Dina pergi ke bank yang berbeda untuk menyetorkan uang senilai dua puluh juta dalam dompet yang ia temukan. Wanita itu tidak mau aksinya ketahuan jika menyetorkan uang di bank dekat rumahnya. Setidaknya Dina menganggap aksinya tidak akan ketahuan. Tidak lupa wanita itu merogoh semua isi dompet. Di dalamnya ada dua kartu debet dan dua kartu kredit, ktp serta kertas kecil bertuliskan nomor pin dari masing-masing kartu. Dina gelap mata. Dia mengambil semua kartu itu, menarik isi dari dua kartu kredit serta menyimpan dua kartu debet. Dia tidak akan menarik semuanya hari ini. "Sayang banget dompet branded seperti ini harus aku buang. Padahal dompet ini bagus kalau dibawa pulang." Dina yang masih duduk di teras bank menimang-nimang dompet ditangannya. Dia memutuskan memasukan dompet itu ke tas. Taksi online yang tadi mengantarnya masih menunggu. Dina membuang kartu kredit yang sudah ia ambil isinya lalu masuk ke mobil. Sesampainya di rumah, Dina masuk ke kamar. Hari ini dia sengaja cut
Suara di dapur terdengar nyaring karena Tiara tengah memasak untuk makan siangnya dan anak-anak. Sang suami yang bernama Rian, tengah dinas ke kantor pusat yang ada di Jakarta. Meninggalkan Tiara bersama tiga anak mereka yang masih kecil. Sudah satu minggu berlalu sejak Rian pergi. Suaminya tidak pernah menelepon. Hanya membalas pesan jika Tiara yang mengirim pesan lebih dulu.Suara bel yang berbunyi nyaring membuat Tiara segera mematikan kompor. Kebetulan masakannya sudah matang. Tinggal menyajikan di meja makan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Dia berjalan melewati kedua anaknya yang tengah bermain di ruang tengah. Sedang si sulung masih berada di sekolah.Rambut panjangnya yang dikuncir asal ke belakang sedikit berantakan. Tiara mencuci tangan lalu mengusapnya asal pada daster yang sudah lusuh. Ia berjalan menuju pintu depan. “Tunggu sebentar.”Pintu perlahan terbuka menampilkan Rian yang sudah pulang. Senyum Tiara mengembang, hendak menyalami tangan suaminya. Namu
Mata Tiara membulat. Ia tidak menyangka Rian akan mengatakan hal itu. Setelah selama ini sang suami bersikap acuh pada anak mereka. Tiara berkata, “Hak asuh anak di bawah umur pasti jatuh pada pihak ibu. Aku yang akan memenangkan hak asuh setelah kita berpisah.”Bibir Rian sedikit terangkat. Tersenyum sinis menatap istri yang dulu sangat ia cintai. Rian melipat tangannya di dada. Bersandar ke pintu yang sudah diketuk anak-anak mereka. Terus memanggil Tiara.“Ibu buka pintunya. Aku takut,” kata anak keduanya.“Ibuuuu,” teriak si bungsu.Tiara merangsek maju hendak membuka pintu. Rian menahan tangannya. Pria itu mendorong Tiara hingga terjepit diantara dinding dan tubuhnya. Tangan Rian mencengkram bahu Tiara hingga membuat sang istri meringis kesakitan. Namun Rian tidak melepaskannya. Dia menatap tajam Tiara.“Aku juga bisa mendapat hak asuh anak-anak karena bekerja dan punya penghasilan besar. Tidak seperti kau yang hanya ibu rumah tangga. Jika kita berpisah dengan membawa anak-anak pe
