat ini mereka tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat."Semoga aja hari pertama pembelajaran berjalan lancar, ya. Aku udah nggak sabar." Keina tampak begitu bersemangat hari ini.Talitha yang duduk di samping Keina mengangguk setuju dengan perkataan Keina."Aamiin. Gue juga berharap gitu," ucap Alga yang duduk tepat di belakang Talitha."Yaelah, sok banget sih. Biar dikatain murid teladan? Ha ha ha, kuno!" Rara
Di tempat parkir, Rara dan Jeje masih terlihat sangat bangga dan puas karena kejadian di kantin tadi. Mereka berdua tertawa lepas dengan penuh kesombongan. Tetapi seketika bola matanya terbelalak, tawa yang seakan tiada hentinya itu berubah menjadi jeritan."Sial! Siapa yang berani ngegembesin ban mobil gue, woy?!" Dengan penuh emosi Rara terus berteriak. Rara tidak peduli bahwa saat ini dirinya tengah menjadi pusat perhatian semua anak di tempat parkir tersebut.Di balik dinding, Talitha dan Alga tertawa puas melihat wajah Rara yang kini sangat emosi. Sebuah tos kemenangan untuk mereka berdua."Eh, ayok buruan! Keina pasti udah nungguin kita di depan gerbang. Tadi kita izinnya kan mau minjem buku di perpustakaan.""Oh iya, yok! Ha, ha, ha." Alga masih belum berhenti terbahak.Di depan gerbang, Keina menunggu Alga dan Talitha."Udah pinjem bukunya?""Udah, kok," jawab Alga dengan sumringah.&nb
"Na, lo nggak papa, 'kan?""Aku nggak papa, Al. Cuma pusing sedikit kok." Keina berusaha duduk meski kepalanya masih terasa pusing."Huh, orang sakit makan roti kan, ya?" Tiba-tiba Dev berhenti di depan pintu UKS. Raut wajahnya berubah datar, dan sesegera mungkin berbalik arah. Berharap tidak ada seorang pun yang melihat kedatangannya."Dasar Ceroboh!" umpat Dev sambil susah payah membawa Keina ke ruang UKS."Hah, itu Kak Dev, 'kan? Senior yang dingin itu? Dia punya pacar? Nggak nyangka, sih.""Ya ampun pangeran gue. Ah, potek nih.""Itu bukannya ketua OSIS sekaligus ketua tim basket yang terkenal sama mata elangnya, ya? Hah, punya pacar rupanya.""Na, lo nggak papa, 'kan?""Aku nggak papa, Al. Cuma pusing sedikit kok." Keina berusaha duduk meski kepalanya masih terasa pusing."Huh, orang sakit makan roti kan, ya?" Tiba-tiba Dev berhenti di depan pintu UKS. Raut wajahnya berubah datar, dan sesegera mungkin berbalik
"Maksud lo apa, hah?!" Talitha memelototi Rara. Dia mendekat dan kemudian menjambak rambutnya. Rara yang tidak terima pun membalas perbuatan Talitha. Jeje hanya bisa melongo, tidak mengerti apa yang harus dia lakukan.Anak-anak yang melihat kejadian hanya terdiam, tanpa berniat untuk memisahkan keduanya. Bahkan kakak kelas sekali pun. Justru hal seperti ini sangat dinantikan oleh para siswa, di mana mereka dapat menonton film action secara langsung di depan mata.Meski hanya perkelahian biasa tetap saja itu membuat kegaduhan. Ibu kantin yang merasa terganggu karena kebisingan itu akhirnya menghampiri dan memisahkan mereka berdua.🍂Entah apa yang tengah Keina pikirkan, sedari tadi dia terus melamun di depan kaca sembari menikmati indahnya langit malam. Sesekali terdengar embusan kasar dari Keina. Apa seberat itu? Gadis periang yang selalu tersenyum tiba-tiba terlihat banyak pikiran. Bukannya berpura-pura bahagia, hanya saja Keina enggan berbagi kel
Dengan gugup Alga menjawab, "pe-perasaan gimana maksudnya?""Udah deh, Al. Lo nggak usah pura-pura sama gue. Kita tuh udah sahabatan dari kecil, jadi gue paham banget gimana perasaan lo ke Keina."Alga menunduk. "Ya gimana dong, Tha? Gue nggak berani ngomong ke Keina. Gue takut kalo gue jujur sama dia tentang perasaan gue dia bakal ngejauh dan persahabatan kita jadi hancur.""Tapi apa salahnya jujur, Al. Daripada nyakitin hati lo sendiri.""Nggak, Tha. Gue nggak mau kehilangan Keina. Pokonya lo jangan bilang ke Keina, ya. Suatu saat nanti gue pasti bisa jujur kok sama dia tentang perasaan gue sama dia."Talitha menyenderkan tubuhnya di kursi dan melipat kedua tangannya. Memiringkan kepala dan mengamati wajah Alga."Tha?Please....""Hmmm oke."Apa yang lebih sulit dari kalimat "Cinta dalam Diam?" Memendam perasaan bukan
Hari ini Jakarta terasa lebih panas. Sepertinya matahari telah memakan banyak energi, sehingga panasnya begitu menyengat. Seperti biasa, jalanan Jakarta cukup padat. Padahal mereka sengaja berangkat lebih awal, tapi tetap saja tidak dapat menghindar dari kemacetan tersebut.Kemacetan ini tidak membuat Alga, Talitha, dan Keina merasa bosan, mereka tetap santai. Diiringi alunan musik yang ringan membuat mereka tetap nyaman di dalam mobil.“Jakarta sepadat ini, ya?” Alga menghela napas.“Ya begitulah,” sahut Keina.“Weh, kalian makan apaan tuh?”“Udah, Al. Di depan tuh diem aja, deh.” Keina memasukkan sebuah camilan ke dalam mulutnya. Begitu pun dengan Talitha. Merasa tidak dianggap, Alga merampas sebungkus makanan ringan yang tengah Talitha genggam.“Dasar anak celamitan!” Talitha melipat kedua tangannya di depan dada dan mengedarkan pandangannya ke kaca mobil.“Bia
Pesona Indonesia tidak hanya terletak di berbagai spot wisata, keindahan budaya dan kreativitas masyarakat dalam menghasilkan karya pun patut diapresiasi. Seperti yang kini tengah Keina dan Talitha lakukan.Keina memerhatikan dengan detail kain batik yang sedang dia coba. Kain berukuran persegi panjang dengan warna cokelat muda bergaris hitam juga berhias bunga kecil-kecil tampak sangat indah dan sempurna dikenakan oleh gadis setinggi 163 cm itu.“Nah, gitu dong. Sebagai anak muda generasi bangsa, kita patut melestarikan budaya Indonesia. Salah satunya dengan pake kain batik ini.”“Kalo gitu beliin gue sama Keina kain ini, ya?” Talitha mengerjap-ngerjapkan mata, merengek kepada Alga tanpa rasa malu, meskipun ada banyak wisatawan yang berkunjung ke pusat perbelanjaan oleh-oleh tersebut.“Yah. Gue salah ngomong nggak, sih?” Alga menunduk dan menutup sebagian wajahnya dengan ekspresi penyesalan.“Ini nih, ribe
"Hah, begal?!" Alga, Talitha, dan Keina terkejut. Memang bukan tidak mungkin jika itu adalah gerombolan begal, karena hari memang sudah larut malam.Suasana sangat mencekam. Semua orang panik. Terlebih saat seorang begal mencoba untuk menggedor-gedor kaca taksi tersebut."Aku harus telepon ayah. Siapa tau ayah belum tidur." Keina mencari ponselnya di dalam tas. "Aduh, di mana, sih?" Tangan Keina bergemetar hebat, ponselnya belum ditemukan juga."Oh iya! Ponselku kan ketinggalan." Keina menepuk jidatnya.Suasana semakin mencekam. Terlebih begal tersebut mengeluarkan senjata tajam dan menyodorkannya kepada sopir taksi agar cepat meminggirkan taksi."Hei, kamu!""Iya, Pak.""Ambil ponsel itu!" Sopir taksi menunjuk pada sebuah ponsel. "Cepat kamu cari nomor polisi dan hubungi segera. Sekarang!""Baik, Pak."Prang!!!Dari arah kiri seorang begal memukul kaca hingga kaca tersebut pecah dan mengenai lengan Al