"Jangan beritahu Sean kalau aku mengandung anaknya," pinta Princes penuh permohonan sambil mencekal pergelangan tangan Sean."Kenapa?" Raut wajah Ryley tampak sangat tidak setuju."Aku tidak mau dia terpaksa bertanggung jawab."Ryley mengesah. "Tapi Princes, dia harus tahu.""Tidak perlu, biarkan dulu aku tenang ... Sean juga masih bimbang dengan perasaannya ... aku tidak ingin Sean bertanggungjawab tapi hatinya masih mencintai Kanaya ...."Ryley melepaskan tangannya dari Princes, selain kecewa dia juga tidak mengerti kenapa Princes bisa berpikir seperti itu?Apa karena dia masih remaja dan pikirannya masih sederhana?"Lalu apa rencana kamu sekarang?" "Aku akan pulang ke Jerman." "Aku antar," kata Ryley.Entah kenapa dia merasa khawatir padahal seharusnya tidak perlu karena Princes tidak pernah membalas cintanya."Tidak usah, aku minta tolong ... jangan beritahu siapapun tentang ini, apalagi Sean ... aku juga tidak ingin mereka tahu kalau kita bertemu di sini ...." Princes beranja
Seekor kucing langsung melompat menerjang tubuh Princes begitu dia membuka pintu rumah."Princesa!" Princes berseru.Dia memeluk sambil mencium Princesa-kucing kesayangannya."Loh ... Kak Princes?" Shaquelle-adik bungsu Princes terkejut melihat sang kakak yang kuliah di Amerika kini berdiri di ambang pintu rumahnya."Hai Shaquelle." Princes menyapa sambil tersenyum.Detik berikutnya terdengar suara derap langkah berlari dari arah lantai dua."Princes?" Mama dan Papa bergumam kemudian menuruni anak tangga."Kamu sama siapa? Bukannya Eva masih ada ujian?" cecar Mama seraya mengeratkan nightrobe karena udara dingin masuk dari pintu yang masih terbuka.Rencananya memang Princes akan pulang bersama Evangeline menggunakan privat jet Daddynya Evangeline.Sang mama pasti mengetahui rencana itu dari mamanya Evangeline."Iya Ma, Princes pulang duluan ... Princes kangen sama Mama sama Papa," jawab Princes sambil menutup pintu.Begitu langkah Arjuna sampai di depan putrinya, kedua tangan pria yan
"Eh ... Sean, long time no see ya?" sapa Zyandru saat membuka pintu utama Penthouse. "Princes mana?" Sean langsung bertanya."Princes udah pulang," jawab Zyandru sekenanya.Cowok itu lantas membalikan badan dan mulai melangkah meninggalkan Sean di ambang pintu.Sean menahan pintu, dia maju selangkah lalu menutup pintu dan mengikuti Zyandru ke ruang televisi."Pulang? Pulang ke mana?" Sean bertanya lagi."Ke Jerman lah, rumahnya 'kan di Jerman." Zyandru menjawab, dia duduk di sofa—meraih stik PS dan melanjutkan permainannya.Sean tertegun sesaat, dia sedang berpikir keras kenapa Princes memblokir nomornya kemudian pulang ke Jerman tanpa memberitahunya.Sean pikir malam itu Princes sudah menjadi miliknya dan mereka resmi berpacaran.Memang Sean tidak pernah meminta Princes untuk menjadi kekasihnya secara langsung atau meresmikan hubungan mereka tapi sering kali Sean mengatakan kalau dirinya mencintai Princes dan menginginkan Princes menjadi miliknya seutuhnya.Menurut Sean itu sudah cu
