Bab 44B Maaf"Aku nggak rela, Fan. Aku mencintaimu. Sungguh, aku mencintaimu. Maafkan aku yang berbohong padamu." Refan mengulas senyum lalu mengurai pelukan sang istri. Dikecupnya lagi kening Syila dan bibirnya sekilas."Sudah, jangan buang-buang waktu. Ayo pergi dari sini dan selamatkan abang!""Gimana caranya?" tanya Syila pelan."Tunggu di sini! Sembunyilah di belakangku."Refan membuka pintu membuat dua penjaga terkesiap dan dengan sigap menodongkan senjata.Refan pun mengangkat kedua tangannya."Ada apa?!" tanya salah satu penjaga dengan muka garang."Itu bosmu tak berdaya di kamar. Sudah hamil besar masih terobsesi ingin ehem ehem." Ucapan Refan membuat dua pria kekar itu saling pandang dan mengernyitkan dahi. "Lalu bos harus kami apakan?" tanya salah satunya dengan wajah bingung sekaligus malu."Kasih minum atau apa biar nggak lemas," tegas Refan langsung diiyakan pria tadi. Setelah mengambil sebotol air mineral, dua pria itu saling bernegosiasi siapa yang harus masuk."Apa bo
Bab 45A Jangan pergi"Kalau aku tidak bisa memilikimu, wanita itu juga tidak berhak. Aku harus menyingkirkannya darimu, Fan." Begitu pelatuk ditarik, Zein memaksa berdiri dari kursi rodanya lalu menghamburlan diri memeluk Syila. "Abang!" "Awas, Bos! Dorr, dorr. Suara pekikan bersautan dengan bunyi pistol yang ditembakkan oleh Sania ke arah Syila. Namun, target yang dituju ternyata salah. Sania mengerang karena geram Syila justru diselamatkan. "Mas Zein! Mas! Bertahanlah!" teriak Syila ketakutan. Posisi Zein memeluk Syila dan keduanya terguling ke lantai. "Mas, kamu nggak apa-apa?" tanya Syila kaget mendapati Zein bergerak seperti orang sehat. "Aku nggak apa-apa, Syil." "Mas, Mas Refan! Bangun Mas!" Syila mendadak kaku. Kepalanya seolah dibenturkan ke tembok saat mendengar suara nama Refan disebut oleh Alex. "Refan?!"Zein dan Syila menoleh bersamaan ke arah Refan yang tergeletak di lantai dengan kedua tangan memegang dada dan perutnya. "Refan!" teriak Syila histeris bergant
Bab 45B Jangan pergi"Sabar, Mi. Mari kita berdoa untuk keselamatan Refan dan juga kesehatan Zein. Kedua anak kita sedang mendapat penanganan yang tepat. Kita wajib berihtiar dan berdoa. Jangan lupa pasrahkan sama Allah yang Maha Kuasa." "Umi merasa gagal jadi ibu, Bi. Kasih sayang Umi ternyata berat sebelah," sesal Hira. "Tidak, Sayang. Umi sudah menyayangi mereka dengan baik. Saatnya kita melangitkan doa untuk mereka." Hira mengangguk lemah. Mereka semua menanti dengan was-was hasil operasi Refan. Sementara itu, Zein sedang mendapatkan perawatan medis pasca operasi karena kecelakaan. Orang tuanya baru tahu kalau Zein keluar dari rumah sakit karena APS. Ilyas tidak menyangka musuh di dunia bisnisnya dahulu ternyata menyimpan dendam hingga saat ini. Robert yang sudah dipenjara berencana membalaskan dendam melalui putranya. Raihan yang datang tiba-tiba menawarkan kerja sama bisnis sempat mengundang curiga. Namun, kecurigaan itu terpatahkan mengingat musuhnya dulu sudah dipenjara. Sia
Bab 46A Cerita KitaTiga hari sebelumnya. "Syila! Syila bangun, Sayang!" "Refan! Refan pergi, Mi." Syila tergugu di pelukan Hira. Ia baru sadar dari pingsannya. Dalam mimpinya, Syila bersimpuh di pusara sang suami. Ia meratapi kepergian suami untuk selamanya. "Refan masih menunggu melewati masa kritis. Dokter masih memantaunya. Kita doakan untuk keselamatannya, ya." "Benarkah, Mi? Syila nggak tahu harus apa kalau sampai Refan pergi ninggalin kami," ucap Syila sembari mengusap perutnya. "Semoga Allah memberi yang terbaik buat Refan, Sayang." Syila mengamini doa Hira. "Mi, Syila mau bertemu Refan." Hira mengiyakan, lalu mengambul kursi roda untuk Syila. Hira mendorong Syila yang sudah duduk di kursi roda menuju ruang rawat Refan. Tak lama kemudian dari balik kaca, Syila bisa melihat banyak alat medis yang menempel di tubuh Refan. Seketika hatinya dilanda ngilu. Menarik napas panjang, Syila berusaha menguatkan hatinya yang perih. "Umi merasa bersalah, Syila. Selama ini umi selalu
Bab 46B Cerita Kita"Saya bayar separo dulu ya, Mas." "Separonya saya yang bayar, Bang. Kamarnya ada dua, kan? Nggak masalah."Mata Syila terbelalak. Bisa-bisanya Refan menyerobot semaunya..... "Hai, Syila! Pesan makan malam buat gue sekalian bisa, nggak?!" teriak Refan. "Oke, soto dan jahe panas." Refan menelan ludah sambil meremas perut yang mulai keroncongan." "Soto dan jahe, 500 ribu," ucap Syila dengan senyum tersungging. "Busyet, lu mau malak gue?" ujar Refan dengan mata melotot dan dua kaki naik ke kursi. "Mau, enggak? Nggak juga nggak apa, aku yang habisin." "Gila nih cewek, perut apa karet?" "Ada tambahan juga denda 200ribu." "What?!" "Ingat, nggak ada yang gratis, Bang. Udah dibilang jangan sampai kita berdua di tempat yang sama, atau Abang kena denda." "Astaga, katanya soto?" "Iya, itu, Bang. Cicipin dulu kalau nggak percaya!" "Ini mie rasa soto, gue hafal rasanya." Syila terkekeh pelan sesaat setelah terbangun dari lamunannya. Kedua tangan menggenggam erat t
Bab 47A Takdir KitaZein menuju ruang bersalin tanpa menaruh dendam pada Sania yang masih berstatus istrinya. Sampai di dalam ruang bersalin, suara teriakan mengaduh begitu familiar di telinga Zein. "Sania, yang sabar, kamu kuat, kamu pasti bisa." Zein berusaha menyemangati Sania seperti suami-suami yang lain saat memberi semangat pada istrinya yang akan melahirkan. Dia menggenggam erat jemari Sania yang menarik napas panjang sesuai arahan dokter. Sania memang mengalami guncangan jiwa, tetapi saat ini tengah mendapat perawatan dokter. Ia masih berusaha berada dalam kewarasannya. "Zein, maafin aku! Aku sudah menyakitimu juga keluargamu. Aku menghianati cintamu. Kumohon maafin aku!" "Diam, San. Jangan pikirkan itu! Pikirkan kondisimu melahirkan anak kita. Aku sudah memaafkanmu sejak dulu. Bukan aku saja, tapi kami semua memaafkanmu. Ayo, kamu pasti bisa melahirkannya." Sania masih mengikuti intruksi dokter sambil mengeluarkan air mata. Ia merasa lega sudah mendapat maaf. Sampai be
Bab 47B Takdir KitaSampai di parkiran Syila hampir saja berlari. Beruntung Zein menarik lengannya. "Stt, kamu lupa kalau sedang membawa bayi di perutmu." "Hah! Astaghfirullah. Iya, Mas. Maaf.""Saat kita merasa bahagia, jangan sampai lupa diri hingga berujung luka sendiri. Bisa saja kamu nggak hati-hati, hamil muda itu rawan." "Iya-iya, Mas Zein kenapa jadi cerewet begini." Syila berdecak sambil melangkah cepat tetapi tidak berlari. Sampai di depan ruang rawat ia sudah disambut suster. Di dalam ruangan sudah ada umi dan abinya di dalam. "Assalamua'alaikum, Mi, Bi." "Syila!" Refan menatap tak berkedip kekasih halalnya. Dua insan yang tengah dipisahkan sementara oleh peliknya kehidupan itu saling menatap penuh haru. Mereka melemparkan tatapan penuh kerinduan. "Syila," panggil Refan lagi dengan lembut membuat Syila berjalan pelan mendekat. Syila tak mampu berkata-kata, sebuah pelukan ia berikan untuk mendekap erat sang suami. Sedetik kemudian, tangis Syila pecah. Bahu yang bergetar
Bab 48A Bersama "Syila! Syila, Sayang!" "Ah, apa, Bang." "Ckk, tuh kan dikacangin," sungut Refan seperti anak kecil kehilangan permen. "Aku lapar, Bang. Perutku sudah berdendang," ungkap Syila jujur. Keduanya tenggelam dalam canda tawa setelah kesedihan yang mereka alami mampu dilewati dengan keikhlasan hati. Selesai makan dan menyuapi, Syila membersihkan tubuh suaminya. Tangan Syila dihentikan paksa oleh Refan. "Cukup! Biar aku sendiri yang teruskan." "Kenapa, Bang?" protes Syila dengan wajah polos. "Kamu mau ruang ini jadi kapal pecah seperti di rumah? Soalnya aku kangen anak kita." Bisikan lembut Refan di telinga kiri, sukses membuat tubuh Syila meremang. "What?! Bang Refan!" "Ough, sakit, Syila." "Bang, boleh aku bertanya?" Syila memasang wajah serius membuat Refan mengerutkan keningnya dalam. "Apa?" "Gimana perasaan abang saat tahu Mbak Sania tidak ada?""Menurutmu?" Refan mencoba menelisik pemikiran istrinya. Namun, Syila menunduk menahan sedih. "Kemarilah! Kalau k