“Adam, antarkan Callie.” Victor mengatakan hal tersebut pada Adam yang langsung diangguki oleh Adam.
“Kau tidak akan memberikan ponselku?” tanya Callis pada Victor saat Victor hendap keluar dari ruang kerjanya. Victor tidak menjawabnya dan pergi tanpa meliriknya. Callis menghembuskan nafasnya, mencoba mengontrol emosinya.
Adam tertawa saat Callis sudah duduk di kursi penumpang. Callis menatap Adam dengan sengit. “Diamlah, Adam. Kau tahu betul jika Victor menyebalkan.”
“Mr. Barnett tidak semenyebalkan itu, Callis.”
Callis berdecak mendengar ucapan Adam. “Bela saja atasanmu itu. Kau sama menyebalkannya dengan Victor.”
“Sudahlah. Kepalaku akan panas jika kita membahas Victor yang menyebalkan itu. seharian ini dia benar-benar aneh. Aku tidak melakukan kesalahan apapun, tapi dia terlihat uring-uringan.”
“Mr. Barnett mungkin menyukaimu,” ucap Adam dengan bersungguh
Olive lalu terkekeh saat tidak mendapatkan sautan dari Callis. “Ternyata kalian memiliki hubungan di masa lalu. Kenapa kau mau kembali pada Victor? Kau kehabisan uang dan menjadikan anakmu menjadi alat untuk memeras Victor?” tanya Olive dengan nada mencemooh.“Kau salah, Olive. Victor lah yang mendatangi kami. Victor bahkan memaksa kami untuk tinggal di sini.” Callis memilih untuk jujur pada Olive.Olive lalu bertepuk tangan dengan pelan. “Sudah ku duga,” ucap Olive dengan seringainya. “Kau tahu kenapa Victor memaksa anakmu untuk tinggal di sini?” tanya Olive dengan seringai yang masih bertahan di bibirnya.Callis tidak pernah memikirkan alasan Victor yang memboyong mereka kembali ke Australia. “Karena Reis adalah anaknya dan Victor ingin dekat dengan darah dagingnya,” ucap Callis dengan ragu. Sejujurnya, Callis juga tidak tahu alasan Victor bertindak sejauh ini.Olive tertawa seolah apa yang tel
Zero melihat sekilas ponselnya. Sepertinya ada pesan yang masuk dan itu terlihat penting karena air muka Zero yang berubah menjadi tegang. Zero menarik tangan Callis dan mengenggamnya. “Aku akan menjelaskan padamu nanti, Callista. Sekarang istriku sedang ada di rumah sakit. Aku harus ke sana,” ucap Zero.Callis mengangguk dan melepaskan genggaman tangan Zero. Callis dan Zero berdiri dan hendak keluar dari ruangan itu. “Callis, percaya padaku. Dari dulu, aku selalu menganggapmu sebagai adikku. Dan sekarang aku tidak ingin kehilangan adikku lagi.”***Callis berjalan dengan gontai menuju kubikelnya. Dalam hatinya, Callis mempertimbangkan langkah apa yang akan dipilihnya setelah ini, mempercayai Zero dan menjelaskan semuanya kepada Victor atau membiarkan kesalahpahaman ini tetap berlalu. Apapun langkah yang dipilihnya, hasilnya akan tetap sama. Reis akan menjadi pewaris kerajaan bisnis TBGroup.Selama sisa jam, Callis tidak berpapasan
“Victor, kau sudah melewati batasmu,” ucap Callis terengah setelah Victor melepas pangutannya. Callis dapat melihat sorot mata gairah dalam bola mata Victor.“Kau ingin mendapatkan status di sini, kan? Aku akan memberikannya kepadamu. Sekarang cukup layani aku.” Victor menyentuh kancing piyama Callis.“Victor, aku tidak bisa. Ini salah.” Callis mencoba menyingkirkan tangan Victor darinya. Callis memang mencintai Victor, tapi bukan berarti dirinya akan mengulangi kesalahannya lagi. Meskipun di budaya Victor, having sex adalah hal yang bisa, namun tidak bagi budaya Callis. Callis hanya ingin melakukannya jika Victor dan dirinya sudah sama-sama jujur dengan perasaan mereka. Bukan di saat keduanya dilingkupi emosi seperti ini. Bagi Callis, tidak ada yang namanya having sex, dirinya hanya mengenal making love dan tersebut sakral baginya.“Persetan dengan hal salah, Callie. Aku menginginkanmu sekarang.” Pikiran Victor se
