Beranda / Romansa / Bersandar pada Ketakutan / 54. Pertarungan Terakhir?

Share

54. Pertarungan Terakhir?

Penulis: Nalla Ela
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-09 23:14:19

Hembusan angin dingin yang menerpa tubuh mereka semakin membuat suasana yang mengerikan. Michael dan Aiden berdiri tegang di belakang Marcus yang berdiri tegap siap membidik Ethan dengan SS2 Pindad yang ia bawa.

Awalnya Michael merasa ngeri melihat Marcus yang membawa senjata sebesar itu, tapi melihat senyum tengilnya itu semua bisa dimengerti.

Ethan tak merasa gentar sekalipun. Baginya, malam ini hasilnya adalah jika bukan ia yang mati, maka Dominic lah yang akan mati ditangannya.

"Dominic." Ethan mengejeknya yang begitu berambisi untuk menyelamatkan kekasihnya. "Jangan bersembunyi. kita itu sama ... tidak pantas untuk mendapat kasih sayang. itu adalah hal basi."

Dominic mengepalkan tangan dengan keras hingga buku-buku jarinya memutih. "Aku tidak sama sepertimu, Ethan. Aku masih memiliki hati dan pikiran waras untu tidak memberondong orang-orang tak bersalah."

Kepala Ethan mengangguk remeh kata-katanya. "Oh, kalau kau begitu mencintainya, tunjukan." Dia menggeser pistolnya kearah ja
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bersandar pada Ketakutan   55. Usaha Dominic

    Hari-hari dilalui Amethyst dengan pemulihan luka-luka fisiknya dan konseling bersama dokter Eleanor untuk mengobati luka batinnya. Yang membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak karena dihantui mimpi buruk yang berkepanjangan. Michael selalu ada disisinya menemani masa perawatan dan mencegah Dominic datang untuk mengacau. Akan tetapi, Dominic selalu punya datang meski hanya untuk duduk di depan lorong selama berjam-jam. "Untuk apa kau kembali ke sini?" tanya Michael tajam. "Bukan urusanmu." Dominic menatap datar pintu ruangan tempat Amethyst dirawat. Mengabaikan Michael sepenuhnya. "Jangan harap aku mengizinkan mu masuk ke dalam." Michael berlalu pergi masuk ke dalam. Bahkan matanya mengawasi dari balik kaca kecil sebentar sebelum menghilang sepenuhnya. Pria itu mengabaikan ketidaksukaan Michael dan terus saja datang. Dia masih belum memiliki kepercayaan diri untuk menemui Amethyst setelah segalanya. Hingga obrolannya dengan dokter Eleanor sedikit membuka pikirannya. Perempu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bersandar pada Ketakutan   56. Obligation

    Setelah kematian Ethan, suasana di Obligation terlihat biasa saja. Namun, mereka semua tahu itu hanya ilusi. Kabar tentang kehilangan "anjing pemburu" mereka telah menyebar bak api di tengah hutan kering. Ethan dan Dominic adalah kombo yang tak terhentikan, duet yang membuat siapa pun gentar. Kehilangan Ethan berarti kehilangan separuh taring mereka, dan itu adalah fakta yang tidak dapat disangkal. Di ruang rapat, Fernaldi Rashford duduk di ujung meja panjang dengan wajahnya yang dingin namun penuh karisma. Para petinggi Obligation hadir, masing-masing dengan ekspresi tegang. Hanya Dominic yang tampak santai, bersandar di kursinya seperti biasa, dengan senyuman tipis yang bahkan bertengger menghiasi wajahnya. "Sejujurnya, aku sangat menyayangkan kepergian Ethan," ucap Fernaldi mengawali pertemuan mereka. Ia menatap semua yang hadir, sebelum akhirnya pandangannya tertuju pada Dominic. "Dia adalah aset terbaik kita, seorang pembunuh sempurna yang bisa menyingkirkan semua musuh tan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Bersandar pada Ketakutan   57. Melepasmu

    Sudah hampir tiga bulan berlalu, dan keadaan Amethyst berangsur membaik. Ia mulai menjalani aktivitas seperti biasa tanpa rasa cemas yang tiba-tiba datang. Ia juga rutin terapi ditemani kakaknya yang selalu meluangkan waktu untuk menemaninya di sela kesibukannya. Hal yang sangat ia syukuri dari semua hal yang ia lalui. Mereka berdua memutuskan untuk tinggal berdua di rumah kecil minimalis dua lantai dengan pekarangan asri tempat favorit Amethyst untuk menulis jurnal. Meski awalnya canggung, mereka berdua mulai menemukan ritme hidup yang baru. Memperbaiki hubungan mereka yang merenggang sekian lama. --- Amethyst duduk di serambi dengan segelas teh hangat untuk menemaninya membaca buku yang disarankan dokter Eleanor. Ia menoleh kepada Michael yang tersenyum membawa buket bunga tulip yang ia letakkan di vas berisi air. “Untuk apa ini?” tanya Amethyst, tersenyum kecil melihat hal-hal baru dari kakaknya yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Michael mengangkat bahu sambil terse

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bersandar pada Ketakutan   58. Kehidupan Baru Tanpa Dominic

    Sore itu, Michael mengajak Amethyst berbelanja bulanan. Michael sibuk dengan daftar yang ia buat di ponselnya, berbeda dengan Amethyst yang langsung mengambil semua yang kiranya ia butuhkan ke dalam troli. “Eh, ini kan tidak ada di daftar,” protes Michael sambil mengangkat sekotak cookies yang baru saja dimasukkan Amethyst. “Aku ingin makan sesuatu yang manis-manis. Kakak tahu aku selalu butuh ini untuk mood booster,” jawab Amethyst sambil terkikik, menyembunyikan cemilannya dibalik tumpukan barang yang mereka beli. Michael menggelengkan kepala, tapi tetap membiarkannya mengambil makanan ringan yang ia suka. "Baik, kalau berat badanmu meningkat ... jangan salahkan aku." “Oh, please. Biasanya kau juga ikut memakannya," sergahnya tak terima. Michael mengendik, "ya ... ya ... perempuan selalu benar," ledek nya dihadiahi pelototan tajam. --- Setelah puas berbelanja, Amethyst mengajak kakaknya untuk nonton film di rumah. Akhir-akhir ini, mereka jarang menghabiskan waktu bersama

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Bersandar pada Ketakutan   59. Kabar Tentang Dominic

    Sejak pembicaraan mereka tentang Aiden, hubungan kakak beradik ini terasa canggung dan dingin. Tak ada lagi obrolan santai, canda dan tawa ringan mereka tentang film di ruang keluarga yang mendingin. Situasi ini mengingatkannya tentang keadaan mereka sebelum ini. Amethyst menyadari kalau kakaknya hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Hanya saja, egonya menolak membenarkan semua fakta itu. Pagi ini, Amethyst bertekad untuk memperbaiki hubungan mereka. Ia duduk lama di meja makan dengan segelas kopi yang mulai mendingin. Dari sudut matanya, ia melihat Michael berlalu untuk mengisi air tanpa melihat ke arahnya. “Selamat pagi,” sapa Amethyst pelan, walau ragu mencoba memulai sesuatu. Namun, Michael hanya mengangguk tanpa menoleh kearahnya. “Pagi.” Suaranya bahkan terdengar dingin. Amethyst menggigit bibirnya mencoba merangkai kata-kata di kepalanya. “Aku minta maaf,” akhirnya ia membuka suara, “aku tahu aku egois.” Michael berhenti sejenak, menatap adiknya dengan alis terangk

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Bersandar pada Ketakutan   60. Tangisan ditengah Hujan

    Sudah hampir jam sembilan malam Michael mondar-mandir di teras rumah, matanya tak lepas dari jalanan, berharap adiknya akan muncul dari balik gerimis dan senyum seperti biasa.Ia menggenggam ponselnya erat-erat menunggu dengan cemas kabar dari Aiden yang ia mintai tolong. Tak lama kemudian, Aiden datang dengan motornya. Jaketnya basah kuyup, tapi ia tak peduli. “Dia tidak bilang apa-apa sebelum pergi?” tanya Aiden dengan khawatir.Michael menggeleng cepat. “Tidak. Semenjak aku sampai di rumah, aku belum melihatnya. Kupikir dia tidak enak badan, jadi aku masuk ke kamarnya dan mendapati dia tidak ada."Aiden berpikir cepat, menatap Michael menginterogasi. "Apa yang sudah terjadi sebenarnya? tidak mungkin dia tiba-tiba menghilang."Michael menunduk penuh rasa bersalah. "Kita bertengkar sedikit sebelum ini," jelasnya lirih. Ia merasa bersalah telah mengucapkan kata-kata itu disaat ia tahu kondisi psikis adiknya yang baru membaik.Aiden meraup wajahnya kasar. Mencoba menenangkan emosinya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Bersandar pada Ketakutan   61. Cinta Yang Masih Sama

    Hujan mulai reda saat Michael memutuskan untuk menghampiri Amethyst yang terdiam dengan wajah pucat dan basah kuyup.Tanpa sepatah kata, Michael duduk disampingnya. Tangannya memegang bahu Amethyst dengan hati-hati."Amy," panggilnya pelan.Amethyst perlahan menoleh, menatap kakaknya dengan mata bengkak. Sorot matanya penuh rasa bersalah dan kesedihan. Ia mengangguk pelan, menunduk tak mampu menghadapi kakaknya yang nampak khawatir.Michael menghela napas, melepas jaket basah adiknya dan memakaikannya jaket tebal yang ia pakai. Ia membimbingnya untuk masuk ke dalam mobil. Amethyst hanya diam dan duduk bersandar, menatap jendela mobil dengan pandangan kosong.Aiden melihatnya dari kaca spion tengah dengan ekspresi khawatir. "Kau baik-baik saja, Am?" tanyanya kemudian.Amethyst hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. Tatapan Aiden yang sulit diartikan masih tertuju padanya. Ia agaknya menyayangkan hati Amethyst yang masih saja tertuju pada Dominic setelah semuanya.perjalanan mereka diw

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Bersandar pada Ketakutan   62. Permohonan

    Amethyst duduk memeluk lututnya di sofa ruang tamu. Pagi yang mendung membuat suasana mellow di hatinya. Ia mencoba mengusir bayangan Dominic yang selalu datang di kepalanya. Aiden diam sejenak menatap Amethyst dalam dengan nampan berisi teh herbal yang masih mengepul. Ia menarik sudut bibirnya dan menghampiri Amethyst seolah tak terjadi apapun. "Aku membuatkanmu minuman hangat, Am." Aiden meletakkan cangkir teh itu di meja. Amethyst menoleh, menatap Aiden sejenak sebelum mengangguk. “Terima kasih,” gumamnya pelan. Mengambil cangkir itu dan menikmati aromanya yang menyegarkan. Aiden duduk di hadapannya. Merasa canggung untuk suatu alasan. "Jadi ... bagaimana perasaanmu sekarang?" tanyanya agak ragu. Amethyst tersenyum separuh. kedua tangannya memegang cangkir. "Aku ... aku tidak tahu. Aku masih mencoba mengatur benang kusut di pikiranku," jelasnya gamblang. Aiden mengangguk mengerti. Ia memandang Amethyst dengan matanya yang teduh. “Kau tidak perlu memaksakan diri, Am. Pelan-pe

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21

Bab terbaru

  • Bersandar pada Ketakutan   75. Jerat Tak Terlihat

    Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.

  • Bersandar pada Ketakutan   74. Pembuktian

    Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet

  • Bersandar pada Ketakutan   73. Janji Seorang Pria

    Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a

  • Bersandar pada Ketakutan   72. Kekacauan

    "Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa

  • Bersandar pada Ketakutan   71. Mengendalikan Diri

    Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku

  • Bersandar pada Ketakutan   70. Reset

    Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa

  • Bersandar pada Ketakutan   69. Kedatangan Aiden

    Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga

  • Bersandar pada Ketakutan   68. Langkah Pertama

    Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do

  • Bersandar pada Ketakutan   67. Ketakutan Yang Nyata

    Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status