Sudah dua hari Sean berusaha keras menghubungi papanya Princes namun tidak ada satu pun usaha pria itu yang membuahkan hasil.Mulai dari menghubungi nomor ponselnya secara langsung hingga melalui sekertarisnya namun Sean masih tidak bisa bicara dengan tuan Folke dan bertanya tentang Princes juga alasannya yang tiba-tiba memutuskan kontrak kerja yang tentunya merugikan beliau.Sean semakin curiga, pasti ada sesuatu yang terjadi yang tidak dia ketahui. Sean mengusap wajahnya frustrasi, dia kehabisan akal untuk menggapai Princes dan papanya."Ariana!" Sean berteriak dari ruangannya.Dia tidak mau repot-repot menggunakan intercom.Gadis cantik dengan rok span itu lari tergopoh-gopoh ke ruangan Sean."Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Ariana begitu tiba di depan meja Sean."Belikan saya tiket pesawat untuk malam ini ke Jerman," titah Sean."Tapi Tuan, masih ada jadwal deng—" "Reschedule untuk minggu depan, katakan pada mereka kalau saya harus ke Jerman dan berikan alasan lain yang m
Sean masih belum bisa mendapatkan alamat rumah Princes.Tapi tidak mematahkan semangat Sean untuk menemukan Princes.Apalagi setelah menghubungi para sepupu Princes dan sekarang Sean menyadari bahwa Princes sengaja menghindarinya.Princes tengah merajuk, mungkin Princes cemburu karena memang terakhir kali mereka bertemu, Princes melihat bunga yang sengaja Sean beli untuk Kanaya juga makanan kesukaan Kanaya.Pada saat itu Sean memang ingin menjenguk Kanaya, tidak ada maksud lain terhadap Kanaya.Justru maksud lain itu ia tujukan kepada Princes.Itu kenapa yang Sean ajak bercinta adalah Princes dan bukannya Kanaya.Oke kalau begitu, Sean akan menemui papanya Princes langsung di kantornya.Pagi sekali Sean sudah berada di Caffe yang letaknya tepat di depan kantor papanya Princes.Dia memesan kopi dan sarapan pagi berupa sebuah roti isi.Sean duduk menghadap dinding kaca sehingga dia bisa melihat dengan jelas loby depan kantor papanya Princes.Hari ini, dia harus bisa bertemu dan bicara
Belum pernah Sean merasa waktunya terbuang sia-sia seperti ini.Dia hanya berdiam diri sambil menatap gerbang luar gedung kantor papanya Princes.Bisa saja Sean bekerja menggunakan MacBook-nya tapi bagaimana bila tiba-tiba papanya Princes keluar dan luput dari pandangannya.Karena sekali pun pergi bertemu klien atau hanya makan siang di luar, Sean akan membututi tuan Folke untuk berjaga-jaga bila papanya Princes langsung pulang ke rumah, tidak kembali ke kantor lagi.Tapi sepertinya seharian ini tuan Folke tidak ke mana-mana.Mobilnya masih terparkir di depan loby.Sean sudah gelisah duduk di dalam mobil, dia sampai menahan lapar tidak keluar untuk mencari makan siang.Dan ketika malam tiba, Sean mulai curiga karena papanya Princes belum pulang juga.Satu persatu mobil karyawan keluar dari basement saat jam pulang kerja namun mobil papanya Princes yang parkir di depan loby masih belum bergerak.Hingga jam menunjukkan pukul sembilan malam, Sean tidak bisa menunggu lagi.Kecurigaannya t
Keesokan harinya setelah mendapat alamat rumah Princes, Sean langsung menuju ke sana.Pagi sekali, bahkan saat itu matahari belum muncul dan sebagian jalanan masih tertimbun salju belum dibersihkan oleh petugas.Sean diam di dalam mobil sambil mengamati rumah Princes, menunggu waktu yang tepat untuk mengetuk pintu rumah besar dengan halamannya yang luas itu.Ada banyak jendela yang lampunya menyala tapi ada juga yang mati.Entah yang mana tapi Sean yakin salah satunya adalah jendela kamar Princes.Dia sudah sangat dekat dengan Princes.Ada gemuruh di dadanya karena rindu.Saat sudah waktunya sarapan pagi, Sean melajukan kendaraannya pelan hingga gerbang depan.Lalu tiba-tiba pintu gerbang terbuka sendiri.Di depan teras, Sean melihat seorang wanita berpakaian pelayan berdiri.Sepertinya untuk menyambut Sean.Sean memberhentikan mobilnya tepat di depan teras, dia turun dari mobil menghampiri wanita pelayan."Saya Sean ... saya teman Princes, apa Princes ada?"Sean memperkenalkan diriny