Callis sedang menyiapkan makan malam untuk Reis saat Victor memasuki dapur dengan masih mengenakan setelan kerja lengkap. Callis menunduk, tidak ingin memandang wajah Victor yang terlihat seperti tidak ada hal yang terjadi tadi malam. Selain malu, Callis juga merasa kecewa dengan Victor. Callis merasa seperti wanita panggilan yang akan terbangun sendirian di kamar setelah melakukan malam yang panas.“Reis, malam ini Mommy tidak bisa membacakan dongeng kepadamu. Kau bisa langsung tidur. Daddy sedang ada urusan dengan Mommy,” ucap Victor setelah Reis menghabiskan makanan yang ada di piringnya. Reis hanya mengangguk tanpa bantahan dan kembali ke kamar setelah makanan di atas piringnya tandas.Setelah Reis menghilang, Victor melemparkan setumpuk dokumen kepada Callis. “Kita sudah sah menjadi pasangan suami istri di mata hukum.”***“Victor, bukan itu maksud ucapanku semalam. Kau salah paham,” ujar Callis saat dirinya sudah
“Apakah masalah Callis?” tanya Dave dengan santai. “Jika kau memang tidak bisa dengan Callis, lepaskan dia untukku. Lalu, kau bisa hidup bahagia dengan Olive.”“Kau ingin berkelahi denganku?” desis Victor dengan menatap tajam Dave yang terlihat sangat santai dengan memutar pelan gelas minumannya.Dave tertawa. “Jika ku katakan bahwa aku tertarik dengan Callis, apa kau akan melepasnya? Toh kau tidak memiliki ikatan yang kuat dengannya. Aku bahkan bisa menganggap anakmu seperti anakku sendiri.”“Hentikan omong kosongmu, Dave. Callie sekarang sah menjadi istriku.”Dave tersedak. Setelah tenggorokannya dapat berjalan semestinya, Dave menatap Victor dengan tajam. “Jangan bercanda, Victor. Aku tahu Callis tidak akan mau menjadi istrimu.”Victor terkekeh sinis melihat wajah Dave yang terlihat sangat tidak bersahabat. “Nyatanya dia memang istriku sekarang.”“Ku
“Profit dari kerja sama ini sangat tinggi, Mom. Selain itu, kita juga harus membayar penalti yang sangat besar untuk pembatalan kerja sama itu. Aku juga tidak menyukai Wilson Inc., tapi ini hanya kerja sama antarperusahaan. Tidak lebih,” jelas Victor “Aku tahu, tapi aku tidak ingin ada urusan lagi dengan Wilson Inc.,” ujar Anastasya dengan mimik muka yang terlihat gelisah. “Memangnya ada apa?” tanya Victor sekali lagi. Anastasya sepertinya menyembunyikan sesuatu dan Victor penasaran akan hal tersebut. Ibunya itu hampir tidak pernah memikirkan sesuatu secara berlebihan seperti ini. “Tidak ada apa-apa. Hanya saja…” Anastasya mencoba memilih kata-kata yang cocok untuk diucapkannya. “Hanya saja sedari awal, hubungan Barnett dengan Wilson tidak pernah baik.” “Sebenarnya apa yang kau sembunyikan, Mom?” tanya Victor akhirnya. “Tidak ada, anakku.” “Maka aku tidak bisa membatalkan kerja sama ini.” “Kau ingin membatalkan kerja sama ini a
Anastasya menuntun Victor untuk duduk di kursi tunggu. Wajah Victor terlihat sangat gusar. Berkali-kali dirinya mengecek jam yangan dan juga pintu ruang operasi. Menurut dokter, operasi ini hanya berjalan satu jam. Namun sekarang sudah hampir dua jam dan mereka belum keluar dari sana.Tak lama, dokter keluar dari ruang operasi. Victor dapat menghembuskan sedikit nafas lega saat melihat dokter dan beberapa suster keluar dari sana. Paling tidak, Victor tidak melihat wajah dokter yang seperti tadi. Ada sedikit cahaya di sana.“Operasi berjalan lancar.”***Victor setia menemani Callie saat Callie masih belum sadarkan diri. Bahkan di pemakaman calon anaknya, Victor memilih untuk tidak hadir. Sudah dua hari sejak operasi itu, Callie masih setia memejamkan matanya.“Callie, aku mohon bangunlah. Jangan menyiksaku seperti ini.” Victor terus saja mengajak berbicara Callie agar Callie cepat sadar. Tangannya tak henti-henti mengelus je