Tiara membeku. Kejadian yang berlalu sangat cepat membuat Tiara tidak bisa berpikir. Tiba-tiba Rian menamparnya lalu menuduh sudah mengadu pada ibu mertuanya. Tiara tidak senekat itu karena mengetahui kondisi kesehatan ibu mertuanya. Karena Tiara juga sudah menganggap ibu Rian sebagai ibu kandungnya sendiri.“Aku tidak pernah mengadu pada Ibu kalau kau akan menikah dengan Dina.” Tiara menatap Rian marah. Dia tidak gentar sama sekali dengan kemarahan sang suami.“Jangan bohong. Dina sampai stres karena makian Ibu. Selain itu, kamu juga tidak memikirkan kondisi Ibu saat memberi tahu hubunganku dan Dina.” Rian mencengkram bahu Tiara semakin erat. Wanita itu berusaha menahan erangan sakitnya.Dia memilih bertahan menerima perlakuan buruk ini, untuk mendapat bukti kekerasan fisik yang sudah dilakukan sang suami. Meski hatinya terasa sangat sakit, Tiara berusaha tegar. Matanya balas menatap tajam. “Aku berkata jujur. Kalau kau tidak percaya periksa saja ponselku. Buka semuanya. Mulai dari W
Tiara menggeleng. Dia berlutut lalu mengumpulkan semua bukti yang berserakan. Dadanya berdebar penuh ketakutan. ‘Bagaimana kalau Anggrek juga percaya wanita di foto ini adalah aku?’ batinnya bergejolak.Dia tidak mau jika anak sulungnya ikut membenci Tiara tanpa mengkonfirmasi dulu kebenarannya. Seperti yang dilakukan Rian. Tubuhnya kaku saat Anggrek ikut berjongkok. Mengambil salah satu foto dan memperhatikannya dengan seksama. Tiara terlalu takut untuk menatap anaknya. Dia masih berada di posisi semula. Saat Anggrek berdiri, Tiara juga berdiri. Keheningan yang aneh melingkupi kamar. Wanita itu tidak berani bicara. Ia menghela nafas berulang kali. Mengumpulkan kekuatan agar bisa menjelaskan semuanya pada si sulung.“Ibu bisa jelaskan sayang.” Tangannya mengusap bahu Anggrek.Anggrek masih diam. Dia justru memperhatikan tangan Tiara. Rasanya dia ingin pergi saat ini juga, tetapi Tiara terus menguatkan hatinya agar bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Anggrek. Tiara juga takut jika
Tiara menggeleng. Dia menyembunyikan getar tangannya dibalik punggung. “Tidak. Bagaimana aku bisa masuk jika kamar selalu kau kunci?”“Jangan bohong. Tadi pagi aku meninggalkan ponsel di kamar. Karena terburu-buru aku tidak sempat mengambilnya dan lupa mengunci pintu. Siapa lagi yang akan mengambil ponsel itu selain kamu.”“Kalau tidak percaya periksa saja kamar ini. Geledah semuanya.” Tantang Tiara seolah tidak ada ponsel Rian yang ia sembunyikan.Rian mendengkus kesal. Berjalan ke tempat tidur. Meraba setiap inci seprai. Memeriksa bantal dan guling. Membuka semua laci lalu kembali ke hadapan Tiara. “Minggir.”Pria itu membuka lemari kanan. Memeriksa semua pakain Tiara yang tergantung. Lalu memeriksa pintu kiri. Mengeluarkan semua pakaian Tiara yang sudah terlipat rapi. Tiara hanya bisa menghela nafas. Mengambil semua pakaiannya lalu meletakan di tempat tidur. Saat berbalik, Tiara melihat Rian jongkok. Tubuh suaminya seperti mematung dengan pandangan tertuju pada kotak berisi foto pe
Tiara menutup matanya. Air mata mengalir dari sela-sela jari. Dia tidak bisa lagi menahan tangis yang menyesakan dada. Masih terdengar suara Rian di kamar yang bicara dengan lembut untuk Dina. Berbeda saat pria itu bicara dengan Tiara dan anak-anak mereka. Datar dan dingin. Seolah mereka adalah orang asing untuk Rian.“Kamu pengertian sekali sayang. Padahal Ibu pernah berkata buruk padamu, tetapi kamu masih memikirkan kesehatan Ibu. Kamu benar. Aku harus memikirkan cara yang tepat agar tidak membuat penyakit jantung Ibu semakin buruk. Beliau pasti sangat terkejut kalau aku memberi tahu Tiara sudah selingkuh dengan pria lain.” Rian kembali bicara tentang ibunya.Ibu mertua Tiara divonis mengidap penyakit jantung lima tahun lalu. Seluruh keluarga kompak menjaganya agar penyakit ibunya Rian tidak kambuh. Termasuk tidak memberi tahu berita buruk yang terjadi. Karena itulah Rian selalu berpura-pura mesra dihadapan orang tuanya. Agar ibu mertua Tiara tidak curiga ada masalah di rumah tangga
Tiara hanya tersenyum. Ternyata Rian tidak berani membuktikan semua tuduhan Dina padanya. Mulai dari tuduhan Dina kalau dia sudah mengadu pada ibu mertua sampai tuduhan Dina tentang foto-foto tidak senonoh dengan wajahnya.“Walau tanpa dirimu, aku akan membuktikannya sendiri Mas.” Tiara keluar dari kamar sambil menyimpan semua foto yang Rian kirim ke G****e Drive lalu membalas pesan Rian.[Kalian memang pengecut karena tidak mau membuktikan semua tuduhan Dina padaku. Oh iya, selamat untuk pernikahan kalian yang akan datang. Aku akan membuktikan jika aku bukan barang bekas. Walau Dina itu barang baru, tetap saja murahan. Mana ada wanita berkelas yang menjadi pacar suami orang? Kalian berdua adalah pasangan yang cocok. Pengecut dan murahan.]Tiara memasukan ponselnya ke saku. Dia harus menjaga Nana yang bermain sendiri di ruang tengah. Pekerjaan rumah sudah selesai. Tiara duduk di sofa membuat bab baru untuk novel online. Sembari mengawasi Nana yang bermain boneka barbie. TV yang menyala
Dina pergi ke bank yang berbeda untuk menyetorkan uang senilai dua puluh juta dalam dompet yang ia temukan. Wanita itu tidak mau aksinya ketahuan jika menyetorkan uang di bank dekat rumahnya. Setidaknya Dina menganggap aksinya tidak akan ketahuan. Tidak lupa wanita itu merogoh semua isi dompet. Di dalamnya ada dua kartu debet dan dua kartu kredit, ktp serta kertas kecil bertuliskan nomor pin dari masing-masing kartu. Dina gelap mata. Dia mengambil semua kartu itu, menarik isi dari dua kartu kredit serta menyimpan dua kartu debet. Dia tidak akan menarik semuanya hari ini. "Sayang banget dompet branded seperti ini harus aku buang. Padahal dompet ini bagus kalau dibawa pulang." Dina yang masih duduk di teras bank menimang-nimang dompet ditangannya. Dia memutuskan memasukan dompet itu ke tas. Taksi online yang tadi mengantarnya masih menunggu. Dina membuang kartu kredit yang sudah ia ambil isinya lalu masuk ke mobil. Sesampainya di rumah, Dina masuk ke kamar. Hari ini dia sengaja cut
Informasi dari Bu Mirna membuat Tiara sangat terkejut. Dia tidak menyangka jika konglomerat seperti Pak Hermawaan punya rencana sejahat itu. "Untung saja Rian sudah mengajukan resign dua hari lalu. Walau kita tidak tahu apa yang akan terjadi sebulan ke depan. Bisa saja Pak Hermawan melakukan hal nekat karena rencananya berantakan."Bu Mirna menghela nafas khawatir. Begitu juga Tiara."Kita hanya bisa berharap jika Mas Rian selalu dalam lindungan Allah Bu." Tiara mencoba berpikir positif. Walau dia tidak panik, setidaknya Tiara ingin menenangkan sang mertua.Pagi hari berjalan seperti biasa. Setelah salat subuh, Rian dan Pak Joko kembali sibuk di ruang kerja. Tiara dan Bu Mirna berbagi tugas. Jam setengah tujuh pagi mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Rian duduk dengan wajah cerah."Bagaimana pekerjaan kalian?" tanya Bu Mirna mengulang pertanyaan yang sama setiap pagi."Alhamdulillah sudah selesai Bu," jawab Rian sumringah."Alhamdulillah," seru Bu Mirna dan Tiada bers