Sean sudah kembali ke New York, beberapa hari dia mengawasi rumah tuan Folke tapi tak ada hasil.Banyak pekerjaan yang ditinggalkan di New York sangat membutuhkan perhatiannya.Dengan terpaksa Sean harus meninggalkan Jerman tapi dia berjanji akan kembali untuk menemukan Princes.Namun kesibukannya itu tidak membuat Sean sejenak bisa melupakan Princes.Dia malah semakin bingung, kesal dan marah yang entah harus dilampiaskan kepada siapa jadi seharian ini Sean uring-uringan di kantor.Beberapa kepala divisi dan Ariana mendapatkan pelampiasan amarah Sean.Sean sempat mengamuk di tengah rapat siang ini di mana semestinya kantor sudah libur musim dingin. Ketika senja tiba, Sean belum bisa beranjak dari kursi kebesarannya.Dia masih berkutat dengan angka pada layar komputer.Sampai akhirnya hari sudah gelap, dia baru berhasil menyelesaikan pekerjaannya.Detik berikutnya bayangan Princes muncul kembali membuat Sean ingin segera menemukan Princes.Sean melamun, dia berpikir banyak hal mengen
"Kamu saja yang datang ... ah, tidak ... aku saja ...." Kanaya berulang kali mengatakan hal tersebut sambil mondar-mandir di kamarnya yang luas.Ryley sudah terbiasa melihat pemandangan ini jadi dia hanya bisa meluruskan kakinya di sofa kemudian bersandar nyaman dengan kedua tangan di lipat di belakang kepala. "Ryley!" seru Kanaya menghentikan langkah."Yes Babe." Ryley menegakan punggung juga menurunkan kakinya."Bantu aku memikirkan apakah aku atau kamu yang datang ke Baby shower anaknya Princes? Atau kita tidak perlu datang saja sekalian?" Kanaya menghentakan kakinya kemudian duduk menyamping di atas pangkuan Ryley.Kedua tangannya melingkar di leher Ryley namun sayangnya wajah cantik itu terus memberengut. "Bagaimana kalau kita berdua datang ... kamu dan Princes adalah sepupu, kita sudah mendapat kebahagiaan kita sendiri ... kamu tidak perlu cemburu lagi dengan Princes dan aku juga tidak akan mengungkit masa lalu kamu dengan Sean."Tentu saja Ryley bisa dengan mudah mengatakan
Kanaya memang tega, tanpa perasaan melarang Ryley untuk mengundang Princes ke pesta pernikahan mereka yang dirayakan di New York."Bagaimana aku mengatakannya kepada Sean, Babe?" Ryley mengesah, dia stress karena tidak berhasil membujuk Kanaya, meluluhkan hatinya selama seminggu ini."Kamu tinggal mengatakan kalau Sean boleh datang tapi istrinya tidak," jawab Kanaya santai tanpa beban.Kanaya sedang memoles blushon di pipinya.Hari ini mereka akan pergi memilih kue dan mencicipi catering untuk pesta pernikahan yang akan berlangsung dua minggu lagi."Dia sepupumu." Ryley mengingatkan."Betul, dan dia merebut priaku." Kanaya mengarahkan ujung blushon pada Ryley yang duduk di kursi di bagian kaki ranjang.Ryley mengesah panjang. "Aku tidak tega mengatakannya kepada Sean... Princes pasti akan sakit hati...." Ryley menggantung kalimatnya."Memangnya kamu belum bisa melupakan Sean?" tanya Ryley hati-hati tidak ingin si ibu hamil dengan hormon yang membuat mood berubah-ubah itu mengamuk."