Demi tuhan! Jika Victor tahu hamil bisa semenyakitkan itu, Victor memilih untuk tidak menghamili Callie. Baginya, sudah cukup Reis berada di antara keduanya. Victor tidak butuh banyak anak daripada dirinya harus melihat Callie kesakitan.“Victor?”“Dave?” Victor terkejut melihat ada Dave di sini. “Untuk apa kau di sini?”Dave mengendikkan bahunya. “Salah satu teman seprofesiku sedang sakit dan aku sedang mengunjunginya di sini,” jawab Dave. Victor tak ambil pusing dengan jawaban Dave. Toh hal tersebut tidak berpengaruh apapun padanya. “Lalu untuk apa kau di sini?”“Callie dirawat di sini,” ucap Victor dengan lesu.“Sial! Apa kau menyakitinya?” tanya Dave dengan mengcengkram kedua kerah kemeja Victor.“Jika dengan memukulku kau bisa mengembalikan senyumannya, lalu pukul aku hingga sekarat.”***Setelah tiga hari pemulihan, Callie dipe
“Jangan sungkan, Callis. Tidak mungkin kalian selamanya tinggal di unit. Suatu saat kalian pasti membutuhkan rumah. Oleh karena itu, lebih baik kalian memilih rumah secepatnya. Aku akan merasa sangat sedih karena kalian menolak hadiah pernikahan dariku.” Callis semakin merasa bersalah saat mendengar ucapan terakhir Abraham. Bukannya ingin menolak, Callis hanya merasa sangat tidak enak jika menerima hadiah semahal itu. “Aku akan mendiskusikannya dengan Victor terlebih dahulu, Mom, Dad.” “Aku selalu setuju dengan pilihanmu, Callie. Semua keputusanmu adalah keputusanku juga.” Callis ingin mencakar mulut Victor yang tersenyum usil di sebelah sana. Bukannya membantu, Victor malah semakin mendorongnya. Lihat saja nanti, Callis pastikan bahwa Victor akan tidur di luar. *** Victor beserta keluarganya memasuki rumah yang menjadi kado pernikahannya. Rumah ini sangat luas bagi Callis. Namun, jika dibandingkan dengan mansion milik keluarga Abraham tentu tidak ada apa-apanya. Callis memang mem
“Yow! Kedua sahabatku sedang bercengkrama tanpa mengajakku.” Nick menyenggolkan bahunya kepada Victor dan Dave dengan wajah cengengesan.“Sudah lama kita tidak bertemu,” ujar Dave pada sahabatnya itu.“Yah, Si Diktaktor itu memaksaku untuk mengurus cabang di Indonesia setelah dia memaksa untuk mengambil alih cabang itu sebelumnya,” sindir Nick pada Victor. “Aku membutuhkan banyak adaptasi saat di sana,” keluhnya.Victor hanya meliriknya malas. Dia sangat paham bahwa Nick sangat suka mendramatisir semua hal. “Wow! Siapa wanita cantik yang sedang bersama istrimu itu, Bro?” tunjuk Nick pada Meghan.“Alihkan tatapanmu dari kekasihku, atau akan ku keluarkan bola matamu dari tempatnya, Nick.”***Callis dan Victor saat ini sudah berada di kamar pengantin. Tubuh Callis terasa sangat lelah, namun Callis merasa sangat puas. Pesta pernikahan yang dijalani nyatanya sangat jauh lebih menyenangkan dibandingkan yang pernah diimpikannya. Victor sangat bersungguh-sungguh saat dirinya berkata bahwa a
Tanpa bantahan, Callis bergerak ke arah Victor dan menyandarkan kepalanya ke dada Victor. Tangan Victor juga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengelus rambut wanitanya. “Tadi katanya ingin membahas tentang pernikahan kita?” tanya Victor untuk membuka percakapannya. “Sebentar.” Callis segera beranjak dan mengambil tabnya yang dia simpan di meja yang berada di sudut kamar. Setelah mendapatkannya, Callis kembali ke posisi awal. “Tanpa mengingat pilihanku, aku ingin kau memilih dekorasi serta hal lain yang kita butuhkan untuk pernikahan kita.” Cassie menyodorkan tab yang sudah menayangkan beberapa pilihan itu pada Victor. Malam itu dihabiskan oleh sepasang suami istri, yang akan kembali menikah, dengan diskusi. *** Waktu berlalu dengan cukup baik. Baik Callis maupun Victor, mereka akhirnya menyiapkan pernikahan ini dengan bersungguh-sungguh. Hari besar yang dinantikan akhirnya datang juga. Saat ini, Callis sedang mempersiapkan dirinya untuk pemberkatan. Isabella, sang ibu, serta
Dengan pelan, Callis menggerakkan kepalanya hingga tatapan mata mereka saling berbalas. “Tidak perlu meminta maaf, Vic. Yang terpenting, tidak ada lagi salah paham di antara kita.” Callis mengucapkannya dengan nada bergetar karena harus menahan tangisannya.“Aku ingin memulai semuanya dengan benar, Callis.”Ucapan Victor membuat Callis harus mengernyitkan dahinya karena tidak paham dengan maksud Victor.“Ayo kita melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh pasangan yang akan menikah. Mulai dari persiapan pernikahan, pemberkatan, hingga resepsi. Aku ingin melakukan semuanya denganmu. Aku ingin merasakan menjadi kekasih yang menunggu pasangannya untuk fitting baju. Aku ingin melakukan foto pra-nikah, aku ingin mengucapkan janji untuk selalu menjadi saksimu di hadapan Tuhan dan aku ingin memiliki foto pernikahan yang dapat dipajang di ruang tamu. Bahkan jika kau mau, aku juga ingin melakukan rangkaian budaya pernikahan seperti yang biasanya Mom ceritakan padaku saat aku kecil. Aku ingin m
Begitu sampai di kantor, banyak karyawan yang menyapa ketiganya. Namun, hanya Callis yang membalas sapaan mereka. Baik Victor maupun Reis hanya diam dan berjalan lurus. Callis menggelengkan kepalanya melihat Victor dan Reis yang bergandengan tangan meninggalkannya di belakang. Callis sengaja memperlambat jalannya dan benar dugaannya. Victor dan Reis terlalu fokus pada jalan di depannya tanpa mempedulikan sekitar. Begitu kedua lelaki berbeda generasi itu hendak mencapai lift, Callis mempercepat langkahnya agar keduanya tidak sadar bahwa dirinya sempat terhindar.Dasar dua lelaki sok keren, gumam Callis dengan sedikit kekehan.Adam yang sudah menunggu di samping lift para petinggi segera menekan tombol pada lift agar terbuka. “Selamat siang, Tuan Barnett, Tuan Muda Barnett… dan Nyonya Barnett.”Callis berdecih dan masuk ke lift bersama ketiganya–Victor, Reis, dan Adam. Callis sangat tahu bahwa Adam sedang mengejeknya dan itu membuatnya kesal. Callis ingin sekali memukul lengan Adam. Nam
Callis masih setia mengelus punggung Reis yang masih sesenggukan di dadanya. Bahkan, Reis duduk di pangkuan Callis karena masih tidak ingin lepas dari ibunya. “Nangisnya udahan dong, sayang.” Callis mencoba melepaskan pelukan Reis padanya.Pelukan Reis terlepas. Callis akhirnya dapat melihat wajah Reis yang memerah sebab tangis. Bahkan, mata Reis masih basah karena air mata yang belum kering. Air mata Reis kembali menetes saat menatap wajah ibu yang sangat dirindukannya.“Gantengnya Mommy jadi jelek soalnya nangis mulu,” ledek Callis dengan mengelap wajah Reis yang basah karena air mata dan keringat. “Reis kangen banget sama Mommy,” rengek Reis dengan kembali memeluk Callis, tapi tidak seerat tadi. “Mommy juga kangen banget sama anak Mommy yang paling ganteng ini.”“Mommy, aku laper banger,” rengek Reis yang dijawab dengan kekehan oleh Callis.***Callis dan Reis sampai di Four Season, salah satu restoran yang berkolaborasi dengan TBGroup. Sejak mereka hidup dengan Victor, lelaki it
