Waktu begitu terasa cepat berlalu menurut Shreya. Sampai langit gelap, otaknya tak luput dari Pricilla, Pricilla, dan Pricilla. Bak seorang prajurit yang akan berperang memikirkan taktik bagaimana esok ia menghadapi musuh.Tangisan Nathan berhasil membuyarkan lamunan Shreya. Lekas ia menghampiri box bayi, mengecek popok, kemudian menggendong sang bayi dan membawanya duduk di tepi ranjang. Shreya yang paham akan tangisan Nathan pun perlahan membuka kancing dan mengeluarkan benda kenyalnya. Bayi tampan itu tampak rakus menyedot puting sang ibu. Tangan Shreya dengan sayang mengusap kepala Nathan. "Kuat sekali kamu mimiknya, Nak," ucap Shreya, yang kemudian merubah posisi sang bayi agar menyusu di payudara sebelah lagi. Shreya mendongak sembari memegang punggung karena merasa pegal. Seketika matanya membulat sempurna karena di hadapannya Felix sudah berdiri. "Ya, Tuhan!" Shreya kaget. "Se-sejak kapan Mas berdiri di situ?" Shreya mencoba menutupi bagian dadanya itu. Felix berpaling muk
"Sini, Aya bantu," ucap Shreya saat Felix sedang memasang dasi. Hal yang tak diduga terjadi dimana Felix menepis tangan Shreya. "Mas bisa sendiri, kok."Shreya melongo. Semalam mereka baru saja memadu kasih. Sekarang, kenapa sikap Felix seolah-olah seperti jijik terhadapnya? Ah, pantaskah itu disebut memadu kasih kala hati belum sama-sama terpatri? Apalagi semalam dengan jelas Shreya mendengar jika Felix mengigau, mengingat mendiang istrinya. Bukan, bukan cinta yang ada dalam diri Felix, melainkan nafsu birahi. Tidak, Shreya tidak menyesali karena ia anggap itu adalah sebagai bukti dan bakti bahwa dirinya adalah sosok istri yang patuh yang berkewajiban melayani sang suami. Shreya mencoba tersenyum. "Baiklah, kalau begitu Aya ke bawah duluan, ya?" pamitnya seraya menggendong Nathan. "Nathan biar Mas saja yang gendong." Felix mengambil alih Nathan. "Aaaaa!"Terdengar suara teriakan dari kamar Pricilla. "Ya, Tuhan, Pricilla!" seru Shreya, kemudian berlari meninggalkan kamar diikuti
Siang itu bel terdengar nyaring pertanda kegiatan belajar mengajar hari itu telah usai. Raut bahagia tampak jelas menyertai langkahnya menuju gerbang. Di sana sudah teronggok mobil mewah berwarna hitam dimana Joko sudah membuka pintu lebar-lebar untuknya. "Ini buat Bapak." Pricilla menyerahkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah tepat saat Joko duduk di belakang kemudi.Joko menoleh dan tak lekas menerima. "Wah, itu uang apa, Non?""Ck! Bonus buat Bapak. Cepat ambil!"Joko menerimanya walau ragu. "Terima kasih, Non. Moga rezeki Non makin bertambah."Pricilla mengangguk. "Oh, iya, PakAntar aku ke bandara, ya? Tadi pagi Papa minta aku buat jemput Tante Cindy. Tapi, sebelumnya kita jemput Kak Dio dulu di sekolahnya, ya, Pak?!"Joko terdiam. Jelas saja pria paruh baya itu bingung karena sang majikan tidak memberi instruksi demikian, melainkan agar Pricilla segera diantar pulang. "Pak, kok, diem?! Ayok, jalan!""I-iya, Non." Joko pun melajukan mobilnya. **Setelah menempuh perja
Angin bertiup semakin kencang dan terasa sangat dingin. Shreya pun memutuskan untuk kembali ke kamar. Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh, tetapi Felix belum juga masuk kamar. Akhirnya Shreya keluar hendak ke ruang kerja. Namun, langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Pricilla masih terbuka. Lekas ia menghampiri. "Sayang, udah malam, kok, belum tidur?" sapa Shreya saat melihat Pricilla masih asyik bermain ponsel. Tatapan sinis'lah yang Shreya dapatkan berikut dengan jawaban dingin Pricilla. "Ngapain ke sini? Ganggu aja!"Shreya meraih gel lidah buaya dengan kemasan tube yang sengaja ia simpan di atas meja rias Pricilla. "Sini, Tante olesin dulu jerawatnya," kata Shreya sembari duduk di samping Pricilla. Trak! Pricilla menepis tangan Shreya yang menyebabkan tube itu terlempar. Shreya mengikuti ke mana arah tube itu terlempar, kemudian tersenyum simpul. "Tadi Pak Joko sudah mengatakan semuanya sama Tante," ucap Shreya. "A-apa?" Pricilla terkejut, kemudian ia terbatuk men