Kabar pernikahan Rian dan Dina sudah menjadi bahan gosip yang seru untuk dibahas para tetangga. Meskipun mereka tidak mengatakan apapun saat anak-anak atau orang tua Rian lewat. Namun begitu mereka tidak terlihat lagi para tetangga akan kembali bergunjing. Tiara juga memilih diam di rumah. Bu Mirna sempura melarangnya keluar rumah. Karena Tiara juga tidak tergabung dalam grup yasinan RT, dia tidak perlu merasa terbebani. Justru dengan terus berada di rumah, Tiara bisa produktif menulis novel. Dalam waktu tiga hari dia bisa menyelesaikan dua puluh bab. Rian yang baru lembur di ruang kerjanya masuk ke kamar. Wajah pria itu tampak kuyu. Entah apa yang terjadi dua hari lalu saat Rian dan Pak Joko bisa mengganti rugi uang korupsi yang diambil Rian. Malam harinya mereka menghabiskan waktu di ruang kerja. Keesokan harinya Bu Mirna menanyakan apa yang terjadi sampai mereka tidak keluar dari ruang kerja Rian. Pak Joko hanya menjawab singkat untuk pertanyaan istrinya. "Rian sudah bebas. Ad
"Karena kamu sudah sadar maka ada hal yang perlu kamu ketahui Mas." Tiara justru mengatakan hal lain. Diluar keinginan Rian."Apa maksudmu Ra?""Biar Ayah dan Ibu yang menjelaskan. Aku panggil mereka dulu." Tiara bangkit lalu berjalan menuju lantai dua. Meninggalkan Rian seorang diri di dapur.Tiara menjelaskan apa yang terjadi pada mertuanya. Hanya Pak Joko yang turun ke bawah karena Bu Mirna ingin menjaga Lily dan Nana. Anggrek masih sibuk di belajar di kamar. Mereka melanjutkan percakapan di ruang makan."Sebenarnya Ayah sudah tahu kalau kamu terlibat korupsi dari teman Ayah." Teman Pak Joko yang dinaksud pernah menjabat sebagai atasan Rian.Mata pria itu terbelalak kaget. Tidak percaya mendengar pengakuan Pak Joko. "Jadi Ayah sudah tahu?" tanya Rian memastikan. Pak Joko mengangguk."Lalu kenapa Ayah tidak membantuku sejak kemarin? Ada orang yang dijebak untuk menggantikanku. Aku--aku." Rian menggaruk rambutnya bingung."Karena kamu sangat tergila-gila dengan Dina. Percuma memberi
"Tiara," seru Rian kaget. Bara juga menatapnya heran. Setengah jam dia menunggu, tapi wanita itu tidak membukakan pintu. Namun saat Rian yang pulang, Tiara langsung keluar. "Kenapa kaget? Aku hanya mau membuang sampah." Tiara memasukan plastik hitam ke tempat sampah besar yang ada didepan pagar. "Nggak kok. Aku bicara sebengar dengan teman kantor ya. Kamu masuk dulu." "Oke," jawab Tiara tak acuh. Dia pura-pura tidak perduli saat kedua pria itu terus menatapnya. Apalagi Bara yang tidak berkedip menyaksikan mantan pacarnya. Jika tidak ada Rian, rasanya Bara ingin menarik tangan Tiara sekarang juga. Rian melirik sang istri yang akhirnya menutup pagar tinggi mereka. Pandangannya beralih pada Bara yang menatap istrinya tanpa berkedip. Entah kenapa Rian tidak suka cara Bara menatap istrinya. “Jadi hanya itu yang ingin kau bicarakan sampai menunggu di depan gerbang rumahku,” kata Rian tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Dia sudah lelah berhadapan dengan Pak Hermawan. Mendengar fa
Bibir Tiara terasa kering. Dia tidak tahu harus bagaimana merespon pertanyaan si sulung. Meski Anggrek tidak terlihat sedih sama sekali, tapi Tiara takut jika jawabannya akan semakin membuat Anggrek terluka. Salahnya juga yang lupa mengantisipasi hal ini. Anak-anaknya masih berbaur dengan para tetangga karena setiap sore pergi mengaji di masjid. "Ibu jangan sedih. Aku juga tidak sedih mendengar Ayah menikah lagi. Berarti kita bisa pergi dari Ayah dan Ibu tidak perlu menangis lagi." Anggrek memeluk sang ibu erat. Pelukan yang terasa hangat. Tiara balas memeluk putrinya. "Maaf Ibu menyembunyikan hal ini dari kalian. Seharusnya Ibu mencoba bicara pada kalian pelan-pelan." Tiara mencium kerudung Anggrek yang wangi dengan aroma parfum. "Tidak masalah Bu." Anggrek melepas pelukan mereka. "Lily dan Nana tidak tahu masalah ini. Tetangga yang aku temui hanya bicara denganku." "Alhamdulillah." Mereka duduk di tempat tidur sambil bersandar ke dinding. "Apa Ayah berzina Bu?" Sekali lagi T
Rian seperti baru bangun dari tidur yang panjang. Dia melihat sisi tempat tidur dimana seharusnya Dina berbaring kosong. Sinar matahari menembus korden jendela. Dia duduk sambil mengucek matanya "Apa yang terjadi kemarin?" gumamnya bingung. Ingatan terakhir Rian adalah saat dia bicara dengan Dina di taman samping rumah. Ia minum air yang dibawakan Dina. Rian berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin. Namun kepalanya mendadak pusing. "Kenapa aku tiba-tiba mengantuk?" Ia teringat perkataannya sendiri. "Kalau begitu ayo kita istirahat di kamar Mas." Dina menariknya agar berdiri. Dengan langkah tertatih, mereka masuk rumah. Rian melihat Dukun Deri duduk di sofa ruang tengah bersama orang tua Dina. Mereka berbincang akrab. "Apakah Rian tidak akan mengingat apapun?" Suara bapak Dina bertanya. "Tentu saja. Kita mempertahankannya sebagai tameng. Toh tidak ada lagi yang bisa diambil dari pria itu " Rian terlonjak kaget saat pintu kamar terbuka. Ingatannya tentang kejadian kemasin bu
Rian mengepalkan tangannya kesal. Dia tidak terima Dina yang sudah sah menjadi istri keduanya berlaku kemudian. Dengan emosi yang memuncak, Dima hendak mengetuk jendela saat Dina sudah berhenti berfoto. Ada pesan masuk yang segera wanita itu angkat. Tanpa melihat Rian yang berada dibalik jendela, Dina masuk ke kamar mandi.“Siapa yang menelpon Dina?” Rian meraup wajahnya kasar. Dia tidak menyangka akan mendapati sang istri berkelakuan aneh seperti itu.Rasa sesal menyelimuti hatinya. Wajah teduh Tiara dan tangisannya silih berganti memenuhi pikiran Rian. Betapa pria itu sudah menyesal menduakan wanita yang menemani perjuangannya. Wanita yang sangat disayang orang tuanya yang selektif dalam memilih pasangan.Ia terduduk di kursi taman. Hijaunya tanaman tidak bisa menutupi kegundahan hati Rian. Meski sudah mengetahui sedikit sikap Dina yang sebenarnya, entah kenapa hati kecil Rian tidak bisa melepaskan wanita itu. Seolah ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka agar tidak bisa berpi
Lia masuk ke ruangan Rian. Mengamati bosnya dan teman mereka dengan seksama. Matanya melirik ponsel Dina yang ada di meja Rian. Dia bisa mengamatinya dengan mudah karena sekarang mereka duduk di sofa. Ia berusaha fokus mendengar penjelasan Rian. Rasa penasarannya tidak boleh menurunkan performa kerjanya.Jam sepuluh pagi mereka bertiga turun bersama beberapa karyawan dari divisi lain. Mereka akan naik bus yang sudah disediakan perusahaan. Karena ada sepuluh karyawan yang berangkat. Seperti biasa, Rian bergabung dengan dua manajer yang ikut bersamanya. Dina duduk bersama karyawan lain di kursi belakang Rian. Sedangkan Lia memilih duduk di kursi panjang paling belakang.Menceritakan penemuan yang ia lihat tadi. Ditambah Rian dan Dina memasukan barang yang bukan ponsel mereka ke tas masing-masing. Kursi paling belakang tidak hanya ramai dengan cerita empatg orang. Bahkan karyawan yang duduk di kursi depan juga tertarik untuk mendengar.“Jadi Dina tidak selingkuh dengan Pak Hermawan, tapi