Perut buncit Princes menjadi daya tarik sendiri bagi Sean, dia suka sekali mengusap perut Princes dan menurutnya dengan kehamilan itu—Princes tampak berkali-kali lipat lebih seksi.Selama resepsi berlangsung, Sean mati-matian menahan gairahnya.Dan akhirnya sekarang dia bisa berdua saja dengan Princes melewati malam pertama setelah mereka resmi menjadi suami istri."Aku bantu," ujar Sean menahan tangan Princes yang tengah membuka sleting di belakang punggung.Princes mengumpulkan rambutnya di pundak agar Sean mudah membuka sleting.Perlahan tangan pria itu menurunkan resleting lalu menarik bagian atas gaun ke bawah namun tertahan di pinggang karena perut Princes yang besar.Princes harus menggunakan kedua tangan dan menggoyangkan sedikit bokong agar bisa menurunkan gaun itu melewati perutnya."Bisa?" tanya Sean perhatian."Bisa ...." Princes menjawab setelah berhasil melepas gaun menyisakan camisol sebagai dalaman.Dia membalikan badan mengajadap Sean."Aku bantu buka kemejanya ya?""
Princes seringkali menonton film di Netflix yang menceritakan tentang hubungan calon mempelai pengantin yang sering kali tidak sependapat ketika mempersiapkan pernikahan sampai berujung dibatalkannya pernikahan tersebut.Awalnya ketika Sean mengatakan dia mengambil cuti untuk membantu mempersiapkan pesta pernikahan—jujur, Princes khawatir kalau kisahnya dan Sean akan berakhir seperti film di Netflix.Tapi nyatanya yang terjadi pada Princes, mempersiapkan pernikahan bersama orang dicintai menjadi pengalaman paling seru dan menarik.Karena Sean selalu mendukung keinginan Princes tapi terkadang dia juga memberikan masukan yang tidak mendapat penolakan dari Princes.Malah selisih paham terjadi antara Princes dengan ayahnya, tapi Papa Juna segera mengalah.Shamika Princes benar-benar menjadi seorang Princes yang keinginannya selalu diikuti oleh Raja dan Ratu juga semua orang.Dan hari yang dinanti-nanti oleh Princes juga Sean telah tiba.Princes dan Sean tentu menjadi orang paling bahagia
Hari pernikahan semestinya menjadi hari yang paling bahagia bagi pasangan pengantin tapi tidak dengan Kanaya yang sejak pagi buta mengalami morningsick hingga siang hari bahkan berlanjut di malam hari saat acara resepsi berlangsung.Dia juga mengusir MUA yang hendak mendandaninya tanpa alasan.Entah kenapa Kanaya tidak menyukai wajah MUA dan asistennya jadi dia tidak mau didandani oleh wanita itu.Akhirnya pihak Wedding Organizer harus mencari MUA pengganti detik itu juga.Kanaya lebih menyukai terbaring di atas ranjang di dalam kamar hanya menggunakan camisol panjang dan mengusir semua orang yang masuk ke dalam kamar termasuk ayah dan bunda.Kanaya belum siap menghadapi ayah.Menghadapi bunda saja tadi malam yang tidak sengaja mengetahui kehamilannya membuat dia kesulitan untuk terlelap dan tidak berhenti mual muntah karena stress.Sekalinya acara besar itu dimulai, Kanaya tidak mau di foto, padahal momen ini adalah momennya yang mengharuskan dirinya mendapatkan banyak dokumentasi.