Siang itu mobil Shreya sudah terparkir di luar gerbang sekolah Pricilla. Sembari menunggu sang putri, Shreya menghubungi Felix melalui sambungan vidio. "Mas, Aya mau ajak Cilla ke mall. Kita makan siang bareng, yuk!""Wah, dalam rangka apa?"Shreya tersenyum. "Sebetulnya Aya mau ajak Cilla ke dokter kulit, tapi Aya bikin janjinya nanti jam dua, jadi kita mau makan siang dulu sama belanja kebutuhan Nathan. Mas mau, ya?""Siapa takut! Kamu sharelock aja, oke?""Oke, Mas." Sambungan pun terputus seiring dengan senyum yang terus menghiasi wajah Shreya. Tidak berselang lama, Shreya melihat Pricilla yang baru saja ke luar gerbang. Namun, perhatian Shreya beralih kepada seonggok motor yang diyakini milik Dio. Sebelum Pricilla pergi dengan Dio, Shreya bergegas turun. "Halo, Sayang!" sapa Shreya membuat Pricilla terkejut. "Kok, Tante, sih, yang jemput?"Shreya tersenyum sembari menarik lengan Pricilla. "Yuk, ikut Tante!""Tapi ...,"Shreya tidak memberi waktu Pricilla untuk bicara. Ia mem
Langit tampak gelap sore itu. Angin berembus kencang diiringi dengan kilatan petir. Shreya yang sedang menyusui Nathan segera menutup gorden. Tidak berselang lama, bayi itu pun tertidur. Ponsel Shreya berdering pertanda satu panggilan masuk. "Halo, Dek," sapa Shreya saat tahu Jody yang menelepon. "Apa kabar?""Baik. Tapi, ada kabar buruk untuk Kakak.""Apa? Ibu dah Ayah sakit? Atau apa?!" Shreya mendengar Jody tertawa. "Apanya yang lucu?! Cepat katakan!""Kakak tenang dulu. Ini perkara putri tiri Kakak."Semula Shreya yang berdiri dekat box bayi, kini beralih duduk di tepi ranjang. Jody mengatakan jika Pricilla dekat dengan Cindy. Cindy, qadik dari Alexander. "Apa?!" Shreya benar-benar terkejut. "Maaf, aku baru ngabarin ini." Jody mengatakan jika dirinya tahu karena mengikuti Pricilla sampai ke bandara kemarin. Pun mencari tahu sejak kapan dan sedekat apa Pricilla dengan Cindy dari Dio. "Dio adik angkatnya Mbak Cindy, Kak. Jadi, auto mereka dekat."Shreya memijat keningnya. Embus
Satu bulan sudah berlalu. Setelah perdebatan itu sikap Shreya masih seperti biasanya. Ramah, perhatian, dan selalu mementingkan keluarga, terlebih kepada Pricilla. Seperti pagi itu, istri pemilik sebuah perusahaan ternama itu tetap sabar mengahadapi Pricilla walau gadis itu ketus terhadapnya. "Cari apa, Sayang?" "Ck! Kepo!"Shreya tersenyum. "Kalo Tante bisa bantu, kan, kamu bisa cepet sarapan, Nak.""Iket rambut!"Tidak kurang dari satu menit, Shreya menemukan benda itu."Ini apa?" Shreya mengacungkan ikat rambut itu. "Sini!" Pricilla menyambar, tetapi secepat kilat Shreya menjauhkannya."Duduklah, biar Tante bantu.""Gak! Sana, Tante keluar aja, ah!"Shreya tidak memedulikan apa kata Pricilla. Ia menuntun putrinya untuk duduk di kursi meja rias walau gadis itu sempat berontak. Shreya memulai dengan merias wajah Pricilla, tipis saja. Memoles pelembab bibir dan mengikat rambut. "Perfect! Jerawatnya sudah hilang, jadi tambah cantik, deh! Anak Tante!"Pricilla memutar bola matanya.
Sementara di kediaman Felix, ada Lorenza datang berkunjung. "Pada ke mana, Bi, kok, sepi?""Kalo gak salah denger, tadi Nyonya bilang ke klinik spa terus pulangnya ke kantor bapak, Bu.""Kantor Felix maksudnya?"Sang ART itu terkekeh-kekeh. Karena kemiripan Felix dengan mendiang suami Lorenza'lah membuat dirinya selalu menyapa Felix dengan sebutan bapak. "Iya, Bu, maksudnya Tuan Felix.""Ya, udah, tolong bawakan koper di mobil, ya?""Baik, Bu." Sang ART melenggang pergi. Lorenza hendak ke kamar yang biasa ia tempati saat berkunjung. Namun, langkahnya terhenti saat melihat kamar dekat tangga. "Bi, tunggu, Bi! Ke marilah!""Iya, ada apa, Bu?""Apa semua barang milik Debora masih ada di sana?""Masih, Bu. Bahkan Nyonya pernah masuk."Lorenza menghela napas, kemudian meminta kunci cadangan kamar itu. Pintu sudah terbuka lebar. Lekas majikan dan pembantu itu masuk. Lorenza memijat keningnya. Sungguh ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Felix. Entah sampai kapan putranya itu bisa melu
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan