Tiara masuk ke kamar saat jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Rian sudah pergi ke kantor. Anggrek dijemput bus sekolah dan ia juga sudah mengantar Lily. Tiara baru saja menjemput anak keduanya dari sekolah. Ia mencantolkan jaket dan meletakan ponselnya di tempat tidur. Teringat dengan cerita Rian. Seharusnya hati Tiara masih membeku. Namun kenapa saat Rian minta ijin tadi, Tiara merasa tidak rela? Wanita itu menggeleng. Dia tidak ingin hatinya kembali mencair dan dibodohi seperti dulu. Tiara sudah mantap untuk bercerai. Dering ponselnya di tempat tidur mengalihkan perhatian. Sambil merebahkan tubuh, Tiara membaca pesan yang masuk. Ternyata dari adik madunya. [Pasti kamukan Mbak yang sudah menyarankan Mas Rian untuk memilih dua gaun ini?] Dina juga menyertakan dua baju pengantin yang akan dipakainya untuk resepsi pesta pernikahan. Wanita itu terkikik. Walaupun bukan Tiara yang menyarankan ketiga baju pengantin yang akan dikapai Dina, tapi dia tahu siapa pelakunya. Bu Mi
Dina bergaya di depan cermin. Disaat Tiara masih menikmati waktu dengan Rian di rumah mereka. Hari ini dia senang sekali bisa pergi dengan Rian setelah sekian lama bersembunyi. Dina juga tidak perlu takut ada yang memergoki mereka karena statusnya yang sudah sah jadi istri siri Rian. Apalagi mereka akan meresmikan pernikahan secara sah dimata hukum.Wanita itu tidak mengetahui jika besok adalah hari terakhir Rian bekerja. Berkat bantuan Aurel tidak ada satu orangpun yang tahu tentang alasan pengunduruan diri Rian dan Dian. Itu berarti Dina akan bekerja beberapa hari tanpa Rian.Jam sembilan pagi, terdengar mobil yang berhenti di depan rumahnya. Dina memasukan ponsel dan dompet ke tas lalu berjalan keluar. Dia memakai kemeja kerja dan rok selutut seperti biasa. Karena setelah dari butik mereka akan langsung pergi ke kantor untuk bekerja.Sebelum keluar, Dina mengintip dari jendela. Dia hanya ingin berjaga-jaga jika Dukun Deri atau Pak Hermawan yang datang. Memang benar jika mobil Rian
Suara di dapur terdengar nyaring karena Tiara tengah memasak untuk makan siangnya dan anak-anak. Sang suami yang bernama Rian, tengah dinas ke kantor pusat yang ada di Jakarta. Meninggalkan Tiara bersama tiga anak mereka yang masih kecil. Sudah satu minggu berlalu sejak Rian pergi. Suaminya tidak pernah menelepon. Hanya membalas pesan jika Tiara yang mengirim pesan lebih dulu.Suara bel yang berbunyi nyaring membuat Tiara segera mematikan kompor. Kebetulan masakannya sudah matang. Tinggal menyajikan di meja makan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Dia berjalan melewati kedua anaknya yang tengah bermain di ruang tengah. Sedang si sulung masih berada di sekolah.Rambut panjangnya yang dikuncir asal ke belakang sedikit berantakan. Tiara mencuci tangan lalu mengusapnya asal pada daster yang sudah lusuh. Ia berjalan menuju pintu depan. “Tunggu sebentar.”Pintu perlahan terbuka menampilkan Rian yang sudah pulang. Senyum Tiara mengembang, hendak menyalami tangan suaminya. Namu
Mata Tiara membulat. Ia tidak menyangka Rian akan mengatakan hal itu. Setelah selama ini sang suami bersikap acuh pada anak mereka. Tiara berkata, “Hak asuh anak di bawah umur pasti jatuh pada pihak ibu. Aku yang akan memenangkan hak asuh setelah kita berpisah.”Bibir Rian sedikit terangkat. Tersenyum sinis menatap istri yang dulu sangat ia cintai. Rian melipat tangannya di dada. Bersandar ke pintu yang sudah diketuk anak-anak mereka. Terus memanggil Tiara.“Ibu buka pintunya. Aku takut,” kata anak keduanya.“Ibuuuu,” teriak si bungsu.Tiara merangsek maju hendak membuka pintu. Rian menahan tangannya. Pria itu mendorong Tiara hingga terjepit diantara dinding dan tubuhnya. Tangan Rian mencengkram bahu Tiara hingga membuat sang istri meringis kesakitan. Namun Rian tidak melepaskannya. Dia menatap tajam Tiara.“Aku juga bisa mendapat hak asuh anak-anak karena bekerja dan punya penghasilan besar. Tidak seperti kau yang hanya ibu rumah tangga. Jika kita berpisah dengan membawa anak-anak pe
Tiara membeku. Kejadian yang berlalu sangat cepat membuat Tiara tidak bisa berpikir. Tiba-tiba Rian menamparnya lalu menuduh sudah mengadu pada ibu mertuanya. Tiara tidak senekat itu karena mengetahui kondisi kesehatan ibu mertuanya. Karena Tiara juga sudah menganggap ibu Rian sebagai ibu kandungnya sendiri.“Aku tidak pernah mengadu pada Ibu kalau kau akan menikah dengan Dina.” Tiara menatap Rian marah. Dia tidak gentar sama sekali dengan kemarahan sang suami.“Jangan bohong. Dina sampai stres karena makian Ibu. Selain itu, kamu juga tidak memikirkan kondisi Ibu saat memberi tahu hubunganku dan Dina.” Rian mencengkram bahu Tiara semakin erat. Wanita itu berusaha menahan erangan sakitnya.Dia memilih bertahan menerima perlakuan buruk ini, untuk mendapat bukti kekerasan fisik yang sudah dilakukan sang suami. Meski hatinya terasa sangat sakit, Tiara berusaha tegar. Matanya balas menatap tajam. “Aku berkata jujur. Kalau kau tidak percaya periksa saja ponselku. Buka semuanya. Mulai dari W
Tiara menggeleng. Dia berlutut lalu mengumpulkan semua bukti yang berserakan. Dadanya berdebar penuh ketakutan. ‘Bagaimana kalau Anggrek juga percaya wanita di foto ini adalah aku?’ batinnya bergejolak.Dia tidak mau jika anak sulungnya ikut membenci Tiara tanpa mengkonfirmasi dulu kebenarannya. Seperti yang dilakukan Rian. Tubuhnya kaku saat Anggrek ikut berjongkok. Mengambil salah satu foto dan memperhatikannya dengan seksama. Tiara terlalu takut untuk menatap anaknya. Dia masih berada di posisi semula. Saat Anggrek berdiri, Tiara juga berdiri. Keheningan yang aneh melingkupi kamar. Wanita itu tidak berani bicara. Ia menghela nafas berulang kali. Mengumpulkan kekuatan agar bisa menjelaskan semuanya pada si sulung.“Ibu bisa jelaskan sayang.” Tangannya mengusap bahu Anggrek.Anggrek masih diam. Dia justru memperhatikan tangan Tiara. Rasanya dia ingin pergi saat ini juga, tetapi Tiara terus menguatkan hatinya agar bisa menjelaskan kesalahpahaman ini pada Anggrek. Tiara juga takut jika
Tiara menggeleng. Dia menyembunyikan getar tangannya dibalik punggung. “Tidak. Bagaimana aku bisa masuk jika kamar selalu kau kunci?”“Jangan bohong. Tadi pagi aku meninggalkan ponsel di kamar. Karena terburu-buru aku tidak sempat mengambilnya dan lupa mengunci pintu. Siapa lagi yang akan mengambil ponsel itu selain kamu.”“Kalau tidak percaya periksa saja kamar ini. Geledah semuanya.” Tantang Tiara seolah tidak ada ponsel Rian yang ia sembunyikan.Rian mendengkus kesal. Berjalan ke tempat tidur. Meraba setiap inci seprai. Memeriksa bantal dan guling. Membuka semua laci lalu kembali ke hadapan Tiara. “Minggir.”Pria itu membuka lemari kanan. Memeriksa semua pakain Tiara yang tergantung. Lalu memeriksa pintu kiri. Mengeluarkan semua pakaian Tiara yang sudah terlipat rapi. Tiara hanya bisa menghela nafas. Mengambil semua pakaiannya lalu meletakan di tempat tidur. Saat berbalik, Tiara melihat Rian jongkok. Tubuh suaminya seperti mematung dengan pandangan tertuju pada kotak berisi foto pe
Tiara menutup matanya. Air mata mengalir dari sela-sela jari. Dia tidak bisa lagi menahan tangis yang menyesakan dada. Masih terdengar suara Rian di kamar yang bicara dengan lembut untuk Dina. Berbeda saat pria itu bicara dengan Tiara dan anak-anak mereka. Datar dan dingin. Seolah mereka adalah orang asing untuk Rian.“Kamu pengertian sekali sayang. Padahal Ibu pernah berkata buruk padamu, tetapi kamu masih memikirkan kesehatan Ibu. Kamu benar. Aku harus memikirkan cara yang tepat agar tidak membuat penyakit jantung Ibu semakin buruk. Beliau pasti sangat terkejut kalau aku memberi tahu Tiara sudah selingkuh dengan pria lain.” Rian kembali bicara tentang ibunya.Ibu mertua Tiara divonis mengidap penyakit jantung lima tahun lalu. Seluruh keluarga kompak menjaganya agar penyakit ibunya Rian tidak kambuh. Termasuk tidak memberi tahu berita buruk yang terjadi. Karena itulah Rian selalu berpura-pura mesra dihadapan orang tuanya. Agar ibu mertua Tiara tidak curiga ada masalah di rumah tangga
Dina bergaya di depan cermin. Disaat Tiara masih menikmati waktu dengan Rian di rumah mereka. Hari ini dia senang sekali bisa pergi dengan Rian setelah sekian lama bersembunyi. Dina juga tidak perlu takut ada yang memergoki mereka karena statusnya yang sudah sah jadi istri siri Rian. Apalagi mereka akan meresmikan pernikahan secara sah dimata hukum.Wanita itu tidak mengetahui jika besok adalah hari terakhir Rian bekerja. Berkat bantuan Aurel tidak ada satu orangpun yang tahu tentang alasan pengunduruan diri Rian dan Dian. Itu berarti Dina akan bekerja beberapa hari tanpa Rian.Jam sembilan pagi, terdengar mobil yang berhenti di depan rumahnya. Dina memasukan ponsel dan dompet ke tas lalu berjalan keluar. Dia memakai kemeja kerja dan rok selutut seperti biasa. Karena setelah dari butik mereka akan langsung pergi ke kantor untuk bekerja.Sebelum keluar, Dina mengintip dari jendela. Dia hanya ingin berjaga-jaga jika Dukun Deri atau Pak Hermawan yang datang. Memang benar jika mobil Rian
Tiara masuk ke kamar saat jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Rian sudah pergi ke kantor. Anggrek dijemput bus sekolah dan ia juga sudah mengantar Lily. Tiara baru saja menjemput anak keduanya dari sekolah. Ia mencantolkan jaket dan meletakan ponselnya di tempat tidur. Teringat dengan cerita Rian. Seharusnya hati Tiara masih membeku. Namun kenapa saat Rian minta ijin tadi, Tiara merasa tidak rela? Wanita itu menggeleng. Dia tidak ingin hatinya kembali mencair dan dibodohi seperti dulu. Tiara sudah mantap untuk bercerai. Dering ponselnya di tempat tidur mengalihkan perhatian. Sambil merebahkan tubuh, Tiara membaca pesan yang masuk. Ternyata dari adik madunya. [Pasti kamukan Mbak yang sudah menyarankan Mas Rian untuk memilih dua gaun ini?] Dina juga menyertakan dua baju pengantin yang akan dipakainya untuk resepsi pesta pernikahan. Wanita itu terkikik. Walaupun bukan Tiara yang menyarankan ketiga baju pengantin yang akan dikapai Dina, tapi dia tahu siapa pelakunya. Bu Mi