"Jaga diri ya, aku pulang."Sean mengusap kepala Princes, mengecup keningnya lalu berlutut mengecup perut Princes di mana ada anaknya yang sedang berjuang hidup di dalam sana."Hati-hati ya Sean, aku tunggu bulan depan di pesta pernikahan kita." Princes memeluk Sean setelah pria itu bangkit berdiri."Minggu depan aku datang." Sean memberitahu kalau Princes tidak perlu menunggu hingga bulan depan untuk bertemu dengannya.Karena dia juga kesulitan menghabiskan weekend tanpa Princes."Jangaaaan, kamu ke sini lagi bulan depan aja ... ketika kita akan menikah." Princes mendongak dan dia mendapat kecupan di kening dari Sean."Aku enggak tahu mau ngapain weekend nanti, sayang.""Kita bisa video Call seharian ...." Princes memberi ide."Kita akan menikah Sean, kita akan hidup selamanya ... jadi aku minta beberapa minggu sebelum pernikahan kita—kamu pikirkan kembali tentang ini ... bukan hanya kamu tapi juga aku ...." Raut wajah Sean berubah tegang mendengar ucapan Princes.Jangan bilang kala
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Kanaya menggeram tertahan, matanya juga melotot menatap Ryley."Menjemput tunanganku." Ryley menjawab dengan santai."Aku bisa pulang sendiri." Kanaya mendorong dada Ryley agar menyingkir dari jalannya."Ayolah Babe, jangan mengusirku ... aku ayah dari anak yang ada di rahimmu."Kanaya menghentikan langkah kemudian membalikan badan."Ssssttt!" Dia mendesis sambil menempelkan telunjuknya di bibir.Matanya menatap nyalang Ryley yang malah cengengesan membuatnya dua kali lipat lebih kesal.Sungguh sangat menyebalkan."Sekalian saja kamu umumkan di media cetak kalau aku hamil anak kamu." Kanaya bersarkasme."Ide bagus, aku akan suruh sekertarisku me—""Ryley!!" Jeritan Kanaya menghentikan jemari Ryley yang hendak menghubungi sekertarisnya."Yes baby." Ryley mendekat, mengangkat kedua tangan untuk memeluk Kanaya.Kanaya menghela tangan Ryley kasar, dia membalikan badan dan kembali melangkah."Apa kamu mual muntah tadi pagi?" Ryley bertanya lagi sambil meran
"Sean ...." Princes beranjak dari kursi, bibirnya tersenyum lebar dan matanya juga berbinar.Princes langsung memburu Sean yang tengah berjalan mendekat bersama keluarganya kemudian memeluk pria itu erat."Aku kangen, anak kita juga." Princes mengurai pelukan kemudian mengusap perutnya.Sean berlutut dengan satu kaki dia mengecup perut Princes setelah mengusapnya lembut.Dan semua itu tertangkap jelas oleh indra penglihatan Papa Juna.Ada cemburu yang menyelinap namun tidak bisa ia pungkiri kalau hatinya menghangat melihat kebahagiaan di wajah Princes ketika bertemu Sean.Sekeras apapun Papa mencari alasan untuk tidak merelakan Princes bersama Sean namun selalu menemukan jalan buntu.Papa selalu luluh dengan kenyataan kalau putrinya bahagia bersama Sean.Satu persatu keluarga Sean memperkenalkan diri.Papa sudah pernah bertemu beberapa kali dengan tuan Maverick-daddynya Sean.Papa Juna menghargai kedatangan beliau dan menyambut dengan ramah.Mama bersalaman dengan Mommy Jeniffer, mere
"Aku tidak ingin Mom bersedih bertemu dengan Dad," kata Sean sambil menggenggam tangan Mom Jeniffer. Mom malah terkekeh, beliau balas menggenggam tangan Sean dan melingkupinya dengan tangan yang lain. "Tadinya justru Mom senang akan bertemu istri papamu, Mom selalu tenang setiap kali bertemu dan berbincang dengannya ... tapi kamu bilang Laura tidak ikut ke Jerman, Mom jadi sedih." Mom mengesah. "Mom ... aku yang mengatakan kepada Kenzo agar aunty Laura tidak perlu datang, selain aku tidak ingin menyakiti Mom ... aku juga tidak ingin kedua orang tua Princes berpikir yang tidak-tidak." "Baiklah, kamu atur saja ... kamu sudah dewasa." Tapi Mom mengulurkan tangannya mengusap kepala Sean di depan banyak orang di ruang tunggu Bandara. Sean mengangguk-anggukan kepala dan saat dia menoleh ke samping, dia mendapati sosok sang ayah sedang berjalan mendekat diikuti adik tirinya. Sean beranjak berdiri. "Dad," sapanya dengan mata merah dan dada bergemuruh haru. Ada rindu yang mendesa