Callis! Ini bukan pengalaman pertamamu! Jangan berlaga seperti orang suci! Teriak Callis dalam hatinya.Akan tetapi, tidak bisa. Callis tidak bisa mengontrol dirinya. Victor dan posisi mereka yang terbilang cukup intim membuatnya tidak bisa mengendalikan dirinya. Kaki Callis terasa sangat lemas seperti jeli. Namun, dirinya tidak akan terjatuh dan membuatnya malu.Tuhan! Tolong hamba, jerit Callis.“I love you, Baby Girl.” Belum sedetik Callis mencerna ucapan Victor, bibir Callis langsung menjadi sasaran Victor.***Callis terbangun saat dirinya merasa pelukan hangat yang semalaman telah memanjakannya menghilang. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya matahari yang ternyata sudah terang. Callis terlambat bangun!Callis segera beranjak dari tidurnya begitu sadar bahwa dirinya sudah sangat terlambat untuk bangun. Kepala Callis sontak terasa pening karena berdiri dengan cepat dari tidurnya.“Hi, dear. Jangan terburu-buru. Reis sudah berangkat ke sekolah diantar oleh ma
Callis dan Victor berjalan beriringan. Setelah sampai di unitnya, Victor segera memasuki kamar pribadinya untuk membersihkan tubuh. Callis berdiri di tengah ruang tamu, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Callis ingin membersihkan dirinya. Namun, kamar yang digunakan selama di sini adalah kamar utama, dengan kata lain kamar Victor. Rasanya, Callis akan merasa canggung jika masuk ke kamar tersebut tanpa permisi. Lama tidak tinggal di unit Victor membuat Callis menjadi asing padahal tidak ada yang berubah dari tempat tinggal Victor tersebut.Tak lama, Victor keluar dari kamarnya dan segera menghampiri Callis. Victor sudah mengganti tuksedonya dengan pakaian yang lebih santai. Rambut Victor terlihat sedikit basah dan berantakan. Ketampanan Victor meningkat berkali-kali lipat dengan penampilan tersebut.“Kau tidak ingin membersihkan diri?” tanya Victor dengan heran.“Aku… Um… Aku.” Callis bingung harus bagaimana untuk menyuarakan kecanggungannya.“Aku akan keluar sebentar.” Victor men
Callis menitipkan belanjaannya di tempat penitipan. Setelah itu, dirinya bergerak untuk menuju ke tempat di mana Victor menunggunya. Di sana, terdapat Victor yang sedang menikmati ice cream dengan tenang, sangat kontras pemudi yang menatap Victor dengan menunjukkan ekspresi tertarik yang ketara.“Cih.” Callis berdecih melihat segerombolan pemudi itu. Di umur segitu, mereka harusnya fokus belajar. Bukannya malah nongkrong tidak jelas di kafe. Lagi pula, apakah mereka tidak sadar jika Victor terlihat jauh lebih tua dibandingkan mereka. Atau malah mereka mencari lelaki seumur Victor untuk dijadikan ayah gula?Sebelum menghampiri Victor, Callis memasang senyum yang sangat manis. Dirinya lalu bergerak dengan riang mendekati Victor. “Ah, maaf sekali, Sayang. Karena menungguku, kau harus menunggu di sini dengan bosan,” ujar Callis dengan manja. Tak lupa, Callis juga membubuhkan satu kecupan di pipi kanan Victor.***Victor mengernyitkan alisnya saat melihat gelagat aneh dari Callis. “Apa yan