Rian mematung. Dadanya berdegup kencang karena rasa kaget yang belum reda. Tidak hanya itu, bagaimana bisa anak bos besar di depannya mengurus hal ini. Rian tahu posisi Aurel sebagai Direktur Keuangan. Namun untuk kasus korupsi di perusahaan cabang, dia tidak pernah ikut campur seperti ini. "I--iya. Saya sudah mengembalikan semua uang perusahaan yang sempat saya ambil. Saya akan menerima apapun hukumannya." Rian menunduk. Dia tidak mau melihat seperti apa ekspresi Arel sekarang. "Tidak. Saya tidak akan menghukummu. Toh saya tidak punya wewenang akan hal itu. Semuanya ada tangan audior internal," kata Aurel tenang. Rian mendongak. Ia menatap atasannya tidak percaya. Aurel menegakan tubuh. Mata tajam menatap ke depan. Namun bukan kearah Rian. "Aku sudah menyelidiki semuanya. Termasuk fakta jika kau punya dua istri. Hal yang ingin aku tanyakan sekarang adalah, apakah semua uang yang kamu ambil untuk diberikan pada sekretarismu yang hari ini cuti?" tanya Aurel tajam. "Iya," jawa
Dina pergi ke bank yang berbeda untuk menyetorkan uang senilai dua puluh juta dalam dompet yang ia temukan. Wanita itu tidak mau aksinya ketahuan jika menyetorkan uang di bank dekat rumahnya. Setidaknya Dina menganggap aksinya tidak akan ketahuan. Tidak lupa wanita itu merogoh semua isi dompet. Di dalamnya ada dua kartu debet dan dua kartu kredit, ktp serta kertas kecil bertuliskan nomor pin dari masing-masing kartu. Dina gelap mata. Dia mengambil semua kartu itu, menarik isi dari dua kartu kredit serta menyimpan dua kartu debet. Dia tidak akan menarik semuanya hari ini. "Sayang banget dompet branded seperti ini harus aku buang. Padahal dompet ini bagus kalau dibawa pulang." Dina yang masih duduk di teras bank menimang-nimang dompet ditangannya. Dia memutuskan memasukan dompet itu ke tas. Taksi online yang tadi mengantarnya masih menunggu. Dina membuang kartu kredit yang sudah ia ambil isinya lalu masuk ke mobil. Sesampainya di rumah, Dina masuk ke kamar. Hari ini dia sengaja cut
Informasi dari Bu Mirna membuat Tiara sangat terkejut. Dia tidak menyangka jika konglomerat seperti Pak Hermawaan punya rencana sejahat itu. "Untung saja Rian sudah mengajukan resign dua hari lalu. Walau kita tidak tahu apa yang akan terjadi sebulan ke depan. Bisa saja Pak Hermawan melakukan hal nekat karena rencananya berantakan."Bu Mirna menghela nafas khawatir. Begitu juga Tiara."Kita hanya bisa berharap jika Mas Rian selalu dalam lindungan Allah Bu." Tiara mencoba berpikir positif. Walau dia tidak panik, setidaknya Tiara ingin menenangkan sang mertua.Pagi hari berjalan seperti biasa. Setelah salat subuh, Rian dan Pak Joko kembali sibuk di ruang kerja. Tiara dan Bu Mirna berbagi tugas. Jam setengah tujuh pagi mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Rian duduk dengan wajah cerah."Bagaimana pekerjaan kalian?" tanya Bu Mirna mengulang pertanyaan yang sama setiap pagi."Alhamdulillah sudah selesai Bu," jawab Rian sumringah."Alhamdulillah," seru Bu Mirna dan Tiada bers
Kabar pernikahan Rian dan Dina sudah menjadi bahan gosip yang seru untuk dibahas para tetangga. Meskipun mereka tidak mengatakan apapun saat anak-anak atau orang tua Rian lewat. Namun begitu mereka tidak terlihat lagi para tetangga akan kembali bergunjing. Tiara juga memilih diam di rumah. Bu Mirna sempura melarangnya keluar rumah. Karena Tiara juga tidak tergabung dalam grup yasinan RT, dia tidak perlu merasa terbebani. Justru dengan terus berada di rumah, Tiara bisa produktif menulis novel. Dalam waktu tiga hari dia bisa menyelesaikan dua puluh bab. Rian yang baru lembur di ruang kerjanya masuk ke kamar. Wajah pria itu tampak kuyu. Entah apa yang terjadi dua hari lalu saat Rian dan Pak Joko bisa mengganti rugi uang korupsi yang diambil Rian. Malam harinya mereka menghabiskan waktu di ruang kerja. Keesokan harinya Bu Mirna menanyakan apa yang terjadi sampai mereka tidak keluar dari ruang kerja Rian. Pak Joko hanya menjawab singkat untuk pertanyaan istrinya. "Rian sudah bebas. Ad
"Karena kamu sudah sadar maka ada hal yang perlu kamu ketahui Mas." Tiara justru mengatakan hal lain. Diluar keinginan Rian."Apa maksudmu Ra?""Biar Ayah dan Ibu yang menjelaskan. Aku panggil mereka dulu." Tiara bangkit lalu berjalan menuju lantai dua. Meninggalkan Rian seorang diri di dapur.Tiara menjelaskan apa yang terjadi pada mertuanya. Hanya Pak Joko yang turun ke bawah karena Bu Mirna ingin menjaga Lily dan Nana. Anggrek masih sibuk di belajar di kamar. Mereka melanjutkan percakapan di ruang makan."Sebenarnya Ayah sudah tahu kalau kamu terlibat korupsi dari teman Ayah." Teman Pak Joko yang dinaksud pernah menjabat sebagai atasan Rian.Mata pria itu terbelalak kaget. Tidak percaya mendengar pengakuan Pak Joko. "Jadi Ayah sudah tahu?" tanya Rian memastikan. Pak Joko mengangguk."Lalu kenapa Ayah tidak membantuku sejak kemarin? Ada orang yang dijebak untuk menggantikanku. Aku--aku." Rian menggaruk rambutnya bingung."Karena kamu sangat tergila-gila dengan Dina. Percuma memberi
"Tiara," seru Rian kaget. Bara juga menatapnya heran. Setengah jam dia menunggu, tapi wanita itu tidak membukakan pintu. Namun saat Rian yang pulang, Tiara langsung keluar. "Kenapa kaget? Aku hanya mau membuang sampah." Tiara memasukan plastik hitam ke tempat sampah besar yang ada didepan pagar. "Nggak kok. Aku bicara sebengar dengan teman kantor ya. Kamu masuk dulu." "Oke," jawab Tiara tak acuh. Dia pura-pura tidak perduli saat kedua pria itu terus menatapnya. Apalagi Bara yang tidak berkedip menyaksikan mantan pacarnya. Jika tidak ada Rian, rasanya Bara ingin menarik tangan Tiara sekarang juga. Rian melirik sang istri yang akhirnya menutup pagar tinggi mereka. Pandangannya beralih pada Bara yang menatap istrinya tanpa berkedip. Entah kenapa Rian tidak suka cara Bara menatap istrinya. “Jadi hanya itu yang ingin kau bicarakan sampai menunggu di depan gerbang rumahku,” kata Rian tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Dia sudah lelah berhadapan dengan Pak Hermawan. Mendengar fa
Bibir Tiara terasa kering. Dia tidak tahu harus bagaimana merespon pertanyaan si sulung. Meski Anggrek tidak terlihat sedih sama sekali, tapi Tiara takut jika jawabannya akan semakin membuat Anggrek terluka. Salahnya juga yang lupa mengantisipasi hal ini. Anak-anaknya masih berbaur dengan para tetangga karena setiap sore pergi mengaji di masjid. "Ibu jangan sedih. Aku juga tidak sedih mendengar Ayah menikah lagi. Berarti kita bisa pergi dari Ayah dan Ibu tidak perlu menangis lagi." Anggrek memeluk sang ibu erat. Pelukan yang terasa hangat. Tiara balas memeluk putrinya. "Maaf Ibu menyembunyikan hal ini dari kalian. Seharusnya Ibu mencoba bicara pada kalian pelan-pelan." Tiara mencium kerudung Anggrek yang wangi dengan aroma parfum. "Tidak masalah Bu." Anggrek melepas pelukan mereka. "Lily dan Nana tidak tahu masalah ini. Tetangga yang aku temui hanya bicara denganku." "Alhamdulillah." Mereka duduk di tempat tidur sambil bersandar ke dinding. "Apa Ayah berzina Bu?" Sekali